Hari minggu biasanya paling seru rebahan sambil main PS. Atau bermain dengan Leon-Louis, anjing kembar itu sedang masa lucu-lucunya membuat siapa saja ingin bermain tanpa peduli waktu. Sorenya ke halaman GOR untuk latihan skateboard. Malamnya nyanyi di kafe.
Sayangnya itu semua tidak akan terjadi untuk hari minggu ini karena Jeno diajak ayahnya entah kemana. Semakin masuk, rumah-rumah mulai berkurang tergantikan hamparan lahan juga tebing-tebing bekas pengerukan padas. Masuk lebih dalam, hanya ada pohon di sisi kanan dan kiri.
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Dadd?"
Dirgantara (ayah Jeno) menoleh sambil tersenyum "jemput momm baru."
Wajah Jeno langsung menyerngit "maksudnya?" Tanyanya bingung. "Ibu baru Jeno, calon istri daddy bukan tarzan kan?" Tanya Jeno serius karena mereka seperti ada di tengah hutan.
Seketika tawa Dirgantara meledak membuat mobil yang mereka tumpangi oleng karena setir tanpa sengaja bergerak karena tawa Dirgantara. Untung saja jalanan sepi, hanya mobil yang mereka tumpangi yang melintas "Lihat saja nanti."
Jeno menggeleng dengan wajah tidak menyangka. Semenjak ibunya menikah dengan pasangan baru, ayahnya jadi aneh. Apalagi saat mendapat tuntutan dari nenek untuk segera menikah karena keduluan Jesica (ibu Jeno, mantan istri Dirgantara) yang sudah menikah lebih dulu, ayahnya jadi kalang kabut seperti kejar setoran.
Langit menggelap karena mendung, rintikan hujan mulai turun di sertai kabut tipis membuat pemandangan di depan indah. Tidak mau melewatan momen, Jeno mengeluarkan ponsel. Dia merekam rintikan hujan, kabut dan pohon-pohon yang bergerak selama lima belas detik lalu di unggah ke instastory. "Ck! Enggak ada sinyal?!" Gerutunya.
"Memang enggak ada, Jen."
Jeno melempar ponselnya ke dashboard. Moodnya yang sudah hancur seketika bertambah buruk. Jeno membelakangi Dirgantara, menghadap jendela. Dia melipat kaki ke atas kursi jok, melipat tangan di depan dada dengan mulut mencuat menandakan kekesalannya.
Dirgantara yang melihat wajah Jeno dari pantulan jendela menoleh sambil tersenyum tipis.
Lengan Jeno terangkat menggambar di embun yang menempel di kaca mobil. Dia terkikik saat menggambar seseorang yang dia sukai yang menghilang entah kemana setelah skandal kakanya. Jeno memandangi gambar yang tidak jelas itu sampai akhirnya matanya berat dan dia tertidur.
⚠️⚠️⚠️
Dirgantara mematikan mesin mobil. Dia melepas seatbelt sambil melihat Jeno yang masih tidur membelakanginya. Tangannya terangkat ingin menepuk pundak Jeno untuk membangunkannya, tapi urung karena Dirgantara tidak tega. Jadi dia membiarkan Jeno tetap tidur di mobil. Toh hanya sebentar dan Jeno tidak akan hilang, fikirnya.
Dirgantara turun, reflek merapikan kaos polo dan celana pendek selututnya. Melihat sekitar yang nampak sepi, Dirgantara segera menuju rumah yang menjadi tujuannya. Rumah calon istrinya.
Tok...
Tok ... tok!
Terdengar suara-suara dari dalam rumah membuat Dirgantara urung untuk mengetuk pintu lagi. Dia melepas kaca mata hitamnya bertepatan dengan pintu terbuka. Seorang pria berusia sekitar 45 tahun dengan kepala plontos dan shirtless, keluar. Dia memandang Dirgantara beberapa detik lalu keningnya berkerut "ya? Cari siapa?"
Dirgantara menyimpan kaca mata hitamnya di leher, "cari Juwita, Juwi ada?"
"Dia anakku. Kamu siapa? Kenapa mencari Juwi?"
Dirgantara memberikan tangannya tapi ayah Juwi hanya memandang tangan Dirgantara tanpa berniat membalas menyalami "saya Dirgantara calon suami Juwi."
