Kematian Albert pukulan terbesar untuk Azura. Albert sendiri telah dianggap orang tuanya, Azura tidak dapat menerima kenyataan. Bahwa sekali lagi hidupnya diporak-porandakan oleh sosok keji itu yang tak dikenalnya.“Siapapun dia, aku akan membalas kematianmu,” batin Azura bertekad mengepal keras tangannya.Masih di posisi sama, Aksha bergeming. Ia bingung menghadapi situasi yang ia sendiri tidak mengerti. “Zura, tenangkan dirimu. Kasihan beliau bila terlalu lama dibiarkan. Kita harus menguburkan secepatnya,” saran Aksha saat ini.Azura bangkit, menghapus bulir hangat di pipinya.“Bi Asih tolong persiapan pemakaman Pak tua. Aku akan mengurus yang lainnya,” perintah Azura kemudian berjalan naik ke lantai atas.Tatapan iba Aksha berikan kala Azura naik ke atas. Entah apa yang dipikirkan Azura yang jelas ia sejenak lupa kehadiran Aksha. Pria itu berusaha mengerti perasaan Azura yang sedang berkabung. Aksha membantu Asih mengurus segalanya.“Kenalkan saya , Aksha suami Azura.”“Sa
Azura mengangkat kakinya dari dada pria itu dengan gerakan cepat dan berbalik. Berjalan mondar-mandir di hadapan pria yang masih terikat di kursi. Wajahnya penuh kemarahan, matanya menyala-nyala seperti bara api. Pria itu, dengan wajah yang semakin memerah dan kulit yang mengelupas, hanya bisa meringis kesakitan.“Kau pikir kau bisa bermain-main dengan aku, ya?” suara Azura bergetar dengan kemarahan. “Aku bertanya lagi, mengapa kau menghabisi bawahanku?”Pria itu menelan ludah, berusaha mengumpulkan kekuatannya. “Aku tidak tahu siapa bawahan yang nyonya maksud,” katanya dengan suara serak.Azura berhenti di depan pria itu, menatapnya tajam. “Jangan bohongi aku! Kau kenal Albert ?” teriaknya. Dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah pria itu. “Aku tahu kau terlibat. Katakan kebenarannya, atau aku pastikan rasa sakit ini hanyalah permulaan.”Pria itu terdiam, menatap Azura dengan tatapan campur aduk antara ketakutan dan kebencian. “Baiklah,” katanya akhirnya menyerah, suaranya nyaris
“Awas! Mas,” pekik Azura, yang posisinya menghadap Hanan yang akan keluar dari mobil. Ia melihat jelas ada mobil dari arah belakang Hanan yang mendekat. Hanan yang terkejut dan bingung mendengar teriakkan Azura. Bukannya menuruti untuk menghindar. Malah berbalik mencari tau apa yang membuat istrinya berteriak. Hanan tidak dapat mengelak lagi mobil itu sudah menabrak tubuhnya dengan keras. BRAKK Bunyi hantaman benda keras membuat seluruh pengunjung taman berhamburan keluar. Semua berlarian mencari asal suara itu datang. Semua mata terperangah ke depan. Mereka diam kaku menatap puing-puing mobil berserakan. Bercak darah menempel di aspal. Langit berwarna hitam gelap menambah kengerian sore ini. Semua terjadi begitu cepat tanpa disangka. Mobil truk baru saja menabrak mobil putih yang tengah parkir di pertigaan jalan. Melihat hal itu salah satu orang sibuk menghubungi ambulans dan polisi. Terdengar suara rintihan minta tolong dari dalam mobil.
