Setelah mual di perutnya sedikit berkurang, Ayyara langsung keluar dari kamar mandi. Dia tak nyaman meninggalkan acara terlalu lama. Takutnya banyak orang yang menanyakan kenapa dirinya, dan membuat orang-orang jadi curiga jika dirinya kini telah hamil. Ayyara tak mau Kieran maupun keluarganya mengetahui kehamilannya ini.
Ketika dirinya keluar dari kamar mandi, langkah Ayyara seketika terhenti saat dirinya dikagetkan dengan keberadaan Daria di sana. Ayyara mendadak panik."Mama? Kenapa mama ada di sini?"Tak langsung menjawab pertanyaannya, Daria justru tersenyum. Membuat Ayyara mendadak bingung."Kieran bilang sejak tadi pagi kamu mual-mual terus. Apa iya?"Ayyara mengangguk jujur. "Iya ma. Tapi Ayyara tidak kenapa-kenapa. Mungkin ini hanya asam lambung saja.""Apa kamu sudah periksa ke dokter?"Ayyara diam sesaat. Kali ini dia tak mungkin jujur jika dirinya sudah memeriksakan diri ke rumah sakit. Pasti Daria akan beMerasa sudah terlalu pusing, Ayyara menghentikan pemikirannya barusan. Dia memutuskan untuk segera ke dapur menghampiri bi Sarah. Yang terpenting baginya saat ini, Kieran maupun keluarganya belum mengetahui yang sebenarnya jika dia memang benar hamil."Bi Sarah," panggil Ayyara dengan sopan. Saat wanita paruh baya itu sedang menuangkan sesuatu ke gelas. Wanita itu menoleh, lalu tersenyum hangat pada Ayyara."Nyonya muda Ayyara, ini jus apelnya." Bi Sarah memberikan segelas jus yang baru saja selesai dia buat pada perempuan di sampingnya itu. Ayyara kemudian menerimanya. "Terimakasih bi Sarah."Bi Sarah mengangguk, mengiyakan ucapan Ayyara. Dia masih tersenyum menatap Ayyara yang mulai meminum jus buatannya. "Gimana rasanya? Enak?"Ayyara mengangguk. "Iya enak bi, Ayyara suka.""Ibu Daria meminta saya membuatkan itu untuk nyonya muda. Kata ibu, nyonya sedang hamil ya. Selamat ya nyonya atas kehamilan
Ayyara langsung mengambil gelas yang masih dipegang suaminya itu. Celine menatap kedatangan Ayyara dengan sorot marah."Jangan minum, aku tidak suka.""Kenapa kau tidak suka jika kak Kieran minum?" tanya Celine. Dia berpura-pura tersenyum saat pandangan Ayyara kini mengarah padanya. "Om Raymond telah membuat acara ini, jadi kita harus minum sebagai tanda menghargai acara yang sudah dibuat om Raymond.""Aku tidak minum, jadi aku juga tidak mau jika mas Kieran minum!"Entah kenapa, Kieran justru merasa senang jika Ayyara melarangnya untuk minum. Dia kemudian mengambil gelas yang tadinya direbut Ayyara darinya. "Tidak apa-apa. Jika kamu tidak mengizinkanku untuk minum, aku juga tidak akan minum."Kieran berjalan menghampiri meja yang terletak tak begitu jauh darinya. Meletakkan gelas dan botol Vodka yang tadinya masih dia pegang ke atas meja itu. Lalu kembali menghampiri sang istri.Jujur, dalam hati Celline saat ini sanga
"Aku dengar, dulu kau dan kak Kieran menikah karena perjodohan bukan? Itu artinya, sebelumnya kalian tidak saling mencintai. Jika sampai sekarang kau masih belum mencintai kak Kieran, aku mau saja membantumu untuk cerai dari kak Kieran."Ayyara mengernyit tidak suka. Walau dia sering bicara ingin bercerai dengan Kieran dan ingin menikah dengan Bagas, tapi entah kenapa Ayyara tak terima jika perempuan itu mengatakan ingin membantunya bercerai dengan Kieran."Aku tidak mau bercerai dengan mas Kieran. Sampai kapanpun aku tidak akan bercerai dengan mas Kieran!" Senyum Celine seketika pudar. Dia menatap Ayyara dengan sorot benci. Melihat hal itu Ayyara justru tersenyum."Aku tidak tahu, kenapa kau tiba-tiba mengatakan ini padaku. Aneh sekali, jikapun aku tidak mencintai mas Kieran seharusnya sebagai sepupunya yang baik kau mau membantuku untuk menerimanya. Bukan mendukungku untuk menceraikannya!""Dan sekalipun kau mencintainya, aku justru te
Setelah acara selesai, Kieran langsung mencari Ayyara. Sejak meninggalkan Ayyara bersama Celine di rooftop tadi, Kieran tidak lagi mendapati Ayyara ikut bergabung bersama keluarganya yang lain. Saat bertanya pada Celine kemana Ayyara saat ini, sepupunya itu juga tidak tahu."Tuan."Langkah Kieran terhenti saat mendengar suara wanita paruh baya memanggilnya. Kieran menoleh, bi Sarah bergegas menghampirinya. "Tuan sedang mencari nyonya Ayyara?" tanya bi Sarah memastikan. Dari kejauhan tadi bi Sarah sudah memperhatikan jika tuannya itu seperti kebingungan mencari sesuatu, mungkin saja tebakannya benar."Iya bi. Kieran sejak tadi tidak melihat Ayyara berkumpul di rooftop. Apa bi Sarah tahu dimana Ayyara sekarang?"Bi Sarah mengangguk, mengiyakan. "Sejak tadi bi Sarah menunggu nyonya muda Ayyara dari kejauhan. Dia tertidur di ruang tengah. Sepertinya nyonya muda sangat kelelahan sampai tertidur nyenyak seperti itu. Bi Sarah tidak be