Wajah ayah Juwi cengo. Dia tidak membalas jabatan tangan Dirgantara malah memandang Dirgantara bingung. "Mas eh bapak salah orang? Juwi anakku masih kecil. Dia baru 15 tahun." Jawabnya memberi sepuluh jari menolak tangan dan kedatangan Dirgantara.
"Juwita Andini. Dia calon istri saya."
Ayah Juwi tertawa, "mana mungkin? Anda terlihat dari kota besar. Mana mungkin kalian saling mengenal. Sana pergi!"
"Saya benar calon suami Juwi." Ucap Dirgantara meyakinkan. "Kalau bapak tidak percaya, panggil saja Juwi."
"Tidak! Anda pasti penipu."
"Tidak, pak. Percaya saya. Saya Dirgantara calon suami Juwi." Dirgantara masih meyakinkan membuat ayah Juwi termundur hingga setengah badannya masuk. "Kalau bapak menyuruh saya pergi, tidak menyetujui hubungan kami, Juwi harus mengembalikan uang saya."
"Berapa?"
"20 juta."
"Astaga." Ayah Juwi reflek menggaruk kepala karena kaget, dia jadi seperti orang ling-ling bolak-balik keluar-masuk. Fikirannya menjadi kacau dan terbelah-belah. Di satu sisi percaya, di sisi lain tidak percaya. "JUWI! JU ... JUWITA!" Panggil Ayah Juwi berteriak. "Ju ... sini, Ju!"
Terdengar suara nyanyian sambalado dari speaker Hp mendekat hingga akhirnya muncul cewek berpakaian baju tidur lusuh dengan rambut ikat asal dan tidak memakai sandal keluar dengan mata membulat bertanya "kenapa, pak?"
Ayah Juwi langsung menoyor kepala Juwi sampai membuat Juwi hampir terpelanting "kenapa-kenapa ... kamu itu yang kenapa. Kenapa bisa sampai punya hutang 20 juta?"
"Hutang apa, Pak?" Mata Juwi beralih melihat ke arah Dirgantara yang menatapnya ilfeel (?) lalu melihat ayahnya dengan kening berkerut menanyakan siapa orang asing yang ada di rumahnya ini.
"Hello, Juwi."
Juwi menyerngit "siapa?"
"Kamu tidak kenal?" Tanya ayah Juwi yang mendapat gelengan membuat ayah Juwi melihat Dirgantara mendelik garang. "Kamu membohongi saya, ha?!!"
"I'm Mister D. Don't you remember me?"
Juwi menutup mulutnya, dia melihat Dirgantara dengan mata melebar karena kaget sekaligus tidak menyangka "bag-- bagaimana bisa kamu kesini?"
"Tidak ada yang tidak bisa untuk saya, Juwi." Dirgantara mengambil tangan Juwi membuat Juwi reflek menepis kasar. "Ayo ikut saya. Katanya kamu mau jadi istri saya."
"Benar?" Marah Ayah Juwi melihat Juwi menuntut.
Juwi menggeleng kaku membuat Dirgantara tertawa kecil "saya sudah menafkahi kamu."
"Apa maksudnya?"
Juwi bergerak bingung, seluruh tubuhnya keringat dingin dengan jantung berdegup kencang. Dia yang merasa terganggu dengan nyanyian sambalado di Hp memukul Hpnya sampai batre terlepas hingga akhirnya lagu berhenti.
"Tidak. Aku tidak mau. Aku hanya bercanda. Aku fikir itu hanya untuk seru-seruan. Aku akan mengembalikan semua uangmu. Aku belum mengambilnya sama sekali."
"Oke." Jawab Dirgantara remeh. "Uangnya berbunga karena saya anggap sebagai pinjaman. Kamu akan saya lepas kalau kamu sanggup membayar bunganya."
"Berapa?"
"Dua juta untuk kelipatan lima."
Juwi menjambak rambutnya. Dia melempar ponselnya ke meja pelan karena masih kawatir ponsel satu-satunya rusak.
Juwi sama sekali tidak menyangka kalau iseng mencari sugar daddy di twitter bisa membuat hidupnya serumit ini. Niat Juwi hanya untuk bersenang-senang. Karena tidak saling mengenal, Juwi fikir tidak ada yang perlu di kawatirkan.
Mengenai uang nafkah. Mulanya Juwi tidak mau menerima uang itu. Tapi karena Sari (tetangganya) memiliki ponsel yang lebih bagus dan lebih canggih dari ponselnya membuat Juwi berniat menyaingi. Tadinya uang dari Dirgantara akan Juwi digunakan untuk membeli ponsel apel keluaran terbaru biar bisa pamer ke satu desa, ternyata semua hanya angan.
