Otak serasa di banting. Hati seperti di tikam mendengar ucapan sadis dari mulut orang yang menikahiku tiga tahun yang lalu itu dan itu benar-benar berhasil melemahkan rohku. "Sama Mas. Mana ada orang yang tahan hidup dengan kamu, jika kamu sejahat ini!" balasku tak mau kalah. "Apa maksud kamu?" bentak Mas Bima. Dia yang memulai, dia juga yang merasa tersakiti. "Pernahkah sekali saja kamu juga kirimin orang tua Firda uang, Mas? Tidak kan?" sindirku keras. "Hai, wajar! Ibu kamu masih punya suami, sedangkan ibuku sudah janda," timpalnya membela diri. "Jangan berlindung dari kata masih dan sudah, Mas! Ya, walau kedua orang tua Firda tak pernah sekali pun meminta dikirimi uang oleh anak perantaunya, tapi setidaknya tak pernahkah kamu ada sedikit rasa atau basa-basi untuk menyenangkan mereka? Tidak pernah bukan?" imbuhku yang merasa lega setelah mengatakan itu. "Sedikit sekali wanita yang mau menerima Ibu dari pasangannya untuk disayangi, dihargai, dan dimuliakan," ejek Mas Bima sinis
Mas Adit naik dan mulai menstater motor. Ia hendak melaju tetapi Mbak Yana memegang tangan suaminya dan cepat naik ke atas jok motor. "Ia deh, ayo!"Piuff … ada-ada saja. Aku terlalu asik melihat duo dajjal berlalu, sampai tak memperhatikan jika Mas Bima sudah pulang dan masuk ke dalam rumah. Aku mendapati Mas Bima pulang dengan wajah yang ditekuk. Mas Bima menuju sofa, ia masih diam tak menyapaku lalu merebahkan tubuh di sana. Memejamkan mata sembari memijit dahi dan tulang diatas hidungnya. Aku terus memperhatikan tingkahnya dengan ikutan duduk di sofa depannya. Tak lama, Mas Bima membuka mata. Memindahkan posisinya dari rebahan menjadi duduk dengan bersandar di bahu sofa. "Fir, ambilkan aer minum!" perintahnya tiba-tiba. Aku beranjak dari duduk, lalu bergegas melaksanakan apa yang diperintahkannya. Air dalam gelas tandas dengan tiga kali tegukan saja. Dehidrasi setelah dari rumah kakaknya? "Dek, motor belum ada juga?" tanyanya begitu gelas berpindah ke tanganku Tadi marah
Acara pun selesai. Arimbi mengeluarkan bungkus kotak makanan dan membagikannya kepada anak-anak satu per satu, sedangkan aku membagikan amplop dan cendramata kepada mereka. Anak perempuan aku hadiahi jilbab serta Al-Quran, dan anak lelaki aku hadiahi lobe serta Al-Quran. Mereka riuh menerima pemberianku. "Anak-anak, bukanya di rumah saja ya. Ayo jangan ribut dan ….""Sopaaaan," jawab anak-anak itu serempak. "Samlekom!"Salam aneh terdengar lagi dari teras. Ahh, aku menarik napas panjang. Siapa lagi kalau bukan Ibu mertuaku, Marni bin Markicob. Ia datang kemari pasti yang ingin dibahas sama seperti putrinya, uang. "Waalaikum salam." Kami menjawab berbarengan. "Loh sudah selesai? Katanya jam satu. Gimana sih tuan rumah yang ngundang ini!?" ujar mertuaku begitu ia sampai di dalam. Arimbi, Bu Fitri dan aku saling pandang tanpa ada yang berniat untuk menjawab pertanyaan mertuaku itu. "Loh loh loh ditanya kok pada diem-dieman. Tuli atau bisu ya?" Kembali ia berbicara tanpa ada kualit
"Hallah, banyak omong, kamu. Udah, Bu ambil aja apa yang Ibu suka!" selanya. Mbak Yana mendekat dan membantu Ibunya, memasukkan beberapa cemilan yang masih banyak ke dalam plastik. Aku dan Arimbi saling pandang. Ia hanya mampu menggelengkan kepala melihat aksi Ibu dan anak itu. Setelah puas mendapatkan apa yang dimauin, mereka segera meninggalkan rumahku dengan tersenyum senang. "Eh, Fir, lu katanya mau ganti hp baru, kan? Yuk sekarang aja. Biar gue yang nemenin!"Arimbi tiba-tiba berkata dengan lantang hingga membuat Ibu dan Mbak Yana berhenti dari langkahnya. Mereka berdua saling pandang lalu melirik ke arah Mas Bima, seperti ingin meminta penjelasan, yang dilirik langsung berpaling kepadaku. "Kamu mau beli hp baru?" tanyanya seketika. "Rencananya, Mas. Hp yang ini udah sakit. mungkin gegara pernah masuk kolam renang, jadi suka ngulah tiba-tiba," balasku malas. "Kenapa harus hp, sih? Seharusnya itu motor dulu," ucapnya sedikit meninggikan suara. "Ha ha, harga hp jauh di bawa
"Mana kalung Firda disini, Mas?""Mana Mas tau?" Mas Bima berkata sambil menuju kasur dan merebahkan tubuhnya dengan pelan, lalu gawai menjadi satu-satunya perhatian. "Jangan bohong kamu, Mas! Katakan dimana?" Kembali aku bertanya dengan sedikit menjerit. "Mas bilang nggak tau, ya nggak tau!" balasnya dengan berteriak tak ingin kalah. "Firda tanya untuk yang terakhir kalinya ya Mas Bim, siapa yang ambil kalung emas Firda di dalam laci ini?""Capek Mas ngomong sama kamu. Pulang-pulang bukan nanyain suami udah makan atau belum, malah nanyain kalung! Keterlaluan!""Baiklah, jika kamu tak mau mengaku, Mas."Aku bergegas keluar ingin menuju rumah Mbak Yana, karena aku yakin mereka pelakunya. "Mau kemana, kamu Fir?" tanya Mas Bima dari kamar yang masih aku dengar. Tak perduli. Aku melihat Arimbi yang sudah duduk dari rebahannya, ia menaikkan kedua tangan dan bahu, sebagai tanda sedang bertanya apa yang barusan terjadi antara aku dengan Mas Bima. Tanpa bersuara aku pun hanya memberi kod
Aku berhenti berjalan. Menarik napas dengan panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. Dirasa semakin sesak, kembali kuberbalik menatap Mbak Yana. Mandul, mandul, dan mandul terus yang diucapkannya. "Saya masih ting-ting, dan belum pernah bunting, tapi kok kamu yang menggeliting kayak cacing."Aku berjalan menuju Mbak Yana dengan sedikit bernyanyi, memplesetkan lagu Ayu Ting-ting yang terkenal itu. Tak lupa aku memungut handuk kecil yang menyembul diantara kain-kain yang aku serakkan di lantai tadi. Makhluk yang ingin aku datangi kembali menciut. Walaupun sudah menggunakan sarung tangan plastik, handuk kecil tetap aku perlukan sebagai penghalang telapak tanganku, agar tidak langsung bersentuhan dengan rambut Mbak Yana, karena rambutnya seperti landak. Eksekusi pun dimulai. "Kan, udah aku bilang, jangan nakal, nakal, nakal, masih aja nakkal!" Cres, cres, cres! Aku membabat rambutnya dengan gemes. "Tidak ... jangan ... huhuhu ... jangan ... hentikan Firda huhuhu ...""Hentikan
"Kau nggak bisa ngusir Bima dari sini?" protes Ibu mertua sangar. "Siapa bilang, Bu? Sebelum anakmu memijak lantai di rumah kontrakan ini, cap kakiku yang duluan terpatri! Kalian lupa?" Mereka bertiga saling pandang dengan diam. Ya, walau rumah kontrakan, aku terlebih dulu yang memasuki rumah ini sebelum dipersunting Mas Bima. Ibarat kata, kami adalah jodoh lima langkah. Aku mendapatkan rumah kontrakan ini dari Bu Kokom yang tak sengaja bertemu ketika kami sama-sama belanja di pasar tradisional. Saat itu dia sedang belanja buah jeruk, sedangkan aku belanja buah apel. Karena kantong plastik berwarna hitam, dan buah kami berada di deretan yang sama, Bu Kokom salah mengambil bungkusan buah dan ingin berlalu. Aku yang mengetahui ia salah bawa, langsung mengejarnya dan menunjukkan kalau buah yang diambilnya salah. Ia terlihat malu dan tertawa terbahak-bahak. Dari situlah kami memulai perkenalan. Pembawaan Bu Kokom yang asik dan ceplas-ceplos membuatku merasa nyaman. Kami bercerita ng
Begitu di dalam mobil, gawai Mas Fadil berdering. Aku dan Arimbi hanya mampu mendengar perkataannya tanpa tahu apa yang dibahas. "Kata teman Mas, kita ngelapor dulu ke kantor polisi, baru nanti dari sana kita diarahkan untuk visum. Nih barusan dia yang ngabarin," jelas Mas Fadil tanpa kami bertanya. "Oh, jadi ni kita ke kantor polisi dulu aja, Mas?" Arimbi memastikan lagi. "Hog oh!" jawab Mas Fadil. Mas Fadil menyalakan mesin mobil, dan mulai memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Arimbi, dengan senang hati menjadikan dirinya sebagai jubirku.Ia menjawab setiap pertanyaan dengan lugas, cepat dan akurat, dan yang pastinya tak ketinggalan suara kekehan panjang dan jeritan tarzan simpanannya. Bukan main! Rame! Sohibku itu bercerita dengan diikuti rekonstruksi adegan ala dirinya, dimana ia memperagakan semua kejadian di depan matanya tadi dengan kehebohan yang sungguh ter-la-lu. Terlalu sempurna!Ketika ia menceritakan adegan aku bersujud lalu memanjatkan doa, Mas Fadil yang du
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best