"Bukankah sudah sangat jelas, Bu Lily yang sengaja menjodohkan Hendra? Wanita tua itu tidak berperasaan! Padahal dia tahu kalian sudah akan sampai pada tahap lamaran. Lalu kenapa menyalahkan papa, Nak?" Papa Surya mengelus pundak Arlin lembut.
Arlin tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Papa surya. Wanita itu bahkan mengelap ujung matanya yang berair karena tertawa."Aduh, Papa! Jangan berpura-pura lah." Arlin masih sesekali tertawa, membuat Papa Surya menatapnya kebingungan."Sekian lama aku mencoba membohongi nuraniku agar tidak membenci papa. Malam ini aku semakin yakin. Papa sebenarnya juga menyadari, alasan Tante Lily menunda-nunda lamaran dan akhirnya menjodohkan Hendra, karena dia tahu anaknya dimanfaatkan oleh calon besan!" Arlin terengah menahan amarah. Biarlah. Biarlah malam ini dia menumpahkan semua kesal pada lelaki yang selalu menuntut keuntungan dirinya.Papa Surya menarik napas panjang. Matanya menatap gadis kecil yang selalu menVira tersentak di seberang sana. Jarinya urung memencet tombol akhiri panggilan. Selama ini memang begitu, Hendra jarang memutus panggilan, selalu dia yang mengakhiri. Pun malam ini, kebiasaan, Hendra meninggalkan ponsel di tempat tidur dalam keadaan panggilan masih tersambung."Bisa bicara sebentar?"Hendra menunjuk sofa di ujung lorong. Tempat yang memang disediakan untuk para tamu hotel.Arlin mengangguk. Wanita itu membalik badan dan berjalan duluan ke arah sofa. Sementara Hendra menyusul setelah mengambil kartu kunci kamar.Hendra menarik napas panjang melihat posisi duduk Arlin. Sejujurnya dia sedikit terganggu dengan penampilan Arlin saat menemuinya malam ini. Wanita itu datang dengan menggunakan piyama tidur berwarna nude. Bahannya yang terbuat dari kain satin menampakkan lekukan tubuh Arlin dengan jelas. Seminggu berjauhan dari Vira, membuat sesuatu dalam diri Hendra menuntut pelampiasan.Hendra menarik napas panjang. Semakin d
Dering ponsel membuat Vira terbangun. Kepalanya terasa sedikit pusing. Setelah melakukan kewajibannya sebagai istri tadi malam, dia susah sekali tidur. Melihat wajah Hendra yang terlelap pulas di sampingnya, membuat hatinya semakin tidak karuan.Vira sibuk memikirkan banyak hal, menduga setiap kemungkinan, membayangkan sesuatu yang bisa saja terjadi antara suami dan mantan terindahnya di seberang samudera sana.Sekuat hati dia menahan diri agar tidak segera membahas apa yang terjadi malam kemarin antara Hendra dan Arlin. Biarlah Hendra istirahat dulu pikirnya. Nanti-nanti saat mereka sedang santai, akan lebih enak membicarakan banyak hal dengan hati tenang. Namun, hal itu justru membuatnya semakin tersiksa.Lelah karena pikiran dan tangisan, akhirnya Vira jatuh tertidur sekitar jam tiga. Baru juga tertidur dua jam, dering ponsel sudah membangunkannya.Vira sedikit menggeliat. Matanya perlahan membuka, wanita itu mengerjap-ngerjapkan mata. Silau. Dia lupa mematikan lampu semalam. Hendr
“Nanti saja ya, Mas? Aku buru-buru. Takut terjadi sesuatu dengan Ayah.” Vira terus berbenah. Setelah selesai mempersiapkan pakaian, dia langsung berganti baju dan sedikit berdandan.Hendra menarik napas Panjang.“Vir, sebentar saja.”“Mas! Tolong, tolong biarkan aku pergi dulu. Aku benar-benar khawatir dengan keadaan Ayah!”Hendra menatap Vira bingung. Baru kali ini istrinya itu berbicara dengan nada yang agak tinggi.“Ada apa sebenarnya? Kamu kenapa, Vir?” Hendra menggoyangkan lengan Vira.“Aku kenapa?!” Vira berbalik dan menatap Hendra.“Harusnya aku yang bertanya kamu kenapa!” suara Vira melengking memenuhi seisi kamar. Kenapa? Kenapa kau tega mendua padahal kau yang memintaku untuk mempertahankan pernikahan kita? Vira menggigit bibir. Pertanyaan itu hanya menggumpal di dadanya. Entah kenapa, tidak bisa dia keluarkan.Hendra terdiam melihat Vira menghapus air matanya. Dia sungguh bingung sebenarnya apa yang terjadi? Harapannya pulang bisa menghibur pikirannya yang sedang kusut tern
