Karena hari ini Kieran sudah berjanji pada Ayyara untuk tidak pergi kerja, Kieran menghabiskan waktunya untuk di rumah. Namun tentu dia merasa sangat bosan tidak melakukan apa-apa seharian di rumah.
"Ayyara."Ayyara yang sejak tadi berada di ruang tengah sambil menonton televisi akhirnya menoleh saat mendengar sang suami memanggilnya. Kieran kemudian menghampiri."Aku ingin keluar sebentar."Ayyara mengernyit menatap Kieran dengan sorot curiga. "Mau kemana?""Aku ... ingin melihat kantor sebentar saja."Seketika Ayyara menghela nafas kesal. "Kamu sudah berjanji padaku untuk istirahat total hari ini di rumah, kenapa masih ingin pergi ke kantor?""Ayyara, aku tidak tahu harus melakukan apa di rumah. Aku benar-benar sangat bosan, dan membutuhkan kegiatan. Aku tidak bisa terus berada di rumah tanpa melakukan sesuatu."Ayyara berpikir sejenak. Tentu saja dia percaya dengan penjelasan Kieran barusan. Laki-laki itu seSetelah mereka sudah masuk ke dalam mobil, Kieran langsung melajukan mobilnya menyusuri jalanan. "Ayyara, sebelum membeli perlengkapan bayi. Bolehkah kita mampir ke tempat kerjaku lebih dulu? Aku lupa jika kemarin ada berkas yang belum sempat aku periksa. Aku ingin membawanya pulang, dan memeriksanya nanti saat di rumah. Tadinya aku ingin mengambilnya setelah kita selesai berbelanja saja, tapi takutnya nanti aku lupa."Ayyara mengangguk mengizinkan. "Iya, mas. Boleh saja."Setelah mendapat izin sang istri, Kieran mengemudikan mobilnya menuju perusahaannya lebih dulu. Karena tempat dia membeli keperluan bayi juga tidak satu arah dengan tempat kerjanya. Hingga tak begitu lama, mereka akhirnya sampai ke perusahaan Kieran. "Ayyara, kamu tunggu di sini sebentar ya."Ayyara mengangguk menurut. Suaminya itu kemudian keluar dari mobil meninggalkannya. Pandangan Ayyara terus mengikuti Kieran hingga laki-laki itu masuk ke gedung be
Setelah selesai berbelanja keperluan bayi, Ayyara dan kieran tak langsung pulang. Mereka menikmati beberapa makanan di luar. Tak hanya itu, mereka juga sempat mendatangi beberapa taman atau tempat hiburan. Tentu itu bukan kemauan Kieran. Kieran justru takut jika terlalu lama berada di luar Ayyara akan lelah. Namun Ayyara terus memaksa Kieran untuk mengikuti apa kemauan perempuan itu. Hingga pukul enam sore, Kieran dan Ayyara akhirnya memutuskan untuk pulang. Sampai di rumah Ayyara langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Mereka saat ini berada di ruang tengah. Sambil menunggu Kieran selesai memasukkan barang-barang belanjaan mereka ke dalam rumah, Ayyara duduk di sofa sambil memijat pergelangan kakinya yang terasa nyaris patah. "Ah, kenapa tiba-tiba kakiku sakit sekali?"Melihat sang istri yang tampak menahan rasa sakit, Kieran tentu jadi khawatir. Dia kemudian segera menghampiri, dan duduk di samping Ayyara."
Kieran hanya menghela nafas sabar. Dia sudah hafal bagaimana sifat perempuan itu. Jadi Kieran tak perlu ikut marah. Tanpa meminta izin pada Ayyara lebih dulu, laki-laki itu langsung menggendong Ayyara. Berniat untuk membawanya ke kamar. "Mas, mau apa kamu?" panik Ayyara saat Kieran tiba-tiba menggendongnya. Dia segera melingkarkan salah satu tangannya ke leher sang suami sebagai pegangan agar Ayyara tak terjatuh. Kieran tak langsung menjawab pertanyaan Ayyara, dia berjalan dengan santainya membawa Ayyara ke kamar. "Mas turunkan aku! Aku tahu aku berat, aku takut kamu tidak akan kuat dan menjatuhkan aku nantinya!"Kieran tahu Ayyara pasti sangat takut jika Kieran tak akan kuat menggendongnya dan berakhir menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Tapi Kieran akan pastikan itu tak akan terjadi. "Jika kamu sudah tahu tubuhmu sekarang semakin berat, maka diam saja saat aku menggendongmu. Jika kamu banyak gerak aku justru akan sulit menjaga keseimbangan saat berjalan."A
Ayyara diam sesaat, kembali mengingat ucapan sang kakak padanya tadi siang. "Kamu juga mendengar apa yang diucapkan kak Ayuma tadi, kan?"Kieran tak mengiyakan. Tentu saja dia juga mendengarkannya, karena dia sendiri juga ada di sana. Membuat Kieran jadi berpikir, apa Ayyara tiba-tiba terlihat takut hanya kerena ucapan Ayuma tadi? "Bagaimana jika apa yang dikatakan kak Ayuma benar terjadi? Bagaimana jika kak Ayuma akan membuat rencana agar aku menderita mas? Mas aku takut."Kieran tersenyum berusaha menenangkan sang istri. Dia kemudian menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Ayyara, lalu menggenggam tangan perempuan itu dengar erat. "Kamu tidak perlu khawatir Ayyara. Kakakmu bicara seperti itu hanya karena ingin membuatmu takut, dan dengan itu dia berpikir kamu akan menurut padanya. Ayyara, apapun yang ingin dilakukan kakakmu padamu, percayalah aku tidak akan tinggal diam. Aku akan selalu ada untuk melindungimu. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun
Pukul tujuh pagi, Kieran sudah ingin bersiap untuk pergi ke kantor. Hari ini dia mendapat izin dari Ayyara untuk pergi bekerja. "Aku berangkat dulu ya," pamit Kieran pada sang istri setelah menyelesaikan sarapannya. Perempuan yang masih duduk di kursi makan sampingnya itu masih memasang wajah cemberut, membuat Kieran jadi tak tega untuk meninggalkannya. "Ayyara, kemarin aku sudah tidak masuk kerja. Tidak mungkin hari ini aku tidak datang lagi ke kantor. Tapi aku janji padamu, aku hanya sebentar saja. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan segera pulang.""Jika pekerjaanmu selesai malam, berarti kamu akan pulang malam juga kan?" Kieran menghela nafas pelan. Dia tak mengerti, apa karena hamil Ayyara jadi bersikap seperti ini? Dulu sebelum hamil, Kieran rasa Ayyara sedikitpun tak peduli mau dirinya ke kantor atau tidak. "Aku akan pastikan, aku tidak akan pulang sampai malam. Paling lambat, sore aku pasti sudah pulang.""Tapi selama menungg
Sore ini, Kieran bersama sekertarisnya baru saja selesai melakukan pertemuan dengan beberapa manager perusahaan cabang di luar. Dan kini dia dalam perjalanan kembali ke perusahaan pusat.Kali ini Kieran mengemudikan mobilnya dengan kecepatan lebih tinggi dibanding biasanya. Tentu dia tidak mau sampai pulang terlambat, karena dia sudah berjanji pada Ayyara untuk pulang sore. Walau terlihat sekedar hal kecil, namun Kieran tak mau menyepelekan janjinya itu. Dia tak mau jika sampai membuat sang istri kecewa padanya."Pak Kieran sepertinya terlihat terburu-buru mengemudikan mobil. Memangnya ada apa pak?" tanya Nasya sedikit penasaran. Sejak tadi dia duduk di jok mobil samping Kieran sambil memperhatikan laki-laki itu. Tentu saja Nasya juga merasakan ada yang aneh pada Kieran hari ini. "Saya sudah berjanji pada istri saya, sebelum malam tiba saya harus menjemputnya di rumah mama saya. Saya tidak mau jika Ayyara sampai kecewa karena saya tidak bisa menepati janj
Kieran terus menahan sakit, dia semakin menekan luka di perutnya agar darahnya tak semakin banyak keluar. Walau tangannya sudah mulai lemas, matanya sudah mulai berat untuk dibuka. Namun Kieran terus berusaha menahan semua itu. Pandangannya yang sudah mulai tak jelas, kini mengarah pada sekertarisnya yang terlihat nyaris menangis. "Nasya, ja ... ngan panik.""Bagaimana saya tidak panik pak? Darah pak Kieran keluar begitu banyak. Di sini tidak ada orang, apa yang harus saya lakukan?" Pikiran Nasya sudah buntu. Dia tak bisa berpikir jernih lagi di saat seperti ini. "Tel ... pon ..." Kieran tak bisa melanjutkan kalimatnya. Nyeri di sekitar perutnya semakin menjadi, tenaganya juga sudah nyaris habis. Namun mendengar sepenggal kalimat Kieran membuat Nasya kini mendapatkan ide. Dia tahu apa yang ingin Kieran katakan padanya. Dengan segera Nasya mengambil ponsel yang ada di dalam saku kemejanya. "Pak Kieran tolong bertahanlah sebentar."
Ayyara setengah berlari menyusuri koridor rumah sakit, bersama Daria dan juga Raymond. Pikirannya tak bisa tenang, setelah mendapat telepon dari Nasya jika Kieran saat ini tengah dilarikan ke rumah sakit. Dengan pandangan yang sudah buram karena genangan air mata di kelopak matanya. Ayyara terus berjalan tak mempedulikan kedua mertuanya yang tertinggal di belakang. Hingga sampai di depan ruang yang sebelumnya sudah ditunjukan pada seorang perawat di sana. Ayyara langsung membuka pintu ruangan itu tanpa meminta izin lebih dulu, lalu masuk ke dalam ruang itu begitu saja. Perempuan yang tadinya terduduk di kursi yang ada di dalam ruangan itu, kaget menyadari kedatangan Ayyara. Langkah Ayyara perlahan melambat saat hampir sampai di sebuah brankar pasien tempat seorang laki-laki terbaring tak sadarkan diri di sana. "Kieran!" teriak Daria menahan tangis saat melihat putranya saat ini terbaring tak berdaya. Dia bergegas menghampiri Kieran, menatap ke
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.