"Ante, Aya!" teriakan seorang bocah lucu yang sudah akrab di telinga ini membuatku menoleh. Aku tersenyum menyambut anak itu yang sedang berlari menghampiri sembari memegang boneka kesayangan.
"Eh, Ayu." Aku menciumi anak itu ketika dia sudah berada dalam pelukanku.
Rambutnya yang wangi khas shampoo anak-anak membuatku semakin gemas untuk memberikan ciuman kecil pada puncak kepalanya. "Kok main sendirian?" tanyaku kemudian.
"Ndak cendilian ante. Ada Adek (Nggak sendirian Tante. Ada adek)." Dia menunjuk boneka perempuan yang tempo hari selalu dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu.
"Oh iya main sama adek ya? Masih nangis nggak adeknya?"
"Ndak Ante. Udah iem. Udah mimik cucu adi (Nggak Tante. Udah diem. Udah minum susu tadi)."
"Eh ada mbak Aya. Ayu pasti lagi gangguin Tante Aya ya? Ngajak main terus." Mas Agung, Papa Ayu sudah berada di hadapan kami sekarang. Dia tersenyum
Anak-anak dan dunianya. Sudah satu bulan ini aku terbiasa dengan hal itu. Dekat dengan Ayu membuatku lebih mengenal lagi dunia mereka. Aku menjadi tahu apa saja kesukaan anak empat tahun itu dan apa ketakutan terbesarnya.Dia suka frozen, suka kinderjoy, suka yupi, dia phobia jarum suntik dan dia juga sangat takut dengan darah. Pernah satu kali ia terjatuh dan menangis histeris setelah melihat ada darah pada kakinya. Aku berusaha menenangkan dan memeluk dengan sayang. Dia berhenti menangis dan tersenyum dengan sangat manis setelah itu. Aku tahu ada bagian dalam diri Ayu yang hilang, sesuatu yang sulit ia pahami. Dia merindukan satu sosok dalam hidupnya... kehadiran seorang ibu.Lewat suster yang menjaga Ayu, aku menjadi tahu penyakit yang diderita istri Mas Agung. Hipokalemia, penyakit yang disebabkan karena kurangnya kalium dalam tubuh. Ketika sedang mengandung calon adik Ayu, dia terjatuh dan menjadi berbahaya karena ternyata ib
"Itu Ayu kenapa ya? Tumben rewel kayak gini?" tanyaku ketika mendengar suara tangisan Ayu. Kulirik jam dinding, pukul sepuluh malam. Dia tak biasanya begini. Aku menoleh pada Kevan yang baru keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai bercukur. Dia terlihat lebih ganteng dan segar dengan tampilan barunya. Tapi aku tak mempedulikan itu, karena perhatianku sedang teralih oleh suara tangisan Ayu kini."Ngantuk kali mau tidur," sahut Kevan santai bersiap-siap naik ke atas tempat tidur."Tapi biasanya nggak gini, Kev? Udah setengah jam Ayu nangis. Aku nggak tega."Dia mengembuskan napas pelan. "Ya terus kamu mau ngapain? Udah ada bapaknya, Ay."Aku diam walaupun dalam hati rasanya tak tenang. Mendengar seorang balita menangis dengan keras di malam yang sudah larut ini membuat naluriku ikut terketuk. Jika tak ada Kevan, mungkin aku sudah berlari ke rumah sebelah. Memeluk Ayu dan memastikan ia baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, Ayu segera mendapatkan perawatan. Menurut hasil pemeriksaan bocah itu positif gejala typus. Dan dia harus dirawat. Pantas saja suhu tubuhnya tinggi dan dia tak kunjung berhenti menangis semalaman.Aku saja yang setua ini merasa menderita sewaktu typusku kembali menyerang. Apalagi anak sekecil itu yang masih belum mengerti tentang sakit yang ia rasakan. Dari tempatku berada aku dapat melihat Ayu yang terlihat pucat dengan jarum infus yang menempel pada pergelangan tangannya. Jangan ditanya bagaimana usaha kami mendiamkannya ketika para suster berusaha memasang jarum infus itu pada nadinya. Butuh usaha ekstra dan kesabaran."Terima kasih Mbak, sudah mau mengantar Ayu. Maaf sudah merepotkan," ujar Mas Agung ketika Ayu sudah tertidur. Dia duduk di sisi pembaringan sedangkan aku dan Kevan duduk di sofa."Sama-sama, Mas. Saya nggak merasa direpotkan. Yang penting Ayu sembuh. Susternya Ayu kemana ya, M
