"Maaf, Mas cuma tahu jika kamu menjebloskan Yana ke penjara. Tapi tak apa emang sekali kali dia harus diberi pelajaran," ucap Mas Adit mendukung perbuatanku. "Oh, ya? Mas nggak merasa gimanaaa gitu, tau istrinya saya penjarain?" tanyaku bingung. Baru ini ngelihat suami yang santai seperti di pantai melihat istri sedang di krangkeng. "Ya ... mau gimana lagi? Emang Yana harus digitukan biar sadar," sambunganya lagi. Aku hanya manggut-manggut tak ingin menambah kosa kata lagi. "Maaf, Mas Adit. Jika nggak ada lagi yang mau dibicarakan, Firda permisi masuk, ya! Capek, atu arian main sama Dini. Besok mau kerja lagi," pamitku sopan, karena aku benar-benar lelah untuk hari ini. "Eh eh eh.Tunggu dong. Maksud Mas kemari mau ajak kamu ke kantor polisi. Dini merengek terus minta ketemu sama mamanya. Mas mau kamu juga ikut ... temeni Mas!"Hiii ... aku kira suasana hidupku akan sedikit konduksif dengan tidak adanya tiga kuyang. Lah, aku lupa jika kutil dajjal sedang terombang ambing belum men
Pak Oppa kaget mendengar kata cerai dari mulutku, hingga ia berdiri dari duduknya dengan gerakan repleks. Akibat dari pergerakan yang tiba-tiba, meja jadi tersenggol tubuhnya sendiri, hingga air kopi di depannya ikut tertumpah tepat mengenai kemeja putih yang dikenakannya. Aku yang melihat adegan itu serasa dejavu. Ia bersorak menatap wajahku dengan ... tersenyum samar. Hei, apa aku tak salah lihat? Bibirnya tadi menyunggingkan senyum, walau tak jelas di mataku, tapi aku yakin itu sebuah senyuman. Ia mengibas-ngibaskan tumpahan kopi di kemeja putihnya. Sementara aku masih specless, mengingat garis senyum yang dibuatnya tadi. "Kamu ... tersenyum, Pak?"Ini adalah salah satu kebiasaan jelek yang kumiliki. Mulutku ini terkadang suka ngeprank otak. Sebelum otak memerintahkan sesuatu, entah mengapa selalu keduluan sama mulut. Aku suka bertanya, yang tak seharusnya aku pertanyakan. "Kenapa saya harus tersenyum, Nona Firda?" Pak Oppa bertanya sembari melonggarkan ikatan dasinya. Lantas k
Dengan sepatu dan kostum yang ringan, aku begitu bebas untuk bergerak, berlari dan mengejar. Mataku menangkap pergerakan pemindahan barang dari si pencopet kepada temannya dengan begitu cepat. Lah, ada temannya, toh? Si penerima cepat menyembunyikan tas curian ke balik jaket di belakang punggungnya. Aku tak lagi mengejar si pencopet, tapi malah menggerakkan siku tanganku tepat ke hulu hati temannya yang berpura-pura sedang berdiri di sebelah kananku. Bug! "Aaakh ...."Tak menyangka akan mendapat serangan mendadak, si teman pencopet tertunduk lalu jatuh tersungkur di bawah kakiku. Tas yang disembunyikan dari balik jaket hitamnya menyembul keluar. Aku cepat mengambil tas itu dan berniat meninggalkan tempat, namun tanpa kuduga beberapa pria mengelilingiku dengan wajah yang ah, mantaaap! Omegot! Kukira satu, ternyata bertujuh. Aku tak menyangka akan dikepung oleh beberapa orang. Ternyata mereka menyebar di mana-mana. Orang-orang hanya memperhatikan tanpa berniat ikut campur dalam per
"Ya, Oma—sudah—gak papa. Iya bawa aja ke rumah—sama Alex—Ya.""Kita pulang dulu ke rumah saya," ucapnya tegas sambil menstater mobil. "Pak anterin saja saya ke pasar tadi. Barang saya masih tertinggal di sana," pintaku sungguh-sungguh. "Tenang, udah dibawain," jawabnya tak melihatku, karena ia lebih asyik melihat jalanan di depan. "Kemana, Pak?" sambungku lagi karena jawaban yang diberikannya tak sesuai harapan. "Udah, jangan banyak tanya. Cerewet!" balasnya ketus. "Kita mau kemana, Pak? Siapa yang bawain barang saya. Saya harus tau dong!" Aku kembali bertanya, tak ingin mengalah. Pak Oppa tak menjawab lagi, ia hanya melajukan mobilnya dengan pelan. Peluh di dahinya ku lihat mengalir. Tak berapa lama kami sampai di sebuah rumah besar nan megah. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Dua orang sedang berdiri di sana, wanita tua serta lelaki paruh baya korban copet tadi. Lah, kok bisa? Aku masih bermain-main dalam pikiran tentang dua orang itu. Tanpa sadar pintu mobil sudah d
