“Mas Zulkifli,” terdengar teriakan dari dalam toko tersebut.Aku membalikkan tubuhku, melihat ke sumber suara, seorang wanita memakai gamis berwarna merah muda dengan jilbab yang menjuntai ke bawah. Istri sah nya Mas Zul kah?“Karisa?”Wanita cantik tersebut menunduk seolah memberikan salam.“Assalamualaikum, Ustad.”“Waalaikumsalam, Karisa.”“Saya kira ini Mbak Zahra, mohon maaf Ustad, wanita ini siapa?” ucap wanita tersebut ke arahku. Matanya penuh selidik seakan aku adalah tersangka dalam sebuah kasus. Dari salam dan pembicaraan mereka aku yakin, ia bukan istri Mas Zul. Istri Mas Zul bernama Zahra, nama yang cantik. “Umi, cepetan!” “Baik, Abi.”“Maaf, Mas Zul. Saya permisi dulu. Titip salam buat Mbah Zahra.” Wanita itu bergegas pergi menghampiri lelaki yang sudah siap siaga di mobilnya, sepertinya ia adalah suami dari Mbak Karisa itu.Aku kembali duduk di kursi panas ini, ya kursi panas yang mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang Aku masih belum bisa membayangkan bagaima
Seorang lelaki berseragam menghampiri meja kami, diletakkannya dua piring dan dua gelas minuman berwarna di atas meja, tak lupa sendok garpu dan pisau.Mataku mengarah ke makanan tersebut, sebuah daging berlemak dengan aroma wangi itu tepat di depanku, aku menelan ludah ketika melihatnya, ingin segera menyantap makanan tersebut namun aku tak paham cara memakai pisau, garpu maupun sendoknya. Aku melirik Mas Zul, mulutnya nampak berkomat Kamit mengucap doa, ia mengambil sendok dan garpu itu, mengiris sedikit demi sedikit daging tersebut, dan mengunyahnya pelan.Aku melakukan hal yang sama, sambil sesekali melirik tubuh sempurna itu, tampak tenang, tak banyak bicara. Hanya terasa teduh ketika bersamanya.Kuucapkan kalimat basmallah serta doa sebelum makan, dan segera kunikmati makanan yang pertama kali masuk ke mulutku. Tak ada yang tersisa, semua habis dalam perutku. Baru kurasakan makanan seenak ini, entah karena menunya yang begitu istimewa. Atau makannya di dampingi orang istimewa,
“Mbak Zahra,” Aku mendengar Isak tangisnya yang sedikit tertahan, beberapa kali kulihat ia menyeka air mata yang tampak terus mengalir dari mata indahnya.‘Maafkan aku, Mbak. Aku tak akan menikah dengan Mas Zul, wanita sebaik Mbak Zahra tak pantas untuk di duakan.’**Kami menikmati makan malam bersama. Mas Zul duduk di bangku ujung, di sebelah kanannya ada Ibu dan sebelah kirinya ada Mbak Zahra. Nampak canggung, Aku lirik wajah Mbah Zahra, dia tampak tersenyum, namun aura matanya masih terlihat kalau Mbak Zahra habis menangis, berarti benar wanita yang aku lihat tadi siang adalah Mbak Zahra. “Maaf, tadi siang belum sempat memperkenalkan, ini Dek Aisyah,” ucap Mas Zul ketika menyelesaikan makan malam. “Selamat datang, Nduk,” ucap ibu.“Selamat datang, Dek Aisyah,” ucap Mbak Zahra sambil meraih telapak tanganku, memegang erat tanganku, seakan ia menguatkan dirinya sendiri untuk menerimaku.“Seperti yang saya ucap sebelumnya, Dek Aisyah akan menjadi bagian keluarga kita, jika Ibu da
“Mas Zul menerimaku apa adanya meskipun tanpa rahim, apakah aku salah jika aku juga berbuat sesuatu untuk kebahagiaan suamiku?”“Tapi, Mbak? Bukankah mengadopsi anak justru lebih membahagiakan dari pada menghadirkan wanita lain di kehidupan Mbak Zahra!” protesku.“Mungkin iya, mungkin enggak. Setiap lelaki pasti memiliki Keinginan untuk memiliki keturunan dari darah dagingnya. Pernah Mas Zul memintaku untuk itu. Tapi aku menolaknya. Bukan karena aku tak mau merawat anak lain, melainkan aku ingin merawat anak dari darah daging suamiku. Entah di lahirkan dari rahim wanita lain pun aku ikhlas.” Subhanallah, aku tertegun mendengar ucapan Mbak Zahra, ternyata di dunia ini ada wanita berhati emas seperti ia, ia seperti bidadari atau justru malaikat tanpa sayap.“Mbak Zahra tidakkah mempermasalahkan aku berasal dari mana? Keluargaku seperti apa?”Mbak Zahra tersenyum mendengar ucapanku, senyum yang indah dan selalu nampak teduh.“Kamu adalah pilihan suamiku, aku yakin kamu yang terbaik.” J
