Setibanya di rumah sakit, Sita pun langsung mengentikan mobilnya tepat di depan pintu ruang IGD dan memanggil suster.
“Sus, teman saya pingsan di mobil. Tolong, tolong!” pintanya dengan panik sampai tubuhnya gemetar. Sungguh, dia takut terjadi sesuatu pada Ayumi.
“Baik, baik.”
Suster pun bergegas membawa brankar dan memindahkan tubuh lemas Ayumi di atas brankar dan mendorongnya memasuki ruang IGD untuk segera dilakukan Tindakan.
Saat Sita ingin ikut masuk, dia dicegah dan diarahkan untuk mendaftarkan Ayumi terlebih dahulu di bagian pendaftaran.
“Maaf, Mbak. Mbak lebih baik daftarkan pasien dulu, ya. Biar kami lakukan penanganan pada pasien,” ujar suster yang menahan langkah Sita di ambang pintu masuk ruang IGD.
“Oh, iya, Sus. Tapi tolong tangani sahabat saya, ya, Sus,” pinta sungguh-sungguh.
“Iya, Mbak. Itu sudah menjadi tugas kami. Silakan!” telapak tangan suster tersebut me
Perempuan yang wajahnya tidak asing bagi Satya itu tersenyum dengan manis. Bahkan dia mengulurkan tangannya yang terlihat mulus meski bulu di tangannya sedikit panjang. Tidak mulus seperti perempuan pada umumnya. Namun, bagi Satya itu uniknya.“Ay,” panggilnya pelan dengan tatapan yang tak lepas dari perempuan yang baru saja menabraknya hingga tersungkur itu.“Sekali lagi saya minta maaf, ya, Mas.” Ucapan perempuan itu dan tepukan di bahu Satya membuat laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu mengerjapkan kedua matanya. Lamunannya pun tersadar.Dia mendadak seperti orang linglung. Setelah perempuan itu berlalu, dia baru sadar jika perempuan tadi sedikit mirip dengan sang Istri, Ayumi.“Sayang, kenapa kamu lihatin cewek tadi gitu banget sih? Udah mulai genit kamu, ya? Mana panggil-panggil nama Ayumi? Kamu sudah mulai cinta sama dia?”Satya pun mulai panik saat mendengar serentetan kalimat tanya yang dilontarkan oleh bibir tipis Clara.“Hei, tenang dulu,” katanya dengan lembut. Dia
Setelah beberapa kali berperang dengan hatinya, Sita pun akhirnya memberanikan diri untuk menjawab telepon dari Hadi Wijaya. Dia harus tahu bagaimana kondisi Ayumi yang sebagai anak mantunya sekarang. Ayumi tidak punya keluarga selain anak-anak dan pengurus di panti ashuan, dirinya, juga keluarga dari pihak suami.“Halo, assalamu’alaikum,” sapa Sita dengan suara yang sedikit gemetar.[“Wa’alaikumsalam. Ay, kok suara kamu ….”] Hadi Wijaya mulai bingung karena suara Ayumi yang biasanya terdengar lembut berubah menjadi sedikit grusukan dan sedikit cempreng.“Maaf, Pak Hadi. Ini Sita, temannya Ayumi,” jawabnya semakin cemas. Beberapa kali dia menoleh ke arah Ayumi. Berharap sahabatnya itu membuka mata dan bisa bicara sendiri dengan ayah mertuanya. Namun nyatanya, Ayumi masih tetap memejamkan kedua matanya. Padahal sudah satu jam lebih Ayumi tertidur.[“Oh, Sita. Kok ponsel Ayumi sama kamu? Di mana d
Satya tak langsung menjawab telepon dari ayahnya sampai panggilan pertama berakhir dengan sendirinya.“Siapa, Sayang? Kok nggak dijawab teleponnya?” tanya Clara dengan kening berkerut.Satya menangkat wajah dan menatap kekasihnya. “Ayah yang telepon,” jawabnya pelan.“Kok bisa tahu nomor baru kamu, Sayang?” perempuan berambut panjang yang selalu tergerai indah itu melebarkan kedua matanya.Satya mengangkat bahu. “Nggak tahu. Atau paling Ayah cari tahu lewat asistennya,” jawabnya lalu mendesah panjang. Mendadak cemas.“Jangan-jangan dia tahu kalau kita ke sini? Bagaimana ini, Sayang?” rengeknya yang juga ikut cemas. Niatnya ingin liburan malah jadi begini.Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Dia juga tidak tahu apa yang mesti dilakukan sekarang.“Sudah, kamu tenang saja. Soal Ayah biar jadi ursan aku.” Satya berusaha menenangkan Clara. Dia genggam telapak