Huuuuh. Tenang Fir! Pak Tamin nggak bersalah, dia cuma ngikut ucapan bos anehmu. Nggak lebih. Lagian salah sendiri kenapa tadi nggak ngajak kenalan dulu sama Pak Tamin. Lihat, wajahnya saja begitu teduh tanpa dosa yang tak sengaja. "Pak Tamin, kenalin! Saya Priyanka Copranya Indonesia," kataku mantap sembari mengulurkan tangan untuk berjabat. "Priyanka? Artis Korea itu ya, Non?"Kirain bener tadi namanya Bar-bar. Saya udah berusaha nahan awok awok sampai jungkir balik. He he he. Maaf Non, Copra. Saya khilaf!"Tweweweeng ... Mataku membesar, lebih tepatnya ingin keluar dari persembunyiannya. Pintu dibuka dari luar oleh manusia Mars itu. "Ayo turun Nona Bar-bar. Biar saya yang anterin naik motor," ajak Pak Oppa sambil bertolak kaki di samping pintu mobil. "Kenapa nggak dari awal sih, Pak!" Aku ngomel tapi tetap turun dari dalam mobil, "Naik turun mobil nambah pergerakan, Pak Alex!" lanjutku lagi begitu kesal. Panasnya matahari sudah tepat di ubun-ubun. Menambah rasa mendidih di ba
Pak Tamin juga ikut keluar dari dalam mobil, lalu berjalan dan berdiri mendekat ke arah rumah."Pak Oppa? Kenapa?" tanyaku tak percaya jika ia benar-benar akan pulang bareng aku. "Kenapa apanya?" balasnya dengan balik bertanya. "Bapak seriusan nih, mau kita pulangnya bareng?" "Huuf … saya sebenarnya gak mau. Ngeri sendiri pulang barengan kamu. Tapi mau gimana lagi, Oma paksa saya terus. Yaudah, biar Oma senang, saya yang ngalah!" "Itu beneran Oma yang suruh? Nggak bohong, kan?""Memalukan sekali jika saya harus berbohong untuk masalah seperti ini, Nona Firda! Oma suruh saya karena mengkhawatirkan kamu, apalagi dengan kondisi tangan seperti itu!" tunjuknya dengan bibir yang dimajukan ke arah tanganku. "Terus, Bapak kok bisa tau jadwal keberangkatan saya?""Ooh … itu … ah, itu soal gampang. Barang kamu ini semua?" tanyanya tak melanjutkan jawaban atas pertanyaanku, malah balik bertanya setelah melihat dua koper dan satu tas kecil di bawah kakiku. "Ya, Pak!"Pak Tamin tanpa disuruh
"Ya enggak lah, Pak. Masa' iya saya pulang kampung mau jual lemang! Aneh-aneh aja pertinyiinnyi.""Oh, iya ... eemmm ... maksud saya ... eemm ... Maksudnya bukan saya yang nanya. Tadi saya hanya disuruh Oma, buat nanyain kamu sudah sampai mana."Oma lagi, Oma lagi. "Oma baik ya, Pak! Perhatian. Nanyain saya terus. Entar kalau saya sudah sampai, saya kabarin Bapak, deh.""Oke, kabarin saya segera, biar saya nggak mikir yang aneh-aneh!""Bapak yang mikirnya aneh-aneh atau Oma, sih?""Oma, Nona Firda! Oke, saya matiin. Kamu ... hati-hati."Klik. Aneh! Satu hari ini Alex an-neh! Oma juga, nggak mungkin nanyain terus sampai segitunya. "Saudara Oma juga banyak di Medan. Dulu, cucu juga tinggal di Siantar, Ling Ling dan Alex kuadrat, kalau Alex ini dari kecil sudah di Medan." Ling Ling dan Alex kuadrat? Aku tiba-tiba kepikiran atas ucapan Oma. Alex kuadrat dan Ling Ling di Siantar. Itu artinya Alex ku, si Ultramen zero. Kalau Alex ini sudah dari kecil di Medan ... itu berarti ... Alex
"Ayah sama Ibu pigi salat dulu ya, Ying. Makan ko dulu ya, Nak. Ibu masak belacan tadi. Ayo Pak, ceritanya nanti saja, salat dulu!" Entah Ibu paham atau tidak akan tatapanku kepadanya. Tapi saat ini, ia menyelamatkan ku dari rasa huru hara di hati. "Ko bantu bawak masuk koper kakakmu ini Nan! Pigi dulu kami ya! Assalamu'alaikum," perintah Ayah kepada Nanda lalu segera berpamitan. "Waalaikumsalam," jawabku dan Nanda berbarengan. Nanda membantu membawa barang-barang bawaanku ke dalam rumah. Selama tiga tahun menikah, baru sekali aku pulang kampung. Itupun hanya seminggu di sini, karena Mas Bima nggak betah, dan kini aku kembali pulang untuk yang kedua kalinya dalam keadaan aku sudah menjadi janda. Tak banyak yang berubah dari rumah masa kecilku ini. Hanya warna cat dindingnya saja yang berubah-ubah setiap tahunnya. Di bawah sudut tangga, masih terlihat meja makan antik dari kayu jati. Keadaannya masih saja awet hingga saat ini. Lima belas tahun sudah meja itu bersemayam di sini. "
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best