"Dapat uang dari mana, Juwi? Kamu ini menyusahkan bapak! Kalau ibumu tahu, sakitnya bisa kambuh!" Ayah Juwi menyambar ponsel Juwi yang ada di meja lalu membatinya hingga tak berbentuk.
Juwi meratapi nasib ponselnya. Dia jongkok memungut pecahan ponsel sambil menangis. "Maaf, pak. Maafkan Juwi."
Dirgantara mengambil nafas panjang, muak dengan drama keluarga di depannya "saya tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi malam."
Ayah Juwi menghadap Dirgantara, mau senakal apapun, Juwi tetap anaknya. "Beri kami keringanan."
Dirgantara smirk, dia sengaja menyulitkan agar semuanya berjalan cepat. "Baiklah, saya turunkan jadi satu juta untuk kelipatan sepuluh."
"Jumlah itu masih besar untuk kami."
"Sekarang pilihannya ada dua. Juwi ikut saya atau saya panggil polisi."
"Jangan!" Mohon ayah Juwi. Dia menghembuskan nafas panjang lalu menoleh kearah Juwi dengan mata putus asa. "Oke. Juwi ikut anda."
Dirgantara meraih tangan Juwi, kali ini di genggamnya erat agar tidak lepas.
"Apa anda akan segera menikahi Juwi?"
Dirgantara melihat Juwi lamat-lamat, terbesit di benaknya untuk melepas Juwi setelah melihatnya secara langsung karena Juwi jauh dari kreterianya. Bahkan dengan seujung kuku Jesica saja tidak ada "tidak. Saya akan mentraining dia supaya pantas bersanding dengan saya."
"Juwi boleh pulang?"
"Of course."
Ayah Juwi melega, dia akhirnya pasrah membiarkan Juwi ikut Dirgantara karena tidak ingin berurusan dengan polisi. Walau dalam fikirannya masih was-was tapi berusaha untuk berpikir jernih. Dia akan mencari cara untuk menjelaskannya ke istrinya yang masih ada di sawah.
⚠️⚠️⚠️
Jeno menguap, matanya mengedar sambil menyipit menyesuaikan cahaya yang masuk. Dari tempatnya dia bisa melihat Dirgantara yang sedang mengobrol dengan laki-laki berusia sekitar 45 tahun. Entah apa yang mereka debatkan, Jeno tidak peduli, cowok itu lebih memilih keluar mobil untuk meregangkan badan yang rasanya kaku semua karena tidur dengan posisi tidak nyaman, melipat badan.
"Uahhhh ..." Jeno melenguh panjang, dia mengangkat tangan tinggi-tinggi membuat perutnya mengintip dari sela-sela kaos. Mata Jeno menyipit saat melihat seseorang yang tak asing di ingatannya yang juga sedang melihatnya. Cowok itu tersenyum lalu menghampiri dengan mengucek mata karena matanya masih butuh penyesuaian dengan cahaya sekitar karena menguap lebar.
"Mika?"
"Jeno?"
Ucap mereka bersama.
"Ini beneran elo? Heh? Kok bisa di sini?" Ucap Jeno memutar badan Mika yang tentu mendapat perlawanan dari cewek cantik yang sedang mengendong anjing jenis pomeranian itu "semua orang nyari lo sama bang Yama. Ternyata kabur kesini."
Masih dengan sisa perlawanan karena tubuhnya di putar-putar, Mika melihat Jeno sambil mendongak karena Jeno lebih tinggi darinya. "Lo sendiri ngapain kesini?" Tanyanya sedikit sewot. Sepertinya dendam habis di putar-putar Jeno.
"Jemput mom baru."
"Hah?" Bingung Mika.
Jeno terkekeh "bingung kan lo?! Apalagi gue. Tau tuh daddy ada-ada aja kelakuannya."
Mika memanjangkan kepala "ada om juga?" Tanyanya penasaran. Jeno mengangguk reflek melihat belakang membuat Mika juga ikut melihat arah belakang Jeno tapi tidak melihat apa-apa hanya melihat mobil yang terparkir gagah di sana. "Jeno ..." cicit Mika membuat sebelah alis Jeno reangkat. "Jangan kasih tahu siapapun kalau gue sama bang Yama di sini." Mohonnya dengan mata membulat.