Laki-laki yang masih memakai celana boxer itu mengerjap dan menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar. Dia tahu siapa pelakuknya.“Sayang, kamu udah bangun kan? Sarapan dulu yuk! Setelah itu nanti kita langsung ke pantai lagi.” Suara Clara terdengar begitu merdu. Andai saja semua berjalan sesuai dengan apa yang dia rencakan, pasti tidak akan seribet ini.“Iya, Sayang. Sebentar, ya,” sahutnya setengah berteriak. “Duh … gimana coba aku jelasinnya sama Clara?” Satya kembali memijat pelipisnya sesaat sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan membuka pintu untuk kekasihnya.Satya pun melebarkan kedua matanya saat Clara tiba-tiba mencium pipinya saat pintu terbuka lebar.“Ih, kok kamu belum mandi sih? Baru bangun, ya?”Perempuan berambut panjang itu menatap Satya kesal saat menyadari tubuh kekasihnya masih bau khas orang baru bangun tidur. Padahal dirinya sudah tampil sempurna dengan setelan ce
Usai berbicara dengan sang Ayah, Satya pun kembali pada Clara dan menanyakan hal tadi dan menjelaskan jika yang menelepon itu ayahnya.Perempuan dengan rambut bergelombang itu tampak melebarkan kedua matanya. Menatap Satya seolah tak percaya jika dia tadi baru saja berbicara dengan ayahnya.“Aduh … gimana dong, Sayang? Aku salah, ya. Aku minta maaf, ya,” sahut Clara dengan wajah sedihnya.Dia memang tidak tahu jika Hadi Wijaya itu ayah dari Satya. Sehingga dia mengatakan jika dia istrinya Satya dengan seenaknya. Karena mengira jika Hadi Wijaya itu adalah bawahan dari Satya.“Sudah terlanjur dan Ayah marah banget. Ditambah Ayumi sakit dan dirawat di rumah sakit. Aku disuruh pulang sekarang. Pusing …” beberapa kali Satya menepuk keningnya pelan.“Hah? Sakit apa dia?”“Dugaan sementara typus.’“Ish, bikin repot saja sih,” sahutnya dengan kesal karena kabar sakitnya
Setelah berpikir beberapa saat, Hadi Wijaya pun mengangguk setuju. Dia tetap membiarkan Ayumi berangkat ke kantor untuk urusan pekerjaan. Karena biar bagaimana pun, perusahaan masih tetap membutuhkan Ayumi sebagai designer profesional di kantornya.“Ya sudah, Ayah izinkan. Tapi kamu juga tidak perlu memaksakan diri jika memang kondisi kamu sedang tidak fit, ya. Kamu bisa bekerja dari rumah,” katanya menatap anak menantunya dengan senyuman.Ayumi pun membalasnya dengan senyuman lebih ceria. Dia senang karena ayah mertuanya itu sangat baik. Meski anaknya kerap kali membuatnya patah hati.“Terima kasih, Ayah.”“Sama-sama. Nah, suapan terakhir nih!” Hadi Wijaya kembali menyodorkan suapan terakhir bubur pada Ayumi.Perempuan yang masih berbalut jilbab instan itu pun membuka mulutnya dan menerima suapan dari tangan ayah mertuanya.“Alhamdulillah … setelah ini minum obat, ya. Biar menantu kesayangan
