Itu teriakan!
Reno yang tengah merebahkan diri di atas ranjang kaget dan langsung duduk. Ia memang tidak punya pekerjaan, makannya baru saja datang tadi dan susah habis. Hanya air mineral yang disisakan setengah botol. Ia tak mau kehausan seperti kemarin, apalagi Adit mengaku lupa padanya. Ia bertekad harus bertahan dengan segala cara.
Sekali lagi Reno mendengar teriakan, kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Reno berlari menuju pintu dan menemplekan telinganya ke sana.
Siapa yang berteriak?
Jantungnya memompa darah lebih cepat dari sebelumnya, membuat matanya lebih tajam dan seluruh tubuhnya bisa menghasilkan dua kali tenaga lebih besar. Entah karena teriakan itu yang memotivasi Reno, ia seperti memiliki rencana untuk kabur. Ia menunduk, memperhatikan engsel pintu yang karatan. Tempat engsel itu dipasang adalah dinding batu, jika Reno ingin keluar ia bisa menangalkan engsel dari tempatnya dengan bayaran tenaga.
Walaupun tak yakin
Sena tidak bisa menegakkan kepalanya dengan benar. Seluruh persendiannya serasa lepas dan perutnya bergolak. Ia muntah sekali di kaki Adit dan mendapatkan pukulan di pipinya. Ia yang awalnya duduk di kursi depan, dipindahkan ke belakang.Adit menelepon beberapa orang di ponselnya. Sena tahu dari spion tengah. Hasil telepon itu sama sekali tidak baik karena wajah Adit tak sedap dipandang. Pelan-pelan, Sena berusaha membuka pintu samping. Kesibukan Adit pasti sudah menyamarkan kewaspadaan. Pintu samping bisa dibuka dan secepat yang ia bisa Sena lari.Namun, ia jatuh dua langkah setelah keluar dan ambruk di aspal. “To-long!” Teriakan Sena bagai bisikan. Bagaimanapun ia mencoba sekuat tenaga, teriakan yang biasa tidak bisa terdengar.Bagaimana ini? Aku tidak lari. Tuhan …. Sena mencoba mengangkat tubuhnya lagi, tetapi tak berhasil.Adit yang sudah menyadari Sena menghilang langsung keluar dari mobil.“Gadis sial!&rdquo
“Aku tidak pernah berencana membunuh siapapun. Kamu yang melakukannya.”Walaupun ia mengakui perkataan Monik, tapi Adit sama sekali tidak senang. Ia sudah melakukan semua yang disarankan Monik. Hanya saja ada beberapa yang melenceng dari rencana memang. Namun, tetap saja Moniklah pangkal permasalahan itu.“Gadis sial!” makinya sekali lagi.Mobilnya melaju dengan kencang di jalan tol. Ia sempat berhenti dan mengecek keadaan Sena di dalam bagasi. Mata Sena terpejam, tetapi ia masih bernapas dan itu sangat bagus. Ia tidak ingin Sena merusak apapun rencananya lagi. Ia sudah mengisi bensin mobil penuh dan di tempat yang dituju, ia juga sudah mempersiapkan beberapa diregen bensin untuk jaga-jaga. Sebenarnya itu bukan miliknya, tetapi milik Papa.Adit berbelok di jalanan kecil sekali lagi setelah keluar dari tol setengah jam lalu. Tempat yang dituju adalah vila yang sudah lama tak dikunjungi. Terakhir ia kemari bersama Pa
Infus yang terpasang di tangan Reno dan Ratih, mamanya Sena sudah ditanggalkan. Dokter bilang Reno sudah tidak lagi mengalami dehidrasi seperti keadaannya saat datang ke rumah sakit. Namun, masih ada pemeriksaan menyeluruh besok pagi sebelum bisa pulang.“Syukurlah, kondisi Tante juga baik-baik saja,” Reno benar bersyukur tentang itu.Selain lebam-lebam di beberapa bagian tubuh, Ratih tidak mengalami masalah lain dan hanya perlu pemeriksaan akhir seperti Reno besok.“Ya ….”Wajah Ratih terlihat murung. Reno tahu betul kenapa itu bisa terjadi. Sebagai seorang ibu, Ratih tentu khawatir tentang keadaan putrinya yang belum ada kabar.“Sena pasti baik-baik saja.”Reno juga khawatir. Apalagi ia mengetahui fakta jika mental Adit sama sekali tidak baik. Di dalam kamar tempat dirinya disekap, banyak gambar berisi kekerasan yang dikerjakan anak kecil. Adit anak tunggal. Itu artinya gambar-gambar yang ditemuka