Dahlia menyeret kakinya perlahan tanpa menimbulkan Suara. Ia tak ingin gegabah mengambil tindakan. Salah melangkah nyawa pasien bisa melayang. Mata Dahlia terus fokus menatap gerak gerik Azura. Saat Azura lengah, ini kesempatan Dahlia. Dengan cepat kilat Dahlia menepis tangan Azura yang akan mengores urat nadi dengan pisau itu. Mengeluarkan sesuatu benda panjang dengan ujungnya runcing. Azura merasa tubuhnya lemas. Pandangan mulai memudar. Pisau di genggam lepas tak terkendali jatuh ke lantai. Setelah itu Azura tidak ingat apa-apa. Dahlia menyuntikkan obat penenang pada Azura. Agar emosi Azura kembali stabil. Gadis itu baru saja sembuh. Jika di biarkan saja bisa memperburuk keadaan mental Azura. Untung cepat ditangani, jika tidak Azura bisa melukai dirinya sendiri. Saat Dahlia akan keluar dari kamar Azura. Mata Dahlia menyipit melihat satu benda yang berada di atas nakas. Desiran darah mengalir hebat di tubuhnya. Kalung dengan liontin bulan sabit deng
Ma, Apa tidak ada wanita lain? Sampai menjodohkan saya dengan seorang janda!” hinanya. Menunjuk tajam ke arah Azura. Tiba-tiba di minta pulang hanya untuk di nikahkan dengan seorang janda. Tentu ia tidak terima begitu saja. Apa dirinya tidak laku. Hingga tidak bisa menemukan seorang gadis perawan. Memalukan sekali!“Aksha, jaga mulut mu,” bentak Dahlia menahan Aksha untuk duduk kembali.“Memang benar kan,” Sindirnya menatap tajam Azura yang tidak peduli dengan ucapannya.Azura yang sejak tadi menundukkan kepala. Sudah mulai geram. Rasanya ingin melumat mulut yang tidak pernah disekolahkan. Percuma sekolah tinggi tapi mulutnya kayak kompor meleduk. Kalau bukan mau bersembunyi dari orang yang ingin menghabisi nyawanya. Azura tak akan pernah sudi.“Maaf Tante. Lebih baik batalkan saja perjodohan ini. Benar kata Aksha, Saya seorang janda tidak pantas bersanding dengan dia,” tekannya membenarkan semua ucapan Aksha pada
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Azura Angraeni binti Ruslan Adinata dengan mas kawin cincin mas dibayar tunai.” Aksha melafazkan dengan lancar. Para saksi pun berseru, “Sah!” Dahlia dan Bakhtiar tersenyum bahagia. Air mata Dahlia tak luput dari perhatian Aksha. Sedangkan Azura gamang menghadapi inipernikahan keduanya. Rela jadi pengganti atas balas budinya. Menjalani pernikahan keduanya sungguh membuatnya tersiksa. Karena hatinya tidak bisa berpaling dari mantan suaminya. Namun, di sisi lain Azura terjepit. Kebaikan Dahlia menjadikan Azura mengiyakan permintaannya. Meski begitu, dibalik semuanya. Azura bisa dekat dengan orang yang mengenal masa lalunya. Dari pengamatannya Dahlia perhatian padanya, tentu ada alasannya. Itu yang harus Azura cari tahu. Lebih ia harus membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Demi hal itu , ia rela melakukan apa pun asal dendamnya terwujud. Bersembunyi saat ini cara yang bagus sebelum ia melangkah maju. “Zura.” Tepukan lembut Dahlia membuya
DOR! Aksha terbangun keringat membasahi Dahi. Suara tembakan bergema di telinga. Kala Azura mengarahkan senjata api ke padanya. Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Azura. “Syukurlah hanya mimpi.” Mengelus dadanya. Bayangan Azura terasa nyata seperti benar terjadi. Mana mungkin Azura seberani itu, ia terbawa mimpi saja. Pikir Aksha menepis bayangan itu. Azura sibuk memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi buat Aksha. Setelah selesai ia bergegas ke kamar untuk membangunkan Aksha. Rupanya Aksha sudah bangun dan kini sedang di kamar mandi. Ia segera menyiapkan segala keperluan Aksha baik itu pakaian dan perlengkapan lainnya. "Aku tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari," batin Azura. Tiga puluh menit suaminya keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang masih menempel di pinggangnya. Bagian atas yang tampak polos tanpa penutupnya. Rambut yang sedikit pendek terlihat masih basah. Bahkan sisa air mandi menetes ke bahu lebar Aksha. Ia tertunduk bukan malu, tapi muak melihat
