Dahlia menyeret kakinya perlahan tanpa menimbulkan Suara. Ia tak ingin gegabah mengambil tindakan. Salah melangkah nyawa pasien bisa melayang.
Mata Dahlia terus fokus menatap gerak gerik Azura. Saat Azura lengah, ini kesempatan Dahlia. Dengan cepat kilat Dahlia menepis tangan Azura yang akan mengores urat nadi dengan pisau itu. Mengeluarkan sesuatu benda panjang dengan ujungnya runcing.
Azura merasa tubuhnya lemas. Pandangan mulai memudar. Pisau di genggam lepas tak terkendali jatuh ke lantai. Setelah itu Azura tidak ingat apa-apa.
Dahlia menyuntikkan obat penenang pada Azura. Agar emosi Azura kembali stabil. Gadis itu baru saja sembuh. Jika di biarkan saja bisa memperburuk keadaan mental Azura. Untung cepat ditangani, jika tidak Azura bisa melukai dirinya sendiri.
Saat Dahlia akan keluar dari kamar Azura. Mata Dahlia menyipit melihat satu benda yang berada di atas nakas. Desiran darah mengalir hebat di tubuhnya. Kalung dengan liontin bulan sabit dengan permata biru di tengah. Ia kenal persis pemilik kalung ini. Berapa puluh tahun lalu Dahlia pernah melihat kalung yang sama persis seperti ini. Dahlia membalikkan liontin itu. Benar dugaan ada inisial Ar di sana.
“Apakah dia?” batinya melirik Azura yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Dahlia terkejut saat suster penjaga masuk. Rasanya seperti ketahuan sedang mencuri. Dengan cepat Dahlia meletakkan kembali kalung itu di atas nakas.
“Ehmmm.” Dahlia mendekati suster penjaga. “Sus, tolong jaga pasien ini. Jika dia terbangun dan kembali mengamuk cepat hubungi saya,” pesan dahlia dengan tangan berada di saku jas putihnya.
“Baik, Dok.” Suster mengangguk, meletak wadah yang berisi obat-obatan.
Dahlia tampak mondar-mandir di ruang kerjanya. Ia terus berpikir dan bertanya-tanya tentang liontin itu.
“Jika gadis itu pemilik kalung itu. Aku harus berbuat sesuatu, jangan sampai orang lain menemukan dia.” Dahlia duduk. “ Tapi bagaimana caranya.” Dahlia menengadah tangan di dagu runcing miliknya. Memikirkan cara menahan Azura berada di sekitarnya
Mulut Dahlia melengkung membentuk senyuman sempurna. “Aku tahu harus berbuat apa,” ucap Dahlia berkata sendiri.
Enam bulan berlalu dengan cepat. Cuaca yang mendung beransur cerah, menyinari wajah Azura di jendela.
Sesuai janji dokter Dahlia, Azura sudah bisa berjalan kembali dengan ke dua kakinya. Kini Azura tidak mau murung lagi atau membuat seluruh suster di rumah sakit ketakutan saat ia mengancam bunuh diri.
“Pak tua, apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ingin kembali ke rumah itu, sungguh aku tak mampu.” Azura mengecup liontin di lehernya.
Pak tua yang disebut Azura adalah Albert. Seorang pria berumur 40 tahun berkebangsaan Inggris. kacamata yang selalu bertengger di hidung Albert.
Tidak ada air mata yang menetes di pipi Azura. Menangis bukan lah solusi yang baik. Azura menggengam erat liontin yang melingkar di leher indahnya. Kalung ini sumber kekuatannya sekarang.
“Ada baiknya, Nyonya bersembunyi terlebih dahulu. Kecelakaan yang menimpa Tuan dan Nyonya itu disengaja oleh oknum tak bertanggung jawab. Saya yakin ini berkaitan dengan masa lalu Nyonya.” Albert mengeluarkan pakaian dari lemari kemudian memasukkan ke dalam tas.