Rio pun meninggalkan Satya bersama dengan ayahnya. Mengetahui kedatangan Satya, Hadi Wijaya langsung bangkit dari duduknya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, dia langsung menarik tangan anak laki-lakinya dengan kasar. Keduanya menjauh dari ruang rawat Ayumi. Karena perempuan itu tengah istirahat pasca meminum obat dari dokter. Dan Hadi Wijaya tidak ingin anak menantunya terganggu. Setelah dirasa aman, Hadi Wijaya menghentikan langkahnya. Seketika itu Satya melebarkan kedua matanya saat sebuah tamparan dari tangan Hadi Wijaya mendarat dengan sangat tepat di pipi kanannya. Belum hilang keterkejutannya, Satya kembali merasakan panas pada pipi sebelah kirinya saat mendapatkan tamparan dari orang yang sama. Laki-laki itu hendak memprotes, namun melihat tatapan Hadi Wijaya yang menatapnya tajam membuat Satya diam dan tak bisa berkutik. Dia memang paling takut jika ayahnya sudah marah, tapi anehnya tidak ada kapoknya. “Kamu tahu apa kesalahanmu, Satya?” tanyanya dengan napas yang naik turu
Satya berdehem untuk menormalkan suasana yang sempat tegang karena kehadirannya.Ayumi pun langsung mengubur senyum di wajahnya saat melihat suaminya masuk ke dalam rumah.“Ini pasti suaminya, ya?” tanya seorang dokter laki-laki yang tadi mengecek kondisi Ayumi. Dia ditemani seorang suster yang mendampinginya.“I-iya,” jawab Ayumi dengan senyum kikuk. Tak seperti tadi yang terlihat lepas senyumnya.“Bagus kalau suaminya sudah datang. Jadi … begini, Pak, istri Anda ini terkena typus. Jadi untuk makan, istirahat, juga pikiran harus dijaga dengan baik, ya.” Dokter laki-laki berkulit putih itu mencoba menjelaskan bagaimana kondisi Ayumi saat ini.Namun, Satya sendiri seperti enggan mendengarkan apa yang dikatakan oleh dokter muda itu. Dia justru lebih tertarik memperhatikan penampilan laki-laki dengan jas putih itu yang terlihat begitu ramah. Juga sesekali menoleh pada Ayumi dengan memberikan senyuman.
Satya pun tiba di rumah Clara dan langsung menemani kekasihnya itu berbelanja sekalian jalan-jalan di mall.“Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama,” ujarnya dengan perasaan bersalah. Kemudian mengecup kening Clara dengan lembut.“Memang macet banget tadi di jalan?”“Iya, Sayang. Tadi juga ada beberapa hal penting yang harus aku urus sebelum pulang. Maaf, ya,” katanya lagi sambil menatap wajah kekasihnya dengan harapan bisa dimaafkan.“Iya, iya. Aku maafkan. Tapi jadi kan kamu temani aku belanja?” tanyanya membalas tatapan Satya.“Jadi dong pasti! Kan aku memang sudah meluangkan waktu untuk kamu,” sahutnya dengan senyum merekah.“Tapi, istri kamu itu nggak tahu kan kalau kita pergi?” Dia kembali melayangkan pertanyaan dengan nada sinis.Satya menggeleng. Kemudian merangkul bahu Clara dengan mesra. “Nggak, Sayang. Ya udah yuk nanti keburu malam. Katanya mau belanja!” ajaknya dan langsung menuntunnya memasuki mobil.Mereka pun melaju kea rah mall besar yang menjual barang-barang branded kesuk
Ayumi sendiri memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan ojek online. Padahal, Satya menunggunya di mobil. Laki-laki itu merasa bersalah karena melihat Ayumi menangis.Entah kenapa, air mata Ayumi kali ini baru berhasil menggugah hatinya.Dia pun membuntuti Ayumi dari belakang saat ojek online yang ditumpangi istrinya itu tidak berbelok ke arah apartemen miliknya. Tapi ke panti asuhan tempat istrinya dibesarkan.“Ngapain dia ke sini?” gumamnya sambil terus memperhatikan langkah sang Istri yang turun dari motor dan memasuki area panti asuhan yang sekarang bisa menampung dua ratus orang lebih.Bangunannya sudah lebih besar dan lebih bagus karena sumbangan dari Hadi Wijaya yang merupakan donatur utama di panti asuhan tersebut.Satya pun ikut turun setelah memastikan Ayumi masuk. Kemudian diam-diam mengikuti langkah Ayumi yang langsung dikerubungi anak-anak kecil.Senyum Ayumi merekah setelah bertemu dengan anak-anak kecil yang ada di panti asuhan.“Mbak ada bawa mainan sama jajan buat