Kurasakan ketakutan dari balik ketenangan ibu yang selalu bijak, nyatanya ia memendam harapan yang begitu tinggi. “Iya, Buk. InsyaAllah aku sehat.”“Syukurlah,” ucap ibu sambil memegang dadanya. Ia segera pamit .“Jangan lupa istirahat yang cukup, biar besok terlihat segar, Nduk!”“Iya, Bu!”Aku kembali merebahkan tubuhku di tempat ternyaman ku, Beberapa kali terlintas wajah Mas Zul yang tersenyum, suara teduhnya yang membelaku di antara amukan Massa. Lelaki sempurna di mataku. Kini bayangan Mbak Zahra ikut mampir. Wanita Solehah yang membuat aku kagum akan sosoknya, wanita yang memiliki cinta begitu besar untuk suaminya. “Aku terima nikah dan kawinnya, Aisyah binti bapak Purbono dengan mas Kawin seperangkat alat solat. Di bayar tunai,” “Syah?” ucap Pak penghulu.Aku melirik ke arah Mbak Zahra, tangisannya pecah. Air bening itu terus tumpah membasahi pipinya, tak mungkin juga ada wanita yang ikhlas menghadirkan wanita lain dalam kehidupannya. “Tidak sah.” Mas Zul melepas kerudung
“Dek Aisyah,” ucap lirih Mbah Zahra sambil memandang ke arahku.Aku melihat sisi kanan dan sisi kiriku, mencari jawaban akan pertanyaan yang nantinya akan di lontarkan Mbak Zahra. Aku kikuk, bingung harus berkata apa? Batinku terus menghardik diriku yang sengaja mengintip pasangan halal dalam kamar.Mbak Zahra berjalan pelan ke arahku, di setiap langkah itu membuat jantungku memompa darah semakin cepat, tubuhku terasa bergetar, telapak tanganku terasa dingin. “Dek Aisyah, masuk saja. Dari pada berdiri dari balik pintu nanti ada yang melihat.” Tak ada hardikan atau celotehan dari mulut Mbak Zahra, justru ia menggandeng tanganku untuk ikut masuk ke dalamnya. “E-enggak, Mbak. Tadinya aku mau minta Mbak Zahra membantu melepaskan pernak-pernik ini. Aku kesusahan mengambilnya. Aku mau ganti baju gamis, Mbak. Pakai kebaya bikin gerah.” Aku menunjuk aksesori yang menghiasi jilbabku. “Ya sudah, sini aku bantu.” Mbak Zahra menuntunku untuk duduk di bangku riasnya. Aku memandang wajahku yan
“Kata siapa aku tidak mencintaimu?”“Bagaimana mungkin engkau mencintaiku, jika kita bertemu pun hanya sesaat!”“Apakah Dek Aisyah mencintaiku?”“Pasti, untuk apa aku menikah denganmu, Mas. Jika tidak ada cinta untukmu!”“Adek sudah tau jawabannya, lantas kenapa masih ragu kepadaku?”**Saat mataku terbuka, kudapati lelaki sempurna itu tidur menghadapku, paras tampannya bahkan tak menghilang, wajah seperti inilah yang membuatku semakin menggila. Kulihat jam yang menempel di dinding kayu ini. Pukul 03.00, aku membersihkan tubuhku, rasa dingin itu menyelimuti pori-pori ketika kucuran air melewati tubuhku, kejadian beberapa jam yang lalu membuatku tersenyum dan memberikan kehangatan tersendiri. Kubalut tubuhku dengan handuk, dan hendak mengganti pakaian. Melihat Mas Zul berada di kamar ini membuat aku tak nyaman dan malu mengekspose tubuhku meskipun ia masih dalam keadaan terpejam. Ku bawa satu stel gamis dan memakainya di kamar mandi, aku mengurai rambut panjang ku yang kini basah, me
Meskipun ibu tak mengucap maksudnya, aku paham betul apa maksud yang diucapkan ibu. “Aamiin, Bu. Doanya gih,” ucapku dengan melayangkan senyum yang tak kalah manis darinya.Bawang merah, bawah putih, cabai serta beberapa kemiri itu sudah tampak halus, segera ku masukkan ke wajan yang sebelumnya sudah aku bubuhkan margarin, wangi khas nasi goreng menyeruak ke seluruh ruangan. Aku masukkan beberapa telur, nasi serta suiran ayam. Wanginya benar-benar menggugah selera. Atau mungkin aku yang memang merasa lapar karena semalaman telah bertarung.“Baunya enak sekali, Yu! Aku yang masih tertidur bisa terbangun karena mencium aroma masakan ini.” Bu Khofi, kakak ibu itu mengambil sendok dan membenamkannya di nasi goreng yang masih di atas wajan ini, diangkatnya sendok itu hingga terisi penuh. “Belum saya cicipi, Bude. Belum tahu asin apa enggaknya!” ucapku yang masih tak yakin dengan makanan yang ku buat.“Enak gini, kok. Rasanya pas!” ucap bude sambil menguah karena nasi goreng yang masih pa
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar
“Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
"Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.