"Ay, Kev ... thanks ya! Gue balik dulu," pamit Lintang melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya.
Setelah mobil mereka menghilang, aku diam dan menyilangkan tangan menatap Kevan yang berdiri di depanku namun posisi lelaki itu membelakangi. Kevan yang berniat masuk ke dalam rumah lalu membalikkan badan dan langsung terkejut ketika menyadari aku sedang menatapnya.
"Lintang udah cerita semua tadi. Kamu keterlaluan ya, Kev, lebih milih cerita semua masalah ke Lintang daripada aku, istri kamu sendiri."
Bukannya aku iri pada Lintang. Namun, siapa yang tak sakit, ketika suami sendiri lebih memilih membagi bebannya pada sahabatnya daripada istrinya?
Aku lelah harus menduga-duga apa yang terjadi pada Kevan selama ini. Selalu berpikiran apa salahku hingga dia tiba-tiba berubah, seringkali diam dan terkadang marah.
Dia mengambil napas dan mengembuskan perlahan. "Ay, aku minta maaf udah ke
"Aaaaaahhh.... uuuuhhhhh, aaaaahhh, uhhhhhhh!" Telingaku meremang, hatiku berdebar, napasku tercekat.Bukan ... jangan salah. Itu bukan suaraku. Lantas itu suara siapa? Jelas itu suara cewek. Asalnya dari kamar. Dan dia ... dia mendesah! Jantungku berdetak berkali-kali lipat. Jangan bilang Kevan membawa seorang wanita dan mereka ... mereka mesum di kamar kami.Shit!Aku menggeleng dengan cepat membayangkan hal itu terjadi. Sejak kapan Kevan bisa? Ups ... bukan maksudku meremehkan. Tapi kita semua tahu bagaimana Kevan 'kan? Dia sejak kapan bisa? Aku saja yang sudah dia nikahi selama dua tahun belum pernah ia sentuh. Lalu tiba-tiba dia membawa seorang perempuan ke rumah. Ini gila! Entah aku yang gila atau Kevan yang gila. Oh, sepertinya Kevan yang gila! Dia gila membawa wanita lain ke rumah kami, bahkan masuk hingga kamar!Dengan perasaan campur aduk, aku buru-buru melangkah menuju ke tempat suara itu berasal. Kamar kami. Suara desahan itu semakin terdengar
"Ayo Kev, kita masuk," ajakku. Kevan nampak ragu. Dia berkali-kali menggaruk tengkuknya. Ada keragu-raguan dari sorot mata dan gelagatnya. "Kenapa?" tanyaku kemudian. Heran akan sikapnya ini. "Aku takut." Dia diam sebentar. "Nanti kalo adek kecilku dipegang-pegang gimana?" lanjutnya lagi. Tapi dapat terlihat, dia sedang tak bercanda kali ini. Tak ada sorot mata iseng dan jahil seperti biasanya. Tak ada senyum menyebalkan yang seringkali menjadi andalan.Aku mengernyit, bingung. "Kenapa dipegang-pegang?" Dia diam sebentar. Dengan ragu menjelaskan ketakutannya. "Kan masalahku emang disitu. Biasanya orang kalo sakit aja yang dipegang bagian yang sakitnya kan?"Aku mendengkus. "Kev, kita ini m
Kamu masih lama Ay pulangnya?Sebuah chat whatsapp masuk. Dari Kevan. Akhir-akhir ini (lebih tepatnya setelah kami terbuka tentang perasaan masing-masing) Kevan menjadi lebih protektif. Dia seringkali bertanya jika aku pergi lumayan lama dari biasanya. Hanya sekedar menanyakan kemana dan jam berapa pulang saja, sih. Tapi itu termasuk kemajuan, Kevan yang dulu tak pernah seperti itu. Nggak sih, kayaknya. Kenapa?Aku membalas pesannya dan kutekan tombol send.Ya udah aku tunggu. Fotoin dong Ay kamu lagi ngapain.Kevan makin mirip ababil yang sedang jatuh cinta kan? Sedikit-
Aku membuka mata dan melihat satu wajah yang sedang tertidur dengan pulas berada di sampingku. Sudut bibirku tertarik hingga terbentuk seulas senyuman. Rasanya tak menyangka apa yang sudah terjadi semalam. Seperti mimpi di siang hari bolong. Tapi bercak darah semalam cukup menjelaskan segala sesuatunya. Aku tak lagi perawan.Kevan si Pelaku itu, dialah sosok yang telah mengambil keperawanku. Dia sahabat sekaligus suamiku, sosok yang dulunya sangat menyebalkan dan seringkali membuat kesal itu semalam berbagi peluh denganku.Kevan melakukannya dengan sangat lembut dan berhati-hati. Bahkan ketika aku menitikkan air mata pun dia sempat menghentikan gerakannya. Lelaki itu berpikir aku menangis karena rasa sakit yang kurasakan. Memang sakit tapi aku menangis bukan karena itu. Rasa haru lebih menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak, sesuatu yang selama ini menjadi pergumulan kami pada akhirnya menemukan jalan untuk dilalui. Dan itu terasa indah untuk