Jeno merapatkan bibir "ya emangnya siapa yang mau gue kasih tahu?" Ucapnya menjengkelkan "tapi lo tinggal di mana? Kenapa kabur sih?" Tanya Jeno masih tidak habis fikir. Bisa-bisanya Mika meninggalkan gemerlap kota dengan milih bersembunyi di desa terpencil. Padahal semua masalah bisa di selesaikan tanpa harus kabur dari kenyataan.
Mata Jeno tanpa sengaja menangkan seorang cowok berdiri tak jauh dari Mika. Dia melirik dengan pandangan tidak suka. "Masa dia sainganku?" Batin Jeno mendecih.
Mika melihat mata Jeno dengan pandangan melamun. "Gue cuman ikut bang Yama, Jen."
"Terus kapan balik?"
Mika menggeleng.
Jeno menipiskan bibir, dia melihat Mika lekat lalu maju selangkah kemudian memeluknya secara tiba-tiba membuat anjing Mika yang bermama Thor itu kaget dan loncat. Cowok yang ada di dekat Mika secara naluri langsung menangkap Thor agar anjing kecil itu tidak lari.
"Gini dulu." Ucap Jeno nyaman memeluk Mika. Dia tidak berani mengatakan rindu karena takut Mika mengetahui perasaannya dan semua akan berubah. Jeno tidak mau mereka menjadi akward.
"Jen." Protes Mika. Dia mendorong lengan Jeno sekuat tenaga. "Ini di desa. Lo enggak bisa main peluk-peluk gue kayak gini di tempat umum. Di desa punya aturan yang tidak tertulis yang harus di patuhi siapapun yang datang ke sini."
Jeno menurut, dia melepas pelukannya. "Ayo lanjut di mobil." Ajak Jeno.
"Katanya mau pulang, ayo!"
Suara cowok yang sedang mengendong Thor membuat perhatian Jeno teralih. Dia menatap cowok itu sengit memberi sinya pertempuran. Sayangnya Jeno langsung menciut saat di tatap balik oleh cowok itu. Dari penampilannya sepertinya dia berandal desa.
"Please, Mika."
"Maaf Jeno. Gue harus pulang." Ucap Mika lalu pergi membuat Jeno segera membuntut tapi suara Dirgantara menghentikan langkahnya.
"Jeno ayo pulang!"
Jeno berbalik badan, dia melihat Dirgantara dengan pandangan memusuhi "bentar, dadd. Ada Mika."
"Ngaco kamu. Mika enggak ada di sini. Ayo pulang!"
"Ck! Ad--" ucap Jeno melayang di udara saat dia berbalik badan, Mika tidak ada di manapun. Dengan langkah berat hati Jeno tertarik pasrah Dirgantara yang mengambil bahunya.
Tadi itu hanya halusinasi atau nyata?
⚠️⚠️⚠️
Dirgantara melirik rear-vision mirror. Sejak masuk mobil dia diam saja sambil melamun. Wajahnya melihat depan dengan tatapan kosong, Dirgantara jadi takut kalau dia kerasukan karena sekarang sedang melewati hutan dan masuk jam magrib "kamu kenapa, Jeno?" Tegur Dirgantara.Jeno mengecap, dia melirik Dirgantara lalu kembali melamun. "Aku tadi ketemu Mika. Tadinya aku mau ngikuti dia tapi daddy panggil dan paksa aku masuk mobil.""Mana mungkin Mika ada di desa itu, Jeno."Jeno berdecak. Dia melipat kaki di jok lalu melihat ke arah jendela. "Ada! Dia dan bang Yama bersembunyi di desa itu. Aku mengobrol dengan Mika, aku memeluknya!"Dirgantara melirik, dia menghembuskan nafas panjang. Semenjak Mika menghilang, Jeno jadi kurang semangat menjalani hari-harinya. Salahnya karena sibuk bekerja dan bersaing dengan Jesica membuatnya membiarkan Jeno bermain dengan Mika seharian penuh hingga Jeno menga
Lagu Way Back Home milik Shaun mengalun indah di kafe prince menemani pengunjung yang datang malam ini. Jeno bernyanyi sambil bermain gitar milik Yedam di panggung mini tengah kafe menghibur pengunjung yang datang . Lebih tepatnya mengajak galau bersama.Tepuk tangan terdengar saat Jeno menyelesaikan lagu dengan akhiran yang menyayat hati. Jeno mengucap terima kasih pada penonton lalu turun menuju meja depan barista menghampiri Yedam dan Yosi (kakak Yedam) yang menjadi operator instagram live."Galau lo makin parah, Jen." Yosi meledek.Jeno yang baru selesai minum apple tea mengusap mulutnya dengan punggung tangan. "Mau gila aja rasanya." Ucapnya menyandarkan punggung di meja barista membelakangi barista. "Masa bokap gue--""Bentar!" Potong Yedam menjeda. "Gue pindah dulu tripot sama Hpnya, nanti penonton live music pada denger." Ucap Yedam sambil melakukan. Yedam memind
