Ana mendekati Pen, lalu meringis. Sang ibu semakin melotot ke arahnya. Pen masih shock melihat lelaki itu yang sudah diberi sumpah olehnya, “dalam keadaan apa pun, jangan pernah menemui aku. Bersumpahlah,” ucapnya saat terakhir bertemu dengan Anggara. Hingga sekarang Ana membuat sumpah itu dilanggar. Walaupun saat itu Anggara memang tidak mengiyakan sumpah itu.
“Ana, maafkan ibumu. Ibu harap, kau bisa menerima ayahmu kembali,” ucap Ana lalu memeluk Pen. Sang ibu mengeratkan pelukannya sampai Ana tidak bisa bernapas. Sementara, para siswa tidak segera masuk ke dalam kelas dan tetap melihat drama menghebohkan itu. Padahal, bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Semua guru pun dan Kepala Sekolah masih terpaku dan penasaran. Ini benar-benar sebuah hal besar, di luar dugaan mereka.
“Ana, ibumu tidak bisa bernapas,” lanjut Ana segera melerai pelukannya.
“Kau!” tunjuk Pen ke arah Ana. “Kenapa kau melakukan hal itu? Sekarang juga kita harus pulang!” lanjutnya semakin berteriak.
“Ana, yang sopan dengan ibumu!” balas Anggara tegas. Pen semakin tidak terima. Dia mendekati Anggara dan mendorongnya. Raden semakin kesal dan berkata, “Ana, aku ini--,” ucapnya terhenti saat Pen meremas mulut seksi Anggara. “Ah!” teriak Anggara sambil menepuk-nepuk bibirnya.
Ana dan semua orang spontan terkejut melihat itu. Bagaimana bisa, anak paling tidak dianggap di sekolah sangat berani membuat bibir lelaki terkaya sangat merah.
“Jangan katakan apa pun!” ucap Pen sangat frustasi. Dia tidak mau rahasia itu terbongkar.
“Adew, kok malah ribet gini,” ucap Kepala Sekolah kebingungan. Semua orang masih terdiam kaku tak mengerti dengan drama di hadapannya.
“Ana, kau tidak bisa seperti ini. Maafkan aku. Yah, dia seperti ini karena sering makan ceker ayam,” balas Ana meringis ke semua orang. Berusaha meredam kemarahan Pen.
“Jangan pernah berkata apa pun, karena aku akan menghukummu!” tunjuk Pen ke arah Ana. Seketika Ana berdiri kaku dan menelan ludah melihat kemarahan Pen.
“Hei, gadis bodoh. Dia itu Raden pemilik sekolah ini. Sangat tidak sopan.” Amel menarik tangan Pen dan akan menamparnya. Ana tidak terima dan menahan tangan itu.
“Kau menyentuhnya, aku akan menghajarmu,” balas Ana sembari mencengkeram lengan Amel dengan keras. Gadis itu menatap Anggara dan merengek.
“Paman. Aku tahu kau ke sini karena aku bukan? Paman. Mereka sangat jahat.”
Anggara menarik Ana dan mengambil ponsel di saku jasnya sebelah kanan. Amel tidak percaya ketika melihat hal itu. Selama ini Anggara selalu bersikap baik kepadanya. Ini adalah pertama kalinya Anggara melakukan itu kepada Amel. Gadis itu semakin kesal ketika Anggara segera menghubungi Joko. “Sekarang bawa Amel pulang. Aku mau bicara dengan keluargaku.”
“Apa? Paman, apa maksudmu?” tanya Amel terkejut. Dia semakin tak percaya melihat pamannya menggandeng Ibu Ana yang selama ini dianggapnya super buruk!
Ana berjalan dengan tersenyum menatap semua teman-temannya yang masih menganga melihat semuanya. Selama ini mereka menganggap Ana siswa paling nakal dan selalu bermasalah. Parahnya, tidak ada siapa pun menghormati Ana. Mereka menganggap remeh Ana karena miskin.
