"Kenapa?" Wajah istri terlihat bingung melihatku terus saja menatapnya."Aku bahagia banget mendengar kamu tertawa, Sayang." Kembali melanjutkan langkah, mendudukkan Kanaya di kursi taman kemudian meluruskan kakinya lalu memijat-mijatnya pelan, melemaskan otot-otot kaki agar dia lekas bisa berjalan kembali."Dil, nanti kalau ternyata aku nggak bisa jalan lagi bagaimana?" Aku mendongak menatap wajah istri."Insya Allah bisa, Nay. Kamu harus yakin dan jangan mudah putus asa.""Aamiin ....""Kamu juga tidak perlu khawatir. Aku akan selalu menjaga kamu, semampu dan sebisa aku. Kamu doakan saja semoga aku sehat terus.""Itu sudah pasti, Sayang." Kanaya menyandarkan kepala ketika aku sudah duduk di sebelahnya.***Hari ini, dokter sudah membolehkan Kanaya pulang. Bahagia rasanya karena akhirnya bisa memboyong istri ke rumah, seperti impianku sejak dulu. Membantu istri masuk ke
Kanaya menarik ujung bibir kaku. “Ini, saya mau nganterin obat buat kamu, karena kamu juga masih harus mengonsumsi obat. Ini aman kok untuk ibu menyusui, karena saya sudah konsultasi dulu dengan dokter Fatihah. Kamu jangan lupa sering-sering baca Alquran dan lawan rasa takut kamu sendiri ya, Nay. Karena itu obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan trauma yang kamu derita.”“Iya, Dokter. Terima kasih.”“Ya sudah. Saya permisi dulu. Maaf kalau saya sudah mengganggu waktu kalian. Assalamualaikum!”Dia segera memutar badan sebelum kami menjawab salam. Aku langsung menutup pintu, dan dari balik kaca aku lihat lelaki berwibawa itu sedang mengusap air mata.Tuhan, apakah itu termasuk dosa karena diri ini sudah membuat pak dokter menitikkan air mata juga sakit hati?Maafkan aku karena tidak bisa melepas Kanaya begitu saja, sebab cintaku kepadanya begitu besar dan tidak bisa digoyahkan apa pun yang terjadi. “Sa
“Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak bersalah!” menyusut air mata istri menggunakan ujung jemari, merasa bersalah karena tidak bisa mengontrol diri.“Kalau kamu mau, lakukan saja. Aku istri kamu. Aku tidak mau dilaknat malaikat karena menolak ajakan suami dan menahan haknya,” lirih Kanaya berujar, seperti angin yang sedang berdesir di padang pasir.“Malaikat tidak akan melaknat kamu, Sayang.” Mendaratkan ciuman singkat di kening istri, membenarkan posisi tidur sedikit menjauh darinya, sebab jika bersentuhan dengan istri rasanya bagai tersengat listrik bertegangan tinggi.Kanaya kembali memutar tubuh membelakangi diriku, meringkuk memeluk lutut dan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mendiamkannya.Ternyata menikahi perempuan yang mengalami trauma psikis itu tidak semudah bayangan. Semoga saja kami berdua bisa menjalani masa sulit ini dan Kanaya bisa sembuh dari trauma yang diderita.Semenjak kejadian malam itu, Kan
Merogoh ponsel dalam saku kemeja, menekan sebelas digit angka menghubungi nomer Kanaya. Tersambung dan terdengar suara nada deringnya di teras belakang.Aku mengembus napas lega saat melihat sang bidadari hati sedang berjibaku dengan cucian di halaman, sedang Umar putra kami dibaringkan di atas meja teras beralaskan kasur bayi.Pelan-pelan berjalan mendekat, memeluk tubuh istri dari belakang kemudian mencium puncak kepalanya dengan mesra."Sayangnya Koko Dilan lagi ngapain?" Kanaya mendongak menatapku sambil menerbitkan senyum termanis yang pernah aku lihat."Jemur baju, Yang. Biar kamu nggak terlalu repot," ucapnya kemudian."Harusnya tidak usah dulu, Sayang. Kamu belum sepenuhnya sehat. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Biar pekerjaan rumah aku yang mengerjakan. Toh, memang sebenarnya itu tugas aku 'kan? Bukan tugas istri.""Aku sehat kok! Siapa bilang aku sakit?" Riak wajah istri tiba-tiba berubah. Dia lalu beranj
