“Loh? Kan dulu kamu memang seperti itu, Sa. ada-ada saja jawabanmu yang membuat dosen kehabisan kata." Mama Lily tertawa renyah."Ya mau bagaimana lagi, Ly? Sebagai salah satu anggota BEM, aku terbiasa kritis. Jadi kalau telat sedikit masuk, terus dosennya agak-agak "ganas", jiwaku sebagai aktivis meronta ingin berdebat."Ayah Aksa dan Mama Lily tertawa bersama mengingat kejadian puluhan tahun lalu, saat mereka masih di bangku kuliah. Sementara dibalik pintu Vira tersenyum, mati-matian menahan tawanya agar tidak meledak. Dia sengaja menunggu di sana.Wanita itu hendak pamit ke luar pada Ayah Aksa dan Mama Lily yang sedang ngobrol santai di teras samping rumah. Namun, mendengar kedua orangtua itu sedang asyik bernostalgia, mengenang masa lalu, membuat Vira menunda sejenak keinginannya. "Ly, terima kasih," ucap Ayah Aksa setelah tawa mereka reda."Apa nih maksudnya?" Mama Lily menatap Ayah Aksa curiga."Aku serius." Ayah Aksa tersenyum menatap wajah Mama Lily yang mencurigainya."Terim
Satu jam berlalu, Vira akhirnya dapat melihat plang nama tempat usahanya terpasang. Sekitar dua puluh meter lagi akan sampai, wanita itu mengerutkan kening melihat garis polisi mengelilingi tempat usahanya. Ada apa?Vira memarkirkan mobil di halaman dan bergegas masuk. Walau tempat itu disegel, dia bisa melihat ada aktivitas di dalam sana. Pintu depan dan jendelanya pun terbuka lebar."Bubs!" Ke empat karyawan Vira kompak berteriak saat melihat dia datang. Vira memperhatikan sekitar, meja yang dulu ditempati Vano kosong. Komputer yang ada di sana lenyap.Zidni berdiri dan menghambur memeluk Vira. Wanita itu menangis tersedu-sedu. "Ada apa?" Vira bertanya heran sambil mengelus punggung Zidni.“Kami takut sekali terjadi apa-apa padamu, Bubs.” Virni menyeka matanya yang basah.Vira mengangguk. Dia menuntun Zidni duduk dan mengambil tempat di dekat karyawannya.“Ada apa?” Vira kembali bertanya, kali ini pada Rizal yang terlihat lebih bisa menguasai diri dibandingkan dengan yang lain.“K
“Maaf? Maaf untuk apa?” Vira memberi kode pada keempat karyawannya. Sepertinya mereka butuh waktu berdua.Zidni, Virni, Rizal dan Leci mengangguk maklum. Mereka beranjak berdiri dan keluar menuju kafe di seberang jalan."Mas?" Vira mengangkat kepala Hendra.Mata mereka bertemu. Vira menarik napas panjang melihat suaminya bersimbah air mata. Ada apa? Terakhir dia melihat Hendra menangis beberapa bulan lalu sebelum mereka berbaikan. Menangisi Arlin dalam setiap tidurnya."Maaf."Vira bangkit dari kursi dan ikut duduk di bawah bersama Hendra. Lantai tempat usaha itu bersih, Zidni dan Virni ringan tangan menjaga kebersihan dan kerapian tempat itu agar selalu nyaman."Ada apa?" Vira memegang tangan Hendra."Maaf, karena telah membuatmu terseret dalam masalah ini. Maaf, karena aku, usaha yang sudah payah kau bangun harus hancur." Hendra menunduk.Hendra tergugu. Diambilnya tangan Vira dan diciuminya bertubi-tubi. Air mata lelaki itu berjatuhan di tangan Vira.Tadi Hendra pulang dari kantor
"Aku tahu kau tidak mungkin bekerjasama dengan Arlin, Vir."Vira tersenyum lega. Begitu pun dengan Hendra, bayangan Vira akan marah dan membencinya ternyata tidak terjadi. Semua bisa baik-baik saja jika mereka saling berkomunikasi."Kau tidak marah karena masalah ini, Vir? Nama usahamu jadi tercoreng." Hendra menarik napas pelan."Tidak sama sekali. Kekhawatiran terbesarku adalah takut jika mas berpikiran aku terlibat. Tetapi, ternyata mas tahu aku tidak mungkin melakukannya." Vira tertawa."Kamu memang sering bertindak di luar akal sehatku, Mas.""Maksudmu?" Hendra bertanya dengan alis bertaut.Vira terkekeh mengingat kejadian beberapa hari lalu di rumah sakit saat mereka baru mengetahui dirinya hamil.“Keluarga Ibu Savira.”“Ya, Dok!” Hendra dan Mama Lily menjawab berbarengan sambil menghampiri dokter. Vira dapat mendengar langkah kaki mereka dari dalam.“Bagaimana istri saya, Dok?” Itu suara hendra, suaminya.“Selamat!"“Eh?” Nada heran dan bingung terdengar jelas dari suara Hendra
"Keputusan sidangnya besok, kan?" Papa Surya menoleh pada Arlin yang sedang sibuk mengerjakan entah apalah di mejanya.Lelaki itu meletakkan surat kabar yang dari tadi dia baca. Dia sangat puas melihat berita utama hari itu."Akankah kebenaran menang? Atau berpihak pada benda bernama uang?" Papa Surya membaca judul berita utama yang ditulis dengan huruf besar-besar itu. Dia tertawa kencang sambil menepuk koran di atas meja. "Kau memang putriku, Arlin. Kecerdasanmu tidak diragukan lagi." Papa Surya tersenyum lebar."Saat putusan sidang dibacakan besok, pasti media negeri ini akan heboh karena hakim memenangkan pihak yang dianggap telah berbuat curang." Papa Surya kembali terkekeh."Sebenarnya kita tidak diuntungkan sama sekali dengan semua keributan ini. Toh, pada akhirnya juga perusahaan Pak Hendra tidak terbukti bersalah kalau diselidiki, kan?" Pak Prima, orang kepercayaan Papa Surya dan Alrin bersuara."Kau benar. Namun, kepercayaan investor sudah terlanjur menurun. Apalagi jika me
"Kamu tidak apa-apa, Yang?" Hendra menggandeng tangan Vira. Sedikit khawatir melihat istrinya yang tampak pucat."Tidak apa-apa. Hanya mual dan sedikit pusing.""Tunggu di sini saja ya? Biar aku dan Pak Risky yang menyelesaikannya?" Inilah yang Hendra takutkan selama ini. Dia khawatir kesehatan Vira akan terganggu karena kelelahan dan tertekan mengikuti prosedur yang sedikit berbelit."Tidak apa, Mas." Vira tersenyum meyakinkan Hendra. Tangannya mengeratkan gandengan tangan Hendra.Mereka langsung mengambil tempat yang sudah diatur sedemikian rupa di depan awak media begitu memasuki ruangan. Hendra mengangguk mempersilakan Pak Risky saat pihak kepolisian memberikan waktu bicara."Selamat siang teman-teman media, di sini saya selaku kuasa hukum dari Pak Hendra dan Ibu Savira akan mewakili beliau berdua untuk berbicara." Ruangan itu mendadak ramai oleh bunyi alat tulis, alat rekam, dan kilatan blitz kamera."Seperti yang kita ketahui, belakangan ini ramai berita yang menyebutkan Ibu Sav
"Matikan televisinya, Prim!"Pak Prima bergegas mematikan televisi."Arlin." Papa Surya berdiri dan mendekati anaknya yang masih terlihat sangat terkejut. Andai tidak menggunakan make up, pasti wajah itu sudah pucat pasi.Dering ponsel membuat Arlin hampir berteriak. Papa Surya mengerutkan kening melihat sikap Arlin yang sepertinya sangat berlebihan.Wanita itu mengambil ponselnya dengan enggan. Sesaat kemudian dia meletakkan kembali alat komunikasi itu dan menutup mulutnya."Tidak! Tidak!" Arlin menggeleng sambil mengacak rambut. Keringat dingin memenuhi kening wanita itu.Papa Surya langsung mengambil ponsel anaknya untuk melihat siapa yang menelepon. Apa hal yang membuat Arlin begitu ketakutan?"Pak Winarya?" Papa Surya mengerutkan kening. Dia sedikit asing dengan nama itu."Siapa ini, Lin?" Papa Surya duduk di depan Arlin. Dia menyerahkan gelas air minum agar anaknya itu bisa lebih tenang.Arlin mengambil gelas dan meneguknya pelan. Dingin air dan aroma daun mint dari minumannya m
"Pak Winarya?""Panggil om saja." Pak Winarya menahan gerakan Arlin yang seperti akan berdiri. Dia langsung duduk dengan senyuman tetap menghiasi wajah."Sudah lama? Maaf terlambat, tadi ada masalah dengan kunci kamar hotel tempat saya menginap."Arlin mengangguk sambil tersenyum. Tertawa dalam hati, untung tadi dia tidak sempat memaki lelaki ini karena terlambat."Saya mengenalmu dari foto-foto instagram yang biasa di posting Hendra."Arlin tertawa kecil. Mereka dulu memang cukup sering memamerkan kebersamaan di media sosial."Dari kabar burung yang beredar, dua tahun ini kau menghabiskan waktu di sini untuk menyembuhkan sakit hati. Begitu?"Arlin tertawa renyah mendengar pertanyaan Pak Winarya."Burung apa, Om? Burung Pipit? Burung Merpati?" Pak Winarya ikut tertawa mendengar tanggapan Arlin."Aku punya penawaran menarik, Lin. Tidak usah malu mengakui kalau kondisi keuangan perusahaan kalian memburuk beberapa tahun belakangan ini." Pak Winarya menyesap cappuccino hangat pesanannya
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.