Ana bisa bersekolah karena Anggara yang memang diam-diam membantu. Pen mendapat surat dari Manajer kantornya bekerja, kalau Ana memperoleh beasiswa di SMA paling mahal. Hanya kalangan elit yang bisa bersekolah di sana. Semua itu Anggara lakukan agar Ana bisa memperoleh pendidikan yang baik.
“Paman!” teriak Amel kesal melihat keakraban mereka. Sementara, Brian dan semua orang masih terdiam kaku di sana.
“Lepaskan dia,” ucap Pen sangat kesal. Dia segera menarik Ana yang masih digandeng Anggara.
“Ana, aku ingin berbicara dengan ibumu. Ayah mohon,” balas Anggara.
Anggara semakin menarik Ana dan mengajaknya keluar dari sana. Pen pun mengikuti mereka dari belakang. Kakinya melangkah cepat menuju ke halaman belakang sekolah yang sudah sangat sepi. Beberapa pengawal melarang siapa pun masuk ke sana. Anggara menghentikan langkah di bawah pohon yang cukup rindang, kemudian memegang kedua pundak Ana yang dia kira Pen. Mengatur napasnya dan memandang sangat tajam.
“Gawat!” Pen merasakan sesuatu yang sangat tidak enak. Dia pun segera mendekat dan memukul punggung Anggara.
“Kau mau apa?” lanjutnya dengan pandangan menekan.
“Ana. Aku ingin berbicara dengan ibumu. Kau sebaiknya diam saja dan jangan berkata apa pun. Ini sangat penting,” ucap Anggara membalas tatapan tajam yang masih menyorot ke arahnya.
“Kalau ini ada hubungannya dengan ibuku, tentu saja aku juga harus mengetahuinya,” balas Pen, masih saja dengan amarah.
“Ana mengertilah. Ayah hanya membutuhkan waktu sebentar saja.”
Pen semakin kesal melihat Ana menganggukkan kepala. Dia bertambah kebingungan saat Anggara mendadak mengangkat tangannya ke arah pengawal yang melihatnya dari kejauhan. Kedua lelaki garang itu mendekati Pen dan memegangnya sangat kuat. Ana yang masih berada di dalam tubuh ibunya, semakin kebingungan dengan semuanya. Apalagi, Anggara memegang kedua pundaknya semakin kuat.
“Pen, dia anak kita. Wajar kalau marah seperti itu.”
“Dia tidak marah. Itu hanya akting,” balas Ana. Dia semakin kesal melihat Pen masih saja berteriak dan melarangnya mendekati Anggara. “Duh, Ibu ini menyebalkan,” batin Ana.
“Ana, aku akan menghukummu!” teriak Pen.
“Apa?” Ana melotot mendengar Pen tidak sengaja mengatakan hal itu. Dia segera memegang kedua pipi Anggara agar menatapnya kembali. Ana tidak mau Anggara tahu sebenarnya, jika jiwa mereka tertukar.
“Biarkan saja, dia,” ucap Ana meringis. “Apa yang ingin kau katakan?”
“Pen, anak kita membutuhkan aku. Pen, aku tidak mau dia membenciku seperti itu. Maukah kau bersamaku lagi? Lagipula, perceraian itu palsu,” ucap Anggara membuat Ana semakin melotot. Pen pun menghentikan gerakannya setelah mendengar hal itu.
“Pal-su?” tanya Pen dan Ana bersama-sama.
“Maafkan aku ...,” balas Anggara semakin menarik napas panjang. “Pen, aku sangat ....”
Ana semakin menatap tajam ayahnya. Dia memegang pipi Anggara dengan sangat kuat. Membuat sang ayah menatapnya.
“Jadi, maksud kamu ... Penelope dan Anggara masih sepasang suami istri?” tanyanya memastikan. Anggara menganggukkan kepala, membuat Ana tertawa kegirangan.
“Apa? Bagaimana mungkin?” ucap Pen lemas.
