Mawar panik! Dia meringis ke semua pelanggan yang menatapnya kesal. Dia bergegas mendekati Ana dan mendudukkannya sebelum manajer cafe mendekat. Namun, wajahnya semakin gugup ketika ada yang datang dan mengamatinya dengan tajam. Lelaki memakai jas dengan rambut klimis dan berkaca mata.
“Pak Joko, silakan.” Mawar menjawab dengan menelan ludah. Pandangan tajam itu masih menyorot ke arahnya.
“Pagi-pagi sudah bikin ribut saja. Memalukan,” balas lelaki itu sambil membetulkan kaca matanya yang sedikit turun ke bawah. Dia adalah asisten Anggara yang selalu mengurusi semua keperluan Raden miliyuner itu.
“Pen, kamu gak marah kan? Hehe. Sebenarnya ... ini pernikahan Anggara. Aku sudah mau ngomong kemarin. Cuman ... lebih baik kamu lihat sendiri.” Mawar berbicara sangat pelan dengan perasaan cemas.
Sehari sebelumnya, Kepala Manajer menemui Mawar dan mengatakan semuanya. Awalnya Mawar sangat terkejut. Apalagi, dia tahu masa lalu Pen dengan Anggara. Tapi, dia memutuskan untuk tidak mengatakan kepada Pen. Pasti akan ada perang dunia jika Pen mengetahuinya. Namun, sekarang Mawar harus mengatakan semuanya. Dirinya sangat gugup. Dia masih meringis menatap Pen yang sebenarnya adalah Ana. Namun, Mawar sangat heran. Kenapa sang sahabat hanya diam sambil membalas tatapan Joko yang sangat tajam?
“Kok ... gak marah?” ucap Mawar pelan sembari melebarkan kedua matanya.
“Hmm, sejak kapan pelakor itu mendekati ayahku? Aku harus bersikap anggun, dan jual mahal. Tidak aku sangka, ayahku akan menikah lagi. Tidak akan aku biarkan!” batin Ana berteriak. Dia masih saja memasang wajah angker. Hingga selang beberapa menit, tawa keras keluar dari mulutnya.
“Hahaha. Sangat luar biasa. Bagaimana kalau Raden Anggara menemuiku dan memilih kue itu sendiri? Aku kan sudah lama bercerai. Dia pasti akan senang melakukannya. Lagipula, hanya sebatas pertemuan kerjaan.”
Mawar semakin terkejut mendengar perkataan itu. Biasanya, sosok Pen adalah wanita tegas dan tanpa basa-basi. Anggara adalah lelaki yang sangat dibenci Pen. Lelaki yang sudah menyakiti Pen. Lelaki yang tidak akan pernah mendapatkan maaf dari Pen. Namun, Mawar sedikit lega Pen bisa menerima pekerjaan penting ini. Mangkunegara adalah keluarga sangat berpengaruh. Jika berhasil melayani keluarga keturunan bangsawan keraton itu, akan meningkatkan penjualan toko dan itu adalah keberhasilan bagi kariernya dan Pen.
“Hmm, berpikiran jadi pelakor ya? Ti-dak ... akan bisa!” balas Joko tegas. “Bukankah dulu sudah jelas situ yang ninggalin Raden? Sampai Raden sedih, gak tidur tujuh hari tujuh malam. Aku yang ngurusi, nyuapi, sampai mataku kaya mas koki. Bulet besar. Enak saja minta ketemu.”
BRAK!
Joko menggebrak meja. Dia berdiri dan melotot tajam. Ana juga melakukan hal yang sama. Kedua mata mereka saling menusuk. Memasang genderang perang!
“Dasar kelimis tak tahu diri,” batin Ana masih saja menyorot tajam.
“Ah ... maafkan saya, Pak Joko tampan seluas samudera. Maksud aku ... jidatnya luas.” Ana meringis, berusaha membuat hati Joko mereda. Lelaki itu spontan memegang jidatnya yang nonong itu.
“Iya, aku salah.” Kini Ana melakukan hal yang sudah menjadi keahliannya. Akting menangis. Dia mendekati Joko, dan memeluknya.
“Pen?” ucap Mawar pelan sambil melebarkan kedua matanya karena semakin terkejut. Padahal, Pen selama ini selalu kesal dengan asisten Raden yang latah itu.