Jeno membanting tubuh di kasur. Dia menghembuskan nafas panjang sambil melihat langit-langit kamar, meraih guling lalu diletakan di bawah kepala. Jeno menghembuskan nafas berkali-kali. Hidupnya sungguh membosankan. Hari ini dia tidak berangkat sekolah karena belum mewarnai rambut menjadi hitam. Jeno terlalu malas karena lelah kemarin diajak pergi ke desa.Jeno mewarnai rambut menjadi warna blonde karena permintaan klien. Semenjak menjadi penganti model untuk produk baru milik perusahaan Dirgantara, Jeno jadi laris job karena wajahnya yang tampan juga status anak pengusaha. Tapi dia hanya mengambil job iklan agar waktunya tidak tersita untuk dunia entertaiment.Jeno merogoh ponsel yang ada di celana. Dia membuka room chat milik seseorang yang sampai sekarang belum membalas pesannya. Jeno menghembuskan nafas panjang, dia melempar ponsel sembarang ke kasur lalu keluar kearah balkon.Perhatian Jeno teralih saat melihat Juwi te
Yosi menyenggol Daniel yang ada di sebelahnya. Dia menggerakan kepala, berkode menanyakan kenapa dan ada apa gerangan dengan Jeno yang kerap kali gagal melakukan trik skateboard bahkan dengan trik yang paling dasar sepertikickflip Jeno gagal, padahal dia jagonya skateboard."Gak tau!" Ketus Daniel.Yosi melengos, dia mengangkat wajah saat Jeno dan Yedam kembali. "Main lo jelek banget, Jen. Kebanyakan galau!" Hardik Yedam duduk di sebelah Yosi lalu menyambar botol berisi rendalam air lemon kemudian meminumnya hingga setengah.Daniel melirik, Yosi merangkul bahu Jeno lalu menepuknya pelan "kenapa lagi, hm?"Jeno melihat ke arah lintasan dengan mata menyipit, tangannya merogoh botol yang tertindih jaket Daniel "Gak tau, perasaan gue gak enak terus dari tadi.""Gak enak, ya di enakin lah. Kasih garem kek."Jeno memukul kepala Daniel menggunakan botol yang isinya setengah
Jeno berhenti saat sampai di depan lobi apartmen. Tanpa kata dia langsung pergi membuat Yuna memandangnnya dengan hati ngedumel tapi tetap tahu diri untuk tidak menjulidi atau menyumpahi Jeno karena sudah mengantarnya ke apartmen kekasihnya."Sial! Gue lupa kasih tahu Jeno jangan bilang ke Daniel." Monolog Yuna lalu merogoh ponsel untuk mengirim pesan ke Jeno agar tidak melapor ke Daniel, kembarannya.Yuna masuk dengan riang. Dia segera masuk lift lalu menekan tombol untuk membawanya ke lantai 20 di mana apartmen kekasihnya berada. Sebenarnya itu apartmen milik Yuna, dia membelinya dari uang jajan yang di tabung selama kurang lebih sebulan.Yuna berikan pada kekasihnya karena tidak tega dengan kekasinya yang tinggal di kosan kecil. Bukan di berikan secara cuma-cuma tapi hanya untuk di tempati. Apartmen itu tetap atas nama Yuna Mananta.Di dalam lift sudah ada pasangan muda-mudi yang kira-kira beru
Juwi pusing. Matanya terasa juling saat melihat banyaknya pakaian, aksesoris, sepatu, tas dan lain sebagainya yang menunjuang penampilan, mengelilinginya. Rasanya mual saat melihat sepatu atau tas dengan model dan merek sama hanya beda warna berjejer rapih di lemari penyimpanan. Atau saat jam dan kaca mata berjejer rapih di dalam estalase. Atau pakaian yang di susun rapi berdasarkan warna dan penggunaan.Juwi terkekeh dalam hati, mengumpati dirinya 'anak kampung' karena hanya melihat pakaian dan aksesoris dirinya pusing dan mual.Miss Dara mengajak Juwi ke Dara's colection untuk praktik secara langsung. Miss Dara akan melihat selera fashion Juwi lalu memberi tahu atau mengoreksinya saat mix and match Juwi tidak cocok atau bertabrakan dengan selera fashion Dirgantara.Miss Dara mengajak Juwi duduk di sofa yang ada di depan fitting room, dia menjelaskan banyak hal. Mengulang pembelajaran saat di rumah agar
Yuna duduk di atas kasur sambil memeluk kakinya yang tertekuk. Dia memejamkan mata sambil mengepalkan tangan kuat-kuat sampai bisa merasakan kukunya menancap di telapak tangan dengan hati bergemuruh tidak tenang memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.Hembusan nafas berat berkali-kali berhembus dari hidung Yuna. Kepalanya tiba-tiba pening yang tak lama bahunya bergetar sambil menoleh pada Jonathan yang sedang tidur di sampingnya dengan badan polos yang hanya tertutup selimut hitam tebal.Yuna terisak, dia menutup wajahnya dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanan meremat selimut yang menutup badan polosnya. Yuna benar-benar menyesal. Dia ingin memutar waktu. Andai saja tadi bisa menahan diri. Andai saja tadi tidak terbawa suasana, andai saja saat Jonathan menawarkan untuk berhenti dia menurut. Andai saja dia tidak kabur dari Daniel. Andai saja ... arghh kenapa penyesalan selalu datang terlambat?"Sa
Yuna melangkah lebih dulu memasuki rumah. Nuansa Eropa klasik langsung terasa saat permainan piano dengan melodi lembut terdengar di seluruh penjuru ruang, yang berati ayahnya di rumah. Karena Mananta tidak suka kesepian. Bukan berati suka keributan. Lebih tepatnya suka musik yang menenangkan.Sedangkan Daniel memarkir motor di garasi hidrolik yang ada di bawah tanah.Seorang maid menghampiri Yuna, dia sedikit mendenguskan hidung membuat Yuna mengambil jarak. "Memang sebau itu?" Batin Yuna sambil membau dirinya sendiri."Nona, sudah di tunggu tuan dan nyonya di meja makan." Ucap maid memberi tahu dengan sopan.Yuna memanjangkan wajah ke arah ruangan yang terhalang akurium api besar sebagai pembatas ruangan. Dia melihat ke arah meja makan yang sudah ada ayahnya dan Jesica, dengan tatapan tak terbaca. Apalagi saat melihat mereka mengbrol sambi sesekali tertawa dan bermesraan. "Mau mandi. Suruh mereka makan duluan. Gue mandinya lama!"
"Kita enggak jadi break?"Yuna yang baru keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri dari sisa pergulatan panasnya dengan Jonathan berjalan kearah bajunya yang tergeletak di bawah tempat tidur.Dengan santainya cewek berambut panjang lurus itu membuka kimono handuknya lalu membungkuk memungut bra. "Eung ... enggak. Kayaknya aku bisa jalani keduanya."Jonathan yang duduk bersandar pada kepala kasur dengan tubuh bagian atas yang di biarkan terkespos mengangguk. "Bagus deh. Jadi aku enggak perlu nahan-nahan kalau kangen.""Nahan apa?""Nahan kangen, sayang!"Yuna mengangguk saja. Kini dia memakai CD lalu mengambil seragam sekolahnya. Sebelum memakainya, Yuna melihat kearah Jonathan. "Kak ..." panggil Yuna membuat Jonathan yang akan mengambil ponsel di nakas untuk cek email, menoleh. "Boleh sekali lagi enggak?""Apanya?" Goda Jonathan pura-pura tidak paham."Itu!" Yun meletakkan seragamnya lalu kembali membuka CD
