Reno mendapat pesan dari Ratih, mamanya Sena. Ia agak terkejut ketika wanita yang melahirkan gadis yang dicintai itu menyuruhnya datang ke rumah. Terakhir kali pulang dari sana, ia menemukan Endah di dalam bagasi mobilnya. Hal paling aneh yang terjadi dalam hidupnya.
Berdiri kembali di depan rumah Sena, membuat Reno merinding. Hal apa lagi yang akan terjadi pada dirinya. Reno mengisi paru-parunya penuh dengan oksigen sebelum keluar dari mobil dan berjalan ke pintu masik rumah.
“Aku sudah menunggumu, Reno. Ayo masuk!” suruh Ratih.
Wanita yang melahirkan Sena tu muncul di pintu dan matanya melirik curiga ke sekitar. Reno menelan ludah dan mengikuti Ratih masuk ke dalam rumah. Alih-alih duduk di ruang tamu, Reno digiring naik ke tangga. Seingatnya kamar Sena berada di lantai dua. Reno mulai bertanya-tanya apakah Ratih memulai sebuah kejutan untuk Sena saat ini.
“Masuk sini!” Ratih membuka pintu kamar dan membiarkan Reno masuk lebih du
“Jadi ada Reno di rumah Sena?”Monik menyesap teh hangat di dalam cangkir. Saat minuman berwarna coklat bening itu masuk ke dalam mulutnya, aroma manis melati menyebar dan membuatnya tenang segera. Dari atas cangkirnya Monik melihat Adit mengangguk pelan.“Lalu, apa yang kamu lakukan?” Monik meletakan cangkir miliknya di atas tatakan dan menunggu jawaban Adit dengan sabar.Adit menerawang, berusaha mengingat kembali apa yang dilakukannya tadi dan berdehem. “Seperti biasa, aku hanya mengantar Sena sampai depan pintu rumah. Mamanya masih belum menerimaku untuk masuk. Saat aku sampai di teras dan berkata akan menjemput Sena seperti biasa besok, Reno keluar dari dalam.”Monik menyeringai sedikit dan menegakkan punggungnya kembali. “Itu belum bisa menjadi alasan untuk kekhawatiranmu. Pertama, saat Reno ada di rumah Sena, dia bersamamu kan? Kedua … bisa jadi ada orang lain yang menghubungi Reno dan minta ke rumah
Bagaimana aku bisa menjelaskan pada Reno alasannya? Sekali lagi Sena membuang napas.Ponselnya masih ada di tangan dan ia sama sekali tidak punya keinginan meletakan benda tersebut di atas meja. Jus jambu merah yang sempat di minta kepada ART belum juga tersentuh. Jus tersebut tidak lagi dingin karena sudah berada di atas meja sejak siang.“Se-na?”Panggilan ragu-ragu itu mampu membuat Sena menoleh dan pada akhirnya berdiri kaget. Karena tidak siap, ia membenturkan pinggangnya pada meja dan merasakan nyeri yang cukup membuat matanya berair.“Aku tidak mimpi,” gumam Sena tanpa sadar. Matanya mengerjap beberapa kali memastikan kalau memang yang dilihat nyata.Reno mendekati Sena segera, tetapi sebelum sempat mengapai gadis itu ke dalam pelukannya ia berhenti. Ia hanya bisa berdiri canggung di depan pintu, tak jauh dari tempat Sena duduk.“Aku mengkhawatirkanmu.”Karena suara
Adit terengah-engah. Tangannya masih terkepal dan ia memandang Reno yang terlentang dan masih berusaha bergerak walau matanya sudah terpejam.“Setan! Sial!” umpatnya beberapa kali sambil melepaskan tendangan ke perut Reno tanpa rasa kasihan.Harusnya tidak seperti ini, tetapi Adit sama sekali tidak akan menyesal sudah mengubah Reno menjadi gumpalan daging. Saat akhirnya ia lelah menghajar Reno dengan kakinya, Adit menyadari harus menyembunyikan Reno sekarang. Ia tak mau tertangkap dan mendapatkan hukuman.Tangannya dengan gelisah saling bertaut di depan wajahnya saat Adit sedang berpikir. Di mana tempat yang bagus? Ia bertanya-tanya dalam hati.Bagian rumah yang lain pasti akan dikunjungi maminya saat pulang, maka hanya ada kamar tempat ia dan Endah dulu disekap. Mami tak akan masuk ke dalam sana. Mami benci tempat itu seperti membenci Papi.Sekuat tenaga, Adit menarik tubuh Reno. Ia tak perlu repot-repot untuk mengangkat pemud