Sudah waktunya Azura keluar dari zona nyaman. Menata hidup ke depan. Enam bulan bukanlah waktu sebentar. Panjang sekali tanpa Hanan di sisi Azura.
“Aku tahu. Saat kecelakaan itu terjadi sebelum aku pingsan. Samar-samar ada sosok pria dengan senyum menyeringai seolah berbahagia di atas penderitaku.” Azura menusuk kasar buah apel dengan ujung pisau. Menekan kuat hingga buah apel dan piring di bawahnya terbelah dua.
Emosi Azura meledak-ledak bila ingat kejadian itu. Ingin rasa mencincang habis bibir yang berani tersenyum di atas penderitanya. Lalu akan ia buang ke lautan sebagai makanan ikan hiu.
“Cari dan selidiki orang itu,” perintah Azura pada Albert yang berdiri dengan tangan menyilang ke belakang tanpa ekspresi.
“Baik, nyonya” Angguk Albert.
“Aku pernah bertanya kepada almarhum Nenek tentang siapa kedua tuaku. Tapi, dia hanya berkata ‘Mereka sudah meninggal’ tidak ada petunjuk yang nenek tinggalkan kecuali kalung ini,” ucapnya menghela napas menyesali kepergian Sang nenek.
Terlalu banyak teka-teki masa lalu Azura. Dendam di hati kain membara dan pada suatu waktu meletuskan laharnya. Tekad Azura bulat mencari orang yang sudah mencelakai ia dan suaminya. Azura tak akan melepaskan gigitannya sampai pelaku itu meminta ampun berlutut dikaki.
“Untuk berjaga-jaga nyonya sebaik menyimpan ini.” Albert menyerahkan senjata api lengkap dengan peluru di dalamnya.
Azura mengaitkan ke dalam sarung senjata api itu di kakinya yang tertutup celana jeans hitam. Azura harus lebih berhati-hati sekarang. Banyak orang yang menginginkan nyawa Azura. Hidup atau mati.
“Pulanglah terlebih dahulu Pak tua. Aku ada janji dengan seseorang,” pintanya, berdiri.
Sepeninggal Albert, Azura menuju sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Tampak seseorang yang dimaksud Azura telah menunggu. Lambaian tangannya menuntun Azura ke tempat orang itu.
“Ada apa, Tante memanggil Azura ke sini?” tanya Azura, menarik kursi lalu mendudukinya.
“Tante, mau mendengarkan jawaban kamu tentang permintaan Tante tempo hari. ” tanya Dahlia, meraih tangan Azura.
Ada gelagat mencurigakan yang Azura tangkap dari Dahlia. Apa mungkin Dahlia salah satu dari mereka yang mengetahui seluk beluk dirinya? Atau ini jalan Azura untuk bersembunyi di keluarga Abrisam. Setahu Azura putra Dahlia seorang pengacara. Ini kesempatan bagus untuk berlindung dibalik hukum.
“Apa pantas Azura bersanding dengan anak Tante? Mengingat status Azura seorang janda.” Azura menundukkan kepalanya. Ada derita yang Azura sembunyikan. Azura tak mau terlihat lemah oleh siapa saja.
“Zura, kamu mau ya menikah dengan anak Tante?” mohon Dahlia menggengam erat tangan Azura.
