SYAILENDRA
Dari pertama kali ke rumah ini aku sudah tahu kalau penghuni rumah ini sangat-sangat ramah, apalagi Ibunya Tissa, dia ceriwis sekali. Baru datang aja dia sudah berani-beraninya nyuruh aku buat nyobain masakannya, udah kayak orang lama kenal kita pokoknya. Keluarga ini asik, saking asiknya aku sampai kepusingan sendiri. Ayahnya Tissa suka main catur, dia juga suka olahraga bulutangkis. Kami udah ngobrol dikit-dikit tadi perihal bulutangkis, nyambung sih. Cuma aku heran, kenapa Tissa kepribadiannya beda banget sama keluarganya ini. Tissa itu, nggak seceria keluarganya dia bahkan sesekali kelihatan banget kalau dia lagi kepusingan padahal kalau ditanya sama Ghea, Tissa lagi nggak mikirin apa-apa, katanya bengong itu enak dan dia lagi menikmati masa-masanya menyukai bengong.
“Mau pergi kemana emang sama Tissa, Ndra?” aku melirik Tissa yang duduk di sampingk
GHEA “Bangun udah pagi.” Ucapan Ibuku barusan membangunkan aku dari mimpi jadian sama Lhambang, sial banget. Padahal udah tinggal sedikit lagi tapi matahari udah memancarkan sinarnya aja pagi ini, dan tumben sekali pagi ini Ibuku repot-repot membangunkan aku dari tidurku. Biasanya dia nggak akan pernah mau repot-repot membangunkan aku sekalipun aku udah kesiangan banget buat masuk kerja, dengan masih menguap aku duduk diatas ranjangku. Melihat Ibuku yang sedang membereskan baju-bajuku yang berserakan di dekat bak baju kotor, dia tak mengoceh sih, hanya saja kelakuanku pagi ini membuat aku malu pada Ibuku dan juga diriku sendiri karena sudah sebesar ini aku masih belum juga bisa mengurus diriku sendiri. “Ge, udah kesiangan banget emang, Ma?” “Enggak, ini masih jam enam pagi.” Katanya, menutup bak pakaian kotor. “Terus kenapa bangunin, Ge. Kalau masih sepagi ini?” aku ber
Tissa Hubungan yang awet itu tentang ketulusan, saling menguatkan, saling memberi perhatian dan tahu caranya memberikan rasa nyaman. Aku dulu sering sekali mengidam-idamkan hubungan yang seperti itu, sampai akhirnya aku bertemu dengan Lhambang. Si pria manis yang kelihatannya sangat tulus kepadaku dan yang selalu menguatkan aku ketika aku sedang lelah-lelahnya atau ketika aku sedang mengalami masalah. Aku jatuh cinta padanya, ketika dia selalu membuatku merasa nyaman dan aman. Sampai lupa kalau bisa jadi, semua yang dia lakukan kepadaku itu bukan sebuah bentuk ketulusan melainkan sebuah bentuk keharusan. Dia harus melakukan itu padaku, agar aku percaya padanya dan dia bisa memanfaatkan aku pada akhirnya. “Nih, cemilan.” Lendra masuk kembali ke dalam mobil, setelah kami berhenti sebentar di rest area untuk mengisi bensin. “Banyak amat.” “Iya dong, kan perjalanan ki
GHEA“Nggak bawa payung?”Sebuah suara yang berasal dari sisi sebelah kananku membuat aku menoleh, Lhambang ada di sana. Sedang memandangku yang sedang menggerutu karena hujan datang sore hari ini.“Hai,” Sapaku.“Hai juga.” Dia balas menyapa. “Nggak bawa payung atau lagi nunggu di jemput Syailendra?”“Nggak bawa payung dan nggak lagi nunggu Syailendra.” Jawabku. “Tumben jam segini udah pulang? Nggak lembur?”Dia tersenyum. “Mau ke rumah Tissa, makanya nggak ambil lemburan.”“Ada apaan nih? Kok nggak ngajak-ngajak gue?”&ld
