Perlombaan antar sekolah ini diadakan setiap tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, semua sekolah selalu menyiapkan bahan-bahan terbaru dan ide-ide baru. Tahun lalu sekolah Sena dan Adit hanya mendapatkan juara dua saja, padahal sebelumnya mereka mendapatkan peringkat pertama.
Karena itu, tahun ini Adit dan timnya menyiapkan semuanya dengan hati-hati. Mereka tidak mau ide mereka sampai bocor dan kemudian ditiru oleh sekolah lain.
“Bisa jadi masalah jika benar Sena memberitahukan ide kita tanpa sadar.”
Adit berpangku tangan di kursi sebelah kanan. Teman-temannya yang rata-rata dari kelas berbeda mengelilingi meja panjang tempat banyak kertas dan modul fotokopian berserakan.
“Sena kan sudah bilang kalau orang itu sudah selesai dengan karyanya lebih dulu dari kita, nggak usah khawatir.” Reno akhirnya angkat bicara.
Ia merasa heran pada Adit yang terlalu terobsesi dengan perlombaan, sampai berpikiran buruk terhadap gebetan sendiri.
“Bisa buruk kalau kita kalah karena ini.”
“Tapi nggak adil juga kalau kalian malah nuduh tanpa bukti.”
Reno berdiri. Ia muak lama-lama duduk bersama para anggota tim perlombaan ilmiah kali ini. Ia tinggalkan mereka semua di belakang dan melangkah panjang-panjang menjauhi ruangan berkumpul.
Baru beberapa langkah keluar, ia melihat beberapa gadis yang menjadi senior di dalam ekskul. Mata mereka beberapa kali melirik ke ruangan tempat Reno baru saja keluar. Tiba-tiba Reno merasa tak enak hati, ia berpikir jika para gadis tersebut baru saja menguping.
“Kalian sedang apa?” tanyanya.
Ia dengan cepat mengunci langkah para gadis sebelum mereka kabur. Diperhatikan tiga orang yang tadi berbisik salah tingkah, tetapi salah satu dari mereka menegakkan leher menjadi perwakilan untuk bicara.
“Tidak ada, kami hanya sedang mendiskusikan beberapa materi pelajaran MIPA tadi pagi.”
Selapas mengatakan itu mereka saling sikut dan bergegas pergi.
Reno menghela napas kasar. Beberapa orang bodoh akan dengan cepat dibodohi. Namun, Reno tidak termasuk. Pastinya ketiga siswa wanita tadi menguping. Reno berharap ketiganya tak mendengar isu yang baru saja diedarkan Adit.
Mendung mengelayut pagi itu, tetapi tak setetes pun hujan jatuh. Sepertinya langit masih menahan ribuan tetes air hujan.
Reno baru saja turun dari motor bebek dan mengunci setang. Ia tak lantas bergegas lari ke kelas, masih terlalu pagi untuk tergesa-gesa. Ia lebih suka duduk sebentar memperhatikan para siswa lain datang.
Namun, ia bergegas lari begitu melihat Sena tiba-tiba ditarik oleh beberapa gadis begitu melintasi halaman. Saat sampai di dekat toilet di dekat masjid belakang, Sena telah separuh basah dan buku-bukunya berserak.
“Aku salah apa?”
“Sampai kamu sadar apa kesalahanmu, kami akan selalu berusaha mengingatkan.”
Darah Reno berdesir. Apalagi ia melihat salah seorang gadis yang sama kemarin. Tidak. Pastinya itu bukan masalah yang sudah disebabkan Adit. Ini pasti hanyalah karena kecemburuan para gadis pengemar Adit.
Reno mencegat mereka di teras depan masjid. Ia ingin memiliki bukti bahwa kecurigaannya salah.
“Apa yang sedang kalian lakukan? Sena bukan anak baru yang harus dibully untuk perkenalan.”
Sama seperti kemarin, sebelum menjawab mereka semua saling lirik. Lalu perwakilan dari mereka untuk memberikan jawaban.
“Pengkhianat harus diberi pelajaran, bukan?”
Astaga!
Kabar yang disampaikan Adit belum terbukti benar, tetapi mereka sudah mulai memberikan hukuman. Kalaupun benar, tak seharusnya manusia diperlakukan buruk seperti itu.
“Kalian tidak bisa melakukan ini. Ini kesalahan.”