Pen menginjak kaki salah satu pengawal. Membuat cengkeraman mereka terlepas. Dia segera mendekati Anggara, dan menarik jasnya.“Aku melihat sendiri persidangan itu. Kau benar-benar bercerai.”Anggara semakin tidak mengerti. Saat itu Pen masih mengandung Ana. Bagaimana mungkin Ana menanyakan itu? Dia mengangkat salah satu alisnya, semakin memandang kedua mata Ana. Anggara sangat mengenal tatapan tajam itu.“Ana ... bukankah kau saat itu belum lahir? Bagaimana kau ...”“Ah, hahaha,” sela Ana kembali menarik lengan Anggara. “Aku sudah menceritakan kepadanya. Mana mungkin ada rahasia Ibu dan anak,” lanjutnya sambil melotot tajam ke arah Pen yang kini semakin lemas.“Betul. Aku sekarang lega. Tidak ada lagi rahasia di antara kita. Pen ...,” ucap Anggara kembali menatap Ana dan memegang kedua pundaknya. “Katakan kepada anak kita kalau kita sering bertemu diam-diam,” lanjutnya membuat Ana spontan menatap Pen yang menunduk dan mengurut pelipisnya.“Tunggu!” Ana menatap Anggara sambil bersedek
Pen hanya bisa pasrah. Apa yang bisa dia lakukan melawan Anggara? Apalagi, Ana melompat kegirangan saat mendengar. Dengan lemas Pen berjalan masuk ke dalam loby. “Hah?” Dia semakin terkejut saat melihat puluhan pengawal Raden berada di dalam dan menundukkan kepala.“Aku lupa sudah berhubungan dengan Bos, dari semua Bos yang ada,” gumamnya pelan sembari melihat Ana sangat mesra bergandengan tangan dengan Anggara saat memasuki apartemen. “Ini sangat kacau. Aku harus berubah kembali menjadi diriku. Tapi, bagaimana caranya?”Pen yang semula menatap kaku, tiba-tiba tersenyum ketika melihat Anggara sangat mesra dengan dirinya yang masih dihuni Ana. Dia mengingat masa lalu yang sangat indah walaupun hanya sejenak saja.“Tidak! Aku tidak akan pernah lengah.” Pen menggelengkan kepala untuk memusatkan pikirannya lagi. Dia segera mendekati Anggara dan menampis tangan lelaki itu yang masih mencengkeram tangan Ana.“Anakku, kau tidak bisa begitu dengan ayahmu,” ucap Ana sembari meringis.“Kau!” tu
Ana tertegun melihat Anggara keluar dengan menggunakan jas mahal. Dia selama ini tidak pernah membayangkan akan bertemu ayahnya. Ternyata seorang pria gagah dan super tajir. Sangat berwibawa sekali. Ana sebenarnya hanya ingin sosok ayah yang bisa membuatnya hangat. Bisa melindunginya. Kehidupan keras membuat dia tidak tahan dengan keadaan. Apalagi sang ibu harus berjuang sendiri menghidupinya. Hingga kini dia sangat lega, sang ayah mau menerimanya. Yang paling penting, masih mencintai ibunya.Selama ini Ana hanya bisa melihat Anggara berada di media sosial dengan semua kekayaan dan aset yang dimilikinya. Kini Ana bisa tersenyum melihat sosok ayahnya dengan jelas. Anggara pun menatap Ana yang masih dia kira Pen. Membelai pipi Pen yang selama ini dia rindukan. "Pen, kau cantik sekali," ucap Aggara pelan.Ana menerima belaian itu, karena dia selama ini tidak pernah menerima kehangatan sosok ayah. Tapi, wajah Anggara semakin mendekat seperti sebelumnya.DEG!"Adew, gak lucu Ayah menciumk