"Maaf, Bu Arlin. Saya tidak bisa membantu."Arlin mengerutkan kening mendengar jawaban di seberang sana. Wanita berbaju formal khas pakaian kantor warna merah maroon itu membasahi bibirnya dengan lidah. Aneh, pikirnya. Kenapa Nichi mendadak berubah? Apanya yang tidak bisa membantu? Bukankah selama ini kerjasama mereka lancar-lancar saja?Selama ini Nichi memang selalu bersikap dingin padanya. Namun, lelaki itu selalu melakukan pekerjaan dengan baik. Apakah ini triknya agar bayaran di naikkan?"Sebut saja angkanya." Arlin tersenyum tipis saat mengucapkan kalimat itu.Dia sedang berdiri di salah satu sudut ruang kantornya. Dari sini, dia bisa melihat kendaraan bermotor lalu lalang di bawah sana. Ramai. Sebentar lagi jam istirahat makan siang akan selesai, sepertinya banyak yang terburu-buru kembali ke tempat kerja masing-masing."Anda tidak dengar? Saya tidak bisa membantu!" Suara di seberang sana terdengar sedikit kesal.Arlin mengetuk-ngetuk dinding kaca di hadapannya dengan telunjuk
"Apa lagi, Lin?" Hendra menatapnya dengan tatapan lelah."Aku bersedia menjadi yang kedua." Hati Arlin bergetar saat mengatakan kalimat itu. Dia kehabisan cara. Mungkin dengan cara ini, dia bisa meluluhkan hati Hendra. Semoga lelaki itu bisa melihat cintanya masih sangat besar.Hendra terpana. Sedetik pandangan mereka bertemu, ada kebingungan sekaligus keterkejutan dalam binar mata Hendra. "AKU BERSEDIA MENJADI YANG KEDUA!" Arlin berteriak kencang. Berusaha menggetarkan jiwa Hendra. Memanggil kembali rasa cinta di relung terdalam perasaan lelaki itu, yang sangat diyakini pasti masih ada.Hening. Lima detik berlalu dalam diam.“Lin.” Hendra menarik napas kencang. “Kau sangat tahu bagaimana aku. Kau benar, rasaku padamu masih utuh seperti dulu." Mata Hendra berkaca.Arlin menahan napas. Dadanya semakin berdebar kencang. Diremasnya ujung piyama yang dia kenakan untuk mereda kegugupan."Tetapi semua sudah berlalu, Lin. Aku lelaki yang sudah beristri." Suara Hendra serak."Vira wanita b
"Ah! Apa pula yang mama takutkan? Malah bagus kalau lelaki tua itu meninggal!""Bukan begitu maksud mama ….""Aku malah berharap lelaki tua itu cepat mati, Ma. Sejak tahu bahwa kasih sayangnya palsu, bagiku dia adalah orang lain." Wajah Silmi membatu.Rahma kehabisan kata. Semua ini salahnya, sehingga kini pun dia tidak berdaya untuk menghentikan apa yang Silmi lakukan. Pelan Rahma memegang pundak Silmi."Mama takut kamu terseret, Sil.""Mama tenang saja. Kak Arlin sudah memberikan batasan wajar dosis obatnya, sehingga tidak akan terdeteksi. Kalaupun meninggal, tidak akan langsung, lelaki tua itu akan mengalami penderitaan dulu. Kurasa itu bayaran yang setimpal baginya karena mempermainkanku."Rahma menarik napas panjang. Sudah hampir dua mingguan ini Silmi selalu mencampurkan entah obat apa pada minuman Ayah Aksa. Katanya itu obat dari Arlin. Efeknya ya ini, kondisi Ayah Aksa yang tadinya sudah stabil, kini kembali turun."Kenapa harus melibatkan Ayah Aksa, Sil? Apa untungnya bagi A
Vira mengambil gelas jus melon di atas meja, pelan diarahkannya minuman itu ke mulut. Dia sedikit tersenyum saat merasakan bagaimana ujung sedotan stainless menyentuh bibir.Dingin.Jus melon mulai memenuhi mulut Vira.Manis.Seteguk cukup. Wanita itu kembali meletakkannya ke atas meja di depannya.Vira menoleh ke luar kafe. Gerimis. Dari tempatnya duduk, dia bisa dengan leluasa memandang halaman yang luas. Sebuah mobil merk Chevrolet Captiva berwarna silver metalik terlihat memasuki halaman yang sekaligus berfungsi sebagai area parkir.Seorang pria keluar dari sisi kanan, buru-buru mengembangkan payung berwarna hijau tua. Dia terlihat tergesa berjalan ke pintu kiri depan, membukakan pintu untuk teman wanitanya. Lelaki itu kemudian menggandeng pasangannya keluar. Mereka sepayung berdua menuju kafe.Vira tersenyum tipis, Apakah kafe ini sekarang sudah menjadi tempat asyik nan romantis saat gerimis seperti ini?