"Ay!!!! Sumpah gue kangen banget sama lo!" teriak Lintang begitu sampai rumahku. Dia memelukku sangat lama untuk melepas kerinduan kami berdua. Sudah berapa bulan aku tak bertemu dengannya karena kesibukan masing-masing."Aaaahhhh... gue juga Tang. Kangen banget! Sok sibuk sih lo." Kami berpelukan macam teletubbies. Biasanya Kevan akan ikut-ikutan mengganggu. Tapi untuk kali ini jangan harap. Dia juga sepertinya tahu diri untuk tidak ikut dalam aktivitas kami ini.Sebetulnya sih permasalahan pangsit bakso tadi pagi, Kevan sudah menyiapkannya untukku dan dia simpan di dapur. Pangsit bakso yang dia makan itu memang miliknya tapi sengaja dia melakukan itu untuk menjahiliku. Walaupun pangsit bakso itu aman tetap saja aku masih kesal dengannya. Dia rese dan menyebalkan. Jadi sejak pagi aku sengaja mendiamkannya."Tumben laki lo nggak ikutan meluk-meluk. Kalian berantem?" tanyanya tiba-tiba, menyadari sesuatu yang tak bias
"Ay, Kev ... thanks ya! Gue balik dulu," pamit Lintang melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya.Setelah mobil mereka menghilang, aku diam dan menyilangkan tangan menatap Kevan yang berdiri di depanku namun posisi lelaki itu membelakangi. Kevan yang berniat masuk ke dalam rumah lalu membalikkan badan dan langsung terkejut ketika menyadari aku sedang menatapnya."Lintang udah cerita semua tadi. Kamu keterlaluan ya, Kev, lebih milih cerita semua masalah ke Lintang daripada aku, istri kamu sendiri."Bukannya aku iri pada Lintang. Namun, siapa yang tak sakit, ketika suami sendiri lebih memilih membagi bebannya pada sahabatnya daripada istrinya?Aku lelah harus menduga-duga apa yang terjadi pada Kevan selama ini. Selalu berpikiran apa salahku hingga dia tiba-tiba berubah, seringkali diam dan terkadang marah.Dia mengambil napas dan mengembuskan perlahan. "Ay, aku minta maaf udah ke
"Aaaaaahhh.... uuuuhhhhh, aaaaahhh, uhhhhhhh!" Telingaku meremang, hatiku berdebar, napasku tercekat.Bukan ... jangan salah. Itu bukan suaraku. Lantas itu suara siapa? Jelas itu suara cewek. Asalnya dari kamar. Dan dia ... dia mendesah! Jantungku berdetak berkali-kali lipat. Jangan bilang Kevan membawa seorang wanita dan mereka ... mereka mesum di kamar kami.Shit!Aku menggeleng dengan cepat membayangkan hal itu terjadi. Sejak kapan Kevan bisa? Ups ... bukan maksudku meremehkan. Tapi kita semua tahu bagaimana Kevan 'kan? Dia sejak kapan bisa? Aku saja yang sudah dia nikahi selama dua tahun belum pernah ia sentuh. Lalu tiba-tiba dia membawa seorang perempuan ke rumah. Ini gila! Entah aku yang gila atau Kevan yang gila. Oh, sepertinya Kevan yang gila! Dia gila membawa wanita lain ke rumah kami, bahkan masuk hingga kamar!Dengan perasaan campur aduk, aku buru-buru melangkah menuju ke tempat suara itu berasal. Kamar kami. Suara desahan itu semakin terdengar
"Ayo Kev, kita masuk," ajakku. Kevan nampak ragu. Dia berkali-kali menggaruk tengkuknya. Ada keragu-raguan dari sorot mata dan gelagatnya. "Kenapa?" tanyaku kemudian. Heran akan sikapnya ini. "Aku takut." Dia diam sebentar. "Nanti kalo adek kecilku dipegang-pegang gimana?" lanjutnya lagi. Tapi dapat terlihat, dia sedang tak bercanda kali ini. Tak ada sorot mata iseng dan jahil seperti biasanya. Tak ada senyum menyebalkan yang seringkali menjadi andalan.Aku mengernyit, bingung. "Kenapa dipegang-pegang?" Dia diam sebentar. Dengan ragu menjelaskan ketakutannya. "Kan masalahku emang disitu. Biasanya orang kalo sakit aja yang dipegang bagian yang sakitnya kan?"Aku mendengkus. "Kev, kita ini m
Kamu masih lama Ay pulangnya?Sebuah chat whatsapp masuk. Dari Kevan. Akhir-akhir ini (lebih tepatnya setelah kami terbuka tentang perasaan masing-masing) Kevan menjadi lebih protektif. Dia seringkali bertanya jika aku pergi lumayan lama dari biasanya. Hanya sekedar menanyakan kemana dan jam berapa pulang saja, sih. Tapi itu termasuk kemajuan, Kevan yang dulu tak pernah seperti itu. Nggak sih, kayaknya. Kenapa?Aku membalas pesannya dan kutekan tombol send.Ya udah aku tunggu. Fotoin dong Ay kamu lagi ngapain.Kevan makin mirip ababil yang sedang jatuh cinta kan? Sedikit-