"Aku tahu kau tidak mungkin bekerjasama dengan Arlin, Vir."Vira tersenyum lega. Begitu pun dengan Hendra, bayangan Vira akan marah dan membencinya ternyata tidak terjadi. Semua bisa baik-baik saja jika mereka saling berkomunikasi."Kau tidak marah karena masalah ini, Vir? Nama usahamu jadi tercoreng." Hendra menarik napas pelan."Tidak sama sekali. Kekhawatiran terbesarku adalah takut jika mas berpikiran aku terlibat. Tetapi, ternyata mas tahu aku tidak mungkin melakukannya." Vira tertawa."Kamu memang sering bertindak di luar akal sehatku, Mas.""Maksudmu?" Hendra bertanya dengan alis bertaut.Vira terkekeh mengingat kejadian beberapa hari lalu di rumah sakit saat mereka baru mengetahui dirinya hamil.“Keluarga Ibu Savira.”“Ya, Dok!” Hendra dan Mama Lily menjawab berbarengan sambil menghampiri dokter. Vira dapat mendengar langkah kaki mereka dari dalam.“Bagaimana istri saya, Dok?” Itu suara hendra, suaminya.“Selamat!"“Eh?” Nada heran dan bingung terdengar jelas dari suara Hendra
"Keputusan sidangnya besok, kan?" Papa Surya menoleh pada Arlin yang sedang sibuk mengerjakan entah apalah di mejanya.Lelaki itu meletakkan surat kabar yang dari tadi dia baca. Dia sangat puas melihat berita utama hari itu."Akankah kebenaran menang? Atau berpihak pada benda bernama uang?" Papa Surya membaca judul berita utama yang ditulis dengan huruf besar-besar itu. Dia tertawa kencang sambil menepuk koran di atas meja. "Kau memang putriku, Arlin. Kecerdasanmu tidak diragukan lagi." Papa Surya tersenyum lebar."Saat putusan sidang dibacakan besok, pasti media negeri ini akan heboh karena hakim memenangkan pihak yang dianggap telah berbuat curang." Papa Surya kembali terkekeh."Sebenarnya kita tidak diuntungkan sama sekali dengan semua keributan ini. Toh, pada akhirnya juga perusahaan Pak Hendra tidak terbukti bersalah kalau diselidiki, kan?" Pak Prima, orang kepercayaan Papa Surya dan Alrin bersuara."Kau benar. Namun, kepercayaan investor sudah terlanjur menurun. Apalagi jika me
"Kamu tidak apa-apa, Yang?" Hendra menggandeng tangan Vira. Sedikit khawatir melihat istrinya yang tampak pucat."Tidak apa-apa. Hanya mual dan sedikit pusing.""Tunggu di sini saja ya? Biar aku dan Pak Risky yang menyelesaikannya?" Inilah yang Hendra takutkan selama ini. Dia khawatir kesehatan Vira akan terganggu karena kelelahan dan tertekan mengikuti prosedur yang sedikit berbelit."Tidak apa, Mas." Vira tersenyum meyakinkan Hendra. Tangannya mengeratkan gandengan tangan Hendra.Mereka langsung mengambil tempat yang sudah diatur sedemikian rupa di depan awak media begitu memasuki ruangan. Hendra mengangguk mempersilakan Pak Risky saat pihak kepolisian memberikan waktu bicara."Selamat siang teman-teman media, di sini saya selaku kuasa hukum dari Pak Hendra dan Ibu Savira akan mewakili beliau berdua untuk berbicara." Ruangan itu mendadak ramai oleh bunyi alat tulis, alat rekam, dan kilatan blitz kamera."Seperti yang kita ketahui, belakangan ini ramai berita yang menyebutkan Ibu Sav
"Matikan televisinya, Prim!"Pak Prima bergegas mematikan televisi."Arlin." Papa Surya berdiri dan mendekati anaknya yang masih terlihat sangat terkejut. Andai tidak menggunakan make up, pasti wajah itu sudah pucat pasi.Dering ponsel membuat Arlin hampir berteriak. Papa Surya mengerutkan kening melihat sikap Arlin yang sepertinya sangat berlebihan.Wanita itu mengambil ponselnya dengan enggan. Sesaat kemudian dia meletakkan kembali alat komunikasi itu dan menutup mulutnya."Tidak! Tidak!" Arlin menggeleng sambil mengacak rambut. Keringat dingin memenuhi kening wanita itu.Papa Surya langsung mengambil ponsel anaknya untuk melihat siapa yang menelepon. Apa hal yang membuat Arlin begitu ketakutan?"Pak Winarya?" Papa Surya mengerutkan kening. Dia sedikit asing dengan nama itu."Siapa ini, Lin?" Papa Surya duduk di depan Arlin. Dia menyerahkan gelas air minum agar anaknya itu bisa lebih tenang.Arlin mengambil gelas dan meneguknya pelan. Dingin air dan aroma daun mint dari minumannya m
