"Tunggu." Emran mencegah Daniel pergi. Tetapi Ivana menarik tangan Emran lalu berbisik. "Dasar perempuan gila, kamu yang masuk ke dalam kamarku, dan memaksaku melayanimu, lalu aku juga di paksa menikahi kamu?!" Emran terlihat marah. "Kamu menjebakku?" Murka Emran dengan bola mata hampir keluar. "Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa, kakek mengancam, sebelum dia masuk ke sini dia sudah mencari tau siapa kamu, dan nama baikmu di pertaruhkan. Tolong aku, Pak. Dan kalau sampai kita nggak menikah aku bakalan di coret dari ahli waris keluarga." Ivana duduk lesu di pinggir ranjang. Dalam beberapa saat ada keheningan di antara mereka. Emran menyugar rambut frustasi. Tau bakal jadi begini tak akan dia melakukan hal nista ini. "Ya Allah." Emran menyebut nama Tuhannya, yang entah kapan terakhir dia menjalankan kewajibannya. Tau bakal runyam seperti ini dia akan mengusir Ivana, bukannya terbuai oleh cumbuan wanita seksi di hadapannya. Emran menarik nafas dalam, "Ya Tuhan, apakah benar wanita b
"Mas, Ivana kemana? nggak kelihatan? Tanya Nisa. Damar baru menyadari saat Nisa mencari Ivana. "Oh iya, nggak ada ya? "Mas, juga nggak tau," ucap Damar.Beberapa hari mereka mengahabiskan waktu mengurus semua kepentingan bisnis di Semarang. Nisa menikmati hari-harinya menjadi sekretaris plus-plus buat suaminya. Di benak Nisa ini adalah puncak kebahagiaannya. Saat ini dia benar-benar pada masa kebahagiaan. Damar yang setia atas tiap godaan wanita elegan di sekelilinnya. Damar begitu menjaga pandangan saat bercengkrama atau melakukan pertemuan dengan lawan jenis. Bahkan beberapa kolega dari luar yang tak tau Nisa adalah istri blak-blakan menawari Damar wanita di hadapan Nisa. "Mr, silahkan pilih wanita kita nikamati semua keberhasailan tender ini," tawar seorang pria bertubuh tambun, berperut buncit berkulit pucat. "Tengkyu, Mr. Saya sudah ada yang menemani." Damar memeluk Nisa erat. "Oh, Mr Damar, Anda tak mau rugi rupanya, membawa serta sekretaris untuk di nikmati di mana pun
Byuurrr .... Kali ini ombak semakin besar, tubuh Damar dan Nisa terseret beberapa meter Damar masih erat memeluk Nisa. Merasa ombak menggulung semakin besar, lelaki ini memanggul Nisa, berlari ke arah bibir pantai. Mencoba menghindar dari terjangan ombak yang menggulung.Byurrr ....Lagi tubuh terkena deburan ombak, tetapi tak membuat tubuh Damar terhempas dengan kokoh lelaki ini memasang kuda-kuda bertahan dari seretan air laut. Mereka sampai di tempat kering lalu Damar menurunkan Nisa. Dada lelaki ini turun naik, mereka masih tertawa lalu merebahkan tubuh di pasir."Seru banget, Mas, Nisa nggak bakalan lupain ini. Nisa takut banget tadi." Cerocos Nisa. "Masih takut nggak?" tanya Damar, nafasnya sudah teratur. "Kan ada kamu," ucap Nisa mengelus dada bidang lelaki di sebelahnya. Pandangan menatap langit yang di penuhi bintang. "Di sini bintangnya keliatan banget ya, Mas?" ujar Nisa. Damar tak menjawab, dia memiringkan tubuh meraih dagu Nisa mencium lembut, lalu berubah menjadi l
"Anak ayah belum tidur?" tanya Damar. Fatta menggeleng. "Kenapa kok mukanya cemberut begitu?""Mau Mama Nisa. Mama Nisa kenapa pergi nggak pulang-pulang!" rajuk Fatta, ada kerinduan terpancar di wajah imut gadis kecil ini. "Mamah ikut ayah, tuh mamah udah tidur." Damar mengarahkan ponsel ke tempat Nisa berada. "Fatta nggak di ajak," rengek gadis kecil ini manja. "Nanti ayah buatkan jadwal, kita jalan-jalan bareng semua ya." Fatta mengangguk, netranya seketika berbinar. "Sudah lekas tidur, sudah malam, Mbak Kila udah ngantuk, tuh." Kila menundukkan wajah, malu terlihat oleh majikan mudanya.Fatta mengangguk, hubungan pun terputus. Damar menyandarkan bahu di sandaran kursi. Menatap Nisa, berharap istrinya cepat mengandung, setelah itu ia ingin mengambil cuti kerja dan berlibur dengan seluruh keluarga. Nisa menggeliat, memanggil Damar. "Mas, udah malam tidur," suara serak Nisa memanggil. Lelaki ini mematikan laptop bangun dari kursi, menghampiri Nisa. Melingkarkan tangan mengendus
