Fatih menatap bungkusan kecil berisi bubuk yang cukup sedikit di atas mejanya itu dengan dahi berkerut. Pikirannya diliputi perasaan bimbang luar biasa. Setelah tadi menemukan bubuk itu di pinggir bantal Brata. Ia langsung pamit pada Tante Sri. Untuk mengetahui sesuatu, dan benar saja saat ia menyelidiki di laboratorium. Bubuk itu adalah ... sianida. Membuatnya bingung, kenapa bubuk sianida itu bisa ada di samping bantal Om Brata. Dan sudah berapa lama itu ada di sana sampai Tante Sri juga tidak tahu. Apakah tidak ada petugas medis yang tahu soal ini atau sebenarnya ini ulah salah satu dari mereka yang ingin mencelakai Om Brata? Tapi untuk apa? Tok! Tok! Tok! Fatih tersentak, secepat kilat menyembunyikan bubuk itu ke dalam kantung jas putihnya. "Masuk!" ucapnya kemudian. Seorang perawat datang dengan kertas laporan di tangan. Ia tersenyum dan duduk di hadapan Fatih. "Ini laporan yang dokter minta. Berkat beberapa resep dan saran yang dokter berikan, pasien sudah dalam keadaa
"Aku tidak menyimpannya. Ini kutemukan di dekat bantal Om Brata. Alya membeku, ia mengerjap, menatap Fatih tak mengerti. "Maksudmu?" "Secara tidak langsung ada seseorang yang mencoba meracuni Om Brata, Al." "Gila!" seru Alya nyaring. "Bajingan mana yang tega melakukan hal ini pada Papa?" "Aku tidak terlalu yakin, tapi kau bisa menebaknya dengan mudah." Alya menatap Fatih lekat. "Jangan bilang kalau ... itu ulah Irfan dan Ratih." "Siapa lagi?" "Brengsek!" "Aku menanyai tiga perawat yang berjaga di ruangan Om Brata. Salah satu diantaranya mengatakan kalau ia melihat seorang wanita datang ke ruangan Om Brata di malam hari. Lalu, saat kutunjukkan gambar ini, dia membenarkan kalau Ratih adalah orangnya." Fatih menunjukkan gambar Ratih di ponselnya. Membuat Alya geram seketika. "Bagaimana bisa mereka melakukan hal sekeji itu, Fat? Apalagi yang ingin mereka raih? Mereka sudah berusaha untuk membunuhku, mengambil perusahaan Papa dan sekarang berencana membunuh Papa dengan sianida i
"Kau harus pergi lagi malam ini, Ratih," tukas Irfan dengan suara pelan saat Ratih masih terdiam di kursinya. Wanita itu mendongak dengan wajah malas. Masih kepikiran soal si pengirim pesan yang tak kunjung ia temukan rimbanya. Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor itu dan mengiriminya pesan spam. Namun, nomor itu sudah tak aktif lagi. "Bisakah kau saja yang pergi, Mas? Aku sedang tidak mood melakukannya." "Kalau aku yang pergi, semua orang akan tahu kalau itu aku. Bisa-bisa muncul artikel menantu Grup Brata berusaha mencelakai mertuanya. Apakah kau tidak takut hal itu akan terjadi? Jika aku terseret maka kau juga ikut terseret Ratih. Itu konsekuensinya." "Ck ... kau egois sekali. Kenapa sekarang kau malah menakut-nakutiku begitu? Kau tidak tahu apa yang kau lakukan hari ini padaku." Irfan menghela nafas. "Aku tahu, untuk itu aku minta maaf padamu. Tapi untuk sekarang cobalah pikirkan Ratih, kalau tidak kau yang membantuku siapa lagi? Bukankah kita melakukan hal ini bersama-
"Tepat waktu," tukas Alya sembari menatap Fatih yang duduk di balik kemudi. Ia mengurut dada sembari menenangkan detak jantungnya yang menggila. "Tidak ada mobil yang mengikuti kita, kan?" Alya menoleh ke belakang lagi, di sisinya ada brankar dengan Brata terbaring di atasnya. "Sepertinya tidak, Fat, kita aman. Untungnya dia tak mengenali suaramu tadi." Fatih mengangguk sembari bernafas lega. Tadi keduanya mengeluarkan Brata dari ruangan dalam keadaan sangat mepet. Tepat saat mendorong brankar, Fatih malah tak sengaja menyenggol bahu Ratih yang sedang berjalan berlawanan arah dengan mereka. "Ya, aku sudah berpikir kita akan ketahuan tadi. Ada untungnya kamu menyarankan menutupi wajah Om keseluruhan. Tak tahu kalau dugaan kita benar, malam ini Ratih datang lagi." Fati berucap panjang lebar, tak ada sahutan dari kursi belakang. Ia melirik dari kaca spion tengah mobil. Menatap Alya yang termenung sembari menatap sang Papa yang terbaring lemah di atas brankar. "Kau baik-baik saja?"
"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Alya begitu Fatih masuk ke dalam mobil. Hampir satu jam ia menunggu dengan harap-harap cemas. "Dokter bilang racunnya belum terlalu banyak menyebar, masih bisa diatasi dengan menggunakan penawar khusus yang dimasukkan langsung ke infus. Om akan tetap baik-baik saja." "Syukurlah," ucap Alya lega. "Tapi kau sudah meletakkan penjaga di sana?" "Ya, sesuai yang kau katakan." "Hm ... tak akan kubiarkan Irfan dan Ratih mencoba mencelakai Papa lagi. Bahkan tak akan kubiarkan mereka mendekat barang seinci pun." "Tenanglah, penjaga-penjaga itu cukup berpengalaman. Refan juga akan datang sesering mungkin ke sini untuk melihat keadaan Om dan Tante." "Lalu di mana Refan sekarang? Apa dia masih di dalam?" "Dia perlu menenangkan Tante yang sedikit khawatir. Soalnya aku mengungkapkan rencana B kita." "Kau mengatakan pada Mama kalau Papa diracun?" Fatih mengangguk. "Tante bertanya, mau tidak mau aku harus jawab. Itu sudah kesepakatan kita, kan?" "Aku tak bisa m
"Telpon polisi!" saran Ratih saat keduanya sudah masuk di dalam mobil. Irfan langsung menggeleng dengan tegas."Kau ingat kita memaksa menaruh sianida di dalam mulut Brata? Kalau sampai polisi menyelidiki hal ini, maka habislah kita. Kalau bisa jangan sampai publik dan polisi tahu kalau Brata telah hilang, Ratih.""Lalu kita harus bagaimana, Mas? Kita biarkan saja Brata yang sudah pergi entah kemana itu bersama Sri? Kalau begitu bukankah lebih berbahaya untuk kita. Lagipula kenapa mereka tiba-tiba pergi begitu? Apa jangan-jangan mereka tahu kalau kita berusaha membunuh ....""Gak mungkin!" tukas Irfan cepat. "Selama ini kita selalu hati-hati, mereka tidak akan mungkin tahu rencana tersembunyi kita. Lebih baik jangan berpikir aneh-aneh dulu, Ratih.""Terus gimana sekarang?""Mas akan coba hubungi orang suruhan Mas dulu, agar mereka mencari keberadaan Brata dan Sri sehingga kita tak perlu repot-repot mencari. Kita harus menunggu sampai mereka mendapatkan informasi, baru kita bergerak. K
"Elena, kau itu ....""Kenapa, Pak?" potong Alya cepat.Irfan terdiam sejenak, menatap Elena lekat. Dalam pandangannya, bahkan rupa wanita di hadapannya saat ini mengingatkannya akan seseorang.Alya, seperti mengingatkannya akan sang istri. Istri yang telah ia bunuh dengan menabrakkan mobil wanita itu masuk ke dalam jurang.Namun, Irfan menggeleng. Cuma perasaannya saja atau bagaimana. Itu, kan, tidak mungkin terjadi. Tiga tahun lalu Alya sudah meninggal dunia akibat kecelakaan yang ia buat. Lagipula Elena merupakan model dari Singapura, tidak mungkin keduanya adalah orang yang sama.Sejenak, Irfan tertawa dengan pemikirannya sendiri. Sementara sedari tadi saat Irfan larut dengan pemikirannya sendiri. Alya sibuk menatap sekeliling ruangan kerja lelaki itu. Menelisik satu perstau barang di sana dengan teliti.Sampai pandangannya bertemu pada sebuah brankas yang terletak tidak jauh dari meja kerja. Alya tersenyum samar, ia menemukannya. Hanya tinggal satu langkah lagi.Menemukan passw
"Kau tidak menyerah rupanya," keluh lelaki itu sembari membuka topi. Mengibas-ngibaskan ke wajah guna menghalau rasa panas dari matahari yang cukup terik siang hari ini."Untuk memenuhi janji saya pada seseorang, saya tak akan menyerah sebelum mendapatkannya, detektif.""Aku sudah bukan detektif lagi, jadi sebaiknya kau pulang sekarang, karena setiap pertanyaan dan ucapan yang kau katakan tak akan mau kudengarkan.""Tapi detektif ....""Jangan panggil aku seperti itu," ucap Ardi kesal."Tapi diantara semua orang itu cuma anda yang berpikir di jalan yang benar.""Menurutmu begitu? Sayangnya jalan kebenaran itu membuat keluargaku hampir celaka. Mereka mengancam akan mencelakai putriku jika aku tetap nekad untuk menyelidiki kasus kecelakaan itu."Refan terperangah, ia tak menyangka Irfan akan sejauh ini. Lagipula, bukankah ini adalah hal kecil jika dibandingkan dengan perbuatan lelaki itu pada nonanya."Aku tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Namun aku hanya ingin mengungkap keben
"A--apa ini Fat?" tukas Alya dengan terbata."Kejutan, untukmu."Alya berbinar, perasaan bahagianya memuncak. Ia menatap Fatih lekat, lantas memeluk laki-laki itu dengan erat."Jadi ini rahasia yang kau katakan padaku?""Hm ....""Karena itu kau ngotot ingin mengajakku kemari dan membujukku yang sedang marah?""Menurutmu?""Kapan kau menyiapkan semua ini?" tanya Alya sembari melerai pelukannya dari Fatih. Tapi lelaki itu menahan pinggangnya membuat keduanya kini mengobrol sembari berpelukan."Sejak pagi, dan karena itu aku tak mau gagal untuk mengajakmu kemari. Jujur saat tadi pagi kau marah padaku, aku sempat bingung harus melakukan apa, Al.""Fat ... ini sangat menakjubkan ...." Alya mengerjap, air matanya perlahan jatuh, Fatih dengan cepat mengusap pipi Alya menggunakan punggung tangannya."Kalau begitu jangan menangis, air matamu membuatku terluka Alya," bisik Fatih lembut tepat di telinga Alya."Ini bukan tangis kesedihan, Fat. Ini tangis bahagia, aku sangat bahagia sampai bisa m
Meski Alya masih merasa sedikit marah, tapi ia terlanjur penasaran dengan hal rahasia yang Fatih ingin katakan padanya. Untuk itu, ia mulai berhias dan menanti kedatangan lelaki itu untuk menjemputnya malam ini."Halo, Ma," ucap Alya sembari tersenyum pada sang Mama yang melakukan panggilan video dari rumah sakit padanya.Kesibukan Alya untuk kembali membuat perusahaan maju membuatnya terkadang tak sempat untuk datang ke rumah sakit guna menjenguk Papa dan Mamanya. Tapi, setiap hari setelah pulang dari kantor ia pasti selalu menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video."Rapi sekali, kamu mau ke mana?" tanya sang Mama dari sebrang telepon."Diajak pergi sama Fatih, Ma. Tapi dia gak bilang mau ke mana.""Dinner, ya?" Alya tak menjawab, ia tersenyum lebar sembari memasang anting-anting di telinga."Mungkin Ma, Fatih gak bilang mau ngapain, dia juga gak bilang mau ke tempat apa. Rahasia katanya.""Mau kasih kejutan buat kamu kayaknya. Dulu Papa kamu juga gitu sama Mama. Main rahasi
Seperti yang Alya harapkan. Setelah keluar dari rumah sakit ia mendapat kabar baik kalau Irfan telah mendapat tambahan masa tahanan setelah menyerangnya beberapa waktu lalu.Rasanya luka yang Alya dapatkan sebanding dengan ganjaran yang lelaki itu perbuat."Saya sudah melakukan sesuai yang Nona mau. Daftar keuangan perusahaan, kinerja karyawan selama Pak Irfan menjabat dan kondisi saham saat ini. Nona bisa memeriksanya lebih dahulu, kalau ada yang kurang saya akan bawakan kembali."Alya mengalihkan pandangannya dari ponsel yang menayangkan berita terkini. Ia menoleh pada berkas yang ia minta pada Refan lalu menatap lelaki berkacamata itu dengan senyum lebar."Terima kasih Refan, kau selalu bisa aku andalkan. Sekarang kembalilah ke ruang kerjamu, nikmati waktu santaimu sebentar agar kau tidak stress karena terus menerima perintah dariku."Tak masalah Nona itu memang pekerjaan saya.""Menurutlah kalau aku sudah memerintahkanmu untuk istirahat! Kau selalu begitu, rajin sekali. Aku yang t