“Aamiin.” awak media serentak mengaminkan, membuat Vira tertawa renyah.“Silang pendapat antara saya dan suami hari ini bukan masalah besar. Akhir-akhir ini kami memang kurang intens berkomunikasi karena saya sibuk mengurus acara empat bulanan dan Mas Hendra sibuk dengan pekerjaannya. Sudah ya.” Vira melambaikan tangan sambil tersenyum dan melenggang masuk ke gedung.Hendra mencegat Vira begitu istrinya itu lewat di depannya. Dia menarik tangan Vira pelan dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan kosong.“Apa yang kau lakukan di sini, Vir?” Hendra menatap Vira tajam.“Maksud, Mas?” Vira mundur selangkah, membuat jarak diantara mereka tidak terlalu dekat.“Sudah kukatakan jangan ikut campur masalah keluargaku!” Hendra mengepalkan tangan.“Fokus saja pada kehamilanmu dan kesehatan Ayah Aksa. Ini bukan ranahmu. Biar kuselesaikan dengan caraku. Mengerti?!”“Ikut campur bagaimana?” Vira menatap Hendra tenang. Sementara Hendra menatapnya dengan garang.“Kenapa kau membuat pernyataa
“Ibu Savira, kenapa anda datang terpisah dengan Pak Hendra? Kenapa kalian datang padahal sebelumnya tidak? Apakah ada hal penting terkait agenda sidang hari ini.”Vira hanya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari wartawan. Dia terus berjalan lurus tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan mereka.“Tadi Pak Hendra mengatakan kalian akan menempuh jalur kekeluargaan karena mempertimbangkan posisi Arlin sebagai pimpinan perusahaan sehingga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana tanggapan anda?” Vira menghentikan langkah dan menoleh pada salah satu wartawan yang tadi bertanya. Dia mengerutkan kening mendengar pernyataan itu.“Bagaimana?” Vira balik bertanya.“Apakah anda akhirnya memutuskan hadir karena tidak mau suami anda kembali intens berhubungan dengan Bu Arlin yang dulu merupakan pacarnya?”Vira tersenyum mendengar pertanyaan kedua ini. Dia mengaitkan kacamata hitam di kerah baju bagian dadanya sebelum menjawab.“Jalur kekeluargaan? Jujur, kalau saya pribadi belum ada renc
"Bagaimana agenda sidang hari ini, Pak Hendra? Apakah ada hal yang mendesak sehingga anda hadir? Beberapa sidang sebelumnya hanya kuasa hukum yang mewakili." Awak media langsung mengerumuni Hendra begitu lelaki itu keluar dari mobil.Hendra mengulas senyum pada wartawan yang mengikuti langkahnya. Kasus ini memang menarik perhatian publik karena dari awal Arlin sudah melempar bola kepada media. Seiring berjalannya persidangan, banyak fakta-fakta tersembunyi yang ikut mencuat, termasuk hubungan Arlin dan Hendra di masa lalu.Hal itu menarik perhatian masyarakat, karena terkuak hubungan Arlin dan Hendra bukan hanya sekedar rekan bisnis. Namun, lebih dari itu, mereka sempat berpacaran lama bahkan hampir bertunangan. Cinta mereka harus kandas karena Hendra dijodohkan dengan Vira.Romansa cinta mereka bertiga bahkan mengalahkan fokus pada kasus yang sedang berjalan. Animo masyarakat lebih tertarik untuk mengulik kisah asmara ketiganya.“Anda datang sendiri tanpa didampingi Ibu Savira? Apak