"Pak Winarya?""Panggil om saja." Pak Winarya menahan gerakan Arlin yang seperti akan berdiri. Dia langsung duduk dengan senyuman tetap menghiasi wajah."Sudah lama? Maaf terlambat, tadi ada masalah dengan kunci kamar hotel tempat saya menginap."Arlin mengangguk sambil tersenyum. Tertawa dalam hati, untung tadi dia tidak sempat memaki lelaki ini karena terlambat."Saya mengenalmu dari foto-foto instagram yang biasa di posting Hendra."Arlin tertawa kecil. Mereka dulu memang cukup sering memamerkan kebersamaan di media sosial."Dari kabar burung yang beredar, dua tahun ini kau menghabiskan waktu di sini untuk menyembuhkan sakit hati. Begitu?"Arlin tertawa renyah mendengar pertanyaan Pak Winarya."Burung apa, Om? Burung Pipit? Burung Merpati?" Pak Winarya ikut tertawa mendengar tanggapan Arlin."Aku punya penawaran menarik, Lin. Tidak usah malu mengakui kalau kondisi keuangan perusahaan kalian memburuk beberapa tahun belakangan ini." Pak Winarya menyesap cappuccino hangat pesanannya
“Kakakku yang kehilangan semua, keluarga, harta, relasi bisnis, teman menjadi sedikit terganggu mentalnya. Sementara dilain tempat, perusahaan yang dulu dibangun kakakku dengan susah payah semakin besar dalam pimpinan Lily.”Arlin mengangguk, ternyata Mama Lily pernah sehebat itu di masa mudanya.“Kami sudah mencoba berkomunikasi dengan Lily agar mau menemui kakakku. namun , wanita itu keras kepala, hatinya membatu. Dia beralasan sudah terlalu sakit hati dengan sikap mantan suaminya. Omong kosong!” Pak Surya mengepalkan tangan.“Kuat dugaan kami, semua ini direncanakan oleh Lily. Wanita itu sengaja menjebak kakakku dengan mengirimkan perempuan untuk menjebaknya. Tujuannya jelas, agar dia bisa menguasai semua harta. Dia selalu tidak suka setiap kali kakakku membantu keluarga kami yang kesusahan.”“Langsung saja, Om. Sebenarnya apa penawaran yang om ingin sampaikan.” Arlin memotong cerita Pak Winarya. Semakin lama lelaki itu bercerita, semakin dia merasa yang bermasalah sebenarnya meman
“Selamat ya, Kak Lily. Semoga cucu pertamanya lahir dengan keadaan sehat sempurna baik akal maupun fisiknya.”Mama Lily mengerutkan kening, berusaha menggali ingatan tentang siapa lelaki yang menggunakan koko dan celana jeans dihadapannya ini. Sejenak kemudian, wanita itu menarik napas panjang. Tidak butuh lebih dari sedetik baginya untuk mengembalikan semua kenangan tentang lelaki yang hadir tanpa diundang itu.“Siapa, Ma?” Vira mengelus pundak mertuanya saat dilihatnya Mama Lily terdiam, tidak merespon sedikitpun ucapan selamat dari tamu yang tidak Vira kenal itu.Acara pengajian dan doa bersama empat bulanan kehamilan Vira baru saja selesai. Tamu undangan yang merupakan kerabat, teman dekat Mama Lily serta karyawan perusahaan Hendra sedang menikmati hidangan yang telah disediakan sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.Acara empat bulanan Vira bernuansa putih-putih. Undangan yang disebar sengaja meminta para tamu yang hadir menggunakan kostum bernuansa putih. Mama Lily bahka
“Vir.” Mama Lily menyapa Vira yang sedang duduk setelah selesai memindahkan lauk.“Iya, Ma?” Vira tersenyum. Dia menggeser posisinya agar Mama Lily bisa duduk di sebelahnya.“Bagaimana Arlin? Maaf mama tidak terlalu mengikuti perkembangan kasusnya, mama terlalu excited mempersiapkan acara empat bulanan ini.” Mama Lily tersenyum mengelus perut Vira yang masih terlihat rata.“Eksekusi aset untuk kasus perdata sudah selesai minggu lalu, Ma. Dananya juga sudah kembali kata Mas Hendra. Mereka tidak bisa melakukan perlawanan apapun, mata publik sedang mengarah ke mereka saat ini. Kalau berani bertingkah, nama perusahaan mereka akan semakin hancur.”Mama Lily Mengangguk, ada kelegaan yang dia rasakan. Bukan karena dana perusahaan kembali, tetapi karena akhirnya Hendra menyadari kebusukan keluarga Arlin. Akhirnya, anak laki-lakinya itu benar-benar lepas dari pesona Arlin.Dia sebenarnya mengakui Arlin memang cantik dan pintar. Selain itu, dia pun pandai menempatkan diri. Andai tidak disusup
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.