Sita pun menyusul Ayumi ke mobil yang ada di parkiran setelah membayar sejumlah uang di kasir. Dia menatap Ayumi yang tengah berjongkok di samping mobil dengan bahunya yang bergetar. Lalu mendekatinya.“Ay,” panggilnya pelan. Ayumi pun menolah dengan wajahnya yang basah karena air mata. Kemudian merengkuh sahabatnya ke dalam pelukannya. Dia membiarkan sahabatnya meluapkan kesedihannya selama beberapa saat. Hingga hampir sepuluh menit Ayumi baru reda tangisnya.“Balik ke kantor, yuk! Kita sudah terlambat,” katanya dengan terbata-bata. Karena masih menyisakan isak tangis.“Kamu nggak apa-apa? Atau mau aku antar ke apartemen saja? Biar kamu bisa istirahat,” tawar Sita menatap sahabatnya dengan cemas. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabat yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri itu.Ayumi menggeleng pelan. Meski sorot matanya masih terlihat sayu juga sedikit bengkak karena baru saja menangis. “Aku nggak apa-apa kok, Ta. Udah, yuk!”Sita menganggukkan kepalanya. Lalu menekan kunci
Begitu juga dengan Sita. Dia tak kalah terkejutnya, sama halnya dengan Ayumi. Kedua matanya menatap wajah Aditya dengan perasaan heran juga penasaran denga napa yang menjadi alasan dokter muda itu batal menikah. Biar bagaimana pun, dia tahu banyak tentang kisah cinta mereka. Saling mengagumi dalam diam hingga menjalin kedekatan dan berniat meneruskan hubungan mereka ke hubungan yang lebih serius lagi. Sayang, orang tua Aditya tidak merestui hubungan keduanya hanya karena Ayumi dibesarkan di panti asuhan yang asal-usulnya saja tidak jelas. Dan berakhir dengan perjodohan Aditya dengan anak dari salah satu rekan bisnis ayahnya. “Kenapa, Mas?” Pertanyaan itu keluar secara spontan dari mulut Sita. Lalu perempuan itu membekap mulutnya yang lancing. “Maaf … ma-maksudku-“ “Tidak apa. Mungkin pertanyaan itu juga turut mewakili Ayumi,” sahutnya santai. Namun tatapannya terus mengarah pada Ayumi yang sejak tadi menundukkan kepalanya sambil memainkan jari-jemarinya yang lentik. Perempuan itu
Ayumi yang merasa sudah tidak sanggup lagi menahan perasaannya pun memilih mencurahkan apa yang terjadi dengan pernikahannya pada Sita.Karena dia yakin, sahabatnya itu bisa menjaga rahasia. Dia sudah mengenal Sita sejak mereka kecil dan hidup bersama di panti asuhan.Saling berbagi apapun yang mereka miliki. Dan saling berbagi keluh kesah. Dari kecil hingga mereka dewasa.“Ay, kamu nggak lagi bercanda kan?” Sita kembali malayangkan pertanyaan untuk memastikan apa yang dia dengar dari sahabatnya itu adalah hal kebenaran.Ayumi mengangguk lemah. “Aku sebenarnya sudah lelah dengan semua sandiwara ini, Ta. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana,” jawab pelan. Nafsu makannya tiba-tiba lenyap entah ke mana.Pandangannya menerawang pada kedua angsa yang masih berenang bersama. Menikmati romansa yang tercipta tanpa merasa terganggu dengan suasana yang ada.“Sudah lima bulan kalian menikah dan kamu masih perawan? Apa Pak Satya sama sekali tidak penasaran? Tidak tertarik padamu? Itu mustahil, Ay!
