Cukup lama Adit mondar-mandir di depan pintu rumah. Menimbang-nimbang untuk kembali ke restoran milik Reno, masuk, lalu melayangkan pukulan. Hal yang sempat terlintas di pikirannya tadi, sebelum memutuskan melarikan diri.
Dengan gusar Adit menendang kaki kursi yang tertata di teras. Kursi bergeser sedikit dan ia mengalami sakit. Ia melompat dan menjatuhkan diri di kursi, mengusap ujung ibu jari yang tertutup sepatu dan mengumpat beberapa kali.
“Kamu kenapa?” Seorang wanita paruh baya menghampiri Adit.
Wanita yang tak lain ada maminya itu melihat wajah sang anak yang basah oleh keringat. Dahinya mengernyit. Ia mengelus punggung Adit saat melewati dan duduk di kursi lain yang ada di teras. Mami—Dena—terlihat pucat. Di lehernya terkalung syal berwarna abu-abu. Rambutnya yang panjang disanggul tinggi. Beberapa anak lambut keluar dari ikatannya, memberontak. Mata Dena sayu, memandang putranya.
“Kamu kenapa?” tanya Dena sekali lagi.
Bukannya menjawa
Aditya terlihat begitu tampan dengan balutan kemeja biru san celana jins gantung. Walau itu adalah pakaiannya seperti biasa, bagi Luna malam ini sungguh luar biasa.“Silakan masuk,” kata Reno mempersilakan dua temannya itu masuk.Adit masuk lebih dulu. Ia melemparkan tatapan kebencian ke arah Reno. Keinginannya untuk menghajar teman akrabnya itu masih belum padam saat ini.Sena menyusul setelah Adit berada di dalam ruangan. “Makasih, ya,” kata Sena saat melewati Reno.Reno menerima genggaman tangan Sena, memberi gadis itu selamat, dan kemudian berduka untuk perasaannya sendiri. Ia harus bebesar hati untuk karena Sena masih tetap sehat dan tidak terbaring koma karena kecelakaan di tangga saat itu.Sena mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya menghenyakan tubuh di kursi. Lilin berwarna putih menyala di depan mereka, pencahayaan sudah diatur agak redup tak seterang bias
“Kenapa dia ada di sini?” Mama Sena memandang kesal pada Adit yang berdiri bersandar di depan UGD rumah sakit.Pada arah sebaliknya ada Rayna dan Reno yang berdampingan. Mendengar pertanyaan Ratih, Rayna menegakkan punggung, berjalan beberapa langkah hingga berdiri di depan Ratih. Walau agak yakut dijawab juga pertanyaan tersebut.“Sena dan Adit tadi makan malam. Sena merayakan ulang tahun Adit,” kata Rayna pelan.Tangan kiri Ratih melayang dan menampar pipi Rayna. Mata wanita itu memerah. “Dan kamu tidak melarangnya? Bukannya aku sudah memintamu untuk mengurangin intensitas pertemuan pemudanini dan putriku?” Walau perkataan Ratih terdengar pelan, bisa dirasakan ketidaksukaan Ratih pada Adit.“Maaf,” bisik Rayna pelan dengan suara bergetar.Ini kali pertama ia dimarahi Ratih setelah setahun bekerja. Kemarahan yang memang berdasar. Harusnya ia bersama Sena tadi, bukannya mempercayakan saja semua hal pa
Napas Adit panjang pendek ketika sampai di parkiran rumah sakit. Ia tidak bisa kembali begitu saja. Ia merasa tak melakukan kesalahan apapun pada Sena. Lagi pula ia merasa lebih berhak berada di sana disbanding Reno. Maka, begitu kesadaran itu menyentuh dirinya, Adit langsung berjalan masuk kembali.Saat ia mencapai ruang UGD lagi. Hanya tersisa Mama Sena di sana, bersandar sambil bersedekap di dadanya. Begitu mendengar langkah kaki wanita itu mengangkat kepala dan dahinya langsung berkerut. Tubunya yang tadi rileks mendadak waspada.“Buat apa kamu kemari lagi?” tanya Mama Sena pelan, tetapi jelas mengancam.“Saya ingin menunggu Sena sampai sadar,” jawab Adit.Keberaniannya tadi hanya tinggal separuh sekarang. Selebihnya mengguap bersama kata-katanya yang mengambang.“Sudah kukatakan jika kami tidak membutuhkanmu di sini. Keberadaanmu hanya menambah penyakit putriku saja. Apa kamu tidak sar itu?” tanya Mama Sena.