"Heh, lo udah berhasil ya sama Kevan?" tanya Lintang tiba-tiba ketika aku sedang main ke rumahnya."Berhasil apaan?""Berhasil itu ... begituan. Iya yah?" tudingnya cepat tanpa basa basi. Aku jadi heran. Darimana dia tahu ya? Apa bentuk wanita yang sudah tak perawan itu terlihat dari luar? Seingatku dadaku masih begini saja bentuknya. Berat badanku juga tak mengalami perubahan yang berarti. Bibirku juga masih aman. Tak terlihat seperti gagal operasi. Lantas dari mana Lintang tahu?Jika sampai Kevan pelaku utamanya, aku dapat memastikan pintu kamar akan tertutup untuknya selama satu minggu."Apaan sih, Tang. Nggak ah." Bukan maksudku untuk berbohong. Tapi rasanya malu mengakui kenyataan itu. Entahlah aku tak terbiasa berbagi urusan ranjang dengan orang lain, meskipun itu sahabatku sendiri."Alah pake malu sama gue. Ngaku aja kenapa?""Kevan cerita lagi sama lo?" Aku betul-b
"Ya udah Ay, ini bentar lagi aku mau jalan. Tiga jam lagi mungkin aku sampe rumah. See you, Sayang." Pada layar ponsel yang sedang kugenggam, lelaki itu tersenyum padaku dari dalam mobil. Dia sedang berada di Bandung sekarang, dan akan pulang ke rumah setelah urusan bisnis yang sedang dikerjakannya selama satu minggu ini selesai.Komunikasi yang kami lakukan hanya sebatas video call seperti ini. Tapi itu cukup untuk mengobati kerinduanku. Dia belum sempat bercukur. Wajahnya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat dia menjadi sedikit lebih, seksi?"Oke Kev, kamu ati-ati ya. Kalo capek istirahat aja dulu. Jangan dipaksain nyetirnya." Bagian bawah mata yang menghitam cukup menjelaskan dia kurang istirahat akhir-akhir ini. Sebetulnya aku khawatir Kevan melakukan perjalanan seorang diri dari Bandung-Jakarta dengan kondisi yang terlihat lelah. Tapi bukan Kevan namanya jika ia tak keras kepala. Aku sudah berusaha membujuk
Setibanya di gedung bercat putih itu, aku menyusuri lorong rumah sakit layaknya orang gila. Karena selama dalam perjalanan tadi, aku terus menerus menangis. Mungkin mataku sudah sembab sekarang, hidungku juga sudah memerah. Namun, aku tak peduli. Karena hanya kepastian kondisi Kevan yang kupedulikan saat ini, bukan yang lain. Beberapa orang yang berpapasan melihatku dengan pandangan aneh. Aku tak peduli. Dimana suamiku. Aku ingin melihat dia. Aku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Suamiku tak kenapa-kenapa. Setelah bertanya pada resepsionis dan dia tunjukkan letak ruang ICU. Maka di sinilah aku sekarang. Aku diminta menunggu karena seseorang yang katanya bernama sama dengan suamiku itu sedang dalam proses pemindahan dari IGD menuju ICU. Aku tak begitu jelas bagaimana kondisinya. Namun infomasi yan
Terhitung satu minggu sudah Kevan tak sadarkan diri. Dan selama itu pula aku harus menjadi wanita hamil yang tangguh, mau tak mau. Jika wanita hamil seringkali manja, maka aku tak boleh seperti itu. Sepertinya anak dalam perutku ini mengerti kondisi kedua orang tuanya sehingga dia cukup membantuku dengan kondisinya yang tak rewel. Bahkan rasa mual yang dulu sering menyerang kini menguap dengan sendirinya. Aku juga tak mengalami ngidam. Bagaimana mungkin ngidam, untuk makan saja seringkali aku harus diingatkan. Keadaan Kevan membuatku seperti lupa rasa lapar.Terkadang aku merasa bersalah. Anak ini seharusnya mendapat asupan makanan yang cukup, tapi aku malah mengabaikannya. Orang-orang sekelilingku yang seringkali mengingatkan untuk tak terlalu banyak pikiran. Tapi dengan kondisi seperti ini bagaimana caraku mengenyahkan segala beban ini? Bagaimana caraku agar tak banyak berpikir? Siapa yang tak bersedih jika suami yang ia cintai tak sadarkan diri seperti ini?Bisnis K