“Aku ... aku bersalah. Aku hanya mau meminta maaf, dan akan bersujud kepada Raden untuk mendapat maaf itu. Sumpah, hanya itu maksudku.” Ana memperlihatkan kedua matanya yang sudah dipenuhi air mata. Mengikuti wajah Joko yang terus mengalihkan pandangan. Lelaki itu paling tidak bisa melihat wanita menangis.
“Jawab buruan!” teriak Ana dengan mendadak.
“Burung perkutut burungnya tetangga, kalau kentut gak bilang-bilang!” balas Joko latah ketika mendengar teriakan itu. Joko spontan menutup mulut sambil mengawasi pelanggan yang sangat kesal dengan keributan yang mengganggu kenyamanan mereka. Sementara, Mawar hanya bisa memandang kaku dengan semua keadaan membingungkan di hadapannya.
“Di sana gunung, di sini gunung. Ciptaan Tuhan deh,” balas Ana meringis.
“Pen?” Mawar semakin frustasi melihat perubahan Pen. Dia semakin menganga ketika Joko malah menunduk saat melihat sahabatnya malah mendekat.
“Hmm, ternyata latah. Tapi, aku anggap setuju. Baiklah, kita akan bertemu Raden Anggara sekarang,” ucap Ana mendadak menarik lengan Joko.
“Loh! Aku mau dibawa ke mana?” teriak Joko sambil berjalan mengikuti langkah Ana. Kedua pengawal bertubuh garang yang selalu mendampingi Joko pun juga mengikuti Ana.
Selama ini Joko dan beberapa pengawalnya memegang janji yang sudah dikatakan Anggara. Mereka tidak boleh menyentuh atau pun melakukan hal buruk kepada Pen.
Mawar semakin melotot sambil menunjuk ke arah Ana yang sudah menarik Joko untuk keluar dari cafe itu. Dia sangat kebingungan dan memutuskan untuk mengikuti Ana setelah meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja. Melewati pelayan yang kebingungan saat membawa pesanan makanan yang sebelumnya sudah dipesan.
“Pen, kamu itu memang sudah gila. Padahal biasanya kau selalu anggun dan dingin. Kenapa sekarang kaya anak kecil sih? Aku akan mendapat masalah,” gumam Mawar terus berjalan cepat. Dia segera masuk ke dalam mobil. Pikirannya kacau balau. Dia tak percaya sang sahabat benar-benar menuju kantor Anggara bersama mobil Joko. "Kau gila, Pen!" lanjutnya berteriak.
Di dalam mobil, Ana tersenyum kagum. Dia mengamati mobil mewah yang kini ditumpanginya. Sementara, Joko semakin menatapnya dengan mengernyit. Biasanya Pen selalu saja memaki Joko, hingga membuat lelaki itu kabur dan takut. Dendam Pen kepada sang raden, membuat dia juga membenci Joko.
"Kok berubah jadi kalem?" batin Joko juga tidak mengerti.
Tidak sampai di sini saja. Ana semakin terkejut saat mobil berhenti di depan gedung sangat mewah yang biasanya hanya bisa dia lihat ketika melintas di jalan. Kini dia tak menyangka bisa menuju ke sana. Wajahnya semakin semringah ketika masuk ke dalam. Senyuman semakin terpampang jelas di wajahnya saat melihat kemegahan setiap sudut ruangan gedung itu. Hingga kedua matanya melotot, ketika melihat sosok sangat gagah berbalut jas hitam mahal, berdiri di hadapannya dan menatap tegang.
“Ayah ...,” ucapnya menangis. Tanpa sadar, Ana mendekati Anggara dan memeluknya.
“Pen?” ucap Anggara tak percaya. Selama ini Pen selalu emosi saat bertemu dengannya. Tamparan dari telapak tangan Pen tak pernah luput membekas di pipinya. Tapi, kenapa Pen sekarang malah memeluknya? Tubuh Anggara semakin kaku menerima pelukan itu.
Para awak media yang sebenarnya akan meliput pembukaan perusahaan baru milik Anggara, malah mengambil gambar mereka. Berita romantis yang terjadi sangat mendadak itu, seketika viral dan mengejutkan semua pihak.
“Kurang ajar! Kenapa dia kembali?” Tunangan Anggara tak percaya melihat drama di hadapannya.