GHEAAku dan Lhambang sudah tiba di rumah Tissa sejak lima belas menit yang lalu, tapi kami belum juga bisa mengobrol dengan kedua orangtua Tissa karena mereka sedang melakukan ibadah magrib berjamaah jadi terpaksa kami menunggu mereka selesai ibadah terlebih dahulu alih-alih ikut melakukan ibadah juga. Aku tak menanyakan kenapa Lhambang tak sholat Magrib karena aku tahu kalau dia memang jarang sekali beribadah, kalau bukan Tissa yang suka ngambek-ngambek dan marah sama Lhambang kalau dia nggak solat mungkin Lhambang masih akan bolong-bolong terus sholatnya seperti hari ini saat tak ada Tissa dia tak sholat. Ini memang bukan contoh yang baik, jangan ditiru ya.“Lama ya, eh udah pada makan belum, Ghe? Lham?” Ibu Tissa yang bernama Tante Yana menghampiri kami seorang diri Om Uya—Papanya Tissa, belum bergabung bersama kami katanya sedang ada mengurusi kerjaan.“Udah udah kok, Ma.” Lhambang menj
SYAILENDRAAstaghfirullah!!! Gara-gara macet di jalan kami nggak jadi mantai dan malah berujung kami hanya bisa makan, ibadah dan cari tempat buat tidur. Dan kalian tahu apa hal yang paling gilanya lagi? Nih, sekarang aku lagi satu kamar sama Tissa dia nggak berani tidur sendirian di hotel ini karena takut katanya. Jadilah aku dan dia nyewa kamar yang ada tempat tidurnya dua. Walaupun misah tempat tidur, tapikan tetap aja ini nggak benar. Orang yang melihat kami pasti akan berpikir yang bukan-bukan soal kami, mana wajah kami nggak ada mirip-miripnya lagi nggak bisa deh aku buat alasan kalau dia adalah adik aku.“Nggak mandi?” Tissa baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan dia lagi ngucek-ngucek tuh rambut pakai handuk.Kami baru saja tiba di hotel ini, dan dia—Tissa langsung ngabrit buat bersih-bersih, karena katanya tubuhnya udah lengket banget. Padahal kalau dilihat-lihat dia nggak ada
GHEA“Berhenti dulu, lo mau kemana sih?!” aku terpaksa berteriak sembari menarik tangan Lhambang agar dia berhenti berjalan. Kami sudah tiba di depan gerbang kompleks perumahan Tissa, tinggal menunggu taxi atau ojek lewat saja kami sudah bisa pergi dari tempat ini.“Ke rumah Lendra!” teriaknya tak kalah kesal, sementara malam hari ini masih hujan. Orang-orang yang berteduh di sebrang warung sudah melihat ke arah kami.“Percuma, dianya aja nggak ada dirumahnya!”“Gue tunggu dia sampai pulang!”“Bisa besok, 'kan?” aku memelankan nada suaraku. “Ngapain repot-repot ke sana kalau nggak ketemu orangnya, besok pas orangnya pulang baru deh lo kesana.”Orang emosi memang bebas melakukan apa saja, orang emosi memang kadang pikirannya tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku memaklumi sikap Lhambang k
TISSASyailendra nggak benar-benar memeluk diriku, kukira ketika dia bangun dari ranjangnya dan berjalan ke arahku itu akan menjadi hal yang menyenangkan. Aku sudah membayangkan dia akan membuka bajunya perlahan-lahan sambil berjalan ke araku, lalu ketika sudah mendekat dia akan berjongkok dan menggendongku lalu melemparkan aku ke atas ranjang dan permainan panas kami akan di mulai. Pemikiranku memang terlalu liar, mungkin karena itulah aku gagal menggoda Syailendra malam ini. Cuaca yang dingin serta hawa kamar yang terasa panas tak mampu membangkitkan gairah nafsu Syailendra, apa mungkin aku yang kurang menarik di matanya sehingga dia tak sama sekali kepikiran untuk tidur dengan aku saat ini?“Masih kedinginan nggak?” Dia bertanya sambil meletakkan minuman kaleng di meja, lalu dia duduk di sebelahku. Kami sama-sama menghadap ke arah laut saat ini. “Suhunya udah gue atur, kalau masih kedinginan bilang aja ya.”
GHEAMemulai sesuatu memang berat, tapi percayalah. Nggak ada proses yang percuma, begitu yang aku tahu. Karena itu aku selalu bersemangat untuk memulai pendekatanku dengan Lhambang saat ini, karena aku tahu nggak akan ada proses yang percuma meskipun jalannya berat dan panjang. Tapi aku yakin banget kalau proses akhirnya adalah aku yang akan bahagia nantinya dengan apa yang sudah aku lakukan sejauh ini, ingat sekali lagi kalau nggak akan ada proses yang percuma. Proses itu nggak akan pernah mengkhianati hasil, aku yakin sekali itu makanya sekarang aku hanya perlu berusaha lebih keras lagi agar apa yang aku mau segera tercapai.“Apartemen ini nggak pernah ditinggalin?” Lhambang bertanya padaku, kami sama-sama sudah mengganti pakaian dan sekarang kami sedang makan mie instan.“Jarang.”“Kenapa?”“Dulu ini tempat minggat bokap gue, makanya
GHEAAku dibawa ke rumah sakit oleh Tissa dan juga Syailendra, apa yang mereka pikirkan saat menolongku aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah Tissa yang menangis saat dia melihatku di dalam kamar dalam kondisi yang tidak mau aku jelaskan, lalu dia pun menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dia terus mengusap punggungku tanpa mengatakan apapun, karena mungkin memang hanya itulah yang bisa dia lakukan, mengusap punggungku dan kemudian menangis. Syailendra tidak berbicara apapun padaku, sampai saat ini sampai kami tiba di rumah sakit dia tidak berbicara apapun padaku. Di UGD ini, aku hanya di temani Tissa, Syailendra sedang berada di luar ruangan menunggu Ibuku datang.Padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak usah memberitahu kan Ibuku soal kondisiku saat ini, dan memang benar dia tidak memberitahukannya kepada Ibuku tapi dia malah memberitahu kakakku, jadilah sekarang Ibuku mengetahui bagaimana kondisi anak bungsunya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hi
TISSAAku berkali-kali mendapati Syailendra bergerak gelisah saat mengemudi. Berkali-kali pun jawabannya saat menanggapi obrolannya denganku tampak tidak nyambung, singkatnya. Syailendra sedang tidak fokus saat ini dan sialnya aku tahu kenapa dia jadi tidak fokus seperti itu. Berkali-kali aku memikirkannya, berkali-kali itu juga aku jadi kesal dibuatnya.Aku tidak bertanya kenapa kakaknya Ghea menelpon dan mengirimnya pesan, telponnya memang tidak dia angkat tetapi pesannya dia baca sehingga hal itulah yang membuat aku jadi kesal sendiri sebab setelahnya Syailendra terlihat sekali tidak fokus saat ini. Untungnya, hanya aku yang ikut di mobil Syailendra kalau betulan Mamaku juga ikut disini, bisa dipastikan suasana akan berubah menjadi canggung.Sejujurnya, aku penasaran sekali tentang apa isi pesan kakaknya Ghea kepada Syailendra sehingga pesan itu bisa membuat Syailendra menjadi seperti ini. Tapi, disatu sisi pun aku merasa bahwa aku tidak berhak bertanya sebab aku bukan siapa-siapa
SYAILENDRAPagi hujan, siang cerah. Kondisi cuaca Jakarta memang tidak bisa dipresiksi semaksimal mungkin, aku hampir saja merutuki cuaca karena mereka hari ini aku terpaksa datang dengan salah konstum. Kalau tahu siang hari ini tidak akan turun hujan juga seperti pagi hari tadi, mana mau aku datang ke kedai kopi kakaku dengan swetter panas begini.Yah, tapi apa mau dikata deh. Sudah kejadian, lagipula mau datang pakai baju apapun aku, aku yakin aku masih dan akan sangat terlihat tampan.Hahaha ...Kok aku geli sendiri ya mendengarnya? Biarlah, aku kan jomlo, tidak ada yang memuji aku ganteng lagi sekarang jadi biarkan saja aku memuji diriku sendiri saat ini."Kenapa sih?""Hah? Apa? Apa yang kenapa?""Kamu kenapa?""Aku?" aku menunjuk diriku sendiri saat Tissa bertanya aku kenapa, aku kamu dengan Tissa memang hal yang baru tapi entah kenapa aku nyaman dengan kata ganti Lo-Gue diantara kami ini. "Aku kenapa?""Kayak orang bingung." Tissa menggaruk kecil hidungnya, kemudian melemparkan
GHEAMalam minggu kemarin, aku tidak pulang ke rumah Ibuku. Aku juga tidak masuk lembur, padahal hari sabtu kemarin adalah hari dimana aku seharusnya bekerja lembur tapi aku tidak melakukannya sebab Lhambang tidak memperbolehkan aku untuk pergi ke kantor. Jadi, dari pada wajahku kena tampar lagi olehnya lebih baik aku menurut saja dan mengatakan kepada pihak kantor kalau aku sedang sakit.Yah, walaupun aku tidak menjamin alasan itu akan diterima oleh atasanku mengingat lembur kemarin adalah aku yang meminta sendiri dan aku juga yang membatalkan senaknya. Aku meminta lembur karena aku butuh uang lebih diakhir bulan nanti, tentu saja untuk mengganti uang yang aku pinjam untuk Lhambang, aku berjanji untuk menggantinya meskipun aku meminjam uang tersebut kepada kakakku."Ghe?" Itu suara Lhambang, yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri Lhambang di dalam kamar, aku tidak mau kena omel lagi hanya karena aku terlalu lama menghampirinya padahal katanya jar