Andaikan Azura bisa ikut berbaring di dalam sana. Menyatu dengan tanah bersama jasad suaminya mungkin ada baiknya. Dulu Hanan pernah berjanji berbagi napas seumur hidup. Kenyataannya Tuhan lebih menyayangi Hanan. Memilih dia untuk pergi dari sisi Azura. Lebih baik bercerai, namun masih dapat melihat Hanan seutuhnya. Daripada berpisah dari jiwa raga Hanan untuk selamanya. Sangat menyakitkan tak dapat lagi mendengar, serta menyentuh suaminya lagi seperti dulu . “Tuhan aku mencintai dia. Tak bisakah aku ikut bersamanya? Maaf bila aku menyalahi takdir yang Engkau berikan. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap lirih Azura memeluk nisan suaminya. Cairan hangat membasahi kedua pipinya hingga lembab. Azura merogoh saku celana bagian belakang. Mengambil ponsel pintar untuk menghubungi Albert. “Pak Tua, bisa jemput aku di pemakaman Jeruk Purut?” tanya Azura lemah sembari mengelap air matanya. “Baik, Nyonya.” Albert segera turun ke parkiran menuju area pemakaman dengan mobil. Suara sera
Azura mengangkat kakinya dari dada pria itu dengan gerakan cepat dan berbalik. Berjalan mondar-mandir di hadapan pria yang masih terikat di kursi. Wajahnya penuh kemarahan, matanya menyala-nyala seperti bara api. Pria itu, dengan wajah yang semakin memerah dan kulit yang mengelupas, hanya bisa meringis kesakitan.“Kau pikir kau bisa bermain-main dengan aku, ya?” suara Azura bergetar dengan kemarahan. “Aku bertanya lagi, mengapa kau menghabisi bawahanku?”Pria itu menelan ludah, berusaha mengumpulkan kekuatannya. “Aku tidak tahu siapa bawahan yang nyonya maksud,” katanya dengan suara serak.Azura berhenti di depan pria itu, menatapnya tajam. “Jangan bohongi aku! Kau kenal Albert ?” teriaknya. Dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah pria itu. “Aku tahu kau terlibat. Katakan kebenarannya, atau aku pastikan rasa sakit ini hanyalah permulaan.”Pria itu terdiam, menatap Azura dengan tatapan campur aduk antara ketakutan dan kebencian. “Baiklah,” katanya akhirnya menyerah, suaranya nyaris
Kematian Albert pukulan terbesar untuk Azura. Albert sendiri telah dianggap orang tuanya, Azura tidak dapat menerima kenyataan. Bahwa sekali lagi hidupnya diporak-porandakan oleh sosok keji itu yang tak dikenalnya.“Siapapun dia, aku akan membalas kematianmu,” batin Azura bertekad mengepal keras tangannya.Masih di posisi sama, Aksha bergeming. Ia bingung menghadapi situasi yang ia sendiri tidak mengerti. “Zura, tenangkan dirimu. Kasihan beliau bila terlalu lama dibiarkan. Kita harus menguburkan secepatnya,” saran Aksha saat ini.Azura bangkit, menghapus bulir hangat di pipinya.“Bi Asih tolong persiapan pemakaman Pak tua. Aku akan mengurus yang lainnya,” perintah Azura kemudian berjalan naik ke lantai atas.Tatapan iba Aksha berikan kala Azura naik ke atas. Entah apa yang dipikirkan Azura yang jelas ia sejenak lupa kehadiran Aksha. Pria itu berusaha mengerti perasaan Azura yang sedang berkabung. Aksha membantu Asih mengurus segalanya.“Kenalkan saya , Aksha suami Azura.”“Sa