**
Penelope yang sudah berada di sekolah Ana masih saja menata hati agar bisa membaur di sana. Hingga dia menatap teman Ana yang sangat dia benci. Pemuda gendut berambut keriting yang selalu bersama Ana. Pen terpaksa mendekatinya. Dia sadar Ana tidak memiliki teman lain selain pemuda itu.
“Lihat apa?” tanya Pen lalu menatap layar ponsel pemuda itu.
“Apa? Ana!” teriaknya keras saat dia melihat video dirinya berpelukan dengan Anggara.
"Kenapa dia melakukan itu? Argh!" teriak Pen kesal.Pen meremas ponsel Bambang. Satu-satunya teman Ana di sekolah. Siswa laki-laki paling pintar, namun paling gendut di sekolah."Loh, loh! Kok--," ucap Bambang terkejut ketika melihat sang sahabat membuang ponsel itu ke tempat sampah. "Wadew, berat ini." Bambang hanya menggeleng sambil menarik napas panjang.“Ana, kamu itu kenapa sih?” Bambang menarik Pen dan mengajaknya duduk di kelas. “Untung Bapak aku Manajer perusahaan Mangkunegara dan gajinya besar. Jadi, aku gak susah beli ponsel,” gerutunya sembari menatap Pen yang menundukkan kepala dengan lemas. “Ana, kamu kesurupan?” lanjut Bambang spontan mengejutkan Pen.“Apa kau tahu tadi itu apa?” tanya Pen dengan tatapan serius. “Ceritakan bagaimana kejadian tadi?” lanjutnya masih melotot tajam. Bambang menelan ludah dengan susah payah karena sang sahabat menarik kerah kemejanya, dan membuatnya tercekik. Dia tak pernah melihat Ana galak seperti itu.“Aku ... aku gak tahu. Aku ya kaget
“Hmm, ternyata ayahku super tajir melintir. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan semua ini,” batinnya masih tersenyum. “Pen, aku mau ke sana. Biarkan aku ikut mengurus anak kita,” bisiknya pelan. Anggara masih berhati-hati mengungkap itu semua. “Baiklah, kau kan bapaknya. Kita akan ke sana bersama. Bagaimana?” tanya Ana selalu tersenyum di depan Anggara yang masih saja terpaku. Oh Tuhan! Penelope sama sekali tidak pernah menganggapnya. Walaupun kadang ... Anggara sebenarnya memaksa bertemu diam-diam, namun Pen masih saja tidak akan pernah mengakui lelaki itu lagi, apalagi masa lalu mereka sangat buruk. “Pen? Kau tidak bercanda, bukan?” tanya Anggara semakin mendekat. Dia menundukkan kepala, menatap wajah wanita yang hanya sebatas pundaknya itu. Yang selalu dia bayangkan sepanjang malam. “Kalau kau tersenyum, sangat menggemaskan,” lanjut Anggara pelan dengan semringah. “Tentu saja aku sangat cantik. Baiklah, kita akan pergi,” balas Ana. Mawar yang masih berdiri tegang menatap sem
Ana mendekati Pen, lalu meringis. Sang ibu semakin melotot ke arahnya. Pen masih shock melihat lelaki itu yang sudah diberi sumpah olehnya, “dalam keadaan apa pun, jangan pernah menemui aku. Bersumpahlah,” ucapnya saat terakhir bertemu dengan Anggara. Hingga sekarang Ana membuat sumpah itu dilanggar. Walaupun saat itu Anggara memang tidak mengiyakan sumpah itu.“Ana, maafkan ibumu. Ibu harap, kau bisa menerima ayahmu kembali,” ucap Ana lalu memeluk Pen. Sang ibu mengeratkan pelukannya sampai Ana tidak bisa bernapas. Sementara, para siswa tidak segera masuk ke dalam kelas dan tetap melihat drama menghebohkan itu. Padahal, bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Semua guru pun dan Kepala Sekolah masih terpaku dan penasaran. Ini benar-benar sebuah hal besar, di luar dugaan mereka.“Ana, ibumu tidak bisa bernapas,” lanjut Ana segera melerai pelukannya.“Kau!” tunjuk Pen ke arah Ana. “Kenapa kau melakukan hal itu? Sekarang juga kita harus pulang!” lanjutnya semakin berteriak.“Ana, yang sopa