Ana spontan menutup kedua matanya. Tamparan keras akan melayang ke pipinya. Namun, kenapa dia tidak merasakan apa pun? Kedua mata Ana yang semula memejam sangat kuat, kini perlahan terbuka. Dia semakin tak percaya. Anggara dengan cepat menampis tangan Gracia yang semula akan menampar ke arahnya, malah mendarat di pipi Joko. Gracia adalah anak seorang Walikota. Dia sangat kaya. Keluarganya disegani semua orang. Namun, justru itu semua membuat Gracia berbesar kepala. Wanita sangat angkuh dan ingin selalu menjadi yang terbaik. Tidak pernah menghargai orang lain. Tapi, siapa yang berani kepadanya. Semua orang hanya terdiam ketika mendapatkan amarahnya yang sewenang-wenang. Tujuh belas tahun lalu, dia ketika itu masih sangat remaja, menyukai Anggara saat pertama kali bertemu di acara perayaan ulang tahun Romo ayah kandung Anggara. Ayahnya adalah sahabat dekat Romo. Gracia sejak itu berusaha keras, ingin merebut hati Anggara. Hingga dia terkejut Anggara mengalami kejadian malam tak terdug
Joko semakin menatap Ana dengan tajam. Dia tidak mengerti dengan semuanya. Tapi, dia sangat penasaran. "Sebentar. Kamu tadi manggil dirimu sendiri, Ana. Lalu, manggil Raden, ayahku. Kenopo iki? Aku kok bingung." Joko segera mengunci pintu ruangan. Dia bergegas duduk kembali di hadapan Ana. Joko selama ini selalu mendampingi Anggara sejak Raden itu remaja. Joko adalah adik dari Kepala Manajer perusahaan ayah Bambang sahabat Ana. Dia mendapatkan tawaran untuk menjaga Anggara setelah menjadi lulusan terbaik di salah satu universitas Jakarta dengan bayaran sangat mahal. Apalagi, Joko sangat pintar, yang mengajarkan Anggara semuanya sampai Raden bisa hebat seperti ini. Anggara tidak bisa hidup tanpa Joko. Dia sangat menyayangi Anggara seperti adiknya sendiri. Hingga Anggara harus menjalani masalah rumit tujuh belas tahun lalu. Joko sebagai saksi semua rahasia Anggara dan Pen. Sepanjang malam Ana memang sudah memikirkan ini dengan sangat matang. Hanya Joko yang bisa membantunya. "Kamu t
Ana semakin panik. Pen berteriak keras saat menghubunginya. Tapi, Ana malah melompat kegirangan. Dia tertawa sambil membayangkan semua temannya pasti akan menganggap dia keren. "Ah, pasti Amel si genit dan kemayu itu terkaget-kaget. Ana, kau kurang ajar sekali. Hahaha," batinnya sambil menirukan gaya bicara Amel. Ana tidak sadar semua yang masuk ke dalam toilet memperhatikannya. Dia meringis sambil merapikan rambutnya. Keluar sambil berjalan dengan percaya diri. Dia lupa jika Gracia masih mengejarnya."Kau!" tunjuk Gracia segera mendekati Ana."Ah, aku lupa ama mahkluk satu ini," gumamnya semakin membuat Gracia geram. Wanita itu seperti biasanya akan menampar Ana. Plak!"Rasakan," ucap Gracia puas. "Kau belum tahu berhadapan dengan siapa, wanita murahan," lanjut Gracia tersenyum puas. Dia berkacak pinggang sambil menginjak tubuh Pen yang tersungkur di lantai."Gracia!" teriak Anggara keras. Wanita itu mendadak menolehkan pandangan ke belakang. Tangan yang semula ada di pinggang rampin
Ana membuat kedua lelaki yang semula berwajah semringah di hadapannya, seketika terdiam kaku. Lelaki kembar itu tidak menyangka akan bertemu wanita yang selama ini tidak mau mereka lihat. Wanita yang mengetahui semua rahasia hebat yang mereka simpan. Hingga kini mereka benar-benar tidak menyangka. Bertemu Penelope, berarti sama saja dengan mimpi buruk mereka."Kenapa kita bertemu wanita ini? Bukankah kau sudah memastikan dia menghilang? Kenapa kau bodoh!" umpat salah satunya. Dia menjitak kepala saudara kembarnya yang hanya menggaruk-garuk kepalanya.Ana berjalan cepat. Berhadapan langsung dengan kedua lelaki yang ada hubungannya dengan Penelope. Lelaki kembar itu mendadak mengangkat dada dan wajah. Mereka tidak mau terlihat ketakutan. Menganggap seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun."Ya, ada apa Penelope? Apa Raden Anggara sudah bisa kita temui? Apa jadwalnya kosong?" Mereka masih berusaha santai berhadapan dengan Ana."Kalian ... tidak bisa membohongi gelagat itu. Apa kalian pik