Entah perasaan apa yang membawa Sena meminta Pak Sarmin untuk memutar mobilnya dari jalan besr menuju kediaman Reno. Selama perjalanan Sena sangat gelisah. Begitu melihat mobil Reno terparkir di depan rumah, ia mendadak menjadi lega.Hanya perasaanku saja, katanya menenangkan diri.“Anda baik-baik saja Non?” tanya Pak Sarmin.Senang yang masih sibuk melamun tersentak. Ia lekas menoleh pada Pak Sarmin yang menatap dari spion tengah. Pandangan lelaki tua yang sudah bekerja dengan senang selama setahun lebih itu terlihat khawatir.“Ya, Pak, semuanya baik-baik saja.” Sena tak tahu kenapa harus membohongi Pak Sarmin.Tak terasa, mereka sudah ada di kampus. Begitu mobil berhenti dan Pak Sarmin membantu Sena turun, lekas Adit menghampirinya.“Ke mana saja kamu?” tudingnya. Tatapan Adit seperti menguliti semua bentuk kebohongannya yang dilancarkan Sena.Sena merasakan udara di sekelilingnya menjadi
Kehebohan itu sudah dimulai dari kemarin, tetapi Sena baru tahu hari ini. Awalnya ia memang merasa sangat aneh dengan menghilangnya Mama dan Rayna diwaktu yang bersamaan. Akan tetapi, ia mengangap hal itu wajah karena mungkin saja mereka menghindari bertemu Adit.“Apa yang terjadi?” tanya Sena.Suaranya tengelam dalam tangisan Rayna. Ia mendekat untuk mendengar dengan lebih jelas apa yang terjadi. Saat ini ia merasa berada dalam masalah yang sama sekali tidak di sangka-sangka.“Aku pikir ia hanya mengurung diri seperti sebelumnya.” Kalimat Rayna terdengar, tetapi sama sekali tidak dimengerti Sena.“Tenanglah.” Dari tempat Sena berdiri ia melihat Mama mengurut punggung Rayna. “Tidak akan terjadi apa-apa.” Kata wanita yang sudah melahirkan Sena itu.“Aku mengetuk pintunya dan mengatakan akan pergi ke restoran. Aku juga meletakan makanan di depan kamarnya. Kupikir ia frustrasi karena sangat menyuka
Pikiran tentang Reno yang tidak ditemukan di rumahnya menyita waktu Sena. Ia berhasil terlihat biasa-biasa saja di depan kamera, tetapi tidak saat sendirian. Ia ingin tahu dan membantu. Apalagi kejadian menghilangnya Reno mengingatkannya pada Endah.“Jika kamu melamun seperti ini artinya masalahnya berat, kan?”Sena tersentak dan memaksakan diri tersenyum. Produsernya yang bernama Tora sudah duduk di sampingnya dan tersenyum hangat.“Mau minum, Om?” tanya Sena basa-basi. Ia bersiap memanggil Rayna yang berdiri di tepi lokasi dengan pengamatan yang tidak turun.“Tidak usah.” Tora menunjukkan botol air mineral yang masih tersisa tiga per empat bagian. “Sore kamu dijemput lagi, ya? Bisa kamu Om saja yang antar?”Tora terkenal sebagai orang yang ramah, tetapi ia tak pernah mencoba akrab dengan para pemain serialnya selain di lokasi dan di acara tertentu. Maka tak heran Sena memandang heran sekarang. Ia mu
Adit tidak suka dengan kedatangan Sena yang tiba-tiba. Ia baru saja kesal dengan kata-kata Reno di belakang sana dan sekarang keberadaan Sena menganggunya.“Apa makannya enak?” tanyanya basa basi mengingat Sena tadi meninggalkan Adit dan lebih memilih pulang dengan Tora.Sena mengerjap dan mengangguk. Kesudahannya gadis cantik itu memperhatikan ruangan dengan hati-hati.Alarm dalam otak Adit berdering keras tiba-tiba. Ada sesuatu yang sedang dicari tahu Sena dan itu pasti cukup berbahaya untuk Adit. “Mau minum apa?” tanyanya lagi. Jika bisa, ia ingin menyeret Sena keluar dari rumah segera.“Air putih saja.” Sena tersenyum manis.Alarm yang tadi berdering semakin keras. Tidak! Adit menepis kecurigaan yang mulai merayap bagai laba-laba besar di suatu tempat dalam hati. Sampai saat ini Sena tidak tahu apa-apa dan akan terus seperti itu.Adit meninggalkan Sena dan berjalan ke dapurnya sendirian. Sebel