"Udah sampai. Turun!"Daniel turun dari motor saat Jeje menghentikan motor di depan rumah sederhana yang sampingnya langsung terhubung dengan toko yang tutup karena tidak ada yang jaga karena ibu Jeje menunggui eyang sakit.Kepala Daniel terdongak ke atas saat melihat pohon anggur merambat dari tiang ke atas mengikuti kerangka membentuk payon membuat sekitarnya jadi adem juga sejuk. "Keren banget. Mendiang nyokap gue dulu pernah mau buat kayak gitu tapi gagal terus padahal udah datengin ahli taman."Jeje yang baru melepas helem menoleh. "Itu udah lama. Sebelum gue lahir kayaknya." Ucap Jeje mengajak Daniel ke teras rumahnya. "Bagus, ya? Tapi enggak pernah berbuah."Daniel menyerngit. "Kenapa?"Jeje mengedikkan bahu sambil mencari kunci rumah yang ada di bawah pot. "Mana gue tahu." Jawabnya lalu kearah pintu saat menemukan kunci rumah. "Walau enggak berbuah setidaknya masih bermanfaat buat adem-ademan rumah."Daniel mengangguk set
"Arghh ... akhirnya sampai rumah." Lenguh Jeno sambil mematikan mesin motor. Cowok tampan itu melangkahi motornya untuk turun lalu melepas helem kemudian meletakkan di gantungan khusus agar helemnya terangin-angin. Jeno berjalan masuk rumah melalui pintu samping yang langsung terhubung dengan pantri. Melihat ada kue cubit di atas piring, Jeno mendekat. "Wah enak kayaknya." Ucap Jeno saat melihat coklat yang lumer. Tanpa cuci tangan, cowok tampan itu mencubit kue lalu di masukkan ke mulut dalam sekali hap membuat mulutnya mengembang penuh, kemudian berlalu. Jeno memanjangkan kepala, cowoka tampan yang hendak naik tangga itu mengurungkan niatnya saat mendengar gonggongan anjing-anjing kecilnya membuat Jeno mendekat dengan riang. Jeno tersenyum saat Leon menyambutnya. Cowok tampan itu melepas tasnya lalu meletakkan tasnya sembarang di luar kandang. Jeno mengulas puncak kepala Leon dengan telunjuk "Hei, si ganteng." Sapanya membuat Leon
"Hai, kak."Jonathan tersenyum simpul, reflek memanjangkan kepala melihat ke luar jendela saat taxi yang di tumpanginya bergerak karena traffic light sudah berubah hijau. "Daniel motornya baru?" Ucap Jonathan entah bertanya atau menyindir.Yuna reflek menoleh saat Yosi belok ke pertigaan sedangkan taxi yang di tumpanginya lurus. "Itu Yosi, kak.""Yosi?"Yuna mengangguk, cewek berambut lurus panjang itu melepas helem lalu merapat ke Jonathan. "Jangan salah paham dulu. Aku cuman nebeng dia ke tempat bimbel." Bujuk Yuna meletakkan helem di pangkuan.Jonathan mengangguk-angguk, sebenarnya dia tidak mempermasalahkan. Malahan awalnya mengira kalau itu bukan Daniel, Jeno. Cowok berusia dua puluh lima tahun itu yang tadi melamun melihat keluar jendela tersenyum saat Yuna menjadi objek lamunannya. Jonathan memperhatikan Yuna karena rindu pada kekasihnya."Enggak jadi berangkat bimbel?""Jadi ..." jawab Yuna. Cewek berambut lu
"Juwita kabur.""Kabur gimana?"Sekembalinya dari area kolam renang samping rumah, Miss Dara duduk di sofa. Wanita itu meraih kopi yang maid siapkan saat dirinya datang tadi dengan sebelah tangan memegang ponsel melapor pada Dirgantara. "Dia enggak ada di rumah. Tiba-tiba ilang.""Ngaco! Mana mungkin, Dara! Dia enggak tahu Jakarta."Miss Dara menyesep kopinya. "Aku enggak bohong, Dirga. Juwita enggak ada di kamarnya. Maid udah cari keliling rumah sampai garasi, taman, depan gerbang. Enggak ada!""Pas gue tinggal anaknya masih, kok.""Iya, waktu maid panggil juga masih. Tapi enggak tahu tiba-tiba ilang.""Ck! Gue lagi di luar kota."Miss Dara meraih tasnya yang ada di meja untuk mencari TWS agar mudah melakukan aktivitas lain. "Terus gimana?" Tanya Miss Dara kini memasang TWS lalu meraih ipad untuk melihat calon model yang tidak bisa di urusnya penuh karena harus mengajar Juwi malah Juwi-nya menghilang.Dirgantara m
