Anggara berjalan monfar-mandir. Dia masih berusaha menjernihkan kepalanya. Dia akan sangat malu sekali jika hal itu terjadi. "Ayah ...," panggil Ana pelan."Ra-den ...," ucap Bambang mengikutinya sangat pelan.Anggara tidak menghiraukan mereka. Dia masih berjalan mondar-mandir."Sudah aku bilang. Ayahmu pasti akan baik-baik saja," bisik Bambang semakin mendekati Pen.Anggara spontan menghentikan langkah. Walaupun wanita di hadapannya adalah Ana, dia masih cemburu saat lelaki lain mendekati. Spontan dia menarik Bambang agar menjauh dari tubuh Pen."Jangan menyenyuhnya, anak kecil!" bentak Anggara."Saya bukan anak kecil, Raden. Tubuh saya saja sangat besar. Masak, anak kecil," balas Bambang sewot. Tapi, dia segera menunduk saat Ana semakin melotot."Maksud aku umurmu itu. Kau itu gendut, tapi masih SMA. Argh! Aku semakin gila." Anggara mendekati Ana dan menariknya. Kembali mengawasi dari atas sampai bawah. Dia ingin membuktikan jika memang wanita yang di hadapannya memang bukan Pen, m
Joko sangat terkejut. Kenapa harus dia yang dihubungi pihak sekolah mengenai perihal tentang Ana? Apalagi ada kabar mengatakan jika Ana tertangkap karena menyimpan obat-obat terlarang. Ini memang cukup aneh. Tapi Joko menanggapinya dengan cukup santai. Pasti ada seseorang yang sudah mengatur ini semua."Joko! Kamu itu kenapa sih kok diem aja? Kamu nggak lihat itu Pen sudah menghajar Anggara. Semua pegawai melihat seorang anak berani dengan ayahnya. Mereka tidak akan pernah mengerti kalau itu sebenarnya bukan Ana," ucap Mawar dengan sangat cemas sambil menarik Joko yang hanya menatap sang majikan dengan sangat santai."Nggak usah ribet begitu. Sudah, aku lagi mikir sesuatu. Ini bacalah. Ada pesan yang dikirimkan ke ponselku." Joko menyodorkan ponselnya dan segera dibaca oleh Mawar."Apa?" Dia melotot tidak percaya kalau ternyata Ana menjual obat terlarang. Sedangkan yang berada di dalam tubuh Ana adalah Pen. Mana mungkin sang sahabat melakukan itu? Dan ini benar-benar sangat aneh."Ini
Ana dan Bambang sangat kebingungan. Mereka masih ingin bermain di sana. Tempat itu sangat luas dan mereka bisa menguasai arena bermain itu. Namun, ternyata Joko memaksa mereka untuk kembali karena ada sesuatu yang sangat buruk terjadi."Kamu itu tidak tahu orang lagi senang-senang. Ayahku sudah menyewa ini semua. Kenapa aku harus kembali? Bukankah seharusnya aku di sini seharian? Kan udah bayar mahal. Kenapa cuma sebentar aja? Belum ada 1 jam," protes Ana sambil berjalan. Sementara Bambang yang berada di sebelahnya menganggukan kepala dengan wajah yang memelas. Mulutnya saja turun ke bawah seperti badut."Ibu pen itu terkena masalah dan tubuhnya itu ... tubuh kamu. Otomatis kamu yang kena masalah," jawab Joko spontan membuat Ana menghentikan langkah. Padahal dia beberapa langkah lagi sampai di depan pintu mobil. Bambang pun spontan juga menghentikan langkah."Ibuku terkena masalah apa? Maksudnya?" tanya Ana sambil mengangkat kedua tangannya. Bambang menganggukkan kepala dengan cepat k
Ana dan Pen saling berpandangan, melempar senyuman. Mereka sangat bahagia ada jalan keluar yang bisa membuat tubuh mereka akan kembali menjadi normal.Anggara pun juga merasa lega. Dia bisa dengan leluasa akan mendekati Pen. Namun sebelumnya, dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa sampai Ana di sekolahnya difitnah dengan sangat kejam seperti itu? Siapa yang sudah melakukannya? Namun, sekarang dia akan menahan sampai mereka berdua normal kembali."Bambang, kamu sebaiknya pulang saja. Nanti bapakmu mencari," ucap Ana kemudian keluar dari mobil. Pemuda itu masih saja mengikutinya."Jadi kita tidak jadi main detektif-detektifan?" bisik Bambang membuat Ana teringat kembali dengan rencananya itu. Dia ingin sekali mengikuti wanita itu dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, walaupun Ana tahu itu adalah resiko yang super sulit yang harus dia jalani. Tapi dia harus menerjang semua itu. Semua masa lalu dan misteri yang terjadi antara Amara dengan ibunya, harus Ana Bongka
