“Maaf, Ay. Aku … terpaksa mengingkari janjiku untuk menikahimu.”Perempuan bermata bulat itu langsung mendongakkan kepalanya demi bisa menatap wajah laki-laki yang sudah satu tahun lebih itu mengisi hari-harinya dengan berbagai warna kehidupan. Terkadang sedih, tapi lebih banyak warna kebahagiaan yang dia lukiskan di setiap harinya. Sikap laki-laki yang ada di hadapannya selalu baik. Sering memberi kejutan-kejutan kecil yang membuat Ayumi merasa sangat dicintai. Apalagi setelah dia tinggal di sebuah panti asuhan yang memang sangat kurang kasih sayang orang tua. Meski ada pengurus, tapi mereka hanya melayani sewajarnya. Ayumi yang awalnya hanya mengikutiu arus hadirnya cinta, kini dia sudah benar-benar hanyut dan pasrah. Bahkan, kini dia juga sudah sangat mencintai laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu. “Ay,” panggil lirih. Tatapan matanya mengarah pada Ayumi dengan sendu. Tampak dengan jelas kesedihan di wajah laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu. Gadis bermata bulat
“Yang benar saja, Ayah? Masa Satya mau dinikahkan dengan perempuan kampungan macam dia sih,” protesnya seraya melirik Ayumi dengan sinis.“Satya!” sahut Hadi dengan nada sedikit meninggi. Mengingatkan anak semata wayangnya agar tidak merendahkan orang lain.“Yah, Satya ini anak satu-satunya Ayah lho. Pewaris tunggal PT. Megabuana. Masa iya mau menikah dengan perempuan seperti ini.” Satya terus protes sembari menghina penampilan Ayumi.Ayumi sendiri hanya bisa menahan geram karena terus diremehkan oleh Satya. Padahal, dia sendiri memiliki andil dari perusahaan garmen yang dibangun oleh keluarga Hadi Wijaya.Dulu, Ayumi tinggal dan dibesarkan di sebuah panti asuhan khusus kaum dhuafa dan anak yatim. Hadi Wijaya sendiri adalah donatur tetap di panti asuhan sekaligus pesantren itu.Melihat bakat Ayumi yang begitu bagus dalam mendesain pakaian, dia pun menyekolahkan Ayumi di sebuah universitas negeri di Surabaya untuk lebih mengasah kemampuannya dalam mendesain pakaian. Dan setelah lulus,
Bagai dihantam godam yang tepat mengenai hatinya. Dadanya terasa sesak seketika. Bahkan, untuk mengambil napas saja rasanya Ayumi terasa berat.Dia baru saja berniat untuk mengabdikan dirinya untuk laki-laki dingin yang kini bergelar suami untuknya. Meski hanya di atas kertas seperti apa yang Satya katakan, tapi Ayumi ingin memperlakukan Satya dengan baik. Namun, apa balasannya? Sungguh Ayumi tak menyangka jika Satya akan sekasar ini padanya.Sebegitu bencinya kah dirinya pada Ayumi?Ayumi menganggukkan kepalanya pelan saat dia berhasil menguasai hatinya. Lalu mundur beberapa langkah hingga tubuhnya dia jatuhkan pada pinggiran tempat tidur. Duduk tepekur menahan sesak di dadanya.Sabar, Ayumi. Sabar ….Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri agar lebih sabar. Dia sudah tahu tabiat atasannya sekaligus suaminya itu. Laki-laki keturunan timur tengah itu memang sudah menunjukkan sikap tidak Sukanya sejak pertama kali Ayumi menginjakkan kakinya di rumah mewah keluarga Hadi Wijaya. Apalagi