“Aamiin.” awak media serentak mengaminkan, membuat Vira tertawa renyah.“Silang pendapat antara saya dan suami hari ini bukan masalah besar. Akhir-akhir ini kami memang kurang intens berkomunikasi karena saya sibuk mengurus acara empat bulanan dan Mas Hendra sibuk dengan pekerjaannya. Sudah ya.” Vira melambaikan tangan sambil tersenyum dan melenggang masuk ke gedung.Hendra mencegat Vira begitu istrinya itu lewat di depannya. Dia menarik tangan Vira pelan dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan kosong.“Apa yang kau lakukan di sini, Vir?” Hendra menatap Vira tajam.“Maksud, Mas?” Vira mundur selangkah, membuat jarak diantara mereka tidak terlalu dekat.“Sudah kukatakan jangan ikut campur masalah keluargaku!” Hendra mengepalkan tangan.“Fokus saja pada kehamilanmu dan kesehatan Ayah Aksa. Ini bukan ranahmu. Biar kuselesaikan dengan caraku. Mengerti?!”“Ikut campur bagaimana?” Vira menatap Hendra tenang. Sementara Hendra menatapnya dengan garang.“Kenapa kau membuat pernyataa
“Ibu Savira, kenapa anda datang terpisah dengan Pak Hendra? Kenapa kalian datang padahal sebelumnya tidak? Apakah ada hal penting terkait agenda sidang hari ini.”Vira hanya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari wartawan. Dia terus berjalan lurus tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan mereka.“Tadi Pak Hendra mengatakan kalian akan menempuh jalur kekeluargaan karena mempertimbangkan posisi Arlin sebagai pimpinan perusahaan sehingga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana tanggapan anda?” Vira menghentikan langkah dan menoleh pada salah satu wartawan yang tadi bertanya. Dia mengerutkan kening mendengar pernyataan itu.“Bagaimana?” Vira balik bertanya.“Apakah anda akhirnya memutuskan hadir karena tidak mau suami anda kembali intens berhubungan dengan Bu Arlin yang dulu merupakan pacarnya?”Vira tersenyum mendengar pertanyaan kedua ini. Dia mengaitkan kacamata hitam di kerah baju bagian dadanya sebelum menjawab.“Jalur kekeluargaan? Jujur, kalau saya pribadi belum ada renc
"Bagaimana agenda sidang hari ini, Pak Hendra? Apakah ada hal yang mendesak sehingga anda hadir? Beberapa sidang sebelumnya hanya kuasa hukum yang mewakili." Awak media langsung mengerumuni Hendra begitu lelaki itu keluar dari mobil.Hendra mengulas senyum pada wartawan yang mengikuti langkahnya. Kasus ini memang menarik perhatian publik karena dari awal Arlin sudah melempar bola kepada media. Seiring berjalannya persidangan, banyak fakta-fakta tersembunyi yang ikut mencuat, termasuk hubungan Arlin dan Hendra di masa lalu.Hal itu menarik perhatian masyarakat, karena terkuak hubungan Arlin dan Hendra bukan hanya sekedar rekan bisnis. Namun, lebih dari itu, mereka sempat berpacaran lama bahkan hampir bertunangan. Cinta mereka harus kandas karena Hendra dijodohkan dengan Vira.Romansa cinta mereka bertiga bahkan mengalahkan fokus pada kasus yang sedang berjalan. Animo masyarakat lebih tertarik untuk mengulik kisah asmara ketiganya.“Anda datang sendiri tanpa didampingi Ibu Savira? Apak