Kieran menoleh, Daria dari kejauhan mulai berjalan menghampirinya. Kieran yang tadinya mulai bersiap untuk menggendong Ayyara kini jadi tertunda.Setelah tiba di hadapan putranya, pandangan Daria kini terarahkan pada Ayyara yang tertidur di samping laki-laki itu. "Kamu mau bawa Ayyara kemana?""Kieran mau membawa Ayyara pulang ma. Kasihan Ayyara pasti sangat kelelahan sampai tertidur seperti ini. Lagi pula acaranya juga sudah selesai kan, jadi Kieran dan Ayyara boleh pulang dulu ma?""Kenapa pulang? Kenapa tidak tidur di sini saja? Pindahkan Ayyara ke kamarmu. Semua keluarga kita juga tidak ada yang pulang malam ini, semuanya menginap di sini dan pulang besok pagi."Kieran diam sesaat sambil berpikir. Mungkin benar yang diucapkan Daria, dia sepertinya tidak perlu pulang dan ikut menginap di rumah orang tuanya seperti yang lainnya. Kieran kemudian mengangguk menyetujui saran sang mama. "Baiklah ma. Kieran akan tidur di sini juga
Setelah sampai rumah, Ayyara langsung merebahkan tubuhnya ke kasur tanpa mengganti bajunya lebih dulu. Dia sudah sangat lelah, matanya juga sangat berat untuk di buka. Bahkan saat perjalanan pulang tadi dia sempat tertidur di mobil, namun setelah mobil sampai depan rumahnya Ayyara segera terbangun karena tak ingin jika Kieran menggendongnya ke kamar. Sedangkan Kieran, setelah selesai mengganti bajunya dia langsung menyusul sang istri yang sudah mulai terlelap kembali di atas kasur. Sebelum ikut merebahkan tubuhnya di samping Ayyara, Kieran menyelimuti tubuh perempuan itu lebih dulu agar tak kedinginan. Mata Ayyara kembali terbuka, menatap Kieran yang kini sudah duduk di atas kasur sampingnya. Laki-laki itu mulai merebahkan tubuhnya setelah selesai memasangkan selimut untuknya. "Mas," panggil Ayyara pelan membuat sang suami langsung menatapnya bertanya. "Kenapa Ayyara?"Ayyara kembali diam, sambil berpikir sejenak. Entah kenapa dia ter
Ayyara segera menggeleng, tanda tidak. "Aku menolaknya. Aku mengatakan padanya jika aku tidak akan bercerai denganmu apapun yang terjadi. Dan aku juga mengatakan padanya, jika tidak ada yang memisahkan kita kecuali kematian, tapi dia justru mendoakanku agar aku segera mati. Memang kurang ajar anak itu. Untung saja aku tidak langsung mendorongnya dari atas rooftop tadi, karena terlalu kesal dengannya."Mendengar penjelasan perempuan itu, Kieran justru tersenyum. Entah Ayyara sadar atau tidak dengan ucapannya barusan. Tapi itu membuat Kieran yakin jika sebenarnya Ayyara telah nyaman bersamanya dan tidak mau sampai berpisah dengannya. Kini Kieran sedikit merasa tenang, itu artinya dia tak perlu khawatir akan kehilangan Ayyara. "Ayyara, terimakasih."Ayyara mengernyit tak paham. "Aku sedang kesal dengan ucapan Celinne tadi, kenapa kamu justru berterimakasih?""Iya terimakasih karena telah mengatakan semua itu pada Celine. Dan terimakasih ka
Pukul empat dini hari Kieran terbangun dari tidurnya. Dia melihat ke sampingnya, Ayyara sudah tidak ada. Kieran kemudian beringsut duduk sambil menjernihkan pandangannya, lalu menatap ke sekelilingnya. "Kemana lagi Ayyara? Sepagi ini sudah tidak ada di kamar. Memangnya jam berapa sekarang?" Kieran mengarahkan pandanganya ke atas nakas, menatap ponsel miliknya di sana. Dia meraihnya berniat untuk mengambil ponsel itu, namun tak sengaja tangannya justru menyenggol dompet berwana cream di atas sana hingga membuatnya jatuh ke lantai. Dengan sangat malas, akhirnya kieran turun dari kasur dan mengambil dompet itu. Itu adalah dompet milik istrinya, Kieran mengambilnya dan memasukkan dompet itu ke dalam laci karena barang-barang Ayyara yang lainnya saat ini banyak yang berserakan di atas nakas dan memenuhinya. Mungkin karena Ayyara kemarin terlalu lelah jadi meletakkan barang-barangnya secara asal.Saat Kieran meletakkan dompet itu di dalam laci, tak s
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.