Fatih terkesiap saat merasakan gerakan dari tangan Alya yang berada dalam genggamannya. Ia mendongak dan sesaat tersenyum saat melihat Alya sudah sadar."Fat," panggil Alya kemudian. Fatuh segera mendekat, mengelus rambut wanita itu."Aku di sini Al, ada apa?""Aku haus."Fatih bernafas lega, setidaknya hal yang dikatakan Alya tak mengkhawatirkannya. Ia segera mengambil air mineral kemasan dan mengarahkannya ke mulut Alya."Sudah?"Alya mengangguk. Fatih meletakkan air mineral itu di atas nakas, lantas beralih menatap Alya sembari menggenggam tangan wanita itu kembali."Bagaimana kondisimu?" tanya Fatih sembari menaikkan kepala ranjang Alya agar ia lebih mudah menatap wanita itu.Alya terkekeh. "Menurutmu?""Ya, tidak akan ada orang yang bilang kalau setelah dirinya mendapatkan satu tembakan ia akan merasa baik-baik saja. Kupikir kau juga sama Al.""Begitulah, seperti yang kau lihat. Rasanya lumayan sakit, tapi Fat, apa kau tahu, entah kenapa aku merasa puas setelah mendapatkan tembak
Fatih keluar dari ruang operasi sembari melepas masker miliknya. Terdengar dering ponselnya mulai berbunyi, lelaki yang sedang mencuci tangannya itu bergegas mengeringkan tangan dan mengangkat panggilan tersebut. "Halo," ucap Fatih kemudian. " .... " "Ya, benar itu saya. Untuk reservasi jam tujuh malam." Fatih bergegas melangkah pergi sembari tersenyum lebar. " .... " "Ya, tolong dipastikan semuanya lancar dan sudah sedia saat saya datang nanti." " .... " "Baiklah terima kasih banyak." Panggilan itu terputus, Fatih mengantongi ponsel ke dalam saku. Hari ini ia sangat bahagia, semua rasanya berjalan lancar sesuai dengan keinginannya. Operasinya berjalan lancar dan rencananya juga hari ini sepertinya akan berjalan lancar. Rencana untuk melamar Alya secara romantis, tak seperti di cafe kemarin. Meski Alya berulangkali memberitahukan untuk tak melakukannya, namun Fatih memaksa. Ini lamaran untuk wanita pertamanya, dan ia mau hal ini menjadi sesuatu yang berkesan untuk Alya. Setid
Irfan mengerjap dengan susah payah, bahkan untuk menggerakkan bibirnya saja ia tidak sanggup. Penghuni lapas yang bersamanya benar-benar gila, memukulinya tanpa ampun, tanpa alasan yang berarti mengakibatkan tubuhnya sakit-sakitan seperti ini.Ia tidak tahu apakah hal ini dialami oleh seluruh penghuni sel tahanan yang baru atau tidak, tapi melihat ia terus berteriak meminta tolong sementara tak ada satupun sipir, walau sedang berpatroli sekalipun untuk berhenti dan melihat keadaannya, Irfan yakin ini disengaja.Ia juga berkeyakinan ini adalah ulah Alya yang tak cukup menaruhnya dalam sel penjara tapi juga mengirimnya untuk masuk ke dalam neraka.Bahkan sekarang, tiga orang yang menghuni lapas bersamanya itu tampak baik-baik saja dan makan sarapan dengan damai, meninggalkan ia seorang diri dengan perut perih menahan lapar karena jatah makannya diambil oleh si botak yang mencekiknya kemarin.Tubuhnya bahkan tergeletak di lantai yang dingin karena tak diberikan alas tidur yang memadai.
"Besok sidang pertama, kan?" tanya Fatih saat keduanya bertemu di cafe. Alya mengangguk. "Kau mau ikut?""Sayangnya besok aku ada operasi," ucap Fatih menyayangkan. "Tapi setelahnya aku akan menemuimu."Alya tersenyum, mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Fatih yang berada di atas meja. Lelaki itu mendongak, menatap Alya sembari terkekeh."Kau mau menggodaku?""Tidak," ucap Alya seraya mencebik, memangnya menggenggam tanganmu tak boleh ya? Sebuah larangan?""Bukan begitu." Fatih menggenggam tangan Alya dengan erat. "Hanya saja aku masih belum terbiasa, lagipula kita tak punya hubungan apa-apa.""Kau benar, Fat. Kalau begitu apa kau tidak mau menjalin hubungan denganku? Kupikir kita sudah sangat dekat bahkan tahu satu sama lain. Boleh aku tanya sesuatu? Kau menyukaiku?"Fatih bergeming, menatap Alya tanpa berkedip dengan wajah memerah."Ehm ... kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?"Alya mengangkat bahu. "Hanya butuh pengakuan.""Apa tak cukup penjelasan tak tersirat yang selama i
Alya tersenyum, menatap kaca bening yang menghubungkan ruang kerjanya dengan pemandangan di luar sana. Ia memejam, menyentuh bibirnya, lantas tersenyum kembali.Setelah bertemu dengan kedua orang tuanya tadi, Fatih mengantarnya kembali ke kantor karena ada hal yang harus ia kerjakan, begitu juga lelaki itu langsung kembali ke rumah sakit.Alya bahagia, hubungannya dengan Fatih sudah membaik. Ah, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Entah kenapa Alya merasa bahagia, kebahagiaan ini bahkan jauh lebih besar ia rasakan ketimbang saat ia jatuh cinta pada Irfan dahulu.Jatuh cinta?Alya memiringkan kepalanya dengan alis bertaut. Ia bertanya-tanya pada perasaannya sendiri, benarkah ia jatuh cinta pada Fatih? Secepat itu? Hanya karena satu kecupan yang lelaki itu berikan untuknya?Bukan!Alya yakin bukan itu, meski jantungnya sekarang sudah berdebar tak karuan. Apalagi saat mengingat wajah Fatih. Tiba-tiba ia merasakan hal seperti ini. Hal yang sangat jarang terjadi meski ia sedang memikir
Alya berjalan perlahan keluar dari ruangan kamar inap sang Papa. Ibunya tertidur setelah mengobrol banyak hal dengannya tadi. Meski jauh di lubuk hatinya yang terdalam Alya juga ingin bicara dengan sang Papa. Namun, takdir berkata lain, papanya masih juga tak sadar dari komanya. Alya hanya harus menunggu, tapi entah kapan. Sesaat setelah menutup pintu ruangan dan berbalik, Alya mematung di tempat. Di lorong rumah sakit menuju ruangan papanya tampak Fatih berdiri dengan menenteng satu bungkusan plastik di tangan. Lelaki itu tampak terkejut saat melihat Alya, lalu beberapa saat kemudian berbalik pergi. "T--tunggu, Fatih!" panggil Alya membuat langkah kaki lelaki itu tertahan. Fatih bergeming di tempat, sama sekali tak mau menoleh ke arah Alya sedikitpun. Wanita itu menghela nafas, melangkah mendekati Fatih dan berdiri di hadapan lelaki itu. "Jujur saja, kau sedang menghindariku, kan?" tanya Alya penuh selidik, matanya memicing menatap mata Fatih yang sama sekali tak mau menatapny