Ma, Apa tidak ada wanita lain? Sampai menjodohkan saya dengan seorang janda!” hinanya. Menunjuk tajam ke arah Azura. Tiba-tiba di minta pulang hanya untuk di nikahkan dengan seorang janda. Tentu ia tidak terima begitu saja. Apa dirinya tidak laku. Hingga tidak bisa menemukan seorang gadis perawan. Memalukan sekali!“Aksha, jaga mulut mu,” bentak Dahlia menahan Aksha untuk duduk kembali.“Memang benar kan,” Sindirnya menatap tajam Azura yang tidak peduli dengan ucapannya.Azura yang sejak tadi menundukkan kepala. Sudah mulai geram. Rasanya ingin melumat mulut yang tidak pernah disekolahkan. Percuma sekolah tinggi tapi mulutnya kayak kompor meleduk. Kalau bukan mau bersembunyi dari orang yang ingin menghabisi nyawanya. Azura tak akan pernah sudi.“Maaf Tante. Lebih baik batalkan saja perjodohan ini. Benar kata Aksha, Saya seorang janda tidak pantas bersanding dengan dia,” tekannya membenarkan semua ucapan Aksha pada
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Azura Angraeni binti Ruslan Adinata dengan mas kawin cincin mas dibayar tunai.” Aksha melafazkan dengan lancar. Para saksi pun berseru, “Sah!” Dahlia dan Bakhtiar tersenyum bahagia. Air mata Dahlia tak luput dari perhatian Aksha. Sedangkan Azura gamang menghadapi inipernikahan keduanya. Rela jadi pengganti atas balas budinya. Menjalani pernikahan keduanya sungguh membuatnya tersiksa. Karena hatinya tidak bisa berpaling dari mantan suaminya. Namun, di sisi lain Azura terjepit. Kebaikan Dahlia menjadikan Azura mengiyakan permintaannya. Meski begitu, dibalik semuanya. Azura bisa dekat dengan orang yang mengenal masa lalunya. Dari pengamatannya Dahlia perhatian padanya, tentu ada alasannya. Itu yang harus Azura cari tahu. Lebih ia harus membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Demi hal itu , ia rela melakukan apa pun asal dendamnya terwujud. Bersembunyi saat ini cara yang bagus sebelum ia melangkah maju. “Zura.” Tepukan lembut Dahlia membuya
DOR! Aksha terbangun keringat membasahi Dahi. Suara tembakan bergema di telinga. Kala Azura mengarahkan senjata api ke padanya. Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Azura. “Syukurlah hanya mimpi.” Mengelus dadanya. Bayangan Azura terasa nyata seperti benar terjadi. Mana mungkin Azura seberani itu, ia terbawa mimpi saja. Pikir Aksha menepis bayangan itu. Azura sibuk memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi buat Aksha. Setelah selesai ia bergegas ke kamar untuk membangunkan Aksha. Rupanya Aksha sudah bangun dan kini sedang di kamar mandi. Ia segera menyiapkan segala keperluan Aksha baik itu pakaian dan perlengkapan lainnya. "Aku tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari," batin Azura. Tiga puluh menit suaminya keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang masih menempel di pinggangnya. Bagian atas yang tampak polos tanpa penutupnya. Rambut yang sedikit pendek terlihat masih basah. Bahkan sisa air mandi menetes ke bahu lebar Aksha. Ia tertunduk bukan malu, tapi muak melihat
Andaikan Azura bisa ikut berbaring di dalam sana. Menyatu dengan tanah bersama jasad suaminya mungkin ada baiknya. Dulu Hanan pernah berjanji berbagi napas seumur hidup. Kenyataannya Tuhan lebih menyayangi Hanan. Memilih dia untuk pergi dari sisi Azura. Lebih baik bercerai, namun masih dapat melihat Hanan seutuhnya. Daripada berpisah dari jiwa raga Hanan untuk selamanya. Sangat menyakitkan tak dapat lagi mendengar, serta menyentuh suaminya lagi seperti dulu . “Tuhan aku mencintai dia. Tak bisakah aku ikut bersamanya? Maaf bila aku menyalahi takdir yang Engkau berikan. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap lirih Azura memeluk nisan suaminya. Cairan hangat membasahi kedua pipinya hingga lembab. Azura merogoh saku celana bagian belakang. Mengambil ponsel pintar untuk menghubungi Albert. “Pak Tua, bisa jemput aku di pemakaman Jeruk Purut?” tanya Azura lemah sembari mengelap air matanya. “Baik, Nyonya.” Albert segera turun ke parkiran menuju area pemakaman dengan mobil. Suara sera
Mobil sport berwarna putih terparkir di teras rumah. Benar, Aksha sudah pulang. Azura tergesa-gesa membuka pintu tanpa tahu dari dalam Aksha akan keluar. Sehingga ia menabrak Aksha. Bugh! “Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,” bentak Aksha memegang bibir yang terluka beradu dengan kening Azura. “Maaf, aku enggak tau kalau kamu mau keluar. Siapa suruh keluar nggak kasih aba-aba," jawab Azura mencibik lalu mengelus kening yang memerah. “Sakit enggak?” tanya Azura menjijit untuk menyentuh bibir bawah Aksha dengan telunjuknya. Padahal kening Azura juga sakit, tapi tidak mengaduh seperti yang Aksha lakukan. “Ya, iyalah sakit masak enggak,” kesal Aksha meringis. “Duh, kasihan. Sini nunduk dikit,” pinta Azura melihat bagian tengah bawah yang terluka, ada bercak darah yang menempel. “Mau ngapain, ah?” tanya Aksha heran disuruh menunduk. “Mau diobati enggak? Kalau gak mau ya sudah tahan sendiri sakitnya. Lagian cuma luka kecil sewotnya sudah seRT." Ia memutar bola mata malas. Azura
Azura menahan jari Aksha ketika mencekik lehernya dengan kencang. Sisa tenaga milik Azura di gunakan menendang lutut Aksha yang membungkuk setengah badan. Terus mencengkam lehernya dengan tatapan kebencian. Apa ini akhir dari hidup Azura? Apa doa Azura di pemakaman dikabulkan Tuhan? Jika iya, Azura berharap ini tidak menyakitkan. Terdengar suara samar bernada kuatir memanggil nama Azura terus menerus. “Hei, Zura bangun!” Seseorang menepuk-nepuk kedua pipi Azura. Aksha kebingungan membangunkan Azura, air mata mengalir di pipi Azura. Gadis itu terus saja mengingau tidak jelas. Tangan Azura mengepal meremas sprei seakan menahan sakit. Entah apa yang diucapkan Azura yang tersedan-sedan. "Maaf,” batin Aksha untuk kekasarannya tadi di meja makan. Tidak ada cara lain, Aksha terpaksa melakukan ini. Aksha melayang satu tamparan mendarat di pipi Azura. Efek tamparan itu menyadarkan Azura dari mimpi buruknya. “Tidak, jangan!” pekik Azura tersadar dari mimpi buruknya. Jantung Azura saling b
Siang ini dengan cuaca panas di kota Jakarta. Teriknya matahari yang seakan sejengkal kepala manusia itu bikin gerah setiap orang. Untung saja pria bermata biru itu memiliki penyejuk udara di ruangan. Setidaknya Aksha tidak akan merasa kepanasan. Terdengar suara bunyi ketukan dari luar pintu. Mengalihkan sorot mata Aksha ke arah pintu. “Masuk.” Perintahnya dengan suara bariton terdengar tegas. Pintu ruangan itu pun terbuka setelah mendapat izin dari pemiliknya. Rupanya seorang wanita cantik dengan pakaian serba minim. Berlenggok-lenggok mendekati Aksha. Memberikan senyuman yang menggoda. Aksha tidak merespon senyuman wanita itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sekedar menyapa saja tidak Aksha lakukan. Wanita itu berjalan mendekati Aksha. Dia langsung merangkul Aksha dengan manja dari belakang. Melepaskan rasa rindu yang berkecamuk di dadanya. Dengan agresif, Ivana tanpa segan tangannya masuk dari cela kerah kemeja berwarna Grey itu. Menelusuri dada atletis Aksha yang sedikit terbuk
Barak terdiam memikirkan perkataan Aksha barusan. Memang benar Barak menyukai Ivana namun, hanya sebatas mengagumi kecantikan yang dimiliki Ivana Mengingat wanita itu lebih tertarik pada Aksha. Barak pikir lebih baik mengalah dan tidak ingin bersaing dengan teman sendiri. Bertengkar karena memperebutkan seorang wanita bukanlah gaya Barak. “Bukankah dia lebih menyukai kamu, Aksha?” tanya Barak memperbaiki duduknya. Ia penasaran apakah Aksha juga sama menyukai Ivana. Aksha terkekeh mendengar itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan Ivana. Ia tau Barak sedang mengali informasi tentang perasaannya. Pertama kali bertemu Ivana gara-gara tersandung kasus penipuan. Aksha yang menjadi pengacara buat Ivana dalam menindak lanjuti kasus itu. Aksha selalu bersikap profesional pada setiap kliennya. Tidak melibatkan emosional di sana. Ivana saja yang menganggap berlebihan atas sikap perhatian yang diberikan Aksha. Ia tidak membedakan setiap kliennya selalu diperlakukan sama tanpa memandang status
Azura mengangkat kakinya dari dada pria itu dengan gerakan cepat dan berbalik. Berjalan mondar-mandir di hadapan pria yang masih terikat di kursi. Wajahnya penuh kemarahan, matanya menyala-nyala seperti bara api. Pria itu, dengan wajah yang semakin memerah dan kulit yang mengelupas, hanya bisa meringis kesakitan.“Kau pikir kau bisa bermain-main dengan aku, ya?” suara Azura bergetar dengan kemarahan. “Aku bertanya lagi, mengapa kau menghabisi bawahanku?”Pria itu menelan ludah, berusaha mengumpulkan kekuatannya. “Aku tidak tahu siapa bawahan yang nyonya maksud,” katanya dengan suara serak.Azura berhenti di depan pria itu, menatapnya tajam. “Jangan bohongi aku! Kau kenal Albert ?” teriaknya. Dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah pria itu. “Aku tahu kau terlibat. Katakan kebenarannya, atau aku pastikan rasa sakit ini hanyalah permulaan.”Pria itu terdiam, menatap Azura dengan tatapan campur aduk antara ketakutan dan kebencian. “Baiklah,” katanya akhirnya menyerah, suaranya nyaris
Kematian Albert pukulan terbesar untuk Azura. Albert sendiri telah dianggap orang tuanya, Azura tidak dapat menerima kenyataan. Bahwa sekali lagi hidupnya diporak-porandakan oleh sosok keji itu yang tak dikenalnya.“Siapapun dia, aku akan membalas kematianmu,” batin Azura bertekad mengepal keras tangannya.Masih di posisi sama, Aksha bergeming. Ia bingung menghadapi situasi yang ia sendiri tidak mengerti. “Zura, tenangkan dirimu. Kasihan beliau bila terlalu lama dibiarkan. Kita harus menguburkan secepatnya,” saran Aksha saat ini.Azura bangkit, menghapus bulir hangat di pipinya.“Bi Asih tolong persiapan pemakaman Pak tua. Aku akan mengurus yang lainnya,” perintah Azura kemudian berjalan naik ke lantai atas.Tatapan iba Aksha berikan kala Azura naik ke atas. Entah apa yang dipikirkan Azura yang jelas ia sejenak lupa kehadiran Aksha. Pria itu berusaha mengerti perasaan Azura yang sedang berkabung. Aksha membantu Asih mengurus segalanya.“Kenalkan saya , Aksha suami Azura.”“Sa
Albert di bawa ke sebuah rumah kosong yang dulunya rumah orang tua Azura. Bangunan yang kokoh dahulu itu kini terbengkalai. Puing-puing dari sisa kebakaran masih melekat jelas. Kemegahan yang dulu jadi sorotan publik tinggal kenangan.“Ikat dia!” perintah Andre mengamati Albert yang pingsan.Anak buah Andre mengikat Albert di tiang beton sisa dari pilar rumah. Atap rumah sebagian hancur dan dibiarkan menganga. Angin dan hujan bisa masuk kapan saja.“Bangunkan dia!” Andre menyeret kursi kayu, ia duduk di depan Albert. Salah seorang anak buah Andre membawa ember berisi air lalu disiram ke wajah Albert. Sontak pria tua itu terbangun. Kacamata yang bertengger di hidung Albert jatuh.“Siapa kalian?” tanya Albert samar penglihatannya.Andre tersenyum sinis, bergerak mengambil kacamata milik Albert di bawah kakinya.“Kau cukup berani juga ya.” Andre memakaikan kacamata untuk Albert.Andre kembali duduk di kursi menyilang kaki dengan angkuh.“Katakan di mana Avantika Hadinata?”Sek
Soraya berjalan santai ke salah satu kamar yang tak di rawat. Dua tangan membawa nampan yang berisi makan siang. Setiba di kamar yang dituju, seorang pria berbaju hitam membukanya pintu untuk Soraya.“Kau selalu kaget melihat aku datang,” ucap Soraya menaruh nampan di atas nakas lalu duduk di pinggir kasur.Ruslan melebarkan bola matanya melihat Soraya duduk bersebelahan dengannya. Rasanya ingin ia cekik Soraya hingga kehabisan napas.“Aku ingin membunuhnya,” batin Ruslan menyimpan banyak kemarahan.Soraya menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. “Makian apalagi yang kau lontarkan untukku di dalam hatimu, Ruslan?” Seolah-olah Soraya tahu apa yang diucapkan Ruslan dalam hatinya.“Kau membuatku muak Soraya, enyahlah kau dari hadapanku.” Hanya bisa membatin, ia tidak bisa berbicara.Ruslan mengalami stroke akibatnya lumpuh total pada bagian vitalnya. Kelumpuhan tak ada yang mengetahui ke kecuali Soraya, Andre dan beberapa anak buah Soraya. Sengaja dirahasiakan takut harga s
Pukul satu siang, Aksha keluar dari kamarnya. Penampilannya terlihat segar sudah rapi dengan pakaian santainya. Pekerjaan dipindahkan di rumah sehingga rekannya terpaksa datang ke rumah. “Susah ya kalau lagi cinta bersemi sampai lupa keriaan,” ledek barak memeriksa apa yang harus diberikannya kepada Aksha. “Makanya nikah biar lu tau rasa enaknya,” balas Aksha mengambil file dari tangan Barak. Yang diajak bicara malah fokus arah lain. Kemunculan Azura membuat Barak terkesima pasalnya pertama kali melihat kakak ipar dengan saksama. Pria tengil itu langsung memepet ke Azura. Akibatnya, Aksha memasang mata tajam kepada temannya itu dan menyeret Barak kembali untuk duduk. “Lihati apa?” Aksha memukul kepala Barak menggunakan tumpukan file. “Hahaha, tenanglah. Aku lagi terpesona sama kecantikan kakak ipar. Gak usah cemburu gitu,” celetuk Barak mengusap kepalanya. “Cari mati nih, anak!” gumam Aksha diindahkan oleh Barak yang asyik menggoda Azura. “Silakan diminum dan dicicip camilannya,
Paginya, Aksha berharap kalimat cerai tak pernah dilontarkan lagi oleh Azura. Sejatinya ia mulai menginginkan wanita itu hidup dengannya seumur hidupnya. Rasa memiliki berkecamuk di dada tak mau berpisah sedetik pun sampai Aksha memilih bolos dari kantor. “Pergilah kerja, aku tidak akan kemana-mana,” ucap Azura meyakinkan suaminya supaya beranjak dari ranjang. Kepercayaan diri Aksha setipis tisu. Kecemasan tidak melepaskan dirinya dari belenggu rasa takut ditinggalkan. “Tidak, Zura. Bila aku pergi kamu bisa saja meninggalkanku tanpa pamit.” Aksha menatap Azura penuh kekhawatiran kemudian memeluk Azura terlalu erat hingga istrinya merasakan sesak. “Aksha, aku kesulitan bernapas!” Aksha mendongak menyadari istri tak bisa bernapas baru lah mengurai pelukannya. “Maaf, aku kekencangan peluknya ya?” tanya Aksha polos sedangkan Azura mencebik bibirnya. “Hampir saja nyawaku melayang.” Azura mengambil napas sebanyak yang ia bisa. Aksha melintir bibir Azura yang maju lantas ditepis si p
"Apa!" Aksha terlonjak kaget mendengar perkataan Azura. "Kenapa begitu kaget? bukankah bagus kita bercerai?" Azura bersikap tenang tentu hal itu mencuri perhatian Aksha yang syok. Mereka berdua bersemuka yang satu tegang, satunya berusaha tenang, tapi hati sama-sama berkecamuk. “Kamu tiba-tiba minta cerai, jelas aku kaget! Sebenarnya ada apa sampai kamu berkeinginan bercerai?" tanya Aksha tidak menerima permintaan istrinya. "Toh, kita tidak saling mencintai, kenapa harus dipertahankan? Bagiku itu alasan yang cukup buat kita bercerai," kukuh Azura bercerai. “Pernikahan kita baik-baik saja, aku bukan pria berselingkuh. Bahkan saat kamu di rumah sakit aku selalu menjagamu. Alasan tidak ada cinta diantara kita itu wajar karena pernikahan kita bukan murni dari keinginan kita. Melainkan hasil perjodohan, kamu sendiri menyetujuinya. Lalu kenapa sekarang kamu permasalahan kan?” Ia pikir akan sangat mudah minta cerai dari Aksha. Mengingat awal perjodohan, Aksha menentang keras malah mengh
Azura bangkit dari ranjangnya, menghubungi Albert melalui telepon selulernya. “Pak Tua, kerahkan pelayan rumah untuk menyambut kepulangan ku.” Albert terkejut mendengar perintah Azura. Sejak kematian Hanan suami pertama Azura, gadis itu tak pernah menginjak kakinya di rumah itu. Lantas apa yang memicu Azura kembali ke rumah yang penuh kenangan indah itu? pernah sekali Albert mengajak Azura pulang, penolakan keras yang Albert terima. “Apa Nyonya serius?” Albert memastikan telinganya tak salah mendengar atau ia sedang bermimpi. “Apa aku tengah bercanda?” jawab Azura mempertegas ucapannya. Kesal mendengar pertanyaan Albert seakan dirinya sedang bercanda. “Bagaimana dengan Aksha? Dia tau nyonya pulang?" tanya Albert ingin tahu jawab apa yang akan di ucapkan oleh Azura. Albert mencemaskan pria itu, iba bila mendadak ditinggal Azura. “Aku akan menggugat cerai.” Azura yakin itu keputusan terbaiknya. Dia tak mau lagi bersembunyi hasilnya dia tetap jadi buruan mereka. Kali ini Azura su
Kepulangan Azura disambut oleh Dahlia dan Bibi Ninik. Azura melempar senyuman kecil atas perhatian kepedulian mereka.“Ak, ini siapa?” tanya Azura mengarah ke seorang wanita yang usianya sama dengan Dahlia. Terlebih wanita itu membawa tas berisi pakaiannya selama di rumah sakit.“Permisi, Nyonya. Saya Ninik pembantu baru,” ucap Ninik memperkenalkan dirinya.Azura menoleh ke belakang, di mana Aksha berdiri di belakang seraya mendorong kursi rodanya. “Aku sengaja cari pembantu biar aku bisa fokus jagai kamu. Lagian Bibi Ninik orangnya gesit dan dapat dipercaya,” ujar Aksha jawab keraguan istrinya.“Selama aku tidak ada, banyak yang berubah ya,” kata Azura pelan.Azura memerhatikan sekeliling ruangan yang bersih dan wangi.“Apa aku sebegitu penyakitan hingga tugasku diambil orang lain,” lontarnya. Perasaan apa ini? ada rasa tidak suka bila apa yang selama ini ia kerjakan kini diambil alih orang lain.“Tidak baik berprasangka buruk, aku tidak bermaksud berbuat seperti itu. Mengi