Untuk beberapa saat Ayumi terkesiap dengan perilaku suaminya. Perlakuannya sangat berbeda sekali lebih ramah dan hangat. Tak seperti saat di hotel, terkesan judes dan dingin. Boro-boro merangkul, menatap wajahnya saja terasa enggan sekali. Hingga Ayumi teringat apa kata suaminya saat masih di hotel. Dia mengangguk samar, paham dengan maksud perlakuan suaminya kini. Hanya sandiwara untuk menutupi kebusukan niatnya menikahi Ayumi. “Ayumi ingin segera ke rumah, Yah. Katanya bosan di hotel terus. Iya kan, Sayang?” Laki-laki bercambang tipis itu menoleh ke arah Ayumi dengan kerlingan nakal. Senyum di bibir tebalnya terlihat sangat manis. Ah, andai saja ini bukan sandiwara, pasti hati perempuan berusia dua puluh lima tahun itu sudah sangat senang. Sayang, semua hanya settingan. Ayumi tersenyum kikuk. Lalu mengangguk pelan. “Iya, Ayah. Nggak ngapa-ngapain di hotel kan jenuh,” sahutnya terpaksa berbohong mengikuti alur cerita yang sudah suaminya buat. Walaupan dia sendiri tidak ingin
“Iya kan, Sayang?”Laki-laki menyebalkan itu kembali melayangkan pertanyaan yang sama pada Ayumi. Namun bedanya, kali ini ada sedikit penekanan. Juga tatapannya yang sedikit mendelik dengan senyum yang terlihat sekali dipaksakan. Dan … terkesan memaksa.“Ayumi nggak papa?” tanya Hadi menatap menantunya sedikit cemas. Karena tadi mendengar pekikannya.“Eh, nggak papa, Ayah,” sahutnya tanpa peduli dengan pertanyaan suaminya.“Yakin?”“Iya, Yah. Tadi Cuma agak kegigit saja lidahnya. Nggak papa kok,” sahutnya tersenyum kikuk.Sedangkan Satya melengos sambil memutar kedua bola matanya.“Yah, besok aku mau pindah.” Merasa diabaikan, Satya kembali mengulangi kalimatnya.Untung saja acara makan malam sudah selesai. Sehingga tidak merusak suasana dan selera makan. Tinggal menunggu adzan maghrib saja.Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut laki-laki paruh baya itu. “Satya, tidak bisakah kalian tinggal di sini saja? Ayah pasti akan kesepian kalau nggak ada kalian,” sahutnya dengan
Sepanjang perjalanan ke apartemen, Ayumi dan Satya masih saling diam. Ayumi lebih menyibukkan diri dengan memandangi apapun yang dia lewati selama perjalanan. Sedangkan Satya lebih fokus pada kendali mobilnya. Benar-benar perjalanan yang membosankan. Hingga mobil sport hitam milik Satya berhenti di depan sebuah gedung lima lantai yang terletak di tengah-tengah kota Surabaya. “Turun!” titah laki-laki bercambang tipis itu tanpa menoleh pada sang Istri. “Di sini?” tanya Ayumi tampak menatap sekitar sembari mengerutkan keningnya. Pasalnya, mobil yang dia naiki berhenti tepat di pintu lobby apartemen. “Iya lah. Memang mau turun di mana?” Satya bertanya balik sembari menatap istrinya dengan memutar bola matanya. Ayumi hanya mengembuskan napas panjang sedikit kasar. Lalu turun dari mobil tanpa banyak protes lagi. “Jangan lupa turunkan barang-barang di bagasi. Aku mau parkir mobil!” teriaknya dari dalam mobil. “Iya,” sahutnya setengah kesal. Lalu membuka bagasi mobil yang sudah dibuka k
Usai membereskan semua baju Satya juga baju-bajunya ke dalam lemari dan membereskan barang-barangnya di kamar, Ayumi pun beranjak ke dapur berniat untuk menyiapkan makan siang. Namun saat dia membuka lemari pendingin, tak ada isinya sama sekali.“Kosong?” gumamnya memperhatikan isi kulkas. Lalu menutupnya lagi.Namun tubuhnya sedikit terlonjak saat mendapati sang suami sudah berada di balik pintu kulkas yang terbuka tadi.“Kulkas memang kosong karena aku jarang tinggal di sini. Jadi … belanjalah sana buat makan siang. Aku lapar!” ujar Satya yang hanya melirik ke arah Ayumi sekilas.“Ya sudah. Ayo antar,” pintanya menatap sang Suami yang masih berdiri di posisinya.Seketika itu Satya menoleh dan menatap Ayumi dengan kening berkerut. “Antar katamu?”Ayumi mengangguk cepat. “Saya kan tidak tahu letak warung di sini. Atau pasar, supermarket,” sahutnya polos.Seketika itu S