Sena yang baru saja akan turun dari atas tanggan terhenti. Suara Mama tidak bisa lebih pelan lagi dalam hal ini.Mereka membicarakan Reno? Sena membatin penasaran.Namun kalimat pertanyaan selanjutnya dari sang Mama membuat Sena memilih untuk melarikan diri. Ada rasa kesal dan perih yang aneh dirasa Sena kini. Ia sendiri tidak paham kenapa harus merasa demikian.Sena memilih naik kembali ke kamarnya lebih dulu, menunggu sampai Mama dan Rayna selesai bicara.***“Sejak kapan kamu pacaran dengan Reno?”Rayna mengerjap. Pikirannya kali ini lambat bereaksi. Ia hanya bisa melongo tidak paham dan sekali lagi Ratih mengulang pertanyaannya.“Maksud Ibu Adit?”Rayna menduga jika Ratih salah menyebut nama. Lumrah jika wanita yang telah berusia salah menyebutkan nama seseorang. Namun, dari ekspresi yang ditampilkan wajah Ratih, Rayna tahu wakita tersebut sama sekali tidak bercanda.“Saya &hell
Adit berhenti melangkah. Padahal kejadian tak mengenakan yang terakhir dilihat terjadi dua hari lalu, di kafe kampus dan disaksikan bukan hanya olehnya. Akan tetapi, sampai saat ini kejadian tersebut sangat jelas tergambar di matanya.“Sial!” Ia memaki sambil melempar kaleng bekas minuman ke rumpun perdu yang ada di sudut taman.Napas Adit memburu. Ingin sekali melempar hal lain lebih dari itu. Bahkan kalau ingatannya bisa diekstrak menjadi bentu, akan dibuang semuanya. Sebagai gantinya ia berteriak kerasa bagai orang gila, tak mempedulikan beberapa orang yang lewat dan melirik ketakutan ke arahnya.“Aku pikir salah orang, tetapi rupanya enggak.”Adit berbalik begitu suara itu terdengar olehnya.Tak lama dari temaram bayangan pohon yang tak mampu ditembus cahaya lampu taman seorang gadis berjalan mendekat. Gadis itu memakai blus abu-abu dengan kerah tinggi dan berkeluk cantik. Kakinya yang jenjang memakai sepatu berhak warna
“Kenapa wajahmu jadi seperti itu?”Reno melambai di depan Sena. Ia mendadak khawatir karena Sena untuk beberapa waktu tetap terpaku seperti itu dan tidak bereaksi.Sena mengerjap, melepaskan udara yang diperangkap dalam rongga paru-paru dan menoleh pada Reno. Ia melihat lagi hal aneh begitu Adit membelakang. Awalnya ia mendengar teriakan seorang gadis yang tak dikenal. Lama-lama disadari jika suara itu miliknya dan tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan dengan gaya yang sama membelakang dan menjauh.Tanpa sadar disandarkan kepalanya pada Reno. Sena memejamkan mata.“Sena, baik-baik aja, kan?” Reno sedikit terbata saat bertanya.Tak menyangka tiba-tiba Sena berlaku seperti ini dengannya. Ia merasakan tubuhnya memanas. Jantungnya berpacu cepat dan menyakitkan. Namun, ia tak bisa membuat Sena menjauh darinya.“Tidak apa, sebentar saja. Sungguh ….” Sena berkata pelan.Reno berharap
“Kenapa wajahmu jadi seperti itu?” Reno melambai di depan Sena. Ia mendadak khawatir karena Sena untuk beberapa waktu tetap terpaku seperti itu dan tidak bereaksi. Sena mengerjap, melepaskan udara yang diperangkap dalam rongga paru-paru dan menoleh pada Reno. Ia melihat lagi hal aneh begitu Adit membelakang. Awalnya ia mendengar teriakan seorang gadis yang tak dikenal. Lama-lama disadari jika suara itu miliknya dan tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan dengan gaya yang sama membelakang dan menjauh. Tanpa sadar disandarkan kepalanya pada Reno. Sena memejamkan mata. “Sena, baik-baik aja, kan?” Reno sedikit terbata saat bertanya. Tak menyangka tiba-tiba Sena berlaku seperti ini dengannya. Ia merasakan tubuhnya memanas. Jantungnya berpacu cepat dan menyakitkan. Namun, ia tak bisa membuat Sena menjauh darinya. “Tidak apa, sebentar saja. Sungguh ….” Sena berkata pelan. Reno berharap waktu berhenti cukup lama. Biar di