Joko buru-buru mengikuti Ana masuk ke dalam mobil. Dia resah menatap Ana yang berubah menjadi pendiam. Pertama. Joko tahu masa lalu itu, dan sebaiknya menceritakan semuanya. Kedua, dia juga ingin masalah Anggara dan Penelope segera terselesaikan."Jadi, aku memang harus cerita semuanya? Kau benar-benar sudah siap?" "Tentu saja iya!" sela Ana menggebu. Joko sampai tersentak. "Baiklah, aku akan cerita. Ok, dengarkan."Joko menepikan mobil di pinggir pantai. Dia menekan tombol, membuat atap mobil terbuka. Ana menganga, bahkan tidak berkedip."Argh ... kau ... menyebalkan." Ana mendengus kesal. Dia menempuk pundak Joko sambil menggeleng."Oke, oke. Kalau begitu dengarkan baik-baik."Ana mengernyit saat menatap wajah Joko yang semakin teduh. Ada rahasia besar yang akan terungkap. Joko mulai membuka mulutnya dan cerita. Ana semakin terpaku mendegarnya.Ketika itu Joko menyelamatkan Pen dan membawa ke apartemennya. Dia mendengarkan Pen bercerita sambil menangis. Pen sangat bersedih, ketika
Amara tiba-tiba datang bersama dengan dua aparat kepolisian. Wanita itu sekarang berada di tengah-tengah mereka semua. Ada sesuatu yang sangat mengganjal di hati Penelope saat melihat sang tante sangat pucat sekali. Bahkan dia menggunakan kursi roda. Tubuhnya sangat kurus. Hati Penelope bergetar, tidak menyangka melihat keadaan tantenya yang semula sangat glamor dan sangat anggun itu, kini berubah sangat mengenaskan."Sebaiknya kita ke sana dan bertanya apa tujuannya ke sini. Jangan pakai emosi. Lihatlah, dia sangat pucat sekali. Mungkin penyakit sudah menggerogoti tubuhnya. Penelope, hilangkan masa lalu itu. Yang penting kita sudah bahagia," bisik Anggara dengan tersenyum tampan."Kita harus memaafkannya, Ibu. Sebagai manusia kita harus memaafkannya," imbuh Ana kemudian menarik Penelope untuk menuruni panggung.Amara tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Penelope menerima uluran tangan itu dengan bergetar."Aku mau minta izin untuk bertemu denganmu. Tentu saja mereka semua mengi
Ana sangat terkejut melihat kehadiran Amel. Gadis itu menatap Bambang dengan tersenyum. Mengamati sang sahabat dari atas sampai bawah. Dengan sangat seksi Amel mendekati Bambang, kemudian tidak segan-segan menatapnya dari dekat."Kamu ternyata sangat tampan sekali. Apalagi bisa berkelahi dengan hebat seperti itu. Katakan kepadaku. Apakah kau sudah punya pacar? Atau masih mau menungguku?" tanya Amel tanpa basa-basi. Bambang menarik tengkuk leher Amel. Kemudian menciumnya dengan sangat panas. Ana dan Brian terpaku saat melihatnya. Apalagi Amel membalas ciuman itu."Tentu saja aku tidak memiliki pacar. Aku berubah seperti ini karena dirimu, dan aku akan menjadi lelaki yang sangat mencintaimu. Menjagamu sampai kapanpun." Bambang mengeluarkan satu kotak berbentuk hati di saku celananya sebelah kanan. Kemudian membukanya."Kau ..." Amel terkejut saat di dalamnya ada cincin berhiaskan berlian berwarna biru. "Maukah kau menjadi pacarku, tunanganku, dan istriku?" ucap Bambang kemudian memasan