Itu memang Reno! Itu Reno! Sena berlari seperti orang yang dikejar kembali ke kamarnya. Napasnya memburu dan pikiran buruk terus-menerus mengejarnya.“Dari mana, Sena!”Sena membeku di tempat seketika. Ia tidak menyangka akan berpapasan dengan Adit di atas tangga. Apa yang harus dilakukannya kini. Kakinya serasa terpaku ke lantai.“Sena!” Adit menyentuh bahu Sena.Kali ini Sena yakin kakinya melayang beberapa senti dari lantai. Pelan ia berbalik dan memaksakan diri tersenyum. “Mmm … aku dari dapur,” alasannya.Padahal sejak tadi ia tak tahu ruangan saja yang dimasuki. Ia hanya berpikiran untuk menemukan Reno di manapun di dalam rumah Adit.Adit memandangnya lama dan Sena sama sekali tidak mengerti dengan arti tatapan itu. Tubuhnya mendadak seperti dibenamkan ke dalam air es dan menyisakan kepalanya saja.“Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” tanya Adit. Ia meremas pelan b
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh
Tidak ada yang bisa membujuk Sena jika sudah bertekad. Sama seperti saat ia memutuskan tidan mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan SMA-nya. Seperti saat ia diam saja diperlakukan tidak mengenakan oleh Adit. Atau saat Monik mengancamnya dahulu saat Reno berada di penjara. Begitu juga dengan sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk datang ke rumah sakit dan tampak mengerikan di kamera. Ia sama sekali tidak peduli.Akan tetapi, lobi rumah sakit sepi. Sepertinya kabar ini belum sampai ke telinga para pencari berita. Mereka pasti masih terlalu fokus pada kematian Tora.“Reno ada di kamar VVIP. Aku sudah menduga kamu akan langsung kemari.”Sena memeluk Rayna segera. Kakak perempuan Reno tersebut selalu berhasil membaca situasi dengan baik saat Sena tidak bisa. Ia melepaskan pelukannya segera dan masuk ke ruangan rawat Reno.Kemeja yang digunakan Reno tidak dikancingkan. Perban melilit bagian perut dan sedikit dadanya. M
Walau berada pada bagian belakang kantor polisi, Sena bisa tahu kalau semua petugas sedang sibuk sekarang. Ia tidak mendengar kabar kalau ada orang penting akan datang ke daerah ini. Namun, kalau bukan alasan tersebut, lalu kenapa kantor yang telah ditinggali beberapa hari ini kalang kabut begini. Setelah hanya bisa mengamati dari sudut yang tidak nyaman dan mendengar kebisingkan yang ditimbulkan oleh orang-orang di depan, seorang petugas muncul dari ujung lorong menuju tempat Sena. Ia membuka kunci terali dan meminta Sena untuk mengikuti dirinya keluar. Sena tidak membantah. Sejak ia berada di dalam penjara, ia tak punya keinginan untuk membantah perintah orang. Sebenaranya sejak lama ia selalu ketakutan untuk melawan, walau akhirnya bisa melakukan hal tersebut. “Apa saya akan diinterogasi lagi?” tanya Sena. Polisi tersebut hanya mendorong pintu hingga terbuka. “Silakan masuk Nona, Anda akan tahu lebih jelasnya di dalam.” Sena tidak bisa berh
Rayna mengangkat ponselnya dengan kesal. Ia belum berhasil membujuk Ratih untuk makan. Ia sedang meminta bantuan Reno yang masih ada di kantor polisi meminta izin untuk membiarkan Sena bicara sebentar di telepon. Namun, sepertinya izin tersebut belum bisa di dapatkan setelah satu jam berlalu.“Ya, halo?” sapanya tanpa mengurangi sedikit pun aura kekesalannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki di telepon. Rayna menjauhan ponsel sedikit untuk melihat siapa pemanggil yang pura-pura akrab dengannya ini. Setelah tahu jika yang menghubunginya Fariq, ia menghirup napas dalam dulu sebelum kemudian mulai bicara kembali. “Maaf … hariku benar-benar sama sekali tidak terkendali. Ada apa?” tanya Rayna cepat.“Kamu sudah menghidupkan televisi?”Rayna tidak banyak bertanya. Ia segera berlari menuju ruang tengah dan menyambar remote TV. Dalam sekali tekan ia segera melihat berita berduka cita. Mata Rayna la