Reaksi tubuh Sena saat bersentuhan dengan Adit semakin jelas kini. Adit tahu jika Sena berusaha tidak memperlihatkan hal itu. Akan tetapi, perasaannya tidak mungkin bisa ditipu. Apakah Sena sudah ingat semuanya? Ia bertanya di dalam hati, sebab tak mungkin mencari tahu dari Reno. Saat ini ia dan Reno sedang berseberangan pendapat. Temannya sejak SMP itu sudah tidak lagi mau membantunya. Adit mengosok tengkuknya dengan kesal dan membuang napas keras-keras. Kepalanya sudah kembali berdenyut. Ia tak suka perasaan kalah yang dirasakan kini. Perasaan yang sama persis saat di SMA dulu. “Tampangmu tampak kusut?” Adit mengangkat kepalany sedikit dan melihat Monik. Di belakang gadis itu terlihat Endah yang mengernyit. Endah berkali-kali memandang wajah Adit dan punggung Monik. “Aku seperti terjun ke sebuah lubang.” Monik terkekeh mengejek. Ia menyibak rambutnya yang tersampir ke depan menuju belakang bahu. “Kamu memang baru saj
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh
Tidak ada yang bisa membujuk Sena jika sudah bertekad. Sama seperti saat ia memutuskan tidan mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan SMA-nya. Seperti saat ia diam saja diperlakukan tidak mengenakan oleh Adit. Atau saat Monik mengancamnya dahulu saat Reno berada di penjara. Begitu juga dengan sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk datang ke rumah sakit dan tampak mengerikan di kamera. Ia sama sekali tidak peduli.Akan tetapi, lobi rumah sakit sepi. Sepertinya kabar ini belum sampai ke telinga para pencari berita. Mereka pasti masih terlalu fokus pada kematian Tora.“Reno ada di kamar VVIP. Aku sudah menduga kamu akan langsung kemari.”Sena memeluk Rayna segera. Kakak perempuan Reno tersebut selalu berhasil membaca situasi dengan baik saat Sena tidak bisa. Ia melepaskan pelukannya segera dan masuk ke ruangan rawat Reno.Kemeja yang digunakan Reno tidak dikancingkan. Perban melilit bagian perut dan sedikit dadanya. M
Walau berada pada bagian belakang kantor polisi, Sena bisa tahu kalau semua petugas sedang sibuk sekarang. Ia tidak mendengar kabar kalau ada orang penting akan datang ke daerah ini. Namun, kalau bukan alasan tersebut, lalu kenapa kantor yang telah ditinggali beberapa hari ini kalang kabut begini. Setelah hanya bisa mengamati dari sudut yang tidak nyaman dan mendengar kebisingkan yang ditimbulkan oleh orang-orang di depan, seorang petugas muncul dari ujung lorong menuju tempat Sena. Ia membuka kunci terali dan meminta Sena untuk mengikuti dirinya keluar. Sena tidak membantah. Sejak ia berada di dalam penjara, ia tak punya keinginan untuk membantah perintah orang. Sebenaranya sejak lama ia selalu ketakutan untuk melawan, walau akhirnya bisa melakukan hal tersebut. “Apa saya akan diinterogasi lagi?” tanya Sena. Polisi tersebut hanya mendorong pintu hingga terbuka. “Silakan masuk Nona, Anda akan tahu lebih jelasnya di dalam.” Sena tidak bisa berh
Rayna mengangkat ponselnya dengan kesal. Ia belum berhasil membujuk Ratih untuk makan. Ia sedang meminta bantuan Reno yang masih ada di kantor polisi meminta izin untuk membiarkan Sena bicara sebentar di telepon. Namun, sepertinya izin tersebut belum bisa di dapatkan setelah satu jam berlalu.“Ya, halo?” sapanya tanpa mengurangi sedikit pun aura kekesalannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki di telepon. Rayna menjauhan ponsel sedikit untuk melihat siapa pemanggil yang pura-pura akrab dengannya ini. Setelah tahu jika yang menghubunginya Fariq, ia menghirup napas dalam dulu sebelum kemudian mulai bicara kembali. “Maaf … hariku benar-benar sama sekali tidak terkendali. Ada apa?” tanya Rayna cepat.“Kamu sudah menghidupkan televisi?”Rayna tidak banyak bertanya. Ia segera berlari menuju ruang tengah dan menyambar remote TV. Dalam sekali tekan ia segera melihat berita berduka cita. Mata Rayna la