Sena membuka matanya perlahan. Gelap. Namun, samar-samar dari ruangan sebelah ada cahaya yang menyelusup dari lubang kunci. Tangan Sena beraba, kini ia tahu kalau berada di ranjang. Hanya saja ranjang yang ditiduri kini lebih kecil dari sebelumnya.Ini di mana? Aku terus-terusan tidak sadar dan terkurung.Sena mengerakan tangannya, walau masih tidak bertenaga ia berhasil membuka dan menutup telapak tangannya. Lalu diangkatnya tangan kanan dan kirinya secara bergantian. Ia seperti habis berlari sangat jauh sehingga kehilangan banyak tenaga.Ini tidak seperti yang aku pikirkan, katanya dalam hati dan kemudian memejamkan mata.Setelah merasa istirahatnya cukup, Sena mengerakan jari-jari kakinya sekarang. Akan tetapi, ia sama sekali tidak berhasil mengangkat kedua kakinya sebanyak tiga kali.Aku harus bisa mengerakan seluruh anggota tubuhku jika ingin keluar dari sini.Sena terkesiap begitu mendengar suara kunci pintu
Hanya beberapa orang di kampus yang tahu soal kejadian yang menimpa Monik. Mereka hanya segelintir orang yang update pada informasi seputar artis dan sejenisnya. Dikarenakan Monik adalah putri tunggal Tora, walau tak terlalu diperhatikan, informasi kalau ia diserang dan kemudian menjadi saksi tindak kejahatan sampai juga pada mereka. Monik menikmati perhatian yang diberikan orang-orang.“Saat kamu di serang, apa kamu lihat ada Sena di sana?”Monik mengangkat kepala dan menemukan Reno. Kondisi pemuda itu terlihat tidak cukup baik. Tubuhnya sedikit kurus dari terakhir Monik bertemu dengannya. Mata juga cekung dan ada beberapa lebam di lehernya.“Kamu terlihat tidak baik-baik saja,” kata Monik.Ekspresinya saat ini pasti tak bisa ditebak Reno. Matanya mendadak berkaca-kaca.“Saat ini aku sudah baik-baik saja. Aku hanya khawatir pada Sena.” Reno menunduk, memperhatikan ujung jari kakinya.Monik berusaha keras
“Aku tidak menyangka kamu akn berkunjung di jam segini?” Rayna tersenyum.Luka yang didapatkan dari penikaman sebelumnya untunglah tidak terlalu dalam dan melukai organ vital. Reno tidak bisa membayangkan jika ada lebih dari itu luka yang didapatkan oleh Rayna, kakanya. Ia tak akan memaafkan dirinya sendiri lagi. Tidak akan. Akan tetapi, syukurlah hanya luka yang tidak membahayakan yang dialami Rayna.“Kami berencana menangkap Adit hari ini?”Segera Rayna menegakkan punggungnya dan terlihat antusias. Ia ingin mendengar pejelasan lebih lanjut dari adiknya.“Sepertinya aku dilarang untuk menceritakan secara detail,” kata rReno. Ia menatap langit-langit seraya mengingat-ingat apa-apa saja perkataan petugas polisi yang tadi bersama dengannya.“Kamu tidak perlu mengatakan secara jelas, katakan apa yang ingin aku dengar,” suruh Rayna sambil cemberut.Reno mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kemud
Sudah lewat waktunya beberapa menit dan Adit yang berjanji tidak juga muncul.“Mungkin kita sudah ketahuan, ya?” Monik bergumam di sebelah Reno.Hati Reno mencelos seketika. Ia memejamkan mata dan mengatakan masih ada kesempatan lain. Ia kemudian menegakkan pungungnya.“Ayo temu yang lain!” ajaknya pada Monik.Gadis di samping Reno langsung mengangguk setuju. Ia menepuk-nepuk bagian belakang tubuhnya dari debu yang mungkin saja menempel. Selanjutnya diikuti Reno yang telah berjalan lebih dulu dan menanti di tengah halaman.Reno melambai, memberi kode pada para polisi yang bersiaga bahwa rencana mungkin gagal danntidak ada gunanya menanti.“Maaf, aku tidak bisa banyak membantu,” kata Monik terlihag sangat sedih. Ia menunduk dan menatap ujung sepatu cantiknya karena menyesal.“Bukan salah Anda, Nona. Target kita rupanya sangat waspada dan cerdik.” Salah satu pertugas polisi menenangkan.