TISSASelimut yang masih menyelimuti tubuhku, pendingin ruangan yang masih menyala serta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksi bahwa hari mingguku kali ini benar-benar sangat nyaman. Masih menscroll media sosial, dari satu aplikasi lalu ke aplikasi berikutnya jam sembilan pagi ini aku masih betah tidur-tiduran diatas kasurku.Tumben sekali, biasanya Ibuku akan masuk kamar lalu menyuruhku untuk bangun. Setidaknya untuk membantunya membereskan rumah yang sebenarnya selalu rapih ini atau sekedar olahraga bersama keliling komplek dan berakhir singgah di pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Tapi hari minggu kali ini agak berbeda, sedikit lebih tenang dan sedikit lebih membahagiakan karena ketika aku bangun ada satu pesan yang selalu aku mimpikan untuk masuk ke dalam ponselku ketika pagi tiba. Yap! Chat dari Syailendra yang berhasil membuat pagiku yang sedang mendung ini menjadi lebih berwarna.Pesannya memang bukan sebuah pesan yang romantis, dipesan itu Syailendra hanya membalas pesanku
SYAILENDRAHari ini aku berjanji untuk berkunjung ke rumah Tissa, tapi sebelum berkunjung aku sudah menyempatkan diri datang ke tukang martabak pinggir jalan. Bukan abang-abang yang sedang berdagang di pinggir jalan melainkan di sebuah toko yang letaknya kebetulan berada di pinggir jalan, katanya ayahnya Tissa sangat suka martabak telur di tempat ini sebab itulah aku membelikannya martabak telur saja sebagai bawaanku malam ini. Karena aku bingung, apa yang harus aku bawa ke sana. Niatku hanya ingin bertamu karena Ibunya Tissa mengundangku untuk makan malam, jadilah aku ke sana malam hari ini selepas pulang bekerja. Ini pun aku datang agak telat, biasanya memang aku pulang sore tetapi tadi ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga makanya aku datang agak terlambat sedikit."Ndra!" Seseorang memanggil namaku dari arah belakang, ketika aku menoleh. Aku sudah menemukan seseorang yang sangat aku kenali sekali.Karena itulah, sembari tersenyum aku melangkah mendekatinya
GHEAPada akhirnya Lhambang mengantarkan aku pulang ke rumah, dengan mengancam perihal mobil yang akan aku ambil barulah dia mau mengantarkan aku pulang ke rumah. Sepanjang jalan menuju rumahku ini dia terus-terusan mengoceh perihal ini dan itu membuatku makin malas untuk meladeni dirinya. Bukan, ini bukan pekara aku yang sudah tak cinta lagi dengannya tapi ini perkara harga diri. Sampai saat ini aku masih menyukainya, saat ini aku hanya sedang memberikan pelajaran saja bagi dirinya kalau dia tak boleh semena-mena dengan diriku karena semua yang dia pakai dan gunakan saat ini adalah milikku. Jadi satu-satunya orang yang boleh sombong dan semena-mena itu adalah aku."Kamu masih marah sama aku?" Sambil menyetir, dia menoleh padaku sesekali untuk melihat ekspresiku saat ini. "Ghe?""Hmm?" Tadinya aku masih enggan untuk menyahuti dirinya t
GHEATiada satupun dari kita yang selalu tertawa tanpa hadirnya air mata. Namun Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kadar kemampuan nya. Aku selalu ingat ketika Syailendra ceramah mengenai hidup manusia, dulu ketika Syailendra mengatakan kata-kata bijak perihal hidup aku tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang dia katakan dengan seksama. Tapi kadang-kadang kata-katanya itu bisa masuk ke dalam pikiranku dengan sendirinya, membuat aku berpikir kalau apa yang dia katakan itu sebenarnya memang benar. Akunya saja yang selama ini menolak ini dan itu perihal perkataannya padahal perkataannya itu adalah benar, sangat-sangat benar dan memang fakta."Udah?" Aku menoleh pada Lhambang yang baru saja keluar dari kamar mandi."Apanya yang udah?""Transfer ke aku, udah belum?" Katanya santai sambil
SYAILENDRADulu waktu umurku masih belasan tahun, sering berkata kepada teman-temanku kalau nanti ketika aku ingin menikah aku pasti tak perlu pusing mengajak wanita manapun untuk menikah. Aku tampan, aku kaya. Keluargaku baik, aku juga bukan tipekal orang yang suka macam-macam. Siapa yang tak mau denganku? Pastilah mau, karena pada saat kita ada di umur-umur belasan tahun sesorang hanya akan mengagumi orang lain hanya dari kemewahan. Ketulusan hati? Tak perlu, pada umur-umur belasan tahun aku tak pernah memikirkan perihal hati. Semuanya dengan mudah bisa aku dapatkan kalau aku kaya dan hidup berkecukupan, wanita manapun pada saat umur belasan tahun pasti akan memikirkan hal yang sama.Tapi diumurku yang sekarang, yang hampir mencapai angka tiga, saat ini aku lebih memilih mengagumi seseorang karena ketulusan hatinya. Sebab itulah mungkin saat ini aku selalu gagal perihal per