"Ice Americano ... sama toast tuna.""Hanya itu, kak?"Jonathan melihat etalase yang penuh cake, ice cream, susi dan berbagai macam makanan ringan lain yang tersusun rapi di dalam. "Hanya itu." Putus Jonathan karena dia harus menjaga berat badan."Pembayaran case atau pakai kartu?""Case.""Total dua ratus sepuluh ribu ya, kak."Jonathan mengeluarkan dompet lalu mengambil uang pas untuk di berikan pada kasair. Setelah mendapat struk pembelian Jonathan menerima nampan berisi pesanannya. "Terima kasih." Ucap Jonathan lalu ke meja singel yang ada di dekat jendela.Cowok berusia 25 tahun itu melepas sedotan dari pembungkus plastik lalu menancapkan ke ice Americanonya. Jonathan melihat area luar sambil menyesep kopinya. Atensinya melihat lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki yang melewati kafe.Jonathan mengerjab saat sebuah mobil mewah berhenti di depan kafe tempatnya berada yang tak lama beberapa pejalan kaki mendekat
"Ayo masuk! Nunggu apa sih?"Yuna berdecak, dia memukul kepala Daniel karena Daniel seperti orang bodoh berdiri di depan gerbang sambil mengecek ponsel dan jam tangannya setiap detik. Mereka baru saja turun dari mobil milik keluarga Mananta karena motor Daniel menginap di kafe Prince. "Jangan bilang lagi nunggu, Jeje?!!""Iya." Jawab Daniel tanpa dosa. "Lo kalau mau masuk, masuk aja. Tahu jalan ke kelas kan!!?"Yuna berkacak pinggang, dia tidak peduli dengan beberapa murid RHS yang mewatinya dan curi-curi ingin tahu. "Gue enggak suka ya kalau lo bucin kayak gini."Daniel berdecak, jadi mengangkat wajah menatap Yuna. "Apa sih? Lo punya pacar gue enggak pernah ikut campur! Sekarang gue yang punya pacar kenapa lo ikut campur?"Yuna mendesah panjang. "Fine!" Ucapnya lalu pergi meninggalkan Daniel begitu saja. Cewek berambut lurus panjang itu melangkah lebar menuju lobi lalu belok ke koridor sayap kanan."Gue enggak masalah lo punya pacar t
"Dara's Colection."Jonathan berdiri di depan salah satu butik terkenal yang ada di Kota Jakarta. Laki-laki berusia 25 tahun itu melihat ponselnya sambil mencocokan alamat yang tertera di website Dara Colection.Setelah memastikan alamat yang tertera benar, Jonathan masuk yang langsung di sambut pramuniaga yang berjaga di depan pintu. "Selamat pagi. Selamat datang di Dara's Colection."Jonathan mengangguk sambil tersenyum ramah. "Mbak benar di sini sedang mencari model?""Ohh ... benar, mas. Mari saya antar." Ucap pramuniaga mempersilahkan lalu jalan lebih dulu membuat Jonathan membuntut. "Calon model yang lain juga sudah datang." Lanjutnya memberi tahu."Sudah berapa orang, Mbak?""Mungkin puluhan?!"Jonathan mengangguk. Diam-diam merasa kawatir karena semakin banyak yang ikut audisi, peluang akan semakin kecil.Jonathan memanjangkan kepala saat melihat para model sedang menunggu di sofa depan sebuah ruangan.
Yedam yang ada di dekat jendela memanjangkan kepala saat melihat Jeno dan Yuna berjalan bersama dari parkiran menuju kafenya. Cowok berkaos hitam bergambar papan catur itu meloncat keluar membuat Yuna mengibaskan tangan hingga tanpa sengaja mengampar wajah Yedam sampai berbunyi nyaring. "Kasar banget!" Aduh Yedam memegang keningnya yang terasa perih karena sabetan tangan Yuna."Lagian lo ngapain di situ, busettt?" Tanya Yuna yang kini melewati Yedam begitu saja ke arah meja barista menuju Yosi yang sedang menjadi operator instagram live.Yedam membuntut, Jeno yang datang bersama Yuna jadi tertinggal. "Tumben barengan, ada angin apaan nih?" Tanya Yedam membuat Yuna yang baru memesan minum melengos. "Lo berdua enggak lagi ngedate kan?""Orang gila!" Amuk Yuna memukul kepala Yedam membuat Yedam menjauh, kemudian menoleh pada Jeno yang sedang melihat seorang pengunjung bernyanyi di depan. "Lo apa, Jen?""Samain."Yedam memajukan wajah denga