Arlin menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Sekuat tenaga dia memaksakan lehernya yang terasa berat untuk tegak. Setelah kegugupannya mereda, dia menatap Vira dengan senyum mengembang."Obat apa ini?" Arlin menunjuk botol obat di hadapannya dengan pandangan mata."Jangan berbelit-belit, Mbak Arlin! Silmi sudah menceritakan semua." Vira sedikit memajukan tubuh ke arah wanita yang duduk di hadapannya. "Silmi siapa? Aku tidak kenal." Arlin membuat ekspresi kebingungan. Vira tersenyum sinis. Ujung bibir sebelah kirinya terangkat. Wanita berlesung pipi itu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi kafe. Dia menggeleng-geleng sambil pandangannya tidak lepas dari Arlin. "Bagaimana kau bisa tahu itu obat?" Vira bertanya dingin. Dia tidak sedikitpun merasa perlu beramah tamah dengan seseorang yang tega membahayakan nyawa ayahnya."Maksudmu? Hei kapsul memangnya apa kalau bukan sejenis obat-obatan? Ya bisa jadi vitamin. Tetapi k
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.
“Aamiin.” awak media serentak mengaminkan, membuat Vira tertawa renyah.“Silang pendapat antara saya dan suami hari ini bukan masalah besar. Akhir-akhir ini kami memang kurang intens berkomunikasi karena saya sibuk mengurus acara empat bulanan dan Mas Hendra sibuk dengan pekerjaannya. Sudah ya.” Vira melambaikan tangan sambil tersenyum dan melenggang masuk ke gedung.Hendra mencegat Vira begitu istrinya itu lewat di depannya. Dia menarik tangan Vira pelan dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan kosong.“Apa yang kau lakukan di sini, Vir?” Hendra menatap Vira tajam.“Maksud, Mas?” Vira mundur selangkah, membuat jarak diantara mereka tidak terlalu dekat.“Sudah kukatakan jangan ikut campur masalah keluargaku!” Hendra mengepalkan tangan.“Fokus saja pada kehamilanmu dan kesehatan Ayah Aksa. Ini bukan ranahmu. Biar kuselesaikan dengan caraku. Mengerti?!”“Ikut campur bagaimana?” Vira menatap Hendra tenang. Sementara Hendra menatapnya dengan garang.“Kenapa kau membuat pernyataa
“Ibu Savira, kenapa anda datang terpisah dengan Pak Hendra? Kenapa kalian datang padahal sebelumnya tidak? Apakah ada hal penting terkait agenda sidang hari ini.”Vira hanya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari wartawan. Dia terus berjalan lurus tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan mereka.“Tadi Pak Hendra mengatakan kalian akan menempuh jalur kekeluargaan karena mempertimbangkan posisi Arlin sebagai pimpinan perusahaan sehingga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana tanggapan anda?” Vira menghentikan langkah dan menoleh pada salah satu wartawan yang tadi bertanya. Dia mengerutkan kening mendengar pernyataan itu.“Bagaimana?” Vira balik bertanya.“Apakah anda akhirnya memutuskan hadir karena tidak mau suami anda kembali intens berhubungan dengan Bu Arlin yang dulu merupakan pacarnya?”Vira tersenyum mendengar pertanyaan kedua ini. Dia mengaitkan kacamata hitam di kerah baju bagian dadanya sebelum menjawab.“Jalur kekeluargaan? Jujur, kalau saya pribadi belum ada renc
"Bagaimana agenda sidang hari ini, Pak Hendra? Apakah ada hal yang mendesak sehingga anda hadir? Beberapa sidang sebelumnya hanya kuasa hukum yang mewakili." Awak media langsung mengerumuni Hendra begitu lelaki itu keluar dari mobil.Hendra mengulas senyum pada wartawan yang mengikuti langkahnya. Kasus ini memang menarik perhatian publik karena dari awal Arlin sudah melempar bola kepada media. Seiring berjalannya persidangan, banyak fakta-fakta tersembunyi yang ikut mencuat, termasuk hubungan Arlin dan Hendra di masa lalu.Hal itu menarik perhatian masyarakat, karena terkuak hubungan Arlin dan Hendra bukan hanya sekedar rekan bisnis. Namun, lebih dari itu, mereka sempat berpacaran lama bahkan hampir bertunangan. Cinta mereka harus kandas karena Hendra dijodohkan dengan Vira.Romansa cinta mereka bertiga bahkan mengalahkan fokus pada kasus yang sedang berjalan. Animo masyarakat lebih tertarik untuk mengulik kisah asmara ketiganya.“Anda datang sendiri tanpa didampingi Ibu Savira? Apak