Vira berdiri sambil bersandar pada dinding. Hatinya sedang menimbang, masuk sekarang dan mengetahui kebenaran yang mereka bicarakan atau nanti setelah lebih banyak mengetahui dari percakapan yang mereka lakukan?
Rahasia apa? Jadi, sebenarnya Ayah Aksa bukan menumbalkannya. Tetapi, menikahkan dengan Hendra justru menjadi penolong bagi hidupnya. Atau bagaimana?Vira sedikit tersentak karena getar ponsel di tasnya. Wanita itu sedikit menjauh dari kamar dan mulai mengeluarkan alat komunikasinya.Dia mengerutkan kening membaca nama yang tertera. Ada apa? Bukankah kontrak kerjasama mereka sudah berakhir beberapa bulan lalu?"Ya?" Sedikit ragu Vira menjawab panggilan telepon."Masih ingat saya, Bu Vira?" Suara di seberang sana terdengar ceria."Tentu." Vira sedikit tersenyum. Lelaki yang menghubunginya ini memang memiliki aura yang sangat positif."Ada kabar yang kurang mengenakkan, Bu Vira.""Kabar apa?" Vira mengeAngin malam berhembus pelan, menggoyangkan rambut hitam Arlin yang tergerai. Mata yang menggunakan lensa kontak warna biru itu menatap kerlap kerlip cahaya lampu di bawah sana.Restoran di atas atap gedung berlantai tiga puluh delapan itu menjadi tempat yang sempurna untuk menikmati keindahan malam. Di bawah sana, kerlap kerlip lampu dari gedung-gedung dan kendaraan bermotor terlihat indah.Arlin menggunakan dress casual berwarna merah darah. Warna yang sangat kontras dengan kulit putihnya. Perona bibir warna senada dan riasan wajah yang memperlihatkan kesan segar, membuatnya terlihat sangat sedap dipandang mata. Arlin memang datang dengan penampilan terbaiknya."Bee." Arlin berbisik lirih. Senyum tidak pernah hilang dari wajah yang sekilas mirip dengan salah satu artis peran tanah air, Asmirandah. Untuk kedua kalinya dia melirik jam pada ponsel yang terletak di sampingnya. Sepuluh menit lagi dari waktu yang dijanjikan. Dia memang sengaja datang lebih dulu
Setelah sepakat dengan kerjasama mereka tadi pagi. Seharian Hendra sibuk. Dia memang selalu turun langsung ke lapangan memastikan semua baik-baik saja. Lelaki itu tidak percaya begitu saja dengan laporan di atas kertas, walaupun itu dari orang kepercayaannya.Begitu jam pulang kerja, dia melihat ada belasan panggilan tidak terjawab dari Vira. Hendra memang memiliki dua ponsel. Satu untuk urusan kantor dan satu untuk urusan pribadi. Karena seharian sibuk, dia tidak mengecek ponsel urusan pribadinya. Setelah menghubungi balik istrinya, Hendra bergegas berangkat. Dia bahkan belum berganti pakaian. Entah kenapa, satu sisi di sudut hatinya sangat takut Vira akan diperlakukan tidak baik di rumah itu. Dia sangat paham bagaimana Vira diperlukan, sampai-sampai wanita berlesung pipi itu dijadikan tumbal untuk membayar hutang!"Bee? Masih di sana?" Arlin mengerutkan kening saat suara Hendra di seberang sana hening."Oh? Eh. Lin." Hendra sedikit tergagap. Ba
Di bagian bumi yang lain, Vira sedang termenung di samping tempat tidur Ayah Aksa. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya tadi siang dia memutuskan tetap tinggal karena keadaan Ayah Aksa yang semakin memburuk. Ayahnya mendadak tidak sadarkan diri. Keadaannya sangat lemah, bahkan sampai saat ini Ayah Aksa masih tertidur setelah tadi sore sempat bangun sebentar.Vira pasrah. Biarlah takdir mengikuti jalannya."Vir."Vira tersentak. Mendadak dia ingin tertawa. Karena terus memikirkan Hendra dan Arlin yang saat ini sedang makan malam romantis, dia mendadak berhalusinasi seperti mendengar suara Hendra sedang memanggil namanya."Vir."Vira menggeleng. Bahkan kali ini, dia merasa seakan Hendra sedang memegang pundaknya. Pikirannya benar-benar sedang kacau."Vira."Vira menoleh cepat saat merasakan pegangan di bahunya semakin keras."Mas." Mata Vira mendadak terasa panas."Maaf. Aku datang terlambat. Jalanan men
"Jangan menatapku seperti itu, Vir. Mentang-mentang sekarang sudah hidup enak kamu." Silmi memang tidak pernah memanggil Vira dengan sebutan kakak walau usianya tiga tahun di bawah Vira."Bukankah kau berhutang budi padaku? Kalau bukan karena aku, pasti saat ini kau masih menjadi penjaga toko baju." Silmi tertawa kecil. Dia berinisiatif menuangkan minuman ke dalam gelas Hendra saat dilihatnya minuman kakak iparnya tinggal sedikit.Hendra melirik Vira. Istrinya itu tengah memandang Silmi dengan wajah datarnya."Sayang, aku minta air hangat boleh, sepertinya malam-malam begini enak menghangatkan perut." Hendra tersenyum memandang Vira. Sengaja menampakkan kemesraan di depan Silmi."For sure." Vira tersenyum manis.Wanita itu segera mengambil gelas Hendra yang tadi diisi Silmi. Dengan entengnya dia menumpahkan isinya ke wastafel, kemudian mengisi gelas dengan air hangat dari dispenser.Silmi mengatupkan mulutnya rapat-rapat melihat