“Kamu anak eskul Ilmiah, kan?” Gadis yang tadi bicara mengernyit.
Wajahnya dicondongkan ke depan untuk memastikan. Bagaikan lebah yang diusik, orang-orang dibelakang mulai berdegung.
“Ya.”
“Kalau begitu pasti lebih tahu dari kami.”
Reno ditinggalkan. Sena juga melewatinya sambil menunduk.
***
SMA Nusantara 1 kalah. Namun, tidak satu pun dari SMA yang ikut serta memiliki ide yang sama dengan mereka.
Ide yang mereka angkat dan karyakan sangat bagus, hanya saja ada kesalahan pada perhitungan sehingga alih-alih terbang, roket tersebut malah meledak di tempat dengan asap yang banyak.
Semuanya anggota ekskul kecewa. Reno sama sekali tidak. Ia malah merasa amat lega. Artinya Sena sama sekali tak menyingung ide mereka tersebut dalam obrolan dengan salah satu tim lain waktu itu seperti yang dikatakan Adit.
“Akhirnya,” gumam Reno.
Ia menepuk punggung Adit yang kecewa. Masih ada satu tahun lagi untuk berjuang dan meraih kesuksesan.
“Kamu kayaknya lega banget, Ren.” Adit tersenyum kecut.
“Karena perlombaan ini ada seseorang yang mengalami ketidakadilan. Akhirnya hal itu berakhir. Kamu harus minta maaf, Dit.”
Reno tahu Adit paham apa yang ia maksudkan. Wajah Adit yang lesu bertambah buruk saja. Ia menatap kekejauhan, lalu berdiri.
Harapan Reno sama sekali tidak menjadi kenyataan. Saat ia melewati lorong kelas, dilihatnya beberapa siswi bergerombol, di tengah-tengahnya ada Sena yang menangis. Ia bertambah kecewa, saat Adit hanya lewat begitu saja tanpa memberikan bantuan.
Reno juga membenci dirinya sendiri karena tak bisa melakukan apa-apa. Ia berdiri memperhatikan Sena yang masuk dengan wajah yang basah di pintu kelas. Ia menyaksikan sendiri saat kaki salah murid di depan Adit terjulur dan menjegal Sena hingga tersungkur.
Kembali Reno kecewa pada Adit yang ia kira akan menolong dan menjelaskan semua kesalahpahaman malah memaki Sena.
Reno masuk, membantu Sena berdiri. Ia antar Sena ke kursinya. Saat akan keluar dan kembali melewati Adit, Reno berkata, “Kamu tahu siapa yang benar-benar salah atas semua ini, kan, Dit.”
Ia masih berharap Adit menyesal sebelum terlambat.
Namun, bukan penyesalan namanya jika datang di awal. Perlakuan pada Sena sama sekali tidak berubah. Itu berlangsung sampai pada hari kelulusan dan kejadian memalukan itu terjadi. Entah siapa yang memulai, mereka mengambil video saat Sena sedang ganti pakaian di kamar mandi dan menyebarkannya secara berantai.
Puncaknya disiarkan secara langsung pada acara pesta kelulusan. Sena datang dengan gaun yang sangat cantik. Reno terpana saat gadis itu turun dari taksi dan berjalan anggun. Saat masuk dalam ruangan, video itu diputar sebagai penyambutan. Semua orang tertawa. hanya Reno yang berteriak-teriak menyuruh mematikan. Adit sendiri tak kelihatan, entah ke mana pemuda itu menghilang.
Seminggu setelahnya, Mama Sena datang ke sekolah meminta pertanggung jawaban. Ia bahkan sampai memaksa masuk ke dalam kelas dan menangis bertanya apa kesalahan putrinya. Sena sendiri tidak lagi masuk setelah kejadian itu.
“Aku yang salah.”
Reno mendengar Adit berkata penuh penyesalan saat ijazah mereka dibagikan.
“Aku yang salah, Ren. Apa yang harus kulakukan untuk menebusnya?”
Reno tidak bisa menjawab sekarang. Ia sendiri tak pernah bisa melakukan apa-apa. Kepalanya mencoba mencari Sena, tetapi tak pernah lagi kelihatan.
Sena menghilang dan muncul di layar kaca enam bulan kemudian.
Berkali-kali Adit mencoba menghubungi Sena, tapi tak berhasil. Ia menutup semua jalan komunikasi. Tidak ada jalan bagi Adit untuk menyuarakan penyesalannya.
Sampai akhirnya Reno menghubungi Sena sendiri dan gadis cantik tersebut datang pada acara reuni yang diadakan. Reno tahu ia bisa membantu.
Sena tak lagi membalas pesan terakhir Reno. Rasanya menyebalkan membaca nama Adit dalam obrolan mereka. Semua keriangan dari obrolan sebelumnya menjadi lenyap seketika. “Loh, anak Mama kenapa?” tanya Mama Sena. Sena baru saja menuruni tangga manakala Mama menyapanya. Ia memilih tak menjawab, membiarkan pertanyaan-pertanyaan Mama mengema begitu saja. Di meja makan kini telah terhidang jus wortel dan tomat. Sejak didiagnosis menderita anemia, Mama selalu menyediakan jus tersebut di meja sarapan. Ia tak mau Sena pingsan tiba-tiba kembali saat sedang melakukan kegiatannya yang padat. “Drama yang terakhir sudah hampir kelar, kan, Sena?” Mami berhenti menyesap teh dan memandang wajah putri semata wayangnya. Sena mengernyit saat menelan tiga tegukan jus, meletakkannya pelan. “Ya, Ma.” “Kuliah kamu gimana?” Kesibukan yang padat setelah memenangkan ajang model dan menerima banyak tawaran, membuat Sena memang mengajukan cuti setelah dite
Tulisan Uno hampir tidak terbaca. Sena pikir jika Uno mungkin seharusnya menjadi dokter saja. Setelah berjuang selama dua hari, Sena akhirnya mampu menyalin semua catatan Uno. Reno: Aku lihat kamu kemarin di kampus? Sena tercenung sebentar mengingat-ingat di mana kira-kira Reno melihatnya. Yang ia ingat Reno mengambil jurusan bisnis di kampus. Sena: Di mana? Reno: Parkiran. Walau baru seminggu kuliah, Sena tahu jika gedung Jurusan Bisnis dan Biologi cukup berjarak sehingga parkiran mereka tidak mungkin menyatu. Apa mungkin saat Reno melihatnya, parkiran di depan gedung Fakultas Bisnis sedang penuh. Sena mengelengkan kepala, menghapus pikiran buruk yang mulai singah. Sena: Aku sedikit kesulitan dalam memulai, telat 13 bulan penuh. Sena menambahkan emotikon tertawa di akhir pesannya. Ia menunggu dengan tidak sabar balasan pesan dari pemuda itu. Sena: Kamu sibuk, ya? Sena kembali
“Maaf, ya, Nak, nyusahin kamu terus.”Wanita berusia hampir enam puluh tahun tersebut duduk di samping Adit. Tangan-tangannya yang keriput ada di dalam genggaman pemuda 19 tahun tersebut. Seno mewarisi hampir seluruh wajah wanita tersebut. Setelah diterpa berbagai penyakit dan masalah dalam rumah tangganya, kini wajah cantik itu terlihat lelah.“Mama nggak pernah nyusahin Adit. Jangan ngomong gitu lagi,” pintanya.Adit menepuk-nepuk pelan tangan yang masih dalam genggamannya. Ia memberi kekuatan pada sang ibu.Sebenarnya tugas untuk menemani Mami pergi ke rumah sakit adalah tanggung jawab Papi. Namun, lelaki yang pulang dan pergi sesuka hati itu mengabarkan tak bisa melakukannya tadi siang.“Mami harus cepat sembuh,” ungkap Adit dengan tenang.Ia sudah terbiasa menyimpan sendiri rasa sakit hati dan penyesalan untuk perlakuan Papi pada mereka. Sejak dulu hingga sekarang, ia tak mau memberi beban lebih pada