Pen menginjak kaki salah satu pengawal. Membuat cengkeraman mereka terlepas. Dia segera mendekati Anggara, dan menarik jasnya.“Aku melihat sendiri persidangan itu. Kau benar-benar bercerai.”Anggara semakin tidak mengerti. Saat itu Pen masih mengandung Ana. Bagaimana mungkin Ana menanyakan itu? Dia mengangkat salah satu alisnya, semakin memandang kedua mata Ana. Anggara sangat mengenal tatapan tajam itu.“Ana ... bukankah kau saat itu belum lahir? Bagaimana kau ...”“Ah, hahaha,” sela Ana kembali menarik lengan Anggara. “Aku sudah menceritakan kepadanya. Mana mungkin ada rahasia Ibu dan anak,” lanjutnya sambil melotot tajam ke arah Pen yang kini semakin lemas.“Betul. Aku sekarang lega. Tidak ada lagi rahasia di antara kita. Pen ...,” ucap Anggara kembali menatap Ana dan memegang kedua pundaknya. “Katakan kepada anak kita kalau kita sering bertemu diam-diam,” lanjutnya membuat Ana spontan menatap Pen yang menunduk dan mengurut pelipisnya.“Tunggu!” Ana menatap Anggara sambil bersedek
Pen hanya bisa pasrah. Apa yang bisa dia lakukan melawan Anggara? Apalagi, Ana melompat kegirangan saat mendengar. Dengan lemas Pen berjalan masuk ke dalam loby. “Hah?” Dia semakin terkejut saat melihat puluhan pengawal Raden berada di dalam dan menundukkan kepala.“Aku lupa sudah berhubungan dengan Bos, dari semua Bos yang ada,” gumamnya pelan sembari melihat Ana sangat mesra bergandengan tangan dengan Anggara saat memasuki apartemen. “Ini sangat kacau. Aku harus berubah kembali menjadi diriku. Tapi, bagaimana caranya?”Pen yang semula menatap kaku, tiba-tiba tersenyum ketika melihat Anggara sangat mesra dengan dirinya yang masih dihuni Ana. Dia mengingat masa lalu yang sangat indah walaupun hanya sejenak saja.“Tidak! Aku tidak akan pernah lengah.” Pen menggelengkan kepala untuk memusatkan pikirannya lagi. Dia segera mendekati Anggara dan menampis tangan lelaki itu yang masih mencengkeram tangan Ana.“Anakku, kau tidak bisa begitu dengan ayahmu,” ucap Ana sembari meringis.“Kau!” tu
Ana tertegun melihat Anggara keluar dengan menggunakan jas mahal. Dia selama ini tidak pernah membayangkan akan bertemu ayahnya. Ternyata seorang pria gagah dan super tajir. Sangat berwibawa sekali. Ana sebenarnya hanya ingin sosok ayah yang bisa membuatnya hangat. Bisa melindunginya. Kehidupan keras membuat dia tidak tahan dengan keadaan. Apalagi sang ibu harus berjuang sendiri menghidupinya. Hingga kini dia sangat lega, sang ayah mau menerimanya. Yang paling penting, masih mencintai ibunya.Selama ini Ana hanya bisa melihat Anggara berada di media sosial dengan semua kekayaan dan aset yang dimilikinya. Kini Ana bisa tersenyum melihat sosok ayahnya dengan jelas. Anggara pun menatap Ana yang masih dia kira Pen. Membelai pipi Pen yang selama ini dia rindukan. "Pen, kau cantik sekali," ucap Aggara pelan.Ana menerima belaian itu, karena dia selama ini tidak pernah menerima kehangatan sosok ayah. Tapi, wajah Anggara semakin mendekat seperti sebelumnya.DEG!"Adew, gak lucu Ayah menciumk
Ana spontan menutup kedua matanya. Tamparan keras akan melayang ke pipinya. Namun, kenapa dia tidak merasakan apa pun? Kedua mata Ana yang semula memejam sangat kuat, kini perlahan terbuka. Dia semakin tak percaya. Anggara dengan cepat menampis tangan Gracia yang semula akan menampar ke arahnya, malah mendarat di pipi Joko. Gracia adalah anak seorang Walikota. Dia sangat kaya. Keluarganya disegani semua orang. Namun, justru itu semua membuat Gracia berbesar kepala. Wanita sangat angkuh dan ingin selalu menjadi yang terbaik. Tidak pernah menghargai orang lain. Tapi, siapa yang berani kepadanya. Semua orang hanya terdiam ketika mendapatkan amarahnya yang sewenang-wenang. Tujuh belas tahun lalu, dia ketika itu masih sangat remaja, menyukai Anggara saat pertama kali bertemu di acara perayaan ulang tahun Romo ayah kandung Anggara. Ayahnya adalah sahabat dekat Romo. Gracia sejak itu berusaha keras, ingin merebut hati Anggara. Hingga dia terkejut Anggara mengalami kejadian malam tak terdug
Joko semakin menatap Ana dengan tajam. Dia tidak mengerti dengan semuanya. Tapi, dia sangat penasaran. "Sebentar. Kamu tadi manggil dirimu sendiri, Ana. Lalu, manggil Raden, ayahku. Kenopo iki? Aku kok bingung." Joko segera mengunci pintu ruangan. Dia bergegas duduk kembali di hadapan Ana. Joko selama ini selalu mendampingi Anggara sejak Raden itu remaja. Joko adalah adik dari Kepala Manajer perusahaan ayah Bambang sahabat Ana. Dia mendapatkan tawaran untuk menjaga Anggara setelah menjadi lulusan terbaik di salah satu universitas Jakarta dengan bayaran sangat mahal. Apalagi, Joko sangat pintar, yang mengajarkan Anggara semuanya sampai Raden bisa hebat seperti ini. Anggara tidak bisa hidup tanpa Joko. Dia sangat menyayangi Anggara seperti adiknya sendiri. Hingga Anggara harus menjalani masalah rumit tujuh belas tahun lalu. Joko sebagai saksi semua rahasia Anggara dan Pen. Sepanjang malam Ana memang sudah memikirkan ini dengan sangat matang. Hanya Joko yang bisa membantunya. "Kamu t
Amara tiba-tiba datang bersama dengan dua aparat kepolisian. Wanita itu sekarang berada di tengah-tengah mereka semua. Ada sesuatu yang sangat mengganjal di hati Penelope saat melihat sang tante sangat pucat sekali. Bahkan dia menggunakan kursi roda. Tubuhnya sangat kurus. Hati Penelope bergetar, tidak menyangka melihat keadaan tantenya yang semula sangat glamor dan sangat anggun itu, kini berubah sangat mengenaskan."Sebaiknya kita ke sana dan bertanya apa tujuannya ke sini. Jangan pakai emosi. Lihatlah, dia sangat pucat sekali. Mungkin penyakit sudah menggerogoti tubuhnya. Penelope, hilangkan masa lalu itu. Yang penting kita sudah bahagia," bisik Anggara dengan tersenyum tampan."Kita harus memaafkannya, Ibu. Sebagai manusia kita harus memaafkannya," imbuh Ana kemudian menarik Penelope untuk menuruni panggung.Amara tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Penelope menerima uluran tangan itu dengan bergetar."Aku mau minta izin untuk bertemu denganmu. Tentu saja mereka semua mengi
Ana sangat terkejut melihat kehadiran Amel. Gadis itu menatap Bambang dengan tersenyum. Mengamati sang sahabat dari atas sampai bawah. Dengan sangat seksi Amel mendekati Bambang, kemudian tidak segan-segan menatapnya dari dekat."Kamu ternyata sangat tampan sekali. Apalagi bisa berkelahi dengan hebat seperti itu. Katakan kepadaku. Apakah kau sudah punya pacar? Atau masih mau menungguku?" tanya Amel tanpa basa-basi. Bambang menarik tengkuk leher Amel. Kemudian menciumnya dengan sangat panas. Ana dan Brian terpaku saat melihatnya. Apalagi Amel membalas ciuman itu."Tentu saja aku tidak memiliki pacar. Aku berubah seperti ini karena dirimu, dan aku akan menjadi lelaki yang sangat mencintaimu. Menjagamu sampai kapanpun." Bambang mengeluarkan satu kotak berbentuk hati di saku celananya sebelah kanan. Kemudian membukanya."Kau ..." Amel terkejut saat di dalamnya ada cincin berhiaskan berlian berwarna biru. "Maukah kau menjadi pacarku, tunanganku, dan istriku?" ucap Bambang kemudian memasan