Mereka berdua berteriak bersama-sama, kemudian sama-sama memegang dada. Mereka menepuk-nepuknya. Ternyata mereka gagal. Ritual yang sudah mereka jalani tadi malam tidak berhasil. Ana sangat kesal."Aku sudah tahu. Pasti Mbah yang sangat menyebalkan itu adalah dukun abal-abal. Tidak bisa membantu kita, Bu. Apakah kita selamanya akan terjebak seperti ini?" Ana kemudian keluar dari kamar mandi menuju kursi sofa dan duduk sambil menyandarkan kepalanya. Pen mengikutinya dari belakang dan duduk tepat di sebelah Ana."Sudahlah, pasti sesuatu yang dimulai akan ada akhirnya. Kalaupun kita harus menjadi seperti ini selamanya, mau bagaimana lagi?" ucap Pen yang membuat Ana terkejut. Dia seketika berdiri kemudian berkacak pinggang di hadapan sang ibu."Andaikan Ibu dari dulu memberitahu aku siapa ayahku yang sesungguhnya, dan kita tidak perlu berdebat seperti itu!" ucapnya dengan membentak. Pen semakin terkejut melihat kelakuan anaknya yang sangat berani seperti itu."Ana, jaga ucapanmu. Hei, kau
"Ana ditangkap. Saya menemukan obat-obatan terlarang di dalam tasnya, dan dia sekarang harus ikut kami menuju Kantor Polisi," ucap kepala polisi dengan berkacak pinggang, kemudian mengamati Anggara tanpa takut dan segan sama sekali."Apa buktinya jika memang anakku yang membawa obat-obatan itu?" Anggara bertanya dengan suara lantang.Pen tidak terima. Dia berdiri tepat di hadapan polisi itu yang kini merapikan kumisnya yang cukup lebat itu."Aku tidak pernah membawa obat-obatan dan kalian sudah salah menuduhku. Dari tadi aku tidak pernah ke sekolah. Kenapa kalian menuduh seperti itu?" ucapnya kemudian mendorong polisi itu dan membuat beberapa polisi lainnya yang berjaga di sebelah sangat panik. Mereka ingin menyentuh Pen, namun Anggara spontan menarik mereka. Begitu juga dengan Joko."Ini tidak baik!" Mawar juga ikut marah. Dia berkacak pinggang di hadapan polisi itu yang seketika tersenyum menggoda."Dasar playboy! Kamu itu ya, kalau nuduh jangan sembarangan. Nggak mungkin anak yang
Semua orang tentu saja terkejut. Tiba-tiba Pen menyerahkan dirinya. Ana tidak mau hal itu. Dia tidak ingin ibunya masuk ke dalam ruangan yang sangat mengerikan itu. Apalagi banyak penjahat yang berada di dalam. Ana menarik Pen kemudian memeluknya dan menangis. Anggara benar-benar tidak tega melihatnya."Ibu," ucapnya berjalan mendekati sang ibu kemudian menatapnya dengan tatapan sayu. Namun Nyai masih saja bersikukuh untuk memisahkan Pen dan Ana. Wanita itu akan menerima Ana karena memang darah daging dari Anggara dan merupakan pewaris pertama. Tapi dia tidak akan pernah menerima Pen dalam kondisi apa pun. Semua itu adalah peraturan mutlak yang harus dilakukan oleh Anggara."Ibu apa kau tidak memiliki hati sama sekali? Lihatlah. Bagaimana jika kau dipisahkan dengan anakmu, kemudian tidak bertemu sangat lama. Bagaimana jika aku berada dalam kondisi itu, Ibu. Aku minta kau merubah pikiran. Tolonglah." Anggara masih memohon."Sayangnya ibumu tidak dalam kondisi seperti itu. Jadi kau jang
"Hah, kabur? Caranya?"Ana semakin terkejut dan menatap lelaki tua itu yang sudah memandangnya. Dia juragan burung walet yang sangat kaya. Masih selalu terobsesi dengan Pen. Menganggap dia adalah pasangan yang tepat untuk Pen. Ana semakin kesal saat lelaki tua itu mengedipkan salah satu matanya. Terlihat jelas tukang mesum yang sangat menjijikkan."Kenapa mereka ke sini? Emangnya ada apa mereka bersama dengan tante berengsek itu? Aduh, aku harus memanggilnya nenek. Karena memang dia tante ibuku. Otomatis dia nenekku. Dasar wanita tua tidak tahu diri. Kenapa dia membawa lelaki tua itu?"Tanpa berpikir panjang Ana berjalan mendekati mereka kemudian bersedekap. Joko tidak bisa menahannya. Ana menatap dengan sangat tajam. Pen yang dari kejauhan melihat hal itu sangat cemas. Dia sangat tahu Ana adalah wanita yang sangat nekat dan dia tidak peduli jika menginginkan sesuatu."Katakan, kalian mau apa? Mencuriku lagi dan memaksa menikah dengan lelaki tua yang tidak tahu diri ini? Gendut sekal