Vira mengangguk. Sekilas dia bisa mengingat wajah Ayah Aksa yang waktu itu sering terlihat pucat."Kami bertemu. Mama Rahma hanya memberikan dua syarat. Ayah harus menganggap Silmi seperti anak kandung ayah sendiri. Kedua, Ayah harus selalu mengutamakan Silmi karena anak itu tidak suka perhatian yang terbagi."Vira menghapus air mata. Rupanya itu alasan Ayah Aksa berubah."Tidak pikir panjang ayah iyakan. Dulu di pikiran ayah cuma satu. Ayah takut jika ayah menyusul ibumu, kau akan sendirian di dunia ini, Vir. Jadi, walaupun harus selalu membuatmu merasa tersisih, setidaknya ayah tetap bisa menjagamu." Suara Ayah Aksa tercekat. "Ayah tahu kau sering menatap iri pada Silmi. Puncaknya saat kau gagal masuk kuliah. Mama Rahma minta ayah mengatakan uang tabungan untuk kuliahmu dipakai Silmi untuk biaya masuk SMA Favorite. Padahal sebenarnya tidak begitu. Kondisi keuangan memang sedak buruk, dan tidak ada itu tabungan. Semua tabungan terpakai untuk tam
Hendra menggenggam tangan Vira erat. Seolah memberikan kekuatan pada istrinya. Pelan mereka melangkah ke kamar, sesekali Hendra menggoyangkan gandengan tangan mereka. Membuat senyum Vira sedikit mengembang. Wanita itu benar-benar merasakan kehadiran Hendra di sisinya. Kehangatan sikap lelaki itu, membuat bayangan cerita kelam masa lalu dari Ayah Aksa tadi sedikit terlupakan. Di sini. Terpisah jarak tiga ratus lima belas kilometer dari tempat Hendra dan Vira menghabiskan malam dengan bercengkrama, Arlin menatap ponselnya dengan perasaan resah.Mungkinkah Hendra benar-benar sudah jatuh cinta dengan Vira?Arlin berguling ke kanan. Entah sudah berapa kali dia berganti posisi di tempat tidurnya yang berukuran king size. Kakinya diletakkan pada bantal, sementara dia sendiri menggunakan guling untuk mengganjal kepalanya.Arlin memejamkan mata.Bukankah informasi dari orang bayarannya sangat jelas? Tepat di hari kepulangannya ke Indonesia, Vira
Sengaja dia menjanjikan bayaran yang cukup besar pada Nichi walau tugasnya sangat mudah. Lelaki berwajah dingin itu awalnya menolak, namun dia menawarkan upah lima kali lipat dari yang biasa Vira berikan. Toh, tugasnya sangat mudah. Nichi hanya perlu memberikan informasi pada Vira tentang janji makan malamnya dengan Hendra hari ini. Arlin berharap wanita itu akan datang menemuinya seperti yang biasa dilakukannya selama ini. Dengan sedikit rencana kecil yang telah disiapkannya, dia yakin bisa membuat wanita itu jatuh dalam pandangan Hendra.Namun, sialnya, tidak ada satupun rencananya yang berhasil. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Rencana menjatuhkan Vira di mata Hendra gagal, makan malam romantis tidak jadi, ditambah pula dia harus kehilangan uang puluhan juta dengan sia-sia."Aaaarrgghhh!" Arlin memukul bantal di hadapannya. Wanita itu mengacak-acak rambutnya untuk mengungkapkan kekesalan.Lama dia termenung memikirkan dan merencana
"Silmi, ya?" Arlin tersenyum menyapa Silmi. Jelas sekali gadis itu sedang menunggu kedatangannya. "Kak Arlin?" Silmi tersenyum lebar sambil berdiri dari duduknya. Arlin tertawa kecil. Dia mengabaikan tangan Silmi yang terjulur mengajak bersalaman. Alih-alih menjabat tangan silmi, wanita yang menggunakan topi lebar itu malah memeluknya erat seperti seorang sahabat yang lama tidak berjumpa.Silmi terkejut sekaligus senang dengan perlakuan Arlin. Jujur saja, sejak telepon tadi malam, dia menaruh harapan yang sangat besar pada wanita yang kini sedang memeluknya."Sudah lama, Sil?" Arlin bertanya ramah sambil melepaskan pelukan mereka. Dia memilih duduk di kursi yang berhadapan dengan Silmi agar lebih mudah melihat raut wajah lawan bicaranya. Segera setelah duduk, wanita itu memesan menu yang sama dengan makanan Silmi."Belum terlalu, kelasnya baru saja selesai, Kak." Silmi menjawab sambil memperhatikan penampilan Arlin.Wanita
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.