Albert di bawa ke sebuah rumah kosong yang dulunya rumah orang tua Azura. Bangunan yang kokoh dahulu itu kini terbengkalai. Puing-puing dari sisa kebakaran masih melekat jelas. Kemegahan yang dulu jadi sorotan publik tinggal kenangan.“Ikat dia!” perintah Andre mengamati Albert yang pingsan.Anak buah Andre mengikat Albert di tiang beton sisa dari pilar rumah. Atap rumah sebagian hancur dan dibiarkan menganga. Angin dan hujan bisa masuk kapan saja.“Bangunkan dia!” Andre menyeret kursi kayu, ia duduk di depan Albert. Salah seorang anak buah Andre membawa ember berisi air lalu disiram ke wajah Albert. Sontak pria tua itu terbangun. Kacamata yang bertengger di hidung Albert jatuh.“Siapa kalian?” tanya Albert samar penglihatannya.Andre tersenyum sinis, bergerak mengambil kacamata milik Albert di bawah kakinya.“Kau cukup berani juga ya.” Andre memakaikan kacamata untuk Albert.Andre kembali duduk di kursi menyilang kaki dengan angkuh.“Katakan di mana Avantika Hadinata?”Sek
Soraya berjalan santai ke salah satu kamar yang tak di rawat. Dua tangan membawa nampan yang berisi makan siang. Setiba di kamar yang dituju, seorang pria berbaju hitam membukanya pintu untuk Soraya.“Kau selalu kaget melihat aku datang,” ucap Soraya menaruh nampan di atas nakas lalu duduk di pinggir kasur.Ruslan melebarkan bola matanya melihat Soraya duduk bersebelahan dengannya. Rasanya ingin ia cekik Soraya hingga kehabisan napas.“Aku ingin membunuhnya,” batin Ruslan menyimpan banyak kemarahan.Soraya menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. “Makian apalagi yang kau lontarkan untukku di dalam hatimu, Ruslan?” Seolah-olah Soraya tahu apa yang diucapkan Ruslan dalam hatinya.“Kau membuatku muak Soraya, enyahlah kau dari hadapanku.” Hanya bisa membatin, ia tidak bisa berbicara.Ruslan mengalami stroke akibatnya lumpuh total pada bagian vitalnya. Kelumpuhan tak ada yang mengetahui ke kecuali Soraya, Andre dan beberapa anak buah Soraya. Sengaja dirahasiakan takut harga s
Pukul satu siang, Aksha keluar dari kamarnya. Penampilannya terlihat segar sudah rapi dengan pakaian santainya. Pekerjaan dipindahkan di rumah sehingga rekannya terpaksa datang ke rumah. “Susah ya kalau lagi cinta bersemi sampai lupa keriaan,” ledek barak memeriksa apa yang harus diberikannya kepada Aksha. “Makanya nikah biar lu tau rasa enaknya,” balas Aksha mengambil file dari tangan Barak. Yang diajak bicara malah fokus arah lain. Kemunculan Azura membuat Barak terkesima pasalnya pertama kali melihat kakak ipar dengan saksama. Pria tengil itu langsung memepet ke Azura. Akibatnya, Aksha memasang mata tajam kepada temannya itu dan menyeret Barak kembali untuk duduk. “Lihati apa?” Aksha memukul kepala Barak menggunakan tumpukan file. “Hahaha, tenanglah. Aku lagi terpesona sama kecantikan kakak ipar. Gak usah cemburu gitu,” celetuk Barak mengusap kepalanya. “Cari mati nih, anak!” gumam Aksha diindahkan oleh Barak yang asyik menggoda Azura. “Silakan diminum dan dicicip camilannya,
Paginya, Aksha berharap kalimat cerai tak pernah dilontarkan lagi oleh Azura. Sejatinya ia mulai menginginkan wanita itu hidup dengannya seumur hidupnya. Rasa memiliki berkecamuk di dada tak mau berpisah sedetik pun sampai Aksha memilih bolos dari kantor. “Pergilah kerja, aku tidak akan kemana-mana,” ucap Azura meyakinkan suaminya supaya beranjak dari ranjang. Kepercayaan diri Aksha setipis tisu. Kecemasan tidak melepaskan dirinya dari belenggu rasa takut ditinggalkan. “Tidak, Zura. Bila aku pergi kamu bisa saja meninggalkanku tanpa pamit.” Aksha menatap Azura penuh kekhawatiran kemudian memeluk Azura terlalu erat hingga istrinya merasakan sesak. “Aksha, aku kesulitan bernapas!” Aksha mendongak menyadari istri tak bisa bernapas baru lah mengurai pelukannya. “Maaf, aku kekencangan peluknya ya?” tanya Aksha polos sedangkan Azura mencebik bibirnya. “Hampir saja nyawaku melayang.” Azura mengambil napas sebanyak yang ia bisa. Aksha melintir bibir Azura yang maju lantas ditepis si p
"Apa!" Aksha terlonjak kaget mendengar perkataan Azura. "Kenapa begitu kaget? bukankah bagus kita bercerai?" Azura bersikap tenang tentu hal itu mencuri perhatian Aksha yang syok. Mereka berdua bersemuka yang satu tegang, satunya berusaha tenang, tapi hati sama-sama berkecamuk. “Kamu tiba-tiba minta cerai, jelas aku kaget! Sebenarnya ada apa sampai kamu berkeinginan bercerai?" tanya Aksha tidak menerima permintaan istrinya. "Toh, kita tidak saling mencintai, kenapa harus dipertahankan? Bagiku itu alasan yang cukup buat kita bercerai," kukuh Azura bercerai. “Pernikahan kita baik-baik saja, aku bukan pria berselingkuh. Bahkan saat kamu di rumah sakit aku selalu menjagamu. Alasan tidak ada cinta diantara kita itu wajar karena pernikahan kita bukan murni dari keinginan kita. Melainkan hasil perjodohan, kamu sendiri menyetujuinya. Lalu kenapa sekarang kamu permasalahan kan?” Ia pikir akan sangat mudah minta cerai dari Aksha. Mengingat awal perjodohan, Aksha menentang keras malah mengh
Azura bangkit dari ranjangnya, menghubungi Albert melalui telepon selulernya. “Pak Tua, kerahkan pelayan rumah untuk menyambut kepulangan ku.” Albert terkejut mendengar perintah Azura. Sejak kematian Hanan suami pertama Azura, gadis itu tak pernah menginjak kakinya di rumah itu. Lantas apa yang memicu Azura kembali ke rumah yang penuh kenangan indah itu? pernah sekali Albert mengajak Azura pulang, penolakan keras yang Albert terima. “Apa Nyonya serius?” Albert memastikan telinganya tak salah mendengar atau ia sedang bermimpi. “Apa aku tengah bercanda?” jawab Azura mempertegas ucapannya. Kesal mendengar pertanyaan Albert seakan dirinya sedang bercanda. “Bagaimana dengan Aksha? Dia tau nyonya pulang?" tanya Albert ingin tahu jawab apa yang akan di ucapkan oleh Azura. Albert mencemaskan pria itu, iba bila mendadak ditinggal Azura. “Aku akan menggugat cerai.” Azura yakin itu keputusan terbaiknya. Dia tak mau lagi bersembunyi hasilnya dia tetap jadi buruan mereka. Kali ini Azura su
Kepulangan Azura disambut oleh Dahlia dan Bibi Ninik. Azura melempar senyuman kecil atas perhatian kepedulian mereka.“Ak, ini siapa?” tanya Azura mengarah ke seorang wanita yang usianya sama dengan Dahlia. Terlebih wanita itu membawa tas berisi pakaiannya selama di rumah sakit.“Permisi, Nyonya. Saya Ninik pembantu baru,” ucap Ninik memperkenalkan dirinya.Azura menoleh ke belakang, di mana Aksha berdiri di belakang seraya mendorong kursi rodanya. “Aku sengaja cari pembantu biar aku bisa fokus jagai kamu. Lagian Bibi Ninik orangnya gesit dan dapat dipercaya,” ujar Aksha jawab keraguan istrinya.“Selama aku tidak ada, banyak yang berubah ya,” kata Azura pelan.Azura memerhatikan sekeliling ruangan yang bersih dan wangi.“Apa aku sebegitu penyakitan hingga tugasku diambil orang lain,” lontarnya. Perasaan apa ini? ada rasa tidak suka bila apa yang selama ini ia kerjakan kini diambil alih orang lain.“Tidak baik berprasangka buruk, aku tidak bermaksud berbuat seperti itu. Mengi