Share

Calon Istri

last update Last Updated: 2022-11-04 16:03:18

“Mengapa berhenti di sini, Gus?” tanya Kakek.

“Mau beli sesuatu, Kek,” jawab Gus Azam santun.

Mobil Gus Azam berhenti di sebuah toko buah dan sayur. Tidak lama kemudian dia membawa dua kantong sayuran dan diletakkan di bagasi mobil. Mungkin Umi yang memintanya membelikan sayur.

Perjalanan kembali hening hingga sampai di rumahku. Di sana sudah terparkir mobil Pak Rozaq dan sebuah motor king. Untuk apa dia ke sini? Bukankah dia sudah bilang tidak akan menemuiku lagi sampai hari itu tiba?

“Kenapa dia ke sini lagi?” tanya kakek emosi.

Aku menggeleng. “Fia takut, Kek.”

Gus Azam tidak lekas membuka pintu mobil. Entah apa yang dia tunggu. Aku melihat ke arah kaca depan, ternyata dia juga sedang melihat ke kaca. Aku segera melihat ke jendela samping. Menatap matanya membuat detak jantungku bekerja lebih cepat.

Karena tidak lekas keluar, akhirnya Pak Rozaq yang mendatangi kami. Gus Azam terlihat tenang, dia menyunggingkan sebuah senyuman.

“Keluar!” teriak Pak Rozaq sambil mengetuk kaca mo
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aminah Aminah
Fia kuatttt.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Aku Padamu, Gus!   Harta, Tahta, Shafia

    Aku meninggalkan Pak Rozaq yang mengaduh kesakitan. Aku melirik ke Gus Azam dan ingin menolongnya, tetapi dia menggeleng. Dari tatapan matanya, dia menyuruhku segera masuk ke rumah. Karena teriakan Pak Rozaq, salah satu pengawalnya mendekat dan hendak membantu. Saat itulah Gus Azam memiliki kekuatan untuk bangkit kembali. Dia mulai menghajar seorang pengawal yang telah dilumpuhkan. Aku meminjam ponsel kakek untuk menghubungi Pak RT. Ibu pernah menuliskan nomornya di kalender. Aku segera mencarinya kemudian lekas menelepon. “Assalamu’alaikum, Pak. Saya Fia putri almarhum Bapak Mujib. Di rumah saya sedang terjadi keributan. Mohon bantuannya, Pak.”“Keributan apa, Nak?”“Ada preman yang sedang menghajar calon suami saya. Tolong ke sini secepanya, Pak.”“Tunggu sebentar, Nak. Saya akan segera ke sana!”Aku menutup telepon dan kembali melihat Gus Azam dari balik jendela kaca. “Pergi dari sini dan jangan pernah kembali!” ucap Gus Azam kepada seorang preman yang sudah tidak berdaya. “B

    Last Updated : 2022-11-05
  • Aku Padamu, Gus!   Mahar

    Sejak kejadian beberapa waktu yang lalu, Pak Rozaq tidak pernah datang ke rumahku. Namun, aku mempunyai feeling yang tidak enak. Besok adalah waktu di mana aku harus membayar semua hutang ayah. Aku sudah mengambil uang santunan jasa raharja, toko Ibu di pasar sudah kusewakan beserta isinya dan hanya mendapatkan uang dua puluh juta untuk satu tahun. Hari ini hatiku sangat risau. Gus Azam belum memberikanku kabar meskipun dia mengatakan uangnya sudah siap besok. Aku juga belum tahu kapan dia akan datang bersama orang tuanya. Serasa digantung di pohon ciplukan. Aku menjemur pakaian setelah lima hari tidak ada panas. Hujan di bulan Januari membuatku harus bekerja keras. Sekarang tidak hanya bajuku yang kucuci, tetapi baju kakek dan nenek juga. Aku mengusap peluh di kening setelah semua baju tergantung rapi di jemuran. Kulangkahkan kaki pelan memasuki rumah membawa keranjang baju yang sudah kosong. Kuletakkan ia di sebelah mesin cuci kemudian pergi ke kamar.Kulepaskan jilbab kemudian m

    Last Updated : 2022-11-05
  • Aku Padamu, Gus!   Dia Datang Lagi

    Dari luar terdengar suara deru mobil yang tidak asing bagiku. Kupikir bude yang datang karena aku sudah menghubunginya, tetapi ternyata yang datang adalah Pak Rozaq. Kulempar asal kain pel yang sedang kubawa. Aku segera menutup semua pintu supaya dia tidak bisa masuk. Aku berlari menyusul nenek yang sedang memasak di dapur. “Nek, ada Pak Rozaq di luar. Fia takut!” “Apa?” Nenek menjatuhkan pancinya tepat si kakiku. “Aw! Sakit, Nek! Bagaimana ini? Kakek belum pulang, tidak ada laki-laki yang bisa membantu kita di sini.” Kami memikirkan bagaimana caranya supaya laki-laki tua bangka itu pergi. Kakek belum pulang. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. “Shafia, buka pintunya!” Terdengar suara teriakan Pak Rozaq dari luar. Dia mencoba masuk rumahku. “Keluar atau kudobrak pintunya!” teriaknya lebih keras lagi. Aku dan nenek saling berpelukan. Kami bersembunyi di kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Aku harus menghubungi Pak RT secepatnya. Kuambil ponsel yang tergeletak di kasur, hanya nom

    Last Updated : 2022-11-05
  • Aku Padamu, Gus!   Merasa Gagal

    Dia mengambil kunci dan memasukkannya ke dalam saku celana. Aku hendak masuk kembali ke kolong tempat tidur, tetapi dia segera menendang kakiku hingga membuatku terjatuh. “Aww!” Aku memekik kesakitan. Sakit sekali kakiku hingga membuatku susah berdiri. “Perlu bantuan, Sayang?” tanyanya menyeringai dan lekas kujawab dengan gelengan. Dia semakin mendekat kemudian melepas ikat pinggangnya. Aku takut jika dia melakukan sesuatu padaku. Aku beringsut mundur hingga sampai di tepi ranjang. Kulihat jendela kayu di ujung ranjang. Aku harus melompat dari sana. Perlahan aku naik ke ranjang. Sebisa mungkin aku berupaya tenang agar dia tidak curiga. Senyumnya menyeringai seperti kucing yang siap menerkam tikus. “Kamu mau ngajak main di ranjang, ya? Kebetulan sudah satu minggu aku libur.” Dia mulai mendekatiku. Dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku berdiri dan membuka jendela kemudian berteriak meminta tolong. Aku berharap ada tetangga atau orang lewat yang mendengar suaraku. “Bocah sialan!

    Last Updated : 2022-11-05
  • Aku Padamu, Gus!   Rumah Sakit

    Aku bernapas lega saat melihat Gus Azam berhasil melumpuhkan Pak Rozaq. Namun, di saat itu juga kurasakan kepalaku berdenyut nyeri dan ada sesuatu yang mengalir di pipi. Aku memegang kepalaku yang terasa sakit, ternyata darahnya keluar dari sana. “Shafia!” Umi Hanifah dan nenek langsung menghampiriku. Umi mencari jilbab untuk menutup kepalaku. Rambutku terurai panjang sepinggang dan berantakan. Darah di kepalaku terus mengalir. Umi mengambil jilbab yang lain untuk membersihkan darah yang ada di pipiku. “Kepalaku sakit, Umi.” Aku merasakan kepalaku semakin nyeri. Cairan kental berwarna merah ini tidak henti-hentinya mengalir, tetapi malah semakin banyak.“Kita bawa Shafia ke rumah sakit, Zam!” ajak Umi Hanifah. Umi meminta Gus Azam menggendongku, tetapi aku menolak. Aku masih bisa berjalan meskipun berat. “Saya masih bisa berjalan, Umi.” Hanya umi, nenek dan Gus Azam yang mengantarkanku ke rumah sakit. Aku rasanya sudah tidak kuat lagi. “Sabar, Fia! Sebentar lagi sampai,” ucap

    Last Updated : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Sebuah Bukti

    “Fia, kamu harus makan dan segera minum obat agar rasa sakitmu berkurang.” Umi merebut sepiring nasi yang dibawa nenek. “Nenek salat dulu, ya! Biar saya yang menjaga calon mantu saya.”Aku menolak umi menyuapiku. Sebenarnya aku masih bisa makan sendiri, tetapi umi memaksa. Menjelang Maghrib, kakek datang bersama Abah Sya’roni dan Gus Azam, calon suamiku. Kakek mengatakan jika Pak RT tidak bisa hadir. Namun, pernikahan ini akan tetap berjalan sesuai rencana. Ketika azan Maghrib berkumandang, semua orang pergi ke musala untuk melaksanakan salat kecuali kakek dan nenek. Mereka sepertinya ingin mengatakan sesuatu. “Kamu tenang saja, Fia. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Semuanya sudah selesai. Pak Rozaq tidak akan datang lagi mengganggumu. Hutang ayahmu sudah dibayar oleh calon suamimu,” ucap kakek. “Gus Azam? Bukankah dia di sini dari tadi?”“Gus Azam pulang setelah kamu ditangani di UGD. Dia lelaki yang baik dan bertanggung jawab, Fia. Nenek berharap kamu bisa menerimanya menjadi su

    Last Updated : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Tidak bisa Tidur

    Semua orang di ruangan ini menatap ke arah kami. Aku benar-benar malu dibuatnya. Wajahku pasti sudah semerah tomat. Sejenak kemudian Gus Azam mengulurkan tangan. Aku memberanikan diri menatap matanya, tetapi dia malah mengerutkan dahi. “Cium tangan suamimu, Nak!” ucap umi sambil menepuk punggungku. Meskipun ragu aku meraih tangan Gus Azam kemudian menciumnya. Semua orang menggelengkan kepala melihat tingkah kami. Entah hubungan pernikahan macam apa ini? Aku sama sekali belum mengenal suamiku.“Fia, Bude mau pulang. Kamu lekas sembuh, ya! Bude sekalian mau mengantar kakek dan nenek. Mereka pasti capek,” ujar Bude Yuli. “Nenek tidak menginap di sini?” Sebenarnya aku belum terbiasa tinggal dengan orang lain dan belum siap ditinggal nenek. “Kami akan menemanimu, Fia. Biarkan kakek dan nenekmu pulang beristirahat di rumah. Mereka tidak nyaman tidur di tempat seperti ini,” ucap umi. Umi Hanifah menghampiriku dan mengusap pundakku. Sekarang dia adalah ibu mertuaku. Aku harus mulai terb

    Last Updated : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Sentuhan Pertama

    “Kamu sudah salat?” tanya Gus Azam dan kujawab dengan gelengan.Aku menepuk jidatku pelan. Aku lupa jika belum melaksanakan salat Isya. Sehabis akad nikah, kami sibuk membicarakan tentang diriku. Besok aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku sudah stabil. Kemungkinan besar aku akan tinggal di rumah Gus Azam. Mereka pikir aku lebih aman tinggal di sana daripada di rumahku sendiri. “Aku antar ke kamar mandi. Kita salat jamaah!” Ucapannya tidak terdengar seperti sebuah tawaran melainkan perintah. Aku mencoba duduk, tetapi tubuhku terasa kaku. Bekas cambukan dari Pak Rozaq masih terasa perih. Sekujur tubuhku rasanya sakit semua. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan memegang pundakku. “Biar kubantu.” Gus Azam menaruh tangan kirinya di bawah leherku dan tangan kanannya diletakkan di bahu kiriku. Sejenak napasku terhenti. Dengan jarak sedekat ini aku mampu mencium aroma parfumnya. Jantungku berdebar hebat kala dia mulai mengangkat tubuhku. Ya Allah, inikah rasanya berduaan dengan lela

    Last Updated : 2022-11-06

Latest chapter

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

  • Aku Padamu, Gus!   Waswas

    “Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat

  • Aku Padamu, Gus!   Konsultasi

    “Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.

  • Aku Padamu, Gus!   Hamil

    “Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat

DMCA.com Protection Status