“Aamiin.” awak media serentak mengaminkan, membuat Vira tertawa renyah.“Silang pendapat antara saya dan suami hari ini bukan masalah besar. Akhir-akhir ini kami memang kurang intens berkomunikasi karena saya sibuk mengurus acara empat bulanan dan Mas Hendra sibuk dengan pekerjaannya. Sudah ya.” Vira melambaikan tangan sambil tersenyum dan melenggang masuk ke gedung.Hendra mencegat Vira begitu istrinya itu lewat di depannya. Dia menarik tangan Vira pelan dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan kosong.“Apa yang kau lakukan di sini, Vir?” Hendra menatap Vira tajam.“Maksud, Mas?” Vira mundur selangkah, membuat jarak diantara mereka tidak terlalu dekat.“Sudah kukatakan jangan ikut campur masalah keluargaku!” Hendra mengepalkan tangan.“Fokus saja pada kehamilanmu dan kesehatan Ayah Aksa. Ini bukan ranahmu. Biar kuselesaikan dengan caraku. Mengerti?!”“Ikut campur bagaimana?” Vira menatap Hendra tenang. Sementara Hendra menatapnya dengan garang.“Kenapa kau membuat pernyataa
“Ibu Savira, kenapa anda datang terpisah dengan Pak Hendra? Kenapa kalian datang padahal sebelumnya tidak? Apakah ada hal penting terkait agenda sidang hari ini.”Vira hanya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari wartawan. Dia terus berjalan lurus tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan mereka.“Tadi Pak Hendra mengatakan kalian akan menempuh jalur kekeluargaan karena mempertimbangkan posisi Arlin sebagai pimpinan perusahaan sehingga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana tanggapan anda?” Vira menghentikan langkah dan menoleh pada salah satu wartawan yang tadi bertanya. Dia mengerutkan kening mendengar pernyataan itu.“Bagaimana?” Vira balik bertanya.“Apakah anda akhirnya memutuskan hadir karena tidak mau suami anda kembali intens berhubungan dengan Bu Arlin yang dulu merupakan pacarnya?”Vira tersenyum mendengar pertanyaan kedua ini. Dia mengaitkan kacamata hitam di kerah baju bagian dadanya sebelum menjawab.“Jalur kekeluargaan? Jujur, kalau saya pribadi belum ada renc
"Bagaimana agenda sidang hari ini, Pak Hendra? Apakah ada hal yang mendesak sehingga anda hadir? Beberapa sidang sebelumnya hanya kuasa hukum yang mewakili." Awak media langsung mengerumuni Hendra begitu lelaki itu keluar dari mobil.Hendra mengulas senyum pada wartawan yang mengikuti langkahnya. Kasus ini memang menarik perhatian publik karena dari awal Arlin sudah melempar bola kepada media. Seiring berjalannya persidangan, banyak fakta-fakta tersembunyi yang ikut mencuat, termasuk hubungan Arlin dan Hendra di masa lalu.Hal itu menarik perhatian masyarakat, karena terkuak hubungan Arlin dan Hendra bukan hanya sekedar rekan bisnis. Namun, lebih dari itu, mereka sempat berpacaran lama bahkan hampir bertunangan. Cinta mereka harus kandas karena Hendra dijodohkan dengan Vira.Romansa cinta mereka bertiga bahkan mengalahkan fokus pada kasus yang sedang berjalan. Animo masyarakat lebih tertarik untuk mengulik kisah asmara ketiganya.“Anda datang sendiri tanpa didampingi Ibu Savira? Apak