Mukjizat itu akhirnya terjadi ketika satu bulan Kevan tak sadarkan diri. Aku tertegun dan langsung menekan bel kala Kevan tiba-tiba menggerakan jemarinya dan perlahan-lahan membuka mata. Dia mengerjap dan seperti orang linglung, mungkin merasa bingung tiba-tiba ada di rumah sakit. Ingatannya selama tiga bulan sebelum kecelakaan itu terjadi, menghilang. Dia mengingatku, dia tahu aku istrinya. Namun ketika Lintang mengatakan, "Congrats ya, Kev. Lo mo jadi bapak. Aya hamil, tuh." Jawaban Kevan membuat semua orang tertegun. "Kamu hamil sama siapa?" Sorot matanya kosong dan tanpa ekspresi. "Ya sama lo lah. Kan lo suaminya," jawab Lintang ceplas ceplos. Butuh waktu bagiku untuk menjelaskan pada Kevan bagaimana aku hamil anaknya. Karena dalam ingatannya, dia belum berhasil menjadi laki-laki normal. Dia masih gay seperti yang dulu. Menurutnya suatu hal membingungkan melihatku hamil. Dia tak menuduhku berselingkuh namun masih belum menerima keberadaan anak
Terhitung satu minggu sudah Kevan tak sadarkan diri. Dan selama itu pula aku harus menjadi wanita hamil yang tangguh, mau tak mau. Jika wanita hamil seringkali manja, maka aku tak boleh seperti itu. Sepertinya anak dalam perutku ini mengerti kondisi kedua orang tuanya sehingga dia cukup membantuku dengan kondisinya yang tak rewel. Bahkan rasa mual yang dulu sering menyerang kini menguap dengan sendirinya. Aku juga tak mengalami ngidam. Bagaimana mungkin ngidam, untuk makan saja seringkali aku harus diingatkan. Keadaan Kevan membuatku seperti lupa rasa lapar.Terkadang aku merasa bersalah. Anak ini seharusnya mendapat asupan makanan yang cukup, tapi aku malah mengabaikannya. Orang-orang sekelilingku yang seringkali mengingatkan untuk tak terlalu banyak pikiran. Tapi dengan kondisi seperti ini bagaimana caraku mengenyahkan segala beban ini? Bagaimana caraku agar tak banyak berpikir? Siapa yang tak bersedih jika suami yang ia cintai tak sadarkan diri seperti ini?Bisnis K
Setibanya di gedung bercat putih itu, aku menyusuri lorong rumah sakit layaknya orang gila. Karena selama dalam perjalanan tadi, aku terus menerus menangis. Mungkin mataku sudah sembab sekarang, hidungku juga sudah memerah. Namun, aku tak peduli. Karena hanya kepastian kondisi Kevan yang kupedulikan saat ini, bukan yang lain. Beberapa orang yang berpapasan melihatku dengan pandangan aneh. Aku tak peduli. Dimana suamiku. Aku ingin melihat dia. Aku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Suamiku tak kenapa-kenapa. Setelah bertanya pada resepsionis dan dia tunjukkan letak ruang ICU. Maka di sinilah aku sekarang. Aku diminta menunggu karena seseorang yang katanya bernama sama dengan suamiku itu sedang dalam proses pemindahan dari IGD menuju ICU. Aku tak begitu jelas bagaimana kondisinya. Namun infomasi yan
"Ya udah Ay, ini bentar lagi aku mau jalan. Tiga jam lagi mungkin aku sampe rumah. See you, Sayang." Pada layar ponsel yang sedang kugenggam, lelaki itu tersenyum padaku dari dalam mobil. Dia sedang berada di Bandung sekarang, dan akan pulang ke rumah setelah urusan bisnis yang sedang dikerjakannya selama satu minggu ini selesai.Komunikasi yang kami lakukan hanya sebatas video call seperti ini. Tapi itu cukup untuk mengobati kerinduanku. Dia belum sempat bercukur. Wajahnya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat dia menjadi sedikit lebih, seksi?"Oke Kev, kamu ati-ati ya. Kalo capek istirahat aja dulu. Jangan dipaksain nyetirnya." Bagian bawah mata yang menghitam cukup menjelaskan dia kurang istirahat akhir-akhir ini. Sebetulnya aku khawatir Kevan melakukan perjalanan seorang diri dari Bandung-Jakarta dengan kondisi yang terlihat lelah. Tapi bukan Kevan namanya jika ia tak keras kepala. Aku sudah berusaha membujuk