“Oh, sarapan ya?” Seketika wajahku menghangat, dan mungkin sudah bersemu merah macam tomat. Beranjak dari kursi, mengayunkan kaki masuk membawa Umar dan meletakkannya di atas ranjang. Saat hendak menghampiri istri, ternyata perempuan berambut hitam legam tersebut sudah berada di dekat meja makan, berjalan merembet walaupun terlihat kepayahan. Aku merasa ngilu sekaligus takut melihat ekspresinya yang kesakitan, tetapi tidak bisa melarang dia untuk terus berusaha belajar berjalan. Sebab itu akan menyinggung perasaan Kanaya. Dokter Ibrahim pernah berkata kalau kesehatan mental serta emosional istriku masih belum stabil, jadi akan mudah tersinggung juga emosi. Apalagi ditambah harus kehilangan sang buah hati juga mengalami cidera di kaki. “Sayangku butuh bantuan?” Berkata dengan hati-hati seraya menghampiri. “Tidak, Sayang.” Dia menggeleng dan tersenyum. Pasokan energi terbesarku adalah melihat senyuman Kanaya. Karena lengkung bibir
“Nay, semua pintu sudah kamu kunci, ‘kan?” Aku benar-benar ketakutan sendiri melihat bayangan itu terus saja berkelebat. Bahkan terlihat ada dua siluet hitam, seperti tubuh laki-laki sedang berdiri mengintip dari balik jendela.“Lagi ada Bu Zaidah dan Pak RT, Yang. Pohon mengga di samping rumah ‘kan sudah terlalu lebat daunnya. Jadi Pak RT memanggil orang dari dinas pertamanan untuk memangkasnya sedikit.”Aku bernapas lega mendengarnya. Mungkin siluet hitam yang aku lihat bayangan orang suruhan Pak RT.“Alhamdulillah kalau kamu ada teman di rumah. Hati-hati ya, Sayang. Kalau cuma berdua sama Umar, jangan lupa kunci pintu dan jendela. Jangan bukakan pintu kalau ada orang asing datang, termasuk Margaretha!” pesanku panjang lebar mewanti-wanti istri.Kanaya mengangguk dan tersenyum. Segera kuakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam, meletakkan ponsel di saku kemeja dan kembali bekerja.Sebenarnya ingin sekali rasanya menc
“Kamu dari mana, Ibra?” tanya Bunda ketika aku masuk ke dalam rumah setelah semalaman menjaga Kanaya.Aku hanya menjawab dengan senyuman sebab tidak tahu harus menjawab apa.“Ibrahim, Bunda lagi ngomong sama kamu?”“Aku dari rumah Kanaya, Bun. Jagain dia. Memangnya kenapa?” Duduk di sebelah wanita yang telah melahirkanku empat puluh delapan tahun yang lalu, menggenggam erat tangannya dan menyandarkan kepala di bahu ringkihnya.Jika saja masih pantas, ingin rasanya menangis dan mengutarakan perasaanku kepada Bunda, menumpahkan segala lara yang mendera supaya sedikit berkurang sesak dalam dada.“Kenapa dia tidak dibawa pulang ke rumah ini lagi, Ibra? Bunda kangen sama Naya. Bunda janji kalau dia mau tinggal di sini lagi, Bunda tidak akan memaksa dia untuk menikah sama kamu!” ucap Bunda dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca.‘Dia sudah bahagia dengan lelaki pilihannya, Bun. Dan dia tidak akan lagi kembali datang ke rumah
"Aku tidak pernah meninggalkan kamu, Ra.""Sudah lupakan saja, Mas. Jangan dibahas lagi." Dia mengusap kasar air matanya menggunakan punggung tangan."Tapi aku tidak mau ada salah paham diantara kita, Ra. Waktu itu Abah sudah mendatangi aku terlebih dahulu dan beliau memintaku untuk segera menikahi Faizah. Aku nggak bisa menolak karena aku...""Iya. Aku paham. Mas Ibrahim juga mencintai Mbak Faizah dan tidak mencintai aku," potongnya dengan suara serak.Aku membuang napas kasar."Waktu itu kamu masih terlalu kecil, Ra. Mana bisa aku menikahi gadis belum cukup umur. Bisa diperkarakan nanti.""Kamu bisa menungguku dua tahun lagi kalau kamu memang mencintai aku, Mas. Tapi kamu lebih memilih Mbak Faizah. Aku bisa apa?""Aku melakukan itu karena permintaan dari abah kamu juga, Ra. Dia memintaku untuk menjauhi kamu karena kamu sudah dijodohkan dengan Fais."Rana menggigit bibir bawah. Air matanya terus