Tubuh Ayumi sampai terlonjak dengan kedua mata yang terbuka lebar saat menatap deretan angka yang tertera di layar ponselnya saat dia baru saja mengecek notifikasi ada yang mentransfer sejumlah uang ke nomor rekeningnya.“Ini nggak salah lima puluh juta?” tanyanya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dapatkan.Gajinya sebagai designer di kantor milik Hadi Wijaya tidak sampai menyentuh angka sepuluh juta. Ini malah lima kali lipat dari gajinya.Ayumi mengerjapkan kedua matanya saat ponselnya kembali berdering. Kali ini notifikasi pesan WA dari Satya. Penasaran, Ayumi pun segera membukanya. Isinya berupa foto bukti transfer yang sudah Satya kirim pada Ayumi.Satya: Aku sudah transfer uang sejumlah lima puluh juta untuk keperluan belanja selama satu bulan. Besok, belanjalah dan masak. Aku tidak terbiasa memakan makanan beli dari luar. Apalagi restoran yang kebersihannya tidak dijaga.Meski isinya tak ada sedikit pun kata romantis, tapi berhasil membuat kedua sudut bibir Ayumi
Satya pun tiba di rumah Clara dan langsung menemani kekasihnya itu berbelanja sekalian jalan-jalan di mall.“Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama,” ujarnya dengan perasaan bersalah. Kemudian mengecup kening Clara dengan lembut.“Memang macet banget tadi di jalan?”“Iya, Sayang. Tadi juga ada beberapa hal penting yang harus aku urus sebelum pulang. Maaf, ya,” katanya lagi sambil menatap wajah kekasihnya dengan harapan bisa dimaafkan.“Iya, iya. Aku maafkan. Tapi jadi kan kamu temani aku belanja?” tanyanya membalas tatapan Satya.“Jadi dong pasti! Kan aku memang sudah meluangkan waktu untuk kamu,” sahutnya dengan senyum merekah.“Tapi, istri kamu itu nggak tahu kan kalau kita pergi?” Dia kembali melayangkan pertanyaan dengan nada sinis.Satya menggeleng. Kemudian merangkul bahu Clara dengan mesra. “Nggak, Sayang. Ya udah yuk nanti keburu malam. Katanya mau belanja!” ajaknya dan langsung menuntunnya memasuki mobil.Mereka pun melaju kea rah mall besar yang menjual barang-barang branded kesuk
Ayumi sendiri memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan ojek online. Padahal, Satya menunggunya di mobil. Laki-laki itu merasa bersalah karena melihat Ayumi menangis.Entah kenapa, air mata Ayumi kali ini baru berhasil menggugah hatinya.Dia pun membuntuti Ayumi dari belakang saat ojek online yang ditumpangi istrinya itu tidak berbelok ke arah apartemen miliknya. Tapi ke panti asuhan tempat istrinya dibesarkan.“Ngapain dia ke sini?” gumamnya sambil terus memperhatikan langkah sang Istri yang turun dari motor dan memasuki area panti asuhan yang sekarang bisa menampung dua ratus orang lebih.Bangunannya sudah lebih besar dan lebih bagus karena sumbangan dari Hadi Wijaya yang merupakan donatur utama di panti asuhan tersebut.Satya pun ikut turun setelah memastikan Ayumi masuk. Kemudian diam-diam mengikuti langkah Ayumi yang langsung dikerubungi anak-anak kecil.Senyum Ayumi merekah setelah bertemu dengan anak-anak kecil yang ada di panti asuhan.“Mbak ada bawa mainan sama jajan buat
