“Pak Alva, tolong jelaskan kepada calon istri Anda ini, kalau saya tidak pernah meminta Anda datang ke sini!” Elma menoleh kepada Alva.“Ok, kau memang tidak menyuruh dia datang ke sini, Bang Alva yang ingin ke sini? Tapi itu tentu ada sebabnya. Kau pasti memberinya pelayanan istimewa setiap dia datang ke sini. Kau itu perempuan gatal! Kau buat supaya laki-laki tergila-gila padamu, dan ingin datang lagi, lagi dan lagi, iya, kan?” “Silahkan tinggalkan rumahku! Bawa calon suamimu itu! Ikat di rumahmu sana! Aku tidak pernah melakukan apapun padanya!”“Kau pasti sudah menyerahkan p*p*k busukmu yang murahan itu padanya! Kalau tidak, tak mungkin dia akan datang ke sini setiap dia kesal pada keluarganya!”“Cukup! Tutup mulutmu! Bawa laki-lakimu ini pergi!”“Dia tetap akan ke sini lagi jika kau masih memberi pe –“Plak!Plak!Dua tamparan bertubi-tubi di pipi kiri dan kanan Nayra. Elma benar-benar telah hilang kesabaran. Namun, Nayra tak tinggal diam.“Kurang aj*r! Kubun*h kau! Perempu
Hingga detik ini, Andre belum menemukan jawaban, kenapa Zul seolah sengaja menyingkirkan Alva dari keluarga. Andre merasa Zul punya niat terselubung dengan perginya Alva nanti ke luar negeri. Entah apa?“Kau harus lebih segala-galanya dibanding anak manja itu! Kau harus bisa tunjukkan kepada kakek, kalau kau pantas diangkat menjadi direktur di perusahaan kita. Kau layak untuk itu! Kau juga cucu Kakek! Cucu pertama malah.”Begitu Zul selalu menyemangatinya.Entah apa maksud Zul yang sesungguhnya, tak ada yang tahu. Yang jelas, dialah satu-satunya orang yang tahu siapa ayah kandung Andre yang sesungguhnya. “Kita pulang, Nay! Ayo!” bujuk Andre mengusap pucuk kepala Nayra. “Sabar, ya! Kamu harus kuat! Kita bicarakan ini di rumah bersama seluruh keluarga, ayo, Dek!” lanjutnya seraya membimbing gadis itu untuk bangkit.“Bang Alva, Bang Andre …! Aku mau Bang Alva!” Nayra terkulai, meyenderkan tubuhnya di dada Andre.“Ya, Kita pulang dulu! Di rumah kita bicarakan! Ayo!”Andre membimbing N
“Aku akan belajar sungguh-sungguh, menyelesaiakn setiap mata kuliah dengan tepat waktu dan nilai yang memadai. Aku akan berjuang agar dua tahun sudah kelar,” lanjut Alva menatap lekat bola mata hitam kecoklatan milik Elma.Lagi-lagi Elma masih membisu. Tatapannya menghindari sorot sayu netra Alva. Wanita itu membuang pandangan jauh ke langit biru sana. Berharap menemukan ide, untuk mengatasi masalah yang sedang melanda.“El, bolehkan aku meminta satu hal padamu?” Suara Alva bertambah sendu.Elma menoleh. Tatapan mereka beradu, lama. Binar cinta itu jelas terpancar di mata keduanya. Binar cinta yang sama besarnya.“Tolong tunggu aku pulang! Sementara kita jalani hubungan ini secara LDR- saja, kumohon kau setuju saja! Aku tak ingin mendengar kalimat penolakan darimu! Ok!” tegas Alva tetap dengan nada lembut. Tetapi jelas kalimatnya tak menunggu jawaban apalagi bantahan. Karena apa yang dia utarakan adalah suatu keputusan.“Maksud Pak Alva, a … pa?”“Aku sudah bilang dengan jelas. Tun
“Kenapa? Apa yang kau risaukan? Hem?” tanya Zul masih dari seberang sana. Andre belum menutup panggilannya. Pertanyaan itu membuyarkan gundah hatinya.“Papa tahu, kan, situasi saat ini seperti apa? Persiapan pernikahan Alva itu sudah sangat matang, tinggal nunggu hari ha, nya, Pa? Apa jadinya kalau dibatalin?” sesal Andre kemudian.“Oho, kau memikirkan hal itu rupanya? Kenapa pula kau yang risau? Sudah Andre, kau persis seperti ibumu! Semua kau pikirkan, kalau itu menyangkut orang di sekitarmu. Tanpa pernah kau pikirkan dirimu sendiri. Ibumu dulu juga begitu. Demi kebaikan seluruh keluarga besar, demi nama baik keluarga dan perusahaan, dia rela mengorbankan dirinya. Tolong, Ndre! Jangan kau tiru sifat jelek itu! Papa mohon!”“Apa? Papa sepertinya tau persis watak ibu kandungku? Benar begitu?” dada Andre berdebar sesak.“Semua orang tau seperti apa watak putri sulung keluarga Sinulingga itu, Andre! Ibumu! Tapi sudahlah! Pokoknya kali ini kau harus tampil ke depan!”“Apa maksud Papa?
“Sejak suami saya meninggal dunia, yang memegang tampuk pimpinan perusahaan adalah Bang Zul. Sudah berpuluh-puluh tahun! Padahal perusahaan itu harusnya dipegang oleh suami saya! Lalu sekarang, saat putri saya ingin mengambil alih hak papanya, syarat yang kalian ajukan begitu berat! Nayra harus menikah dengan Alva sebagai anak laki-laki kalian.Nyatanya, anak kalian malah mempermainkan anak saya! Coba kalian pikir! Apakah adil yang telah kalian lakukan ini? Nayra hanya menuntut hak papanya! Sepertinya kali ini saya tak bisa diam lagi! Saya akan menikahkan Nayra dnegan pria lain, lalu mulai mengambil alih perusahaan!”Rosma mengutarkan kekesalan sekaligus ancamannya.“Tidak, Mama! Aku cintanya sama Bang Alva! Aku gak mau yang lain! Aku cuma mau Bang Alva!” Nayra mengguncang lengan ibunya.“Sadar Nayra! Kau sudah ditolak berjuta-juta kali oleh laki-laki tak tau diri itu! Kau selalu mengalah dan mengalah! Kau mengemis di ujung kakinya! Tapi lihat, tetap saja dia menghinamu seperti i
Alva mengira, kalau Andre telah diputuskan oleh sang Kakek untuk menggantikan dirinya menikahi Nayra. Padahal sesungguhnya, Andre bukan menggantikan seperti pikirannya, melainkan hanya mewakili dirinya. Bukan nama Andre yang bakal disebut, melainkan tetap nama Alva.Pernikahan secara agama memang tak akan terlaksana, namun segala urusan adat akan tetap dijalankan. Pernikahan secara adat, demi kelangsungan keturunan, dan ego keluarga besar.“Aku begitu bahagia, El! Akhirnya apa yang aku impikan akan terlaksana, meskipun aku harus berkorban begitu besar.”Alva mengalihkan perhatiaannya kini fokus ke arah Elma.“Selamat, ya, Pak! Tetapi, kenapa Bapak bilang berkorban begitu besar? Berkorban apa?” tanya Elma membalas tatapan Alva.“Berkorban karena harus berpisah dulu denganmu! Andai saja aku tak perlu melanjutkan kuliah. Aku ingin selalu ada di dekat kamu saja.”“Jangan begitu, Pak! Bukankah keluarga Bapak tak lagi memaksa menikah karena Bapak beralasan mau lanjut kuliah?”“Hem, itula
Bab 103. Sesuatu di Minuman Alva“Eem, begini, Vita Sayang! Papa itu ingin sekali cepat-cepat menikahi Mama. Tapi, karena Papa belum selesai sekolah, maka harus diselesaikan dulu! Tidak boleh menikah kalau tidak tamat sekolah,” tutur Alva mencoba memberi pengertian kepada Vita.“Oh, kayak Tante Tian, ya, Pa?” Mata jernih Vita membulat sempurna. Mulut mungilnya terbuka, menandakan otaknya sedang berpikir maksimal.“Tante Tian?” ulang Alva mengernyit kencang.“Iya, Pa. Tante Tian juga belum selesai sekolahnya. Nanti kalau udah wisuda, Tante Tian akan nikah sama Paman Arfan.”“Siapa yang bilang, Sayang?“Tante Tian.”“Tante Tian juga yang bilang Papa harus nikah sama Mama, ya?”“Iya, supaya Papa enggak pigi-pigi lagi.”Alva menghela napas pelan. Menyebut nama Titian di dalam hati. Tidak salah dia memilih gadis itu menjadi kasir di toko ini. Hatinya begitu mulia, tak ada dendam, meski sedikit matre.“Baiklah, Sayang! Papa janji, setelah tamat sekolah, Papa akan nikahi Mama. Sekarang ki
Bab 104. Mimpi Malam Pertama “Kamu bicara apa, Nay! Keluarlah aku sudah tak tahan! Aku mau ….”“Jangan ragu, Abang! Aku bersedia, kok,meski tanpa Abang minta! Lakukanlah! Abang! Kenapa malah berbaring? Abang! Kenapa terpejam?”Alva rebah dengan mata memejam. Nayra yang begitu yakin apa yang diinginkan oleh Alva, kini semakin berani bertindak. Wanita itu lalu naik ke atas ranjang, duduk tepat di samping kepala Alva. Jemarinya membelai lembut wajah pria tampan itu. Mengusap kumis tipis yang membayang di atas bibir kenyal Alva, lalu berhenti lama di bibir yang membuat degup jantungnya kian tak beraturan. Gadis itu mengusap berkali-kali dengan jemari lentiknya.“Buka matanya, Abang, jangan ditahan! Kita lakukan malam ini, ya! Jangan menahannya dengan diam seperti ini! Sebentar, aku kunci pintu kamar dulu, ya, Sayang! Sabar, ya!”Gadis itu lalu beringsut turun, senyum lebar terbit di bibir tipisnya. Kemenangan telah membayang di depan mata. Alva akan menjadi miliknya, malam ini, ya
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca