Gus Azam berjalan memecah kerumunan orang. Aku menatapnya penuh harap, berharap dia bisa menyelamatkan kakek. Hanya dia orang yang berkuasa di tempat ini. Aku yakin Gus Azam bisa menanganinya. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Gus Azam. “Ya Allah, apa yang Bapak lakukan? Tolong lepaskan atau saya akan memanggil keamanan!” ancamnya setelah melihat keadaan Kakek. Dia terlihat panik.“Saya akan melepaskan kakek ini jika Shafia mau pulang bersama saya,” ujar Pak Mujib. Gus Azam mengerutkan kening lalu menatapku sejenak, tetapi aku lekas menghindar dan menundukkan kepala. Akhir-akhir ini jantungku sering berdebar ketika bertemu dengannya. Sepertinya aku sedang tidak sehat.“Shafia ini anak, Bapak?” tanya Gus Azam. Mengapa Gus Azam menanyakan hal seperti itu? Bukankah dia sudah tahu jika Ayah kandungku sudah meninggal?“Bukan, dia calon istri saya. Dia harus menikah dengan saya untuk melunasi semua hutang ayahnya.” Pak Rozaq menyeringai jahat.Calon istri? Ak
“Saya adalah pengurus pondok pesantren ini. Bapak bisa pergi sekarang,” jawab Gus Azam santai. Pak Rozaq berdiri dengan mata berapi-api. Dia melayangkan sebuah pukulan kepada Gus Azam hingga membuat kami berteriak, tetapi Gus Azam bisa menangkisnya. Dipegangnya tangan Pak Rozaq kemudian dia pelintir ke belakang. Aw! Aku dan Anin menutup mulut, rasanya pasti sakit sekali.“Saya guru silat di pesantren putra. Bapak bukan tandingan saya!” Setelah mengatakan itu, Gus Azam melepas tangan Pak Rozaq. Lelaki itu ketakutan melihat Gus Azam hingga membuat wajahnya pucat pasi. Dia mengeluarkan pisaunya, tetapi dengan cepat Gus Azam menendang dengan kakinya. Aku dan Anin berteriak karena pisaunya jatuh tepat di depan kami. Akhirnya Pak Rozaq menyerah dan pergi meninggalkan kami, termasuk Kakek dan Nenek. Aku dan Anin kembali menghampiri kakek. “Kakek tidak apa-apa?”“Kamu lihat sendiri, kami tidak kenapa-kenapa, Fia. Kamu tenang saja.Kami pulang dulu. Besok biar Pakde Irul dan Bude Yuli yan
Mereka terlihat panik dan langsung menghampiri anaknya. Mungkin saja ada seseorang yang melaporkan tentang kejadian beberapa waktu yang lalu. Gus Azam tersenyum. “Tidak ada apa-apa, Umi.”Abah dan Umi menatap semua orang di sini bergantian. Mereka meminta penjelasan mengapa bisa sampai terjadi kegaduhan seperti ini di pesantren. Gus Azam meminta kedua orang tuanya untuk duduk kemudian menjelaskan kejadian barusan. “Ya Allah, syukurlah tidak terjadi apa-apa denganmu.” Umi mengusap lembut pipi anaknya. “Kamu tidak apa-apa, Fia?” tanya Abah. Mereka beralih menatapku. “Alhamdulillah Fia tidak apa-apa, Abi. Namun, Kakek saya terluka. Saya ingin mengobati lukanya.”“Zam, tolong ambilkan kotak obat!”Abah meminta Gus Azam mengambil kotak obat. Aku duduk di kursi bersama Nenek dan Kakek berhadapan dengan Abah dan Umi. Semuanya terasa canggung hingga akhirnya Anin memutuskan untuk kembali ke pondok.“Fia, aku balik dulu, ya!” Aku mengangguk menanggapi ucapan Anin.Anin pasti tidak nyam
“Alhamdulillah.” Semua orang mengucap kalimat hamdalah. “Dia pasti malu mengatakannya, lihatlah wajahnya bersemu merah,” ucap Umi. Oh tidak! Apa yang baru saja kulakukan? Aku telah menerima lamaran Gus Azam? Meski dia sedingin kulkas, tidak sedikit santriwati yang mengidolakannya. Aku bakal menjadi sasaran empuk penggemarnya jika menikah dengan Gus Azam. “Jika diamnya seorang gadis adalah persetujuan, apalagi sebuah anggukan? Jelas jika Fia mau menerima lamaran ini,” jelas Abah Sya’roni.Keluarga Umi terlihat senang. Abah menepuk-nepuk bahu anaknya. “Azam, akhirnya Umi bakalan punya anak perempuan.” Ya Allah, benarkah keputusan yang kuambil ini? Aku sudah terlanjur mengiyakan. Gus Azam tampak tersenyum. Senyum pertama yang dia berikan kepadaku. Senyum yang tidak pernah dia perlihatkan di depan sembarang wanita. Senyum yang selama ini disembunyikan seakan membuat duniaku runtuh. Meleleh hati ini, Gus. “Kamu jadi pulang hari ini, Fia?” tanya Umi. “Iya, Umi. Kami harus pulang. Oran
“Mengapa berhenti di sini, Gus?” tanya Kakek. “Mau beli sesuatu, Kek,” jawab Gus Azam santun.Mobil Gus Azam berhenti di sebuah toko buah dan sayur. Tidak lama kemudian dia membawa dua kantong sayuran dan diletakkan di bagasi mobil. Mungkin Umi yang memintanya membelikan sayur. Perjalanan kembali hening hingga sampai di rumahku. Di sana sudah terparkir mobil Pak Rozaq dan sebuah motor king. Untuk apa dia ke sini? Bukankah dia sudah bilang tidak akan menemuiku lagi sampai hari itu tiba?“Kenapa dia ke sini lagi?” tanya kakek emosi. Aku menggeleng. “Fia takut, Kek.”Gus Azam tidak lekas membuka pintu mobil. Entah apa yang dia tunggu. Aku melihat ke arah kaca depan, ternyata dia juga sedang melihat ke kaca. Aku segera melihat ke jendela samping. Menatap matanya membuat detak jantungku bekerja lebih cepat. Karena tidak lekas keluar, akhirnya Pak Rozaq yang mendatangi kami. Gus Azam terlihat tenang, dia menyunggingkan sebuah senyuman. “Keluar!” teriak Pak Rozaq sambil mengetuk kaca mo
Aku meninggalkan Pak Rozaq yang mengaduh kesakitan. Aku melirik ke Gus Azam dan ingin menolongnya, tetapi dia menggeleng. Dari tatapan matanya, dia menyuruhku segera masuk ke rumah. Karena teriakan Pak Rozaq, salah satu pengawalnya mendekat dan hendak membantu. Saat itulah Gus Azam memiliki kekuatan untuk bangkit kembali. Dia mulai menghajar seorang pengawal yang telah dilumpuhkan. Aku meminjam ponsel kakek untuk menghubungi Pak RT. Ibu pernah menuliskan nomornya di kalender. Aku segera mencarinya kemudian lekas menelepon. “Assalamu’alaikum, Pak. Saya Fia putri almarhum Bapak Mujib. Di rumah saya sedang terjadi keributan. Mohon bantuannya, Pak.”“Keributan apa, Nak?”“Ada preman yang sedang menghajar calon suami saya. Tolong ke sini secepanya, Pak.”“Tunggu sebentar, Nak. Saya akan segera ke sana!”Aku menutup telepon dan kembali melihat Gus Azam dari balik jendela kaca. “Pergi dari sini dan jangan pernah kembali!” ucap Gus Azam kepada seorang preman yang sudah tidak berdaya. “B
Sejak kejadian beberapa waktu yang lalu, Pak Rozaq tidak pernah datang ke rumahku. Namun, aku mempunyai feeling yang tidak enak. Besok adalah waktu di mana aku harus membayar semua hutang ayah. Aku sudah mengambil uang santunan jasa raharja, toko Ibu di pasar sudah kusewakan beserta isinya dan hanya mendapatkan uang dua puluh juta untuk satu tahun. Hari ini hatiku sangat risau. Gus Azam belum memberikanku kabar meskipun dia mengatakan uangnya sudah siap besok. Aku juga belum tahu kapan dia akan datang bersama orang tuanya. Serasa digantung di pohon ciplukan. Aku menjemur pakaian setelah lima hari tidak ada panas. Hujan di bulan Januari membuatku harus bekerja keras. Sekarang tidak hanya bajuku yang kucuci, tetapi baju kakek dan nenek juga. Aku mengusap peluh di kening setelah semua baju tergantung rapi di jemuran. Kulangkahkan kaki pelan memasuki rumah membawa keranjang baju yang sudah kosong. Kuletakkan ia di sebelah mesin cuci kemudian pergi ke kamar.Kulepaskan jilbab kemudian m
Dari luar terdengar suara deru mobil yang tidak asing bagiku. Kupikir bude yang datang karena aku sudah menghubunginya, tetapi ternyata yang datang adalah Pak Rozaq. Kulempar asal kain pel yang sedang kubawa. Aku segera menutup semua pintu supaya dia tidak bisa masuk. Aku berlari menyusul nenek yang sedang memasak di dapur. “Nek, ada Pak Rozaq di luar. Fia takut!” “Apa?” Nenek menjatuhkan pancinya tepat si kakiku. “Aw! Sakit, Nek! Bagaimana ini? Kakek belum pulang, tidak ada laki-laki yang bisa membantu kita di sini.” Kami memikirkan bagaimana caranya supaya laki-laki tua bangka itu pergi. Kakek belum pulang. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. “Shafia, buka pintunya!” Terdengar suara teriakan Pak Rozaq dari luar. Dia mencoba masuk rumahku. “Keluar atau kudobrak pintunya!” teriaknya lebih keras lagi. Aku dan nenek saling berpelukan. Kami bersembunyi di kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Aku harus menghubungi Pak RT secepatnya. Kuambil ponsel yang tergeletak di kasur, hanya nom
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat