“Mas tadi sudah sewa mobil, jadi kita bisa berangkat bersama. Kamu siap-siap dulu ya, Mas mau shalat subuh.”Aku mengangguk. Ia berjalan keluar dan aku menyiapkan semua perlengkapan yang harus ku bawa nantinya. Ini adalah pertama kalinya Zafran jalan, tentu saja akan riweh dengan perlengkapan pangeran kecilku itu. Aku memakai gamis panjang bermotif dengan kerut di bagian pinggangnya, membuat tubuh ini terlihat proporsional. Kupandang tubuhku dari pantulan cermin, aku cantik tak kalah dari Mbak Zahra. Aku juga lebih muda darinya dan tentu saja aku bisa melahirkan anak tak seperti ia.Dengan selendang jarik itu, aku membawa Zafran keluar sedangkan tangan kananku membawa ransel yang berisi beberapa kebutuhan Zafran, beberapa pakaian dan diapers. “Mau ke mana, Nduk? Pagi-pagi sudah rapi.” Ibu menyapaku. Dengan nada ketakutan, aku mencoba tenang. Mimpi semalam masih menyisakan luka yang mendalam di tambah lagi obrolan ibu dan Mbak Zahra yang tak sengaja ku dengar. “Di- di ajak Mas Zul
Ya Allah Ya Robbi, kenapa berbohong begitu menyakitkan seperti ini? Aku mengantar mereka pergi, Mbak Zahra menciumi pipi kanan dan pipi kiri Zafran, sedangkan Mas Zul memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. “Aku gendong Zafran bentar ya, Dek! Aku pasti kangen dengan tubuh gemoy dan senyum ompongnya.” Mbak Zahra mengambil tubuh Zafran ke dalam pelukannya.Kini Mas Zul menghampiri setelah berpamitan kepada ibu. Ku cium punggung tangannya, dan di balas dengan kecupan hangat di ujung kepalaku. “Jangan lupa kalau sudah sampai kasih kabar ya, Mas!” “Tentu, Dek!”Ia menghampiri Zafran yang kini dalam gendongan Mbak Zahra. Di kecupinya lelaki gemoy itu. Hingga Zafran tampak kegelian. “Kami berangkat dulu, Ya. Assalamualaikum,” ucap Mbak Zahra setelah mengembalikan Zafran ke dalam pangkuanku. Sekejap mata mobil itu menjauh. Hanya ibu yang ada di sampingku, menatapku dengan pandangan sinis. Kami melangkah masuk ke dalam rumah. Langkahku kini berhenti di dapur memandang atas meja yang kini
Lelaki itu terus mendekat, aku benar-benar ketakutan. Ku tarik sprei kamarku untuk menutupi anggota tubuhku. “Siapa kamu? Mau apa kamu?” Lelaki iku tak bergeming, tanpa menjawab sepatah kata pun ia terus melangkah mendekatiku. Wajahnya yang bengis dengan kumis tebal menampakkan senyuman menyeringai yang membuatku ngeri. “Tolong, aku mohon tolong,” teriakku, tak ada jawaban. Hanya sumber air kran itu yang terus bersaut. ‘Ya Allah, tolonglah aku, aku takut.’ Air mata ku kini tumpah, aku tak tahu harus berbuat apa, selain meminta pertolongan kepada Rabku.“Jika kamu mau ambil barang di rumah ini, silahkan. Tolong jangan sakiti kami.” Kenapa ada maling di siang bolong seperti ini? Sebenarnya untuk apa ia datang kemari? Aku bergidik ngeri, sambil memeluk Zafran lebih erat. Ia tak menjawab tapi terus melangkah maju. Aku pun terus melangkah mundur, hingga tubuhku kini menatap ke dinding kayu kamar. “Berhenti. Siapa kamu? Apa mau mu?”Ia menampakkan gigi-giginya yang sedikit menghitam
‘Maafkan ibu, Zafran. Ibu janji akan kembali bersamamu.’Aku menapaki jalanan raya, tanpa tahu arah yang ku tuju. Bahkan tempat ini pun terlalu asing, karena waktuku hanya ku habiskan di dalam rumah. Ingin rasanya aku bercerita dan berkeluh kesah kepada Mas Zul tapi sayang saat ini ia tidak sedang bersamaku. Bahkan aku pun tak tahu ia ada di mana. Aku berhenti di ujung jalan, menjatuhkan tubuhku di sebuah pohon yang rimbun, menekuk lutut ku sambil menyeka air mata yang terus luruh ke pipiku. Kenapa aku mendapat ujian seberat ini? Jika dulu aku di asingkan oleh warga aku tak begitu masalah., Tapi kali ini, keluargaku lah yang mengasingkanku. Bahkan ia lah yang menjauhkan ku dari buah hatiku. Rasanya begitu tak adil untukku. Selintas aku melihat wanita bertubuh semampai, memakai gamis panjang serta jilbab menjuntai. Ia mirip sekali dengan Mbak Zahra. “Mbak Zahra,”Wanita itu berbalik, dan ternyata bukan. Lagian mana mungkin ia ada di sini.Aku kembali melangkah, menyusuri jalan tanpa