"Heh, lo udah berhasil ya sama Kevan?" tanya Lintang tiba-tiba ketika aku sedang main ke rumahnya."Berhasil apaan?""Berhasil itu ... begituan. Iya yah?" tudingnya cepat tanpa basa basi. Aku jadi heran. Darimana dia tahu ya? Apa bentuk wanita yang sudah tak perawan itu terlihat dari luar? Seingatku dadaku masih begini saja bentuknya. Berat badanku juga tak mengalami perubahan yang berarti. Bibirku juga masih aman. Tak terlihat seperti gagal operasi. Lantas dari mana Lintang tahu?Jika sampai Kevan pelaku utamanya, aku dapat memastikan pintu kamar akan tertutup untuknya selama satu minggu."Apaan sih, Tang. Nggak ah." Bukan maksudku untuk berbohong. Tapi rasanya malu mengakui kenyataan itu. Entahlah aku tak terbiasa berbagi urusan ranjang dengan orang lain, meskipun itu sahabatku sendiri."Alah pake malu sama gue. Ngaku aja kenapa?""Kevan cerita lagi sama lo?" Aku betul-b
Aku membuka mata dan melihat satu wajah yang sedang tertidur dengan pulas berada di sampingku. Sudut bibirku tertarik hingga terbentuk seulas senyuman. Rasanya tak menyangka apa yang sudah terjadi semalam. Seperti mimpi di siang hari bolong. Tapi bercak darah semalam cukup menjelaskan segala sesuatunya. Aku tak lagi perawan.Kevan si Pelaku itu, dialah sosok yang telah mengambil keperawanku. Dia sahabat sekaligus suamiku, sosok yang dulunya sangat menyebalkan dan seringkali membuat kesal itu semalam berbagi peluh denganku.Kevan melakukannya dengan sangat lembut dan berhati-hati. Bahkan ketika aku menitikkan air mata pun dia sempat menghentikan gerakannya. Lelaki itu berpikir aku menangis karena rasa sakit yang kurasakan. Memang sakit tapi aku menangis bukan karena itu. Rasa haru lebih menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak, sesuatu yang selama ini menjadi pergumulan kami pada akhirnya menemukan jalan untuk dilalui. Dan itu terasa indah untuk
Kamu masih lama Ay pulangnya?Sebuah chat whatsapp masuk. Dari Kevan. Akhir-akhir ini (lebih tepatnya setelah kami terbuka tentang perasaan masing-masing) Kevan menjadi lebih protektif. Dia seringkali bertanya jika aku pergi lumayan lama dari biasanya. Hanya sekedar menanyakan kemana dan jam berapa pulang saja, sih. Tapi itu termasuk kemajuan, Kevan yang dulu tak pernah seperti itu. Nggak sih, kayaknya. Kenapa?Aku membalas pesannya dan kutekan tombol send.Ya udah aku tunggu. Fotoin dong Ay kamu lagi ngapain.Kevan makin mirip ababil yang sedang jatuh cinta kan? Sedikit-
"Ayo Kev, kita masuk," ajakku. Kevan nampak ragu. Dia berkali-kali menggaruk tengkuknya. Ada keragu-raguan dari sorot mata dan gelagatnya. "Kenapa?" tanyaku kemudian. Heran akan sikapnya ini. "Aku takut." Dia diam sebentar. "Nanti kalo adek kecilku dipegang-pegang gimana?" lanjutnya lagi. Tapi dapat terlihat, dia sedang tak bercanda kali ini. Tak ada sorot mata iseng dan jahil seperti biasanya. Tak ada senyum menyebalkan yang seringkali menjadi andalan.Aku mengernyit, bingung. "Kenapa dipegang-pegang?" Dia diam sebentar. Dengan ragu menjelaskan ketakutannya. "Kan masalahku emang disitu. Biasanya orang kalo sakit aja yang dipegang bagian yang sakitnya kan?"Aku mendengkus. "Kev, kita ini m
"Aaaaaahhh.... uuuuhhhhh, aaaaahhh, uhhhhhhh!" Telingaku meremang, hatiku berdebar, napasku tercekat.Bukan ... jangan salah. Itu bukan suaraku. Lantas itu suara siapa? Jelas itu suara cewek. Asalnya dari kamar. Dan dia ... dia mendesah! Jantungku berdetak berkali-kali lipat. Jangan bilang Kevan membawa seorang wanita dan mereka ... mereka mesum di kamar kami.Shit!Aku menggeleng dengan cepat membayangkan hal itu terjadi. Sejak kapan Kevan bisa? Ups ... bukan maksudku meremehkan. Tapi kita semua tahu bagaimana Kevan 'kan? Dia sejak kapan bisa? Aku saja yang sudah dia nikahi selama dua tahun belum pernah ia sentuh. Lalu tiba-tiba dia membawa seorang perempuan ke rumah. Ini gila! Entah aku yang gila atau Kevan yang gila. Oh, sepertinya Kevan yang gila! Dia gila membawa wanita lain ke rumah kami, bahkan masuk hingga kamar!Dengan perasaan campur aduk, aku buru-buru melangkah menuju ke tempat suara itu berasal. Kamar kami. Suara desahan itu semakin terdengar