Adit bukan pria romantis. Selama Sena dan pemuda dengan hidung tinggi itu dekat, tak sekalipun mulutnya melontarkan rayuan. Walau tak jarang Adit mengatakan Sena cantik. Akan tetapi, menurut Adit itu karena memang seperti itu kelihatannya. Sena tak perlu merasa dipuji.Namun, Adit sering sekali tanpa pemberitahuan datang menjemput ke rumah untuk sekedar berangkat sekolah bersama. Kadang ia akan menelepon sebelum tidur hanya untuk berharap Sena tidur yang nyenyak.“Kenapa kamu tidak berdoa aku mimpi indah?” Sena bertanya suatu kali.Tiba-tiba saja Adit menelepon. Di luar hujan sedang lebat dan sesekali petir terdengar. Lama Adit diam di ujung telepon. Entah apa yang sedang dilakukan pemuda itu.“Adit, kamu masih di sana, kan?” tanya Sena akhirnya kesal.“Mmm ….” Adit bergumam sebagai jawaban. “Aku tahu seharusnya mengucapkan itu. Tapi, bukan itu yang kamu butuhkan saat ini. Semoga hujan cepat berhenti
Adit hanya sekilas melihat Sena. Waktu gadis itu melintas dengan setengah berlari menuju anak tangga. Ia baru keluar dari kelasnya sendiri yang lorongnya menghadap ke tangga utama. Saat gadis itu kemudian tersandung, Adit berusaha memburu, berharap waktu berhenti beberapa saat. Sehingga ia bisa menyelamatkan Sena kali ini. Namun, semua hanya harapa Adit saja. Pada kenyataannya waktu tidak pernah berhenti, tetap berjalan dengan konstan. Adit melihat sendiri bagaimana Sena berguling di tangga dan setengah sadar mencoba duduk dan dari pelipisnya keluar darah. “Sena! Kamu bisa mendengarku?” Adit adalah orang pertama yang sampai dan bertanya. Pandangan Senas ama sekali tak fokus. Gadis cantik teman SMAnya seperti orang linglung. Lama sampai didengar Adit jawaban atas pertanyaannya. Lalu setelahnya Sena ambruk, tak sadarkan diri. Dalam sekali tarikan napas, Adit mengakat Sena ke dalam gendongannya. Ia berjalan dengan hati-hati menuruni anak tangga dan seten
Sena bertemu Adit pertama kali pada masa orientasi siswa di sekolah. SMA 9 Nusantara benar-benar mempersiapkan semua dengan begitu baik saat itu. Masa MOS sangat menyenangkan dan seru. Namun, tetap saja bertemu dengan senior yang galak cukup menakutkan buat mereka semua. “Kamu baik-baik saja?” Sena yang sedang menahan sakit perut karena lupa sarapan tadi pagi perlahan mendogakkan kepala. Seorang pemuda dengan potongan rambut tentara mendekat. “Wajahmu pucat sejak masuk ke dalam barisan tadi. Kamu yakin tidak apa-apa?” Sekali lagi pemuda yang sama bertanya. Wajahnya terlihat cemas. Tatapannya intens memandang wajah Sena. Tangannya kemudian terulur menyentuh dahi Sena, mengukur suhu tubuh tentu saja. “Kamu memang sedikit panas. Mau kuantar ke UKS?” tanyanya kemudian. Sena sejak tadi masih belum menjawab. Ia meremas perutnya yang semakin melilit dari waktu ke waktu. Beberapa kakak kelas yang melihat pemuda tersebut berjongkok di d
“Terima kasih, ya.”Senyum manis Sena terukir sangat indah. Wajahnya yang putih walau tanpa balutan make up mempesona Adit kembali. Ia tak menyangka bisa melihat senyum ramah Sena lagi. Ia sudah menyerah saat memunggungi Sena di pertemua terakhir ketika SMA. Walau tahu jika salah, keegoisannya masih tetap dipertahankan hari itu.“Sa-ma-sama.” Tergagap Adit menjawab.Ia merasa amat canggung duduk di samping tempat tidur rumah sakit dan kemudian mengobrol. Di sofa belakang, Mama Sena dan Raina memperhatikan gerak-gerik mereka.“Nama kamu Adit, kan? Kata Mama aku mengalami amnesia karena benturan di kepala. Seharusnya aku sudah lulus tahun lalu. Maaf, karena malah manggil kamu kemari.” Sena begitu lancar bicara dengan Adit.Padahal pada acara reuni kemarin dan pagi tadi saat bertemu Reno, memandang wajah Adit saja ia muak.“Nggak apa-apa.”“Apa hubungan kita baik selama di SMA?”
Sena tersenyum manis sekali. Jantung Reno jungkir balik karena itu. Ia baru mencapai pintu masuk dan tak berani lagi melangkah lebih jauh.“Kenapa hanya berdiri di sana? Silakan masuk,” panggil Sena sambil melambai menggunakan tangannya yang bebas.Reno melirik Adit lebih dulu. Dilihatnya Adit mengangkat bahu dan tersenyum, tanda ia sama sekali tidak keberatan. Pemuda sahabatnya itu mundur, memilih menjatuhkan bokongnya di atas kursi sofa empuk tak jauh dari ranjang Sena.“Kita pernah sekelas?”Reno melongo. Adit memang sudah menjelaskan kalau Sena mengalami amnesia. Akan tetapi, ia sama sekali tak menyangka gadis cantik ini juga lupa tentangnya.“Kita sekelas pas kelas dua. Apa kabar?” tanya Reno setelah memberitahu yang sebenarnya. Ia lalu memperhatikan buah-buahan yang dibaw, tetapi belum diserahkan.“Sudah lebih baik.” Sena terdengar riang kini.Tidak seperti saat bertemu dengan Reno
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh
Tidak ada yang bisa membujuk Sena jika sudah bertekad. Sama seperti saat ia memutuskan tidan mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan SMA-nya. Seperti saat ia diam saja diperlakukan tidak mengenakan oleh Adit. Atau saat Monik mengancamnya dahulu saat Reno berada di penjara. Begitu juga dengan sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk datang ke rumah sakit dan tampak mengerikan di kamera. Ia sama sekali tidak peduli.Akan tetapi, lobi rumah sakit sepi. Sepertinya kabar ini belum sampai ke telinga para pencari berita. Mereka pasti masih terlalu fokus pada kematian Tora.“Reno ada di kamar VVIP. Aku sudah menduga kamu akan langsung kemari.”Sena memeluk Rayna segera. Kakak perempuan Reno tersebut selalu berhasil membaca situasi dengan baik saat Sena tidak bisa. Ia melepaskan pelukannya segera dan masuk ke ruangan rawat Reno.Kemeja yang digunakan Reno tidak dikancingkan. Perban melilit bagian perut dan sedikit dadanya. M
Walau berada pada bagian belakang kantor polisi, Sena bisa tahu kalau semua petugas sedang sibuk sekarang. Ia tidak mendengar kabar kalau ada orang penting akan datang ke daerah ini. Namun, kalau bukan alasan tersebut, lalu kenapa kantor yang telah ditinggali beberapa hari ini kalang kabut begini. Setelah hanya bisa mengamati dari sudut yang tidak nyaman dan mendengar kebisingkan yang ditimbulkan oleh orang-orang di depan, seorang petugas muncul dari ujung lorong menuju tempat Sena. Ia membuka kunci terali dan meminta Sena untuk mengikuti dirinya keluar. Sena tidak membantah. Sejak ia berada di dalam penjara, ia tak punya keinginan untuk membantah perintah orang. Sebenaranya sejak lama ia selalu ketakutan untuk melawan, walau akhirnya bisa melakukan hal tersebut. “Apa saya akan diinterogasi lagi?” tanya Sena. Polisi tersebut hanya mendorong pintu hingga terbuka. “Silakan masuk Nona, Anda akan tahu lebih jelasnya di dalam.” Sena tidak bisa berh
Rayna mengangkat ponselnya dengan kesal. Ia belum berhasil membujuk Ratih untuk makan. Ia sedang meminta bantuan Reno yang masih ada di kantor polisi meminta izin untuk membiarkan Sena bicara sebentar di telepon. Namun, sepertinya izin tersebut belum bisa di dapatkan setelah satu jam berlalu.“Ya, halo?” sapanya tanpa mengurangi sedikit pun aura kekesalannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki di telepon. Rayna menjauhan ponsel sedikit untuk melihat siapa pemanggil yang pura-pura akrab dengannya ini. Setelah tahu jika yang menghubunginya Fariq, ia menghirup napas dalam dulu sebelum kemudian mulai bicara kembali. “Maaf … hariku benar-benar sama sekali tidak terkendali. Ada apa?” tanya Rayna cepat.“Kamu sudah menghidupkan televisi?”Rayna tidak banyak bertanya. Ia segera berlari menuju ruang tengah dan menyambar remote TV. Dalam sekali tekan ia segera melihat berita berduka cita. Mata Rayna la