Aku menatap kardus kecil yang bertulis selamat makan, gemuruh di perutku saling bertaut. Aku baru sadar kalau seharian aku belum makan. Ku buka kotak kecil itu, segelas air mineral dan beberapa jajan di dalamnya. Kuambil jajan yang berbungkus daun pisang itu, berisi nasi lembek dengan irisan tahu di dalamnya. Alhamdulillah, setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak, karena perut ku telah terisi.“sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya akan aku tambahkan nikmat kepadamu. Namun. Jika kamu mengingkari maka adabku akan amat pedih.”Ustad itu mengutip Al Qur’an Surat Ibrahim ayat ke 7.Entah kenapa, dada ku terasa sesak mendengar kalimat itu. Apa ini jawaban Tuhanku? Aku tak pernah mensyukuri hidupku, hingga Allah murka dan memberiku adab yang begitu pedih. Aku yang dulunya wanita hina, di naikkan derajat oleh suamiku. Di terima baik oleh keluarganya. Aku di jadikan menantu kesayangan, aku di beri kemudahan untuk segera di beri keturunan. Aku tak bersyukur , justru selalu cemburu k
Mereka seperti keluarga sempurna, keluarga bahagia. Pantaskah jika aku kembali masuk ke dalam keluarga mereka?‘Lihatlah, Syah. Kamu itu harus sadar diri. Mereka begitu bahagia dan terasa sempurna tanpa kamu. Apa kamu akan kembali hadir dan mengganggu kebahagiaan mereka?’‘Tapi, Zafran ada di situ, aku ingin bersama anak dan suamiku.’‘Aisyah, Aisyah kenapa kamu tak pernah belajar dari kehidupan? Apa kamu tak pernah punya rasa balas Budi. Apa tidak cukup kebahagiaan yang telah di berikan Mas Zul dan Mbak Zahra untukmu? Apa kamu tega kembali merenggut kebahagiaan mereka.’Hatiku saling bertaut tak karuan, aku bimbang untuk terus melangkah. Ya Tuhan, kenapa begitu getir, semua tampak abu-abu, meremang dan ...“Aisyah bangun Aisyah, bangun ....”Aku membuka bola mata ku yang tampak masih berat untuk terbuka, kurasakan sakit di bagian perutku serta lemas di seluruh tubuhku. Aku baru sadar dari kemarin pagi aku belum makan, hanya menyantap arem-arem dan segelas air mineral dari Arini. “A
Aku mengangguk dan perawat itu pun pergi. “Kalau kamu bersedia nanti ikut aku. Kamu bisa tinggal di sana.” Entah kenapa, Randi seperti mengerti akan kebingunganku. Lelaki yang menghancurkan hidupku itu seperti ingin membalas kesalahannya tempo lalu. Tapi ... Apa mungkin aku tinggal bersama dia? Dia bukan mahram ku. Bahkan kali ini kita di ruang yang sama hanya berdua pun membuat aku risih. “Maksudnya, kamu tinggal di pesantren yang di bina Abi dan Umi. Tidak jauh dari sini kok.”Lelaki itu seperti mengerti isi hatiku.Mungkin ini memang jalan satu-satunya, untukku menata hati dan merancang kehidupanku ke depan. Ini jalan yang di tujukan Allah untukku mendalami ilmu agama agar aku belajar lebih ikhlas akan semua takdir. Agar aku bisa bersyukur atas nikmat sehat untukku. Jauh di luaran sana aku yakin masih banyak orang yang lebih menderita dari pada aku. “Bagaimana, Syah?” Aku mengangguk.Bersama Randi aku mebonceng menuju pesantren milik orang tuanya. Tak lupa ku beri jarak antara
“Randi.” Mataku membulat sempurna ketika lelaki itu masuk ke dalam kamarku. Untuk apa ia ke sini? Bukankah ini pesantren? Kenapa ia bisa seenak saja memasuki kamar.“Untuk apa kamu ke sini? Kamu gak boleh masuk!” Aku mendorong tubuhnya agar tak masuk lebih dalam. “Aku bawakan pakaian ganti untukmu. Apa kamu gak ingin mandi dan ganti pakaianmu?” Randi menampakkan tas kresek besar ke hadapanku. “Aku tak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu, ingat itu.” Ia bergegas pergi meninggalkan kamar.“Randi, tunggu!” teriakku.“Ada apa lagi?” ia menoleh, hanya mukanya saja.“Kamar mandinya di mana?” Randi menunjuk salah satu bangunan dan ia kembali melanjutkan langkahnya. Aku menutup kamar, kembali menjatuhkan ke ranjang yang tertutup kasur tipis dan seprei bergambar bunga. Untuk sesaat aku melupakan tentang Mas Zul dan Mbak Zahra. Aku buka plastik kresek itu, hendak mengambil pakaian dan menyegarkan tubuhku. Ku ciumi tubuhku sendiri, yang kini baunya luar biasa, untung saja Randi
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar
“Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
"Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.