Marsila mengetuk pintu Toko Obat Pinsi saat larut malam. Tabib Riel tinggal di lantai dua Toko Obat Pinsi.Tabib Riel sudah tidur. Dia selalu percaya untuk tidur lebih awal dan bangun pagi untuk menjaga kesehatan. Setelah Marsila datang, dia sudah hampir tertidur sepanjang malam.Tabib Riel itu juga turun dari kasur dengan marah. Muridnya melaporkan kalau itu adalah Marsila dari Kediaman Aldiso. Dia mengenakan pakaiannya dan menatap Marsila, "Sebaiknya jangan ada masalah mendesak. Aku tidak akan pergi mengobati pasien."Marsila mengangkat tangannya dan berkata, "Maaf mengganggu Tabib Riel, Raja Aldiso mengirim pesan kepada Intan untuk meminta Tabib Riel pergi ke Simir bersama-sama untuk menyelamatkan Levin.""Levin?" Setelah Tabib Riel agak tertegun, dia teringat pengorbanan putra kedua dari Keluarga Bangsawan Cahyo. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia memerintahkan, "Lamia, Martha, kemasi barang-barang kalian dan pergi bersama. Bawakan obat terbaik, jarum emas dan juga ...."Tabib
Kereta itu bergetar dan jalan tidak mulus. Selain itu, merupakan penderitaan bagi Jennifer untuk begitu tergesa-gesa di jalan.Setelah berjalan setengah jam, Intan melihat wajah Jennifer pucat dan dia menutupi dadanya seolah ingin muntah. Intan bertanya, "Pusing karena kereta? Mau kuminta kusir untuk memperlambat laju?""Tidak, tidak, tidak perlu." Jennifer melambaikan tangannya, "Aku mau yang tercepat. Kuharap kuda ini bisa menumbuhkan sayap dan terbang ke Simir. Nyonya, tolong jangan melihatku seolah aku sangat lemah. Sebenarnya aku ini benar-benar bisa menanggung penderitaan.""Baiklah kalau begitu." Intan mengambil tas dan mengeluarkan manisan buah kering yang disiapkan oleh Mutiara. Setelah menemukan beberapa buah plum kering, dia berkata, "Cepat dan kulum satu di mulut. Itu akan membuatmu merasa lebih baik.""Terima kasih!" Jennifer mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasa asin dan asam menyebar di dalam mulut yang memang menghilangkan rasa mualnya.Di sisi Norao, Al
Semua orang benar-benar gelisah sepanjang jalan.Demam tinggi Levin tidak kunjung sembuh. Tabib militer membawa kompor untuk merebus obat serta kantong obat. Dia memberi Levin obat penurun demam dan menghilangkan pembusukan, tetapi efeknya kecil.Pil dari Tabib Riel tidak lagi berpengaruh padanya, tetapi masih lebih manjur daripada ramuan obat.Levin terbangun dalam keadaan mengantuk beberapa kali dan setiap kali dia bertanya, "Ini wilayah kita?"Setelah mendapat jawaban pasti, senyuman muncul di bibir Levin sebelum kehilangan kesadaran lagi.Tabib militer mengatakan demam yang terus menerus seperti ini akan membuat otaknya menjadi bingung dan wajar kalau dia melupakan banyak hal.Setelah itu, Alfred langsung meminta Darius untuk menuntun kuda, sementara dia naik kereta untuk menemani Levin.Meskipun Levin berada dalam keadaan linglung, Alfred memegang tangannya dengan lembut dan berbicara dengan Levin. Dia menceritakan betapa indahnya Manuel, menceritakan tentang keluarganya dan membe