Lagi-lagi Reno merasakan sakit. Saat ia kemudian berhasil melihat dengan jelas di dalam kegelapan, Reno tak kenal tempatnya berada. Ini bukan di dalam kamar tempat dirinya disekap Adit. Tempatnya kini berada tidak pernah didatangi dan sepertinya bukan pilihan tempat untuknya tersadar setelah diserang seseorang.Sama seperti saat disekap di kamar belakang rumah Adit, kedua tangannya tidak diikat. Sepertinya orang yang sudah menyerangnya sangat percaya diri. Mungkin juga ia sudah bersiap dengan sejanta pelumpuh lain.Reno mengerang, memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Dari sekitar ia mendengar banyak suara binatang malam. Ia kembali bertanya-tanya di mana sebenarnya kini ia berada. Jika masih ada di tengah kota, tak mungkin begitu hening dan hanya ada suara binatang seperti ini.“Rupanya kamu sudah sadar.”Reno seketika menjadi sangat waspada. Entah sejak kapan suara itu begitu sangat dikenalinya. Ia bahkan bisa tahu orang tersebut ada
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh
Tidak ada yang bisa membujuk Sena jika sudah bertekad. Sama seperti saat ia memutuskan tidan mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan SMA-nya. Seperti saat ia diam saja diperlakukan tidak mengenakan oleh Adit. Atau saat Monik mengancamnya dahulu saat Reno berada di penjara. Begitu juga dengan sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk datang ke rumah sakit dan tampak mengerikan di kamera. Ia sama sekali tidak peduli.Akan tetapi, lobi rumah sakit sepi. Sepertinya kabar ini belum sampai ke telinga para pencari berita. Mereka pasti masih terlalu fokus pada kematian Tora.“Reno ada di kamar VVIP. Aku sudah menduga kamu akan langsung kemari.”Sena memeluk Rayna segera. Kakak perempuan Reno tersebut selalu berhasil membaca situasi dengan baik saat Sena tidak bisa. Ia melepaskan pelukannya segera dan masuk ke ruangan rawat Reno.Kemeja yang digunakan Reno tidak dikancingkan. Perban melilit bagian perut dan sedikit dadanya. M
Walau berada pada bagian belakang kantor polisi, Sena bisa tahu kalau semua petugas sedang sibuk sekarang. Ia tidak mendengar kabar kalau ada orang penting akan datang ke daerah ini. Namun, kalau bukan alasan tersebut, lalu kenapa kantor yang telah ditinggali beberapa hari ini kalang kabut begini. Setelah hanya bisa mengamati dari sudut yang tidak nyaman dan mendengar kebisingkan yang ditimbulkan oleh orang-orang di depan, seorang petugas muncul dari ujung lorong menuju tempat Sena. Ia membuka kunci terali dan meminta Sena untuk mengikuti dirinya keluar. Sena tidak membantah. Sejak ia berada di dalam penjara, ia tak punya keinginan untuk membantah perintah orang. Sebenaranya sejak lama ia selalu ketakutan untuk melawan, walau akhirnya bisa melakukan hal tersebut. “Apa saya akan diinterogasi lagi?” tanya Sena. Polisi tersebut hanya mendorong pintu hingga terbuka. “Silakan masuk Nona, Anda akan tahu lebih jelasnya di dalam.” Sena tidak bisa berh
Rayna mengangkat ponselnya dengan kesal. Ia belum berhasil membujuk Ratih untuk makan. Ia sedang meminta bantuan Reno yang masih ada di kantor polisi meminta izin untuk membiarkan Sena bicara sebentar di telepon. Namun, sepertinya izin tersebut belum bisa di dapatkan setelah satu jam berlalu.“Ya, halo?” sapanya tanpa mengurangi sedikit pun aura kekesalannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki di telepon. Rayna menjauhan ponsel sedikit untuk melihat siapa pemanggil yang pura-pura akrab dengannya ini. Setelah tahu jika yang menghubunginya Fariq, ia menghirup napas dalam dulu sebelum kemudian mulai bicara kembali. “Maaf … hariku benar-benar sama sekali tidak terkendali. Ada apa?” tanya Rayna cepat.“Kamu sudah menghidupkan televisi?”Rayna tidak banyak bertanya. Ia segera berlari menuju ruang tengah dan menyambar remote TV. Dalam sekali tekan ia segera melihat berita berduka cita. Mata Rayna la