Penelope bersama dengan Anggara selalu saja bermesraan di manapun mereka berada. Bahkan Penelope selalu menemani Anggara di kantor saat bekerja. Anggara tidak bisa lepas sedikitpun dari sang istri."Aku akan memberikan kejutan untukmu," ucap Anggara saat berada di dalam kantornya. Penelope tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Setiap hari kau selalu memberikan kejutan untukku. Kali ini apalagi?" tanya Penelope sambil bersedekap. Hingga Anggara memberikan satu undangan berwarna putih di depannya. Ada foto Pen dan Anggara pada saat pertama kali bertemu. Foto itu masih saja tersimpan di ponsel Anggara sampai saat ini."Apa ini?" tanya Penelope masih saja melotot tak percaya."Jika kau ingin mengetahuinya, ya buka saja." Anggara tersenyum, kemudian menatap Penelope yang membuka undangan itu. Tentu saja sang istri terkejut. Itu adalah undangan pernikahan mereka. Tepatnya pesta pernikahan mereka yang sempat tidak pernah mereka lakukan."Jadi setelah kita bersama selama 3 tahun kau ba
Pagi menjelang dengan cepat. Ana sudah bersiap-siap untuk pergi ke Inggris. Walaupun hatinya benar-benar resah, ingin sekali bertemu dengan Brian. Tapi dia harus mengorbankan hatinya dan tetap menjalankan perintah itu.Anggara dan Penelope, serta Nyai dan Romo, akan mengantar Ana menuju ke mobil yang akan membawa dia ke bandara. Namun, Ana semakin terkejut saat melihat sosok lelaki yang berada di depan mobil itu sambil bersedekap."Kenapa aku harus diantar oleh Kaisar, Ayah? Bukankah Ayah yang seharusnya mengantar aku? Untuk apa aku harus bersamanya? Ah, tidak menyukainya," ucap Ana dengan sewot. Anggara dan Pen hanya tersenyum, kemudian memeluk Ana sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil."Jaga dirimu dengan baik. Jangan nakal. Ingat, kamu itu pewaris sah. Jadi kamu harus menjalankan tugasmu dengan benar. Nilaimu juga harus tinggi. Jangan mempermalukan keluarga." Seperti biasa, Nyai dengan sangat cerewet memberikan wejangan sebelum pintu mobil tertutup. Romo hanya tersenyum dan melamba
Penelope benar-benar terkejut. Dia sampai meneteskan air mata saking bahagianya. Apalagi Anggara menggandeng Pen dan mengeratkan genggamannya itu, di telapak tangannya sebelah kanan. Raden kemudian tersenyum tampan dan menganggukkan kepala."Apakah ini mimpi? Aku semalam tidak bermimpi apa pun. Hatiku masih saja sakit. Aku ingin bertemu dengan anakku. Tapi ternyata sekarang aku menghadapi drama seperti ini. Sebuah drama yang sangat mengharukan, yang selama ini hanya ada di dalam mimpiku saja," ucap Pen kemudian menatap Anggara. Menarik telapak tangannya menuju pipinya. "Cubit aku, karena aku tidak mau terbangun dari mimpi yang indah ini," lanjutnya berkata dengan kedua mata yang berlinang air mata.Anggaran mencubit pipi Pen, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Aku sudah berjanji akan berjuang mendapatkan dirimu dan Ana sampai titik darah penghabisan dan, ini adalah buktinya. Jika aku memang benar-benar mencintaimu," balas Anggara membuat Pen
Benar-benar di luar dugaannya. Anggara mengatakan hal itu? Ada apa ini? Apakah ini sebuah lelucon? Tidak ada angin, tidak ada perasaan, tidak ada hal apa pun yang Gracia rasakan. Hingga detik ini ... sampai tiba-tiba dia harus mendengarkan sang suami mengatakan hal yang sangat mengejutkan. Dan tentu saja ini membuat dia semakin besar kepala. Gracia tersenyum puas dengan semuanya. Keyakinannya untuk menang sudah di depan mata dan ini adalah semua yang dia rencanakan. Anggara pasti akan menyerah. Membuat dirinya menjadi istri sah satu-satunya yang akan melahirkan ahli waris, yang disetujui oleh dua pihak keluarga. Bukan Penelope, wanita yang sangat bencinya itu."Apakah kau mengatakan yang sebenarnya? Suamiku, ini tidak mungkin. Kau sudah membuatku sangat bahagia. Apalagi mengumumkan ini di depan semua orang. Tolonglah, jangan pernah menganggap ini lelucon. Karena aku tidak akan pernah memaafkan kamu." Gracia menatap sang suami dengan tajam. Dia ingin kepastian. Anggara tersenyum lalu