Tuan Axel dan Darius berbaring di kereta dan kasur empuk dibentangkan di atas, kemudian orang membaringkan Levin di atasnya. Darius dan Tuan Axel mengulurkan tangan dan merangkul Levin.Pertaruhan besar dimulai, berangkat.Karena di dalam kereta sudah ada tiga orang, untuk mempercepat laju, tabib militer juga harus diturunkan. Kalau ada kejadian tidak terduga, Tuan Axel akan segera menyuruh tabib militer untuk naik.Kereta itu pengap dan panas. Keduanya ditutupi dengan bantal empuk, ditambah Levin berbaring telentang. Dalam waktu singkat, pakaian mereka basah oleh keringat. Tidak lama, rambut juga basah kuyup oleh keringat hingga lengket dan gatal, tetapi tidak bisa digaruk. Rasanya sangat tidak nyaman.Kusir di luar sesekali membuka tirai agar angin bisa masuk, tetapi tidak bisa dibuka terlalu lama. Orang yang demam tidak bisa sampai terkena angin.Kuda itu melesat dan kecepatannya meningkat. Melaju di jalan bergelombang, keduanya terhuyung dan terbentur beberapa saat. Akan tetapi, de
Tabib Riel yang menunggangi kuda diangkat ke udara dan digendong di pundak. Dia merasa dunia berputar dan pandangannya menjadi gelap. Setelah semuanya menjadi cerah lagi dan dia sudah diturunkan di depan kasur tidur Levin.Tabib Riel berbalik untuk melihat siapa yang menggendongnya, tetapi malah mendengar suara mendesak Alfred, "Paman Riel, cepat periksa dia."Semua tatapan penuh harap dan berlinangan air mata menatap Tabib Riel. Orang ini adalah Tabib Riel dan dia ada di sini.Sepuluh orang berlutut dan berkata dengan suara terisak, "Mohon Tabib Riel menyelamatkan nyawanya."Martha telah masuk dengan kotak obat di punggungnya dan Tabib Riel tidak perlu memeriksa denyut nadinya. Dia hanya melihat kondisi Levin dan tahu sekarang hal pertama yang harus dilakukan adalah menstabilkan napasnya.Dia mengeluarkan ginseng seribu tahun, mengupasnya dan menyerahkannya kepada Alfred, "Remas."Alfred mengambil ginseng dan meremasnya dengan tangan. Ginseng yang keras itu melunak dan Tabib Riel berg
Pada malam ini, semua orang tidak bisa tidur, kecuali Rafay.Sebenarnya, mereka sudah sangat lelah. Akan tetapi, Tabib Riel mengatakan malam ini sangat signifikan. Dia setidaknya memiliki peluang sebesar 10% untuk bertahan hidup jika bisa melewati malam ini.Peluang sebesar 10% sangat kecil dan memprihatinkan.Tabib Riel langsung tidur di lantai, kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.Lamia dan Martha berjaga secara bergiliran, masing-masing dua jam.Sepanjang malam, Levin disuapi obat lima kali. Dari awalnya yang hanya bisa menelan dua suap kecil, Levin sudah bisa menelan separuh mangkuk obat pada kelima kali.Malam itu sangat sukar dilalui. Setiap menit terasa begitu lama. Mereka berulang kali menengok langit di luar jendela, berharap fajar akan terbit.Menjelang jam tiga, Tabib Riel bangun. Setelah melakukan pemeriksaan palpasi, Tabib Riel meniupkan serbuk ke hidung Levin yang katanya berkhasiat untuk menurunkan demam.Kantong mata Tabib Riel sangat besar dan raut wajahnya tamp
Setibanya di penginapan, Jennifer langsung jatuh berlutut begitu turun dari kereta kuda. Kedua kakinya kebas dan lemas. Jennifer benar-benar kehabisan stamina, juga sangat menderita.Intan membantu Jennifer berdiri. Lalu, Jennifer berseru, "Cepat, bawa aku ketemu Levin."Hal yang paling menyiksa Jennifer di sepanjang perjalanan bukanlah mabuk perjalanan atau terombang-ambing, melainkan rasa khawatir. Jennifer khawatir kondisi Levin akan memburuk.Intan membawa Jennifer ke dalam dan berpapasan dengan Alfred yang berjalan keluar. Mereka bertatapan satu sama lain. Alfred mengangguk pada Intan, memberitahukan bahwa Levin masih hidup.Intan menghela napas lega. Dia menatap lurus pada Alfred yang sudah menjadi kurus.Intan membawa Jennifer menaiki tangga menuju pintu kamar. Semua orang langsung memberi jalan. Di ambang pintu, Jennifer bisa melihat pria yang terbaring di ranjang.Jennifer tidak melangkah ke dalam, melainkan membekap mulut dengan kedua tangan. Pandangannya diburamkan oleh air