Beberapa hari berlalu, Ayumi yang merasa sudah membaik pun masuk ke kantor karena jenuh di apartemen. Merasa bosan karena tidak ada tetangga atau siapapun yang bisa diajak untuk mengobrol. “Mau ke mana dandan rapi begitu?” tanya Satya dengan tatapan sinis. “Aku ikut ke kantor, ya, Mas. Bosan di rumah,” pintanya menatap suaminya dengan penuh harap. “Ck, ke kantor kok Cuma bosan. Ke kantor itu kerja,” cibirnya. Ayumi mengembuskan napas panjang. “Ya memang mau kerja, Mas. Kan selama beberapa hari ini aku juga kerja meski hanya di rumah.” Dia kembali menjadi Ayumi yang cerewet. Moodnya benar-benar kembali setelah bertemu dengan Aditya. Entah karena apa. “Ya sudah, ayo! Aku sudah telat,” tukasnya. Lalu berjalan terlebih dulu menuju lift. Ayumi pun mengikuti langkahnya dan mengunci pintu apartemennya terlebih dulu. Kemudian menyusul suaminya. Sesampainya di parkiran, mereka pun melangkah bersama menuju mobil. Meski tidak sempat bergendengan tangan dan bertukar kata mesra, tapi entah k
Aditya pun terkesiap dengan jawaban dan tingkah laku Satya. Karena baginya, apa yang katakana tadi adalah hal umum yang dia ucapkan juga pada pasien lain saat mereka telah selesai menjalani perawatan di rumah sakit.Cemburu? Mungkinkah? Memangnya dia tahu kalau aku pernah ada hubungan dengan Ayumi? Apa mungkin Ayumi yang memberitahunya?Dia hanya bisa menerka-nerka dalam hati. Hingga tepukan dari Hadi Wijaya membuatnya terkesiap.“Maafkan anak saya, Dok. Mungkin dia sedang cemburu karena istrinya diperhatikan oleh dokter tampan dan muda seperti Anda,” kekeh Hadi Wijaya.“Oh, maaf, Pak jika begitu. Tapi saya memang selalu mengingatkan hal tersebut pada semua pasien yang hendak pulang setelah dirawat di sini,” katanya sedikit tidak enak hati.“Nggak apa. Saya rasa itu juga hal yang wajar diucapkan oleh dokter. Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih,” ucap Hadi Wijaya menjabat tangan Aditya.“Baik, Pak. Sama-sama dan hati-hati di jalan,” sahutnya dengan senyum ramah seperti biasa. La
Jelas saja dia tidak ingin berpisah dengan Ayumi. Karena jika berpisah, maka dia juga akan kehilangan harta kekayaan yang sudah ayahnya titipkan atas nama Ayumi.Jadi, dia ingin membebaskan istrinya menjalin hubungan dengan siapapun. Seperti dirinya yang menjalin hubungan dengan kekasihnya, Clara. Karena mereka hanya suami istri di atas kertas. Itu yang ada di pikiran Satya kali ini.“Lupakan!” tukasnya sambil mengibaskan telapak tangannya di depan wajahnya.“Aneh kamu, Mas,” sahut Ayumi.“Kamu kapan boleh pulang? Bosan aku di sini,” tanyanya menatap sang Istri yang menggelengkan kepalanya.“Nggak tahu. Tadi nggak tanya sama dokternya.”“Males!” sahutnya singkat. Lalu berdiri dari posisinya dan beranjak keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Karena mendadak hatinya terasa sesak saat mengingat jika dokter muda itu adalah masa lalu dari Ayumi.Hai, kenapa kamu, Satya? Apa kamu sudah memiliki rasa pada istrimu sehingga kamu merasa cemburu saat istrimu dekat dengan masa lalunya?Ayum
Satya memperhatikan penampilan dokter muda yang memiliki mata sipit berkulit putih itu. Terlihat kalem dan berwibawa.“Iya,” sahutnya singkat. Dengan senyum yang dipaksakan.“Boleh saya duduk di sini?” tanyanya menunjuk satu kursi di hadapan Satya yang kosong.“Oh, boleh saja. Ini tempat umum. Tapi saya hanya menunggu kopi, setelahnya saya akan kembali ke ruang rawat istri saya,” katanya dengan menekankan kata dua kata terakhirnya.“Oh iya. Silakan. Ayumi memang harus lebih banyak istirahat. Dan jika ditemani dengan Anda pasti akan semakin sembuh,” katanya dengan senyum ramah.Aditya pun duduk di hadapan Satya. Namun, pelayan kantin memanggil Satya karena kopi pesanannya telah jadi. Dia pun bangkit dan mengambil kopi.“Saya permisi dulu,” katanya pada Aditya yang mengangguk sopan.“Ya, silakan,” sahutnya masih dengan senyum ramah. “Kamu beruntu