Ana masuk ke dalam kamarnya berteriak sangat keras. "ARGH!" Semua barang yang berada di hadapannya, dia singkirkan. Prang! Semuanya pecah berserakan di lantai. Para pelayan datang dan berusaha menenangkan gadis itu."Nona, tenanglah!"Mereka semua memegangi Ana. Gracia segera datang, setelah dia menghubungi seorang dokter. Gracia meminta dokter itu untuk menyuntikkan sesuatu kepada Ana agar tenang. Kebetulan dokter itu adalah teman dekatnya. Gracia memberikan uang yang sangat banyak, membuat Dokter wanita itu bisa melakukan apa pun yang Gracia minta."Bagus. Paling tidak dia tenang. Jika ada yang buka mulut, aku akan menghabisi kalian semua," ucapnya pelan dengan tersenyum puas. Kini dia menatap dokter itu. "Bayarannya sudah aku kirim ke rekening mu. Aku akan menghubungi mu kalau perlu.""Baiklah, aku pergi," balas dokter itu meninggalkan kediaman. "Pastikan dia tenang," ucap Gracia sebelum meninggalkan kamar Ana. Semua pelayan hanya bisa menundukkan kepala dan menuruti semua yang di
Ana masih saja menundukkan kepala. Awalnya dia tidak peduli dengan perkataan Gracia. Namun, ketika menyebut nama ibunya. Anak berdiri mendekati wanita itu dan menatapnya tajam. Mendadak mendorong Gracia hingga terjatuh ke belakang. Untung saja di belakang tubuh wanita itu adalah ranjang."Walaupun aku anak kecil tinggiku sama seperti denganmu. Jangan pernah membuat aku marah. Sekali lagi kau akan membuat ibuku menderita ... aku akan membunuhmu. Apa kau lupa dari mana aku berasal? Aku berasal dari jalanan. Bahkan aku sudah dua kali masuk penjara. Aku ... tidak takut apa pun," ucapnya pelan, namun dengan kedua mata yang tajam. Gracia segera berdiri merapikan kebayanya yang sangat berantakan. Dia menata rambutnya. Kemudian dia mengepalkan kedua tangannya. Tidak percaya Ana berani memperlakukannya seperti itu.Plak!Gracia menampar Ana dengan sangat keras. Gadis itu melotot tajam ke arahnya. Ingin sekali membalas tapi Ana tahan. Dia tidak mungkin melakukan itu dengan orang yang sudah tua
Di luar rumah sakit Pen menangis tanpa henti. Dia duduk di bawah pohon sambil meringkuk. Bahkan tidak peduli beberapa orang melihatnya."Pen! Kenapa kau seperti itu? Ayo bangun!" Pen terkejut Mawar tiba-tiba datang bersama Joko, kini berada di hadapannya. Dia segera memeluk sang sahabat yang ikut menangis dan tahu penderitaannya."Aku sudah menyerahkan dia. Aku tidak bisa lagi bertemu dengannya. Tapi aku harus menyerahkan dia, Mawar. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi aku harus. Itu adalah kewajibanku. Aku sudah berdosa dan ini adalah hukuman untukku," balas Pen masih menangis. Mawar segera menarik sang sahabat dan mengajaknya masuk ke dalam mobil Joko. Lelaki itu masih terdiam mengamati semuanya."Sekarang tenangkan dirimu. Joko saat itu dibantu semua pengacara yang sudah dikirimkan Anggara, lalu kembar, juga membantumu. Semua kekayaan mu kini sudah kembali. Amara juga masih saja menerima hukumannya. Kau akan hidup dengan lebih baik." Mawar masih saja berusaha menyenangkan Pen denga