"Siapa dia pak?" tanya Nasya penasaran. Tentu ini pertama kalinya Nasya melihat perempuan itu, tapi jika dilihat dari wajahnya Nasya merasa perempuan itu mirip seseorang. Tapi siapa?
"Istri pria yang beberapa hari ini memaksa ingin bertemu saya. Hari ini pria itu tidak datang lagi ke sini, tapi justru istrinya yang datang."Nasya mengangguk paham. Namun ada satu hal yang masih membuatnya bingung. "Saya tidak pernah melihat perempuan itu. Tapi kenapa wajahnya seperti mirip seseorang yang pernah saya temui?"Kali ini Kieran diam. Dia tak mungkin mengatakan pada Nasya jika perempuan itu ternyata adalah kakak kandung istrinya."Sudahlah tidak penting. Sekarang ayo kita masuk ke mobil."Nasya hanya mengangguk, mengiyakan apa yang diperintahkan Kieran. Namun saat mereka berjalan menuju parkiran, pandangan Ayuma justru terarah pada mereka. Ayuma ingin menghampiri Kieran, namun para satpam di hadapannya terus menghalanginya."Kieran BiKieran diam sejenak. Dia sesaat melirik Nasya yang masih berdiri di sampingnya, mendengar pembicaraannya dengan Ayuma. Sekertarisnya itu sepertinya sudah terlanjur mengetahui semuanya antara dia dan ayuma. Sekarang tak ada lagi yang perlu Kieran tutupi dari Nasya. "Kamu pasti juga tahu jika suamimu itu adalah koruptor, bukan? Yang menyebabkan perusahaannya bangkrut itu adalah kesalahannya sendiri. Jadi pikirkan baik-baik, perusahaan mana yang mau membantu seorang koruptor seperti suamimu?"Ayuma terdiam. Dia memang sudah tahu apa yang menyebabkan perusahaan sang suami bangkrut, tapi dia kira Kieran tak tahu mengenai itu."Jadi carilah cara lain untuk bertahan hidup, karena aku tidak mungkin membantu kalian. Maaf, hanya ini yang bisa aku katakan padamu." Kieran kemudian menatap sang sekertaris di sampingnya. Mengisyaratkan untuk segera masuk ke mobil. Nasya yang paham langsung mengangguk, menuruti perintah Kieran.Perlahan tangan Ayuma mengepal. D
Pintu utama terbuka, Nasya membantu Kieran berjalan memasuki rumahnya. Setelah mendudukkan Kieran di sofa ruang utama, Nasya langsung mengedarkan pandangannya ke sekitar. Dia merasa rumah Kieran saat ini sangat sepi, entah kemana istrinya?"Maaf pak, kemana ibu Ayyara ya?"Kieran menggeleng pelan tanda tidak tahu. Saat dia berangkat kerja tadi Ayyara juga masih ada di rumah. "Mungkin Ayyara sedang keluar. Nasya bisakah kamu ambilkan saya air, saya ingin meminum obat sekarang."Nasya mengangguk, menuruti perintah kieran. Dia kemudian mulai berjalan ke arah dapur untuk mengambilkan air agar Kieran bisa meminum obatnya yang baru saja mereka beli di apotek tadi saat dalam perjalan pulang.Setelah mengambilkannya, Nasya ikut duduk di samping Kieran. Dia membukakan satu-persatu obat Kieran agar laki-laki itu mudah meminumnya. Bertepatan dengan itu pintu utama kembali terbuka, perempuan yang baru saja memasuki rumah itu seketika membelalak tak
Aku tidak tahu kenapa sejak pagi tadi kepalaku sangat pusing, jadi aku ingin minum obat dan setelah itu beristirahat sebentar."Ayyara khawatir. Jika diperhatikan wajah Kieran juga tidak seperti biasanya, sekarang begitu tampak pucat. Dengan segera Ayyara duduk di samping sang suami, memberikan air minum yang masih dia pegang itu pada Kieran. Kieran menerimanya, dia lalu segera meminum obat yang tadi sempat tertunda. Setelah laki-laki itu meminum obat, Ayyara menyentuh kening sang suami untuk memeriksa suhu tubuh laki-laki itu. Mendapat perlakuan itu Kieran seketika terdiam, tentu dia tak pernah melihat Ayyara sekhawatir ini padanya. "Badanmu juga sedikit demam mas. Apa kamu sakit?"Kieran tersenyum, jujur dia begitu sangat senang Ayyara memberikan perhatian lebih padanya seperti ini. Tapi dia juga tak mau membuat Ayyara panik. Kieran pun akhirnya menggeleng pelan, lalu menjawabnya, "aku tidak apa-apa. Mungkin ini hanya kelelahan saja.