Sita pun menyusul Ayumi ke mobil yang ada di parkiran setelah membayar sejumlah uang di kasir. Dia menatap Ayumi yang tengah berjongkok di samping mobil dengan bahunya yang bergetar. Lalu mendekatinya.“Ay,” panggilnya pelan. Ayumi pun menolah dengan wajahnya yang basah karena air mata. Kemudian merengkuh sahabatnya ke dalam pelukannya. Dia membiarkan sahabatnya meluapkan kesedihannya selama beberapa saat. Hingga hampir sepuluh menit Ayumi baru reda tangisnya.“Balik ke kantor, yuk! Kita sudah terlambat,” katanya dengan terbata-bata. Karena masih menyisakan isak tangis.“Kamu nggak apa-apa? Atau mau aku antar ke apartemen saja? Biar kamu bisa istirahat,” tawar Sita menatap sahabatnya dengan cemas. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabat yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri itu.Ayumi menggeleng pelan. Meski sorot matanya masih terlihat sayu juga sedikit bengkak karena baru saja menangis. “Aku nggak apa-apa kok, Ta. Udah, yuk!”Sita menganggukkan kepalanya. Lalu menekan kunci
Begitu juga dengan Sita. Dia tak kalah terkejutnya, sama halnya dengan Ayumi. Kedua matanya menatap wajah Aditya dengan perasaan heran juga penasaran denga napa yang menjadi alasan dokter muda itu batal menikah. Biar bagaimana pun, dia tahu banyak tentang kisah cinta mereka. Saling mengagumi dalam diam hingga menjalin kedekatan dan berniat meneruskan hubungan mereka ke hubungan yang lebih serius lagi. Sayang, orang tua Aditya tidak merestui hubungan keduanya hanya karena Ayumi dibesarkan di panti asuhan yang asal-usulnya saja tidak jelas. Dan berakhir dengan perjodohan Aditya dengan anak dari salah satu rekan bisnis ayahnya. “Kenapa, Mas?” Pertanyaan itu keluar secara spontan dari mulut Sita. Lalu perempuan itu membekap mulutnya yang lancing. “Maaf … ma-maksudku-“ “Tidak apa. Mungkin pertanyaan itu juga turut mewakili Ayumi,” sahutnya santai. Namun tatapannya terus mengarah pada Ayumi yang sejak tadi menundukkan kepalanya sambil memainkan jari-jemarinya yang lentik. Perempuan itu
Ayumi yang merasa sudah tidak sanggup lagi menahan perasaannya pun memilih mencurahkan apa yang terjadi dengan pernikahannya pada Sita.Karena dia yakin, sahabatnya itu bisa menjaga rahasia. Dia sudah mengenal Sita sejak mereka kecil dan hidup bersama di panti asuhan.Saling berbagi apapun yang mereka miliki. Dan saling berbagi keluh kesah. Dari kecil hingga mereka dewasa.“Ay, kamu nggak lagi bercanda kan?” Sita kembali malayangkan pertanyaan untuk memastikan apa yang dia dengar dari sahabatnya itu adalah hal kebenaran.Ayumi mengangguk lemah. “Aku sebenarnya sudah lelah dengan semua sandiwara ini, Ta. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana,” jawab pelan. Nafsu makannya tiba-tiba lenyap entah ke mana.Pandangannya menerawang pada kedua angsa yang masih berenang bersama. Menikmati romansa yang tercipta tanpa merasa terganggu dengan suasana yang ada.“Sudah lima bulan kalian menikah dan kamu masih perawan? Apa Pak Satya sama sekali tidak penasaran? Tidak tertarik padamu? Itu mustahil, Ay!