Penelope bersama dengan Anggara selalu saja bermesraan di manapun mereka berada. Bahkan Penelope selalu menemani Anggara di kantor saat bekerja. Anggara tidak bisa lepas sedikitpun dari sang istri."Aku akan memberikan kejutan untukmu," ucap Anggara saat berada di dalam kantornya. Penelope tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Setiap hari kau selalu memberikan kejutan untukku. Kali ini apalagi?" tanya Penelope sambil bersedekap. Hingga Anggara memberikan satu undangan berwarna putih di depannya. Ada foto Pen dan Anggara pada saat pertama kali bertemu. Foto itu masih saja tersimpan di ponsel Anggara sampai saat ini."Apa ini?" tanya Penelope masih saja melotot tak percaya."Jika kau ingin mengetahuinya, ya buka saja." Anggara tersenyum, kemudian menatap Penelope yang membuka undangan itu. Tentu saja sang istri terkejut. Itu adalah undangan pernikahan mereka. Tepatnya pesta pernikahan mereka yang sempat tidak pernah mereka lakukan."Jadi setelah kita bersama selama 3 tahun kau ba
Pagi menjelang dengan cepat. Ana sudah bersiap-siap untuk pergi ke Inggris. Walaupun hatinya benar-benar resah, ingin sekali bertemu dengan Brian. Tapi dia harus mengorbankan hatinya dan tetap menjalankan perintah itu.Anggara dan Penelope, serta Nyai dan Romo, akan mengantar Ana menuju ke mobil yang akan membawa dia ke bandara. Namun, Ana semakin terkejut saat melihat sosok lelaki yang berada di depan mobil itu sambil bersedekap."Kenapa aku harus diantar oleh Kaisar, Ayah? Bukankah Ayah yang seharusnya mengantar aku? Untuk apa aku harus bersamanya? Ah, tidak menyukainya," ucap Ana dengan sewot. Anggara dan Pen hanya tersenyum, kemudian memeluk Ana sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil."Jaga dirimu dengan baik. Jangan nakal. Ingat, kamu itu pewaris sah. Jadi kamu harus menjalankan tugasmu dengan benar. Nilaimu juga harus tinggi. Jangan mempermalukan keluarga." Seperti biasa, Nyai dengan sangat cerewet memberikan wejangan sebelum pintu mobil tertutup. Romo hanya tersenyum dan melamba
Penelope benar-benar terkejut. Dia sampai meneteskan air mata saking bahagianya. Apalagi Anggara menggandeng Pen dan mengeratkan genggamannya itu, di telapak tangannya sebelah kanan. Raden kemudian tersenyum tampan dan menganggukkan kepala."Apakah ini mimpi? Aku semalam tidak bermimpi apa pun. Hatiku masih saja sakit. Aku ingin bertemu dengan anakku. Tapi ternyata sekarang aku menghadapi drama seperti ini. Sebuah drama yang sangat mengharukan, yang selama ini hanya ada di dalam mimpiku saja," ucap Pen kemudian menatap Anggara. Menarik telapak tangannya menuju pipinya. "Cubit aku, karena aku tidak mau terbangun dari mimpi yang indah ini," lanjutnya berkata dengan kedua mata yang berlinang air mata.Anggaran mencubit pipi Pen, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Aku sudah berjanji akan berjuang mendapatkan dirimu dan Ana sampai titik darah penghabisan dan, ini adalah buktinya. Jika aku memang benar-benar mencintaimu," balas Anggara membuat Pen
Benar-benar di luar dugaannya. Anggara mengatakan hal itu? Ada apa ini? Apakah ini sebuah lelucon? Tidak ada angin, tidak ada perasaan, tidak ada hal apa pun yang Gracia rasakan. Hingga detik ini ... sampai tiba-tiba dia harus mendengarkan sang suami mengatakan hal yang sangat mengejutkan. Dan tentu saja ini membuat dia semakin besar kepala. Gracia tersenyum puas dengan semuanya. Keyakinannya untuk menang sudah di depan mata dan ini adalah semua yang dia rencanakan. Anggara pasti akan menyerah. Membuat dirinya menjadi istri sah satu-satunya yang akan melahirkan ahli waris, yang disetujui oleh dua pihak keluarga. Bukan Penelope, wanita yang sangat bencinya itu."Apakah kau mengatakan yang sebenarnya? Suamiku, ini tidak mungkin. Kau sudah membuatku sangat bahagia. Apalagi mengumumkan ini di depan semua orang. Tolonglah, jangan pernah menganggap ini lelucon. Karena aku tidak akan pernah memaafkan kamu." Gracia menatap sang suami dengan tajam. Dia ingin kepastian. Anggara tersenyum lalu