Pintu kamar terbuka secara perlahan. Ayyara masuk sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air minum untuk Kieran. Namun saat sampai sana, Ayyara melihat Kieran sudah tertidur nyenyak. Ayyara akhirnya meletakkan nampan itu di atas nakas samping tempat tidur. "Jika tidak dimakan sekarang buburnya akan dingin," ucap Ayyara pelan tanpa berniat untuk mengusik tidur sang suami. Ayyara juga yakin pasti sejak tadi Kieran juga belum makan. Laki-laki itu sudah meminum obat tapi dalam keadaan perut kosong. Ayyara ingin membangunkannya, namun tak tega. "Apa tidak apa-apa jika aku membangunkannya sekarang?"Dengan ragu tangan Ayyara mulai terulur, menyentuh bahu Kieran. Dia mengguncangkan tubuh Kieran dengan pelan agar laki-laki itu terbangun dari tidurnya."Mas."Perlahan kelopak mata Kieran mulai terbuka. Sorot sayunya langsung mengarah pada Ayyara. "Maaf aku membangunkanmu. Buburnya sudah matang, dan
"Mas," panggil Ayyara pelan tanpa menatap laki-laki di sampingnya itu. Dia hanya menunduk menatap mangkuk yang masih dipegangnya itu dengan sorot bersalah. "Aku tidak tahu, harus berterimakasih atau marah padamu. Karena keberadaanmu, aku dan keluargaku saat ini menjadi lebih baik. Ibu tidak mempunyai hutang lagi, dan aku juga tidak perlu memikirkan bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk menghidupi keluargaku. Kamu sudah memberikan semuanya pada kami. Tapi kenapa, aku masih tidak terima dengan pernikahan kita ini? Kenapa aku merasa pernikahan ini sangat menyiksaku? Kenapa mas?""Karena kamu tidak bisa mencintaiku," jawab Kieran sambil tersenyum menyembunyikan luka di hatinya. Setidaknya ada sedikit rasa bahagia di hati Kieran, karena dia bisa membuat Ayyara merasakan rasanya hidup bebas tanpa beban keluarga. Walau perempuan itu terus mengatakan tersiksa menikah dengannya. "Aku sadar kamu tidak pernah mencintaiku. Tapi maaf, aku tidak akan pernah melepasmu karena aku selal
Perlahan kelopak mata Kieran terbuka. Dia berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk pada pandangannya, lalu menoleh. Di sampingnya saat ini, Ayyara tengah tertidur dengan posisi terduduk dan bersandar pada headboard kasur. Salah satu tangan perempuan itu berada di atas kepala Kieran, mungkin perempuan itu tertidur saat sedang mengusap pucuk kepalanya. Dengan hati-hati, Kieran menyingkirkan tangan sang istri dari atas kepalanya. Dia kemudian mengambil kain kecil yang masih menempel di keningnya. Kieran mengernyit bingung saat menyadari ternyata Ayyara telah mengompresnya, entah kapan itu Kieran tidak sadar. Laki-laki itu kemudian mengembalikan kain untuk mengompres dirinya ke dalam wadah kecil yang ada di atas nakas. Dia kemudian beringsut duduk. "Apa semalaman kamu tidur dengan posisi seperti ini Ayyara? Apa kamu tadi malam bergadang untuk menjagaku?" Tentu Kieran seakan tak percaya jika memang itu yang telah membuat istrinya tidur
Ayyara segera memalingkan wajahnya saat melihat laki-laki itu hanya memakai handuk yang dililit di pinggang dengan panjang sebatas lutut. "Mas Kieran!" Ayyara marah, tidak seperti biasanya Kieran keluar kamar mandi tanpa memakai baju. "Kemana bajumu?"Bukan hanya Ayyara, tentu Kieran juga kaget dengan keberadaan sang istri secara tiba-tiba di depan pintu kamar mandi. Padahal saat dia masuk kamar mandi tadi perempuan itu masih tidur. "Ayyara kamu sudah bangun? Maaf aku tadi lupa membawa baju ganti saat masuk ke kamar mandi."Ayyara menggeleng tak peduli dengan penjelasan Kieran. Dia kemudian memberi jalan lewat untuk Kieran. "Cepat ambil, dan pakai bajumu!"Walau ini bukan pertama kalinya bagi Ayyara melihat Kieran dengan dada telanjang seperti itu, tetap saja sampai sekarang dia masih merasa tak nyaman saat melihatnya. Padahal dia adalah istrinya, seharusnya Ayyara tak perlu malu atau apa melihat tubuh sang suami tanpa pakaian. Kieran t
Karena hari ini Kieran sudah berjanji pada Ayyara untuk tidak pergi kerja, Kieran menghabiskan waktunya untuk di rumah. Namun tentu dia merasa sangat bosan tidak melakukan apa-apa seharian di rumah. "Ayyara."Ayyara yang sejak tadi berada di ruang tengah sambil menonton televisi akhirnya menoleh saat mendengar sang suami memanggilnya. Kieran kemudian menghampiri."Aku ingin keluar sebentar."Ayyara mengernyit menatap Kieran dengan sorot curiga. "Mau kemana?""Aku ... ingin melihat kantor sebentar saja."Seketika Ayyara menghela nafas kesal. "Kamu sudah berjanji padaku untuk istirahat total hari ini di rumah, kenapa masih ingin pergi ke kantor?""Ayyara, aku tidak tahu harus melakukan apa di rumah. Aku benar-benar sangat bosan, dan membutuhkan kegiatan. Aku tidak bisa terus berada di rumah tanpa melakukan sesuatu."Ayyara berpikir sejenak. Tentu saja dia percaya dengan penjelasan Kieran barusan. Laki-laki itu se
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.