Tiga wanita ini menatap Nisa horor, tak menyangka gadis yang menurut mereka masih imut ini bisa berubah garang. Tiga wanita ini mundur terartur. "Peace, Dek." Tiga wanita ini kompak menunjukkan jari telunjuk dan tengah ke atas, lalu terbirit pergi meninggalkan Nisa. Nisa membalikkan badan menatap Damar kesal, "Seneng ya di godain perempuan-perempuan seksi." Suara Nisa di tekan, bola matanya membola mentap Damar. Lelaki atletis ini menggeleng patah-patah, horor juga kalau sampai Nisa melempar barbel yang dia pegang ke arahnya. Nisa membuang nafas kasar, lalu duduk di kursi istirahat. "Kamu mau pake alat yang mana Nis?" tanya Damar. Nisa menggeleng. "Nisa ngeliatin kamu aja, Mas." Damar melanjutkan olahraga, Nisa asik tiduran di kursi sambil terus mengawasi Damar. "Ya Allah begini amat punya suami, nggak punya suami galau, punya suami kok begini amat," keluh Nisa tak bersyukur. Nisa menggeliat, dia merenggangkan badan, tangan meraba-raba kasur. Netranya mengerjab, "Mas," panggil N
"Dasar, mesum tingkat dewa," ujar Nisa, bibirnya merekah, sepertinya otak Nisa juga sudah tercemar oleh kemesuman Damar.Mobil melaju perlahan, mobil ekslusif terkhusus untuk berpergian jauh ini memang begitu nyaman, ada meja kecil tempat menaruh gelas hingga bangku yang bisa dijadikan tempat tidur. Malam kian merambat kemungkinan Nisa akan sampai di Jakarta menjelang subuh. Wanita ini menyuruh Damar menyusun kursi menjadi tempat tidur, tadi ketika mereka beristirahat di rest area. Mobil kembali berjalan perlahan, dua anak manusia ini sudah berbaring berpelukan. "Mas." "Hemm ...." Damar hanya bergumam."Katanya mau nyenengin Nisa!" tanya Nisa, menagih perkataan Damar sebelum berangkat tadi. "Damar mengecup puncak kepala Nisa, mengelus lengan Nisa. "Udah tidur, capek nanti kamu, mas liat kayanya beberapa hari ini kamu kelihayan lesu, " ujar Damar mengeratkan pelukan.Kepala Nisa mendusel di ketiak Damar, tak lama dia terlelap setelah itu menyadari sudah tidur apik di kamarnya. Dar
Damar duduk santai di teras, dia sudah berganti pakaian, beberapa orang tetangga menyambut Darmi, dan menyalami Damar, bahkan ada beberapa orang yang bertanya pekerjaan pada Damar, Damar si lelaki baik ini dengan ramah bercengkrama dengan para tetangga Darmi. "Mas," panggil Nisa dari dalam rumah. Damar menengok, lalu izin masuk menemui Nisa. "Udah bangun? mandi sana, kita langsung berangkat lagi," ucap Damar. "Mau kemana? Bukannya kamu ambil libur tiga hari?" "Iya, mas mau ajak kamu," ujar Damar. Nisa hanya menurut, setelah makan dan bercengkrama sedikit, Damar pamitan pada keluarga. Air mata Nisa merembes tak bisa di tahan, pun Darmi, wanita tua ini tergugu, mungkin ini pertemuan terakhirnya dengan Nisa. Anak asuhnya sejak lahir. "Non baik-baik ya, mbok doakan, Non mendapatkan semua yang di cita-citakan." Nisa mengangguk mencium tangan Darmi, lalu memeluk erat, di dalam mobil Nisa masih terus menangis. "Mbok, kalo ada apa-apa, atau butuh apa-apa telpon Nisa ya." Nisa pun berka
Mulut Nisa terus mendesis mengeluarkan erangan kenikmatan, kali ini dia tak menolak apa yang ditawarkan Damar, matahari malu-malu mengintip kegiatan mereka. Damar melakukan masih dengan perlahan tidak seperti biasanya tetapi membuat kondisi Nisa semakin menggila. Dia benar-bebar menggila dengan semua yang dilaukan Damar terhadap tubuhnya. Dada Nisa turun naik, seluruh tubuhnya seakan mengeluarkan ledakan dahsyat, begitupun Damar, semua angan-angan dan imajinasinya terbayar sudah. Walau harus merogoh kocek tak sedikit, tetapi ini semua sebanding dengan apa yang dia rasa. Damar menyewa satu pulau ini hanya untuk mereka berdua, bahkan seluruh karyawan di sini di ungsikan, saat ini benar-benar hanya ada mereka berdua. Mereka sudah melakukan ibadah kepada Tuhannya, Nisa berbaring di pembaringan, angin laut sepoi mebelai surai indah juga pipinya. Wajah Nisa penuh binar kebahagiaan. Di hatinya sekalu terselip doa agar semua urusan Damar dipermudah sehingga Nisa bisa selalu merakan kenikmat
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal