"Aku tidak pernah meninggalkan kamu, Ra."
"Sudah lupakan saja, Mas. Jangan dibahas lagi." Dia mengusap kasar air matanya menggunakan punggung tangan."Tapi aku tidak mau ada salah paham diantara kita, Ra. Waktu itu Abah sudah mendatangi aku terlebih dahulu dan beliau memintaku untuk segera menikahi Faizah. Aku nggak bisa menolak karena aku...""Iya. Aku paham. Mas Ibrahim juga mencintai Mbak Faizah dan tidak mencintai aku," potongnya dengan suara serak.Aku membuang napas kasar."Waktu itu kamu masih terlalu kecil, Ra. Mana bisa aku menikahi gadis belum cukup umur. Bisa diperkarakan nanti.""Kamu bisa menungguku dua tahun lagi kalau kamu memang mencintai aku, Mas. Tapi kamu lebih memilih Mbak Faizah. Aku bisa apa?""Aku melakukan itu karena permintaan dari abah kamu juga, Ra. Dia memintaku untuk menjauhi kamu karena kamu sudah dijodohkan dengan Fais."Rana menggigit bibir bawah. Air matanya terus“Dad??” Humaira menatapku dengan wajah yang sudah basah. Aku menggeleng memberi dia kode supaya berhenti, dan dia kembali menghambur ke dalam pelukanku.“Jangan kotori hati kamu dengan kebencian dan dendam. Istigfar, Sayang. Daddy dan Mbak Naya nggak berjodoh. Nanti kalau kamu sudah dewasa pasti paham. Kamu minta maaf gih, sama Koko Dilan dan Mbak Naymu.” Mengusap lembut punggungnya yang bergetar, mengangkat wajahnya dan kubingkai dengan kedua telapak tangan.Dia kemudian mengangguk patuh, berjalan pelan mendekati Kanaya dan memeluk perempuan yang sedang duduk di atas kursi roda.“Maafkan Umay, Mbak. Umay nggak bermaksud menyakiti hati Mbak Nay dan Mas Dilan. Umay Cuma kesal aja karena...” Dia kembali menangis. Dengan sentuhan lembut Kanaya membelai kepala putriku, mengecup puncak kepalanya berkali-kali membuat kerongkongan ini terasa sakit menyaksikannya.Mengambil napas dalam-dalam, membuangnya perlahan seraya mem
Berpuluh-puluh tahun dia merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan pasti itu rasanya pedih sekali. Seperti luka tergores pisau berkarat, lalu tidak sengaja tersiram air cuka. Pedih tak terperi.“Apa masih ada kesempatan untuk saya sekali lagi, Ra?” Ragu aku bertanya, takut mendapat penolakan karena dia sudah terlalu sakit.“Saya tidak mau menjadi pelarian cinta kamu, Mas. Saya tidak akan berharap lagi, karena sekarang saya hanya akan berharap kepada Allah dan tidak pernah mencintai siapa pun selain Dzat Yang Maha Memberi Cinta.”“Saya akan secepatnya menikahi kamu. Itu pun jika kamu tidak keberatan dan tidak menolak.”“Apa karena wanita bernama Kanaya sudah menolak cinta kamu, Mas?”Aku mengambil napas dalam-dalam mendengar pertanyaan dari Ranara. Jujur untuk saat ini aku belum bisa merasakan cinta kepada dia. Tapi melihat kesetiaan Rana yang hingga sekarang masih melajang karena belum bisa melupakanku, sepertinya tidak
#Kanaya'Sehat terus calon baby twinsnya Daddy. Nggak sabar rasanya kepengen ketemu kalian.' Aku menerbitkan senyuman membaca caption Dokter Ibrahim di whatsapp stoy , disertai sebuah foto ultrasonografi calon bayinya."Ya Allah, semoga saja aku segera menyusul dan kembali diberi kepercayaan." Refleks mengusap perut datarku, menggigit bibir karena hingga saat ini belum diberikan kepercayaan seorang buah hati.Bayangan Thalita juga saat hamil anakku yang kedua kembali berkelebat dalam angan, membuat air mata kembali berduyun-duyun jatuh membasahi pipi. Tapi, senyum kembali terkembang saat menatap Umar yang masih terlelap di atas ranjang, dengan wajah polos serta bibir sedang ia monyong-monyongkan seperti orang sedang menyusu. Menggemaskan sekali.Aku memang kehilangan kedua buah hatiku. Tapi Allah kembali mengirimkan seorang malaikat kecil untuk aku jaga.Mendaratkan ciuman di kedua pipi tembam Umar, melipat mukena kemudian seger
"Mama kenapa melamun?" Aku terkesiap ketika Dilan membelai lembut rambutku."Nggak melamun. Tapi lagi liatin kamu sama Umar." Menerbitkan senyuman paling manis yang aku punya."Mandi gih, aku mau ngajak kamu nengokin ibunya Gunawan. Sudah hampir sebulan kita nggak melihat Ibu lho. Biar bagaimanapun, Gunawan telah mengamanahkan ibunya sama kita. Kemarin juga orang toko bilang, katanya kamu suruh sekali-kali datang untuk melihat kios.""Iya, kapan-kapan. Aku lagi malas kemana-mana. Badan aku itu sering lemes kaya orang kurang darah. Jadi agak malas kalau harus datang ke pasar."Mata tajam penuh kehangatan itu terus saja memindai diriku, menyiratkan cinta yang begitu dalam yang membuat diri ini selalu dimabuk kepayang.Memang selama Mas Gunawan dalam tahanan. Seluruh penghasilan toko aku bagi dua untuk membiayai pengobatan Ibu, membayar cicilan bank sampai akhirnya lunas dan sertifikat rumah milik Mas Gunawan dikembalikan. Sedang j
Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk serta menyilaukan. Dilan tersenyum seraya mengucapkan hamdalah ketika aku menatap wajahnya.“Sayang, aku kenapa?” tanyaku sambil memegangi pelipis yang masih terasa sedikit pusing.“Tadi kamu pingsan, Sayang. Kamu seperti kelelahan.” Tangan lembut suami meremas jemari ini dan mendaratkan kecupan di punggung tangan.“Kelelahan? Tapi aku nggak pernah kerja berat lho, Yang?”“Aku sedikit ada filing kalau kamu ....”Dilan menggantung kalimat. Feeling apa?“Ada apa, Sayang? Apa aku sakit?”Lawan bicaraku menggeleng perlahan. Dia lalu kembali menerbitkan senyuman, dan mengusap lembut puncak kepalaku yang masih terbungkus rapat oleh hijab.“Assalamualaikum, sudah siuman, Bu?” sapa seorang perempuan berambut pendek serta berjas putih yang baru saja muncul dari balik pintu.“Waalaikumsalam, alhamdulillah, Bu
“Duh, bumilku kasihan banget kalau udah begini,” tangan lembut suami terus saja menyapukan tisu di wajah, mengelap keringat yang menitik di dahi kemudian mendaratkan ciuman singkat seperti biasa.Setelah itu, Dilan duduk di bibir ranjang, memangku kakiku kemudian memijat-mijat lembut kaki ini menghadirkan rasa nyaman sekaligus kantuk.“Kamu yang capek kerja tapi aku yang dipijat. Enak banget ya jadi aku.” Kekehku seraya membenarkan posisi tidur.“Kamu lebih capek di rumah, Sayang. Belum lagi kalo Koko Umar lagi datang solehnya.” Ralat suami membuatku merasa beruntung mempunyai pendamping hidup seperti dia.***#Dilan.Meletakkan kaki istri perlahan di atas kasur, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlelap merasa kasihan karena hampir setiap hari dia harus mengalami muntah-muntah baik siang maupun pagi. Aku sedikit khawatir kalau dia sampai mengalami hyperemesis gravidarum karena kondisinya saat ini. Apalagi dia
“Kanaya masih tidur, Ayah.” Aku menjawab seraya membuka pintu pagar.“Kamu cekoki dia obat tidur ya? Perasaan dari tadi anak saya tidur terus!” ketusnya lagi.Aku mengulas senyum terpaksa. Masa iya berani berbuat jahat terhadap istri, apalagi saat ini dia sedang mengandung buah cinta kami.“Silakan masuk, Ayah!”“Panggil Kanaya sekarang!”“Nanti tunggu dia bangun dulu ya Yah.”Pria berkemeja kotak-kotak di hadapanku mendengkus kesal. Tanpa basa-basi lagi lelaki bertubuh jangkung itu masuk ke dalam kamar, mengguncang tubuh istri yang sedang terlelap sambil memeluk Umar, memanggilnya dengan suara menggelegar.“Astaghfirullahaladzim, Yah. Bukan begitu cara membangunkan orang yang sedang tidur. Pelan-pelan saja!” Aku mulai tersulut emosi dibuatnya.“Halah ... dia bukan anak kecil yang harus dimanja. Kanaya sudah besar dan sudah waktunya berbakti sama saya!”“Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah bisa berada di kamar aku?” tanya Kanaya dengan mimik bingung serta terkejut.“Ayo, ganti baju dan ikut pu
“Kenapa liatin seperti itu? Ada yang aneh dengan penampilan aku?” “Kamu cantik banget hari ini, Sayang.”“Memangnya biasanya nggak cantik?”“Biasanya juga cantik, tapi hari ini cantik luar biasa.”“Bilang saja mau minta jatah, Yang.” Kanaya terkekeh dan melingkarkan tangan di leher.“Nanti malam saja, Umar ngeliat kita.” Sang pemilik bulu mata lentik menoleh ke arah putra kami dan kembali tertawa. “Sudah ganti baju sekarang. Jangan sampai membatalkan janji sama dokter Fatihah gara-gara tergoda oleh kamu.” Menjawil pipi tembam istri lalu duduk menemani Umar.Setelah Kanaya siap segera mengenakan jaket kembali, mengambil kunci motor dan membantu istri menggendong Umar ke depan.“Doain Papa ya, Ko. Supaya Papa bisa segera bisa beli mobil. Biar kita nggak angin-anginan terus seperti ini kalau jalan-jalan.”“Aamiin...” timpal Kanaya mengaminkan doaku.***
Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d
Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.
[Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar
Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member
Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann
“Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk
Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D
Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...
“Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,