"Nggak usah sok-sokan ayu, deh!" lontarnya dengan ketidaksukaan yang menjadi-jadi"Emang bukan ayu, aku Firda, Mbak!" celetukku. "Suami kerja, istri di rumah malah bawa masuk lelaki lain. Nggak malu kamu, Fir. Apa kata orang nanti?""Kata orang yang mana, Mbak?" sahutku sengaja mempermainkan perkataannya. "Kata orang-orang sini lah. Ngakunya sakit, tapi bisa-bisanya hanya berdua saja di dalam.""Mbak sendiri, udah sehat?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Bukan urusan kamu. Mbak sakit juga karena ulah kamu yang ngebuat malu. Minta dulu duit Bima, Dini sakit," ucapnya dengan suara yang tiba-tiba mengecil, nggak segarang waktu di awal-awal kemunculannya. "Kalau sakit ya minta saya papanya dong! Masa minta kemari!" geramku."Bima yang suruh!" jawabnya tak tahu malu. "Nggak ada!""Jangan alasan kamu. Itu juga pasti ulah kamu kan? Setelah makan, makanan dari kamu, Dini muntah-muntah. Sekarang badannya demam. Kamu ngeracuni anak Mbak, kan? Hayo ngaku!""Oh, Mbak mau bilang kalau yang
Aku menunduk dengan cepat. Mengambil novel yang telah aku sediakan dari dalam tas dan berpura pura membaca di sebelah mereka. Metode penyamaran ini juga sering aku lihat di perfiliman dan hari ini aku mempraktekkannya. Maka, jangan ragu mencari ilmu. Banyak lihat banyak tahu, banyak ilmu makin maju. Set dah, bahas apaan sih?!Ponsel mode stanbay merekam suara. "Jadi, sekarang Reno gimana bro?" tanya orang yang tepat berasal di sebelahku. Jiah. Nggak lakik, nggak perempuan bahasnya dari tadi Kang Reno. Viral banget sih, Jadi pengen kenalan! Di Tok Tok viral nggak ya? "Ngegembel, dipecat, digugat cerai. Ck, memang tu anak, hidupnya langsung menyedihkan. Mana Desi lagi hamil ya!" jawab temannya yang lain. "Lo aja yang gantiin, Bro. Lo, kan cinta mati ama Desi, tapi cinta terpendam sampai tuh cewek dinikahi Reno, eeeeh sekarang malah diselingkuhi. Apes!" sambung teman mereka yang bertanya tadi. "Ogah, gue nggak mau nasib gue sama kayak Reno. Hari gini cari kerja tuh susah, jangan car
Perkenalkan, saya ini istri dari karyawan Ibu yang bernama Arya Bima Sakti. Maksud kedatangan saya kemari, tidak lain ingin mempertanyakan perihal gaji suami saya, Bu," kataku mantap tanpa embel malu-malu lagi. "Ada apa ya Mbak, dengan gaji suaminya?" tanya Bu Jelita masih diselimuti kebingungan. "Maaf sebelumnya Bu, jika saya terkesan lancang. Bolehkah saya bertanya berapa besaran gaji suami saya, Bu?" "Maaf, apakah gaji suami tidak pernah sampai kepada Mbak, selaku istrinya?" balas Bu Jelita balik bertanya. "Sampai, Bu. Akan tetapi saya mencurigai adanya indikasi kecurangan suami terhadap nominal gajinya. Maaf ya Bu, saya terkesan blak-blakan atas permasalahan rumah tangga saya. Saya memberanikan diri kemari, karena mengetahui betapa responsibilitasnya Ibu dalam menyikapi permasalah rumah tangga karyawannya dari pesan yang masuk ke ponsel suami saya," paparku jujur. "Maksudnya? Maaf, saya kurang paham, Mbak Fir!"Aku membuka tas slempang, mencari ponsel, mengutak atik sebentar,
Aku mendekam di balik selimut seperti orang tak bertulang. Mas Bima membuka pintu kamar dan melihatku sama persis seperti penampakan di waktu pagi, ketika ia akan pergi bekerja. "Kamu masih sakit juga?" tanyanya ketus. "Masih!" jawabku mengimbangi keketusannya. "Oh."Oh? Hanya itu? Ia bahkan tak menanyakan aku sudah jadi berobat? Sudah makan, belum? Atau apapun yang berkaitan dengan diriku selama satu harian di rumah ini. Ia hanya berlalu tanpa berkata lagi. Tak apa Mas, aku juga sudah tak terlalu mengharap perhatian darimu. Pudar! Makanan pahit tak kan melukai sesiapa pun, jika sesiapa pun itu tak ikut memakannya. Tapi, perkataan atau goresan pena yang tidak baik, akan sangat melukai. "Kamu nggak masak?" tanya Mas Bima tiba-tiba, dari balik luar pintu kamar. Mungkin karena baru melihat meja makan kosong, yang tak ada apa-apanya. "Nggak! Pesan aja, Mas!" usulku. "Kamu tau kan, kalau Mas belum gajian?" keluhnya setengah protes tak terima usulanku. "Ya kalau gitu, numpang makan
Hari ini kerjaan kantor tak begitu menyesakkan jari-jari tanganku. Hanya saja, seperti skala rutinitas di rumah, di kantor pun seperti itu. Bosan! Akan tetapi, menghabiskan waktu hari ini untuk berkeluh kesah, berbagi suka duka terhadap hari kemarin adalah rutinitasku kepada sohib dunia, siapa lagi kalau bukan ... nah, pinter! Arimbi sampai mencip*k jidat Endang, begitu aku menceritakan segala kedurjanaanku di kantor Bang Jamet kemarin, eh Mas Bima deng! Gil* nggak tuh kecebong. Sampai-sampai Endang step mendadak karena cip*kan yang didapatnya dari makhluk sekelas Arimbi. Hingga siang ini pun, Arimbi masih saja terpingkal-pingkal melihat gigi tonggos palsu yang aku tunjukin kepadanya. "Beli dimana lu yang beginian?" sosornya penasaran sambil menimang-nimang itu gigi palsu di telapak tangannya."Ada deh, lu nggak usah tau, wkwkwkwk.""Helleh, nanti gue tanya lurah, beli ginian dimana!" katanya yang membuatku semakin terkekeh. "Eh Mbi, gue ada niat nih ngundang anak yatim buat doa
Pintu kamar Viona aku terjang hingga engselnya rusak di bagian bawah. Mataku seketika perih, ketika melihat belatung goyang sedang bercosplay ria seperti blender. "Aaarrg …" jerit Viona."Firda!" cicit Hendrik. Viona kaget, begitu juga dengan Hendrik. Mereka berdua segera melepaskan diri antara satu dengan yang lainnya, lalu sibuk mencari sesuatu untuk menutupi tubuh polos mereka berdua. "Kamar yang dulunya tempat aku salati, tempat aku mengaji dan zikiri, harus hilang keberkahannya oleh kalian?!" Aku menjerit keras melepaskan kekesalan. Aku mendekati Viona lalu menarik rambutnya dengan keras. Ia hanya bisa pasrah mengikuti cengkraman tanganku di rambut blondenya, karena tangan Viona masih sibuk memegangi selimut untuk menutupi tubuh. Aku menyeretnya keluar dari dalam kamar menuju ruang tamu. Melihat aku menarik kekasihnya dengan ganas, Hendrik menangkap tanganku dengan buas dan memutar badanku hingga aku menghadapnya. Jambakan tanganku di rambut Viona pun terlepas."Aauch," jeri
"Iihh, si Abang, kayak belalang tempur aja buat kagetnya. Paru-paru hampir jatoh, nih. Kirain gak ada organdak disindang," keluhku dengan bercanda. “Ya maap, Mbak. Abang sengaja!" kekehnya pelan, “Lagian, ngapa tereak-tereak nggak jelas. Kayak awowok peliharaan Pak Solihin," sambungnya lagi. "Peliharaan Pak Solihin emang apaan, Bang?" tanyaku penasaran. "Monyet!” jawabnya tegas. " Monyet? Waaah ... si Abang, kadang ngomongnya suka bener!"" Ha ha ha, canda, Mbak!" "Ehg eehh ... tadi suara teloletnya hilang, kirain si Abang udah jauh, ya Firda tereak dong. Masak harus nyanyi. Yaudah, mana rotinya, Bang?" Aku menadahkan tangan. "Yang ini kan, Mbak?" Si Abang menyerahkan roti sobek rasa coklat ke tanganku. "Tau aja si Abang." Senyumku manis sambil menerima roti. "Ya tau dong. Abang udah paham. Si Mbak langganan tetap kalau udah empat hari," katanya mantap. "Waah, hebat ya sampai hapal. Tapi hari ini tambahi yang lain, Bang! Mau yang ini, ini dan itu," tunjukku pada beberapa var
Aku terhenyak di atas sofa. Suara gedoran pintu terdengar memekakkan. Heeeeh, amangtahe! (astaga) Aku beranjak dari duduk santaiku, lalu menuju pintu luar. "Hem …" kataku begitu pintu terbuka. Aku melihat seluruh family Fir'aun sudah berada di depan pintu dengan wajah-wajah sakaratul mautnya. "Yaelaaa. Mau klarifikasi? Satu darah nyerbu semua," celotehku."Banyak mulut! Apa maksud kamu ngirim begituan di grup Ibu-Ibu?" tanya Mbak Yana emosi. "Bukannya Mbak yang menggiring opini sendiri, hingga mereka gampang menebak tersangkanya? Perasaan Firda nggak ada sebut nama, tempat, apalagi nyenggol nama. Firda cuma nanya sama Ibu-Ibu. Oia Mas, mau apa lagi mereka berdua kemari?" tunjukku kepada dua orang parasit di sebelahnya."Minggir, Fir. Biarkan mereka masuk!" ucap Mas Bima tegas sembari bergerak ingin membawa koper Viona ke dalam rumah. "Eeits... tidak bisa, Mas!" tolakku dengan menutup jalan di pintu masuk. "Kamu nggak bisa ngelarang kami masuk, Mbak! Kami akan tetap tinggal dis
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best