Beberapa hari berlalu, Ayumi yang merasa sudah membaik pun masuk ke kantor karena jenuh di apartemen. Merasa bosan karena tidak ada tetangga atau siapapun yang bisa diajak untuk mengobrol. “Mau ke mana dandan rapi begitu?” tanya Satya dengan tatapan sinis. “Aku ikut ke kantor, ya, Mas. Bosan di rumah,” pintanya menatap suaminya dengan penuh harap. “Ck, ke kantor kok Cuma bosan. Ke kantor itu kerja,” cibirnya. Ayumi mengembuskan napas panjang. “Ya memang mau kerja, Mas. Kan selama beberapa hari ini aku juga kerja meski hanya di rumah.” Dia kembali menjadi Ayumi yang cerewet. Moodnya benar-benar kembali setelah bertemu dengan Aditya. Entah karena apa. “Ya sudah, ayo! Aku sudah telat,” tukasnya. Lalu berjalan terlebih dulu menuju lift. Ayumi pun mengikuti langkahnya dan mengunci pintu apartemennya terlebih dulu. Kemudian menyusul suaminya. Sesampainya di parkiran, mereka pun melangkah bersama menuju mobil. Meski tidak sempat bergendengan tangan dan bertukar kata mesra, tapi entah k
Aditya pun terkesiap dengan jawaban dan tingkah laku Satya. Karena baginya, apa yang katakana tadi adalah hal umum yang dia ucapkan juga pada pasien lain saat mereka telah selesai menjalani perawatan di rumah sakit.Cemburu? Mungkinkah? Memangnya dia tahu kalau aku pernah ada hubungan dengan Ayumi? Apa mungkin Ayumi yang memberitahunya?Dia hanya bisa menerka-nerka dalam hati. Hingga tepukan dari Hadi Wijaya membuatnya terkesiap.“Maafkan anak saya, Dok. Mungkin dia sedang cemburu karena istrinya diperhatikan oleh dokter tampan dan muda seperti Anda,” kekeh Hadi Wijaya.“Oh, maaf, Pak jika begitu. Tapi saya memang selalu mengingatkan hal tersebut pada semua pasien yang hendak pulang setelah dirawat di sini,” katanya sedikit tidak enak hati.“Nggak apa. Saya rasa itu juga hal yang wajar diucapkan oleh dokter. Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih,” ucap Hadi Wijaya menjabat tangan Aditya.“Baik, Pak. Sama-sama dan hati-hati di jalan,” sahutnya dengan senyum ramah seperti biasa. La
Jelas saja dia tidak ingin berpisah dengan Ayumi. Karena jika berpisah, maka dia juga akan kehilangan harta kekayaan yang sudah ayahnya titipkan atas nama Ayumi.Jadi, dia ingin membebaskan istrinya menjalin hubungan dengan siapapun. Seperti dirinya yang menjalin hubungan dengan kekasihnya, Clara. Karena mereka hanya suami istri di atas kertas. Itu yang ada di pikiran Satya kali ini.“Lupakan!” tukasnya sambil mengibaskan telapak tangannya di depan wajahnya.“Aneh kamu, Mas,” sahut Ayumi.“Kamu kapan boleh pulang? Bosan aku di sini,” tanyanya menatap sang Istri yang menggelengkan kepalanya.“Nggak tahu. Tadi nggak tanya sama dokternya.”“Males!” sahutnya singkat. Lalu berdiri dari posisinya dan beranjak keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Karena mendadak hatinya terasa sesak saat mengingat jika dokter muda itu adalah masa lalu dari Ayumi.Hai, kenapa kamu, Satya? Apa kamu sudah memiliki rasa pada istrimu sehingga kamu merasa cemburu saat istrimu dekat dengan masa lalunya?Ayum
Satya memperhatikan penampilan dokter muda yang memiliki mata sipit berkulit putih itu. Terlihat kalem dan berwibawa.“Iya,” sahutnya singkat. Dengan senyum yang dipaksakan.“Boleh saya duduk di sini?” tanyanya menunjuk satu kursi di hadapan Satya yang kosong.“Oh, boleh saja. Ini tempat umum. Tapi saya hanya menunggu kopi, setelahnya saya akan kembali ke ruang rawat istri saya,” katanya dengan menekankan kata dua kata terakhirnya.“Oh iya. Silakan. Ayumi memang harus lebih banyak istirahat. Dan jika ditemani dengan Anda pasti akan semakin sembuh,” katanya dengan senyum ramah.Aditya pun duduk di hadapan Satya. Namun, pelayan kantin memanggil Satya karena kopi pesanannya telah jadi. Dia pun bangkit dan mengambil kopi.“Saya permisi dulu,” katanya pada Aditya yang mengangguk sopan.“Ya, silakan,” sahutnya masih dengan senyum ramah. “Kamu beruntu