Ana masuk ke dalam kamarnya berteriak sangat keras. "ARGH!" Semua barang yang berada di hadapannya, dia singkirkan. Prang! Semuanya pecah berserakan di lantai. Para pelayan datang dan berusaha menenangkan gadis itu."Nona, tenanglah!"Mereka semua memegangi Ana. Gracia segera datang, setelah dia menghubungi seorang dokter. Gracia meminta dokter itu untuk menyuntikkan sesuatu kepada Ana agar tenang. Kebetulan dokter itu adalah teman dekatnya. Gracia memberikan uang yang sangat banyak, membuat Dokter wanita itu bisa melakukan apa pun yang Gracia minta."Bagus. Paling tidak dia tenang. Jika ada yang buka mulut, aku akan menghabisi kalian semua," ucapnya pelan dengan tersenyum puas. Kini dia menatap dokter itu. "Bayarannya sudah aku kirim ke rekening mu. Aku akan menghubungi mu kalau perlu.""Baiklah, aku pergi," balas dokter itu meninggalkan kediaman. "Pastikan dia tenang," ucap Gracia sebelum meninggalkan kamar Ana. Semua pelayan hanya bisa menundukkan kepala dan menuruti semua yang di
Ana masih saja menundukkan kepala. Awalnya dia tidak peduli dengan perkataan Gracia. Namun, ketika menyebut nama ibunya. Anak berdiri mendekati wanita itu dan menatapnya tajam. Mendadak mendorong Gracia hingga terjatuh ke belakang. Untung saja di belakang tubuh wanita itu adalah ranjang."Walaupun aku anak kecil tinggiku sama seperti denganmu. Jangan pernah membuat aku marah. Sekali lagi kau akan membuat ibuku menderita ... aku akan membunuhmu. Apa kau lupa dari mana aku berasal? Aku berasal dari jalanan. Bahkan aku sudah dua kali masuk penjara. Aku ... tidak takut apa pun," ucapnya pelan, namun dengan kedua mata yang tajam. Gracia segera berdiri merapikan kebayanya yang sangat berantakan. Dia menata rambutnya. Kemudian dia mengepalkan kedua tangannya. Tidak percaya Ana berani memperlakukannya seperti itu.Plak!Gracia menampar Ana dengan sangat keras. Gadis itu melotot tajam ke arahnya. Ingin sekali membalas tapi Ana tahan. Dia tidak mungkin melakukan itu dengan orang yang sudah tua
Di luar rumah sakit Pen menangis tanpa henti. Dia duduk di bawah pohon sambil meringkuk. Bahkan tidak peduli beberapa orang melihatnya."Pen! Kenapa kau seperti itu? Ayo bangun!" Pen terkejut Mawar tiba-tiba datang bersama Joko, kini berada di hadapannya. Dia segera memeluk sang sahabat yang ikut menangis dan tahu penderitaannya."Aku sudah menyerahkan dia. Aku tidak bisa lagi bertemu dengannya. Tapi aku harus menyerahkan dia, Mawar. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi aku harus. Itu adalah kewajibanku. Aku sudah berdosa dan ini adalah hukuman untukku," balas Pen masih menangis. Mawar segera menarik sang sahabat dan mengajaknya masuk ke dalam mobil Joko. Lelaki itu masih terdiam mengamati semuanya."Sekarang tenangkan dirimu. Joko saat itu dibantu semua pengacara yang sudah dikirimkan Anggara, lalu kembar, juga membantumu. Semua kekayaan mu kini sudah kembali. Amara juga masih saja menerima hukumannya. Kau akan hidup dengan lebih baik." Mawar masih saja berusaha menyenangkan Pen denga