Alfred menggelengkan kepala. Suaranya tetap sentimental. "Bukan, Tujuvan bukanlah satu orang, juga bukan Vincent Salim, melainkan sebelas orang .... Eh, siapa itu?"Baru pada saat ini, Alfred melihat ada seekor kuda yang mondar-mandir di luar. Seseorang dengan rambut tergerai merebah di atas punggung kuda. Entah siapa itu.Intan berseru kaget dan bergegas berlari ke sana. "Itu Sila. Sila sakit sepanjang perjalanan. Aku melupakannya."Intan dengan hati-hati menurunkan Marsila. Begitu turun, Marsila juga hampir jatuh berlutut seperti Jennifer. Marsila menggerutu, "Dasar tidak punya hati nurani. Aku menemanimu sepanjang jalan, tapi kamu melupakanku. Setelah aku sembuh nanti, kubunuh kamu."Marsila yang lemas bersandar pada bahu Intan. Intan meminta maaf, "Maafkan aku. Ayo masuk dan istirahat. Aku buru-buru bawa Jennifer ke dalam untuk tengok Levin."Marsila berhenti memarahi Intan, lalu bertanya, "Bagaimana kondisi Levin? Apa masih baik? Aduh, aku ingin melihat mereka bersatu kembali, tap
Dayang Erika segera mengejar Tuan Putri setelah mendengar Jihan akan dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah, "Tuan Putri, apakah Anda berubah pikiran?"Putri Agung merasa isi pikirannya sangat kacau, "Kurung dia di penjara bawah tanah dulu dan nanti baru bicarakan hal ini lagi.""Baik, Anda jangan marah dan melukai tubuh Anda sendiri," bujuk Dayang Erika."Tidak ada seorang pun yang bisa dibandingkan dengan Marko, Jihan tetap bukan Marko meski punya tampang yang sama. Jihan sama sekali tidak bisa membuatku menyukainya dan aku malah marah saat melihat wajahnya."Putri Agung kembali ke kamarnya dengan amarah di matanya dan tetap merasa kesal meski sudah duduk, "Pelayan, bawakan air dan sabun. Aku mau cuci tangan."Semua pelayan sedang sibuk bekerja pada saat ini, Putri Agung mencuci tangan bekas menyentuh Jihan berulang kali, seperti setiap kali dia sehabis berhubungan badan. Putri Agung akan merendam dirinya di dalam ember yang berisi dengan air panas untuk menghilangkan aroma yang men
Jihan berusaha untuk berdiri, tapi Jihan sama sekali tidak memiliki kekuatan di dalam tubuhnya seolah-olah dia sedang sakit parah.Jihan segera menoleh setelah mendengar suara pintu terbuka dan terdapat seseorang yang berjalan masuk setelah melewati pembatas ruangan.Rambutnya disanggul dan dihiasi oleh pita, wanita ini mengenakan pakaian berbahan satin yang berwarna putih dan hijau. Wanita ini terlihat berusia sekitar 40 tahun yang tidak terdapat kerutan apa pun di wajahnya. Tapi ekspresi wanita ini sangat serius dan memiliki aura intimidasi dari seseorang yang berkuasa.Terdapat seseorang yang mengikuti di belakang wanita dan memindahkan kursi ke samping tempat tidur. Wanita itu duduk dengan perlahan dan menatap mata Jihan yang terlihat cemas serta curiga."Si ... siapa kamu?" Jihan tidak pernah melihat Putri Agung, tapi mengetahui identitasnya pasti tidak sederhana.Putri Agung melihat kepanikan di mata Jihan dan hatinya berada di tingkat ekstrim, seolah-olah terdapat air yang menyi
Sebuah kereta kuda meninggalkan kota dan Jihan sedang bergegas untuk pergi ke Jinbaran karena terdapat masalah pada pabrik di Jinbaran. Ayahnya menyuruh Jihan untuk pergi ke sana secara pribadi meski masalahnya tidak terlalu serius.Sebenarnya Jihan telah tinggal di Jinbaran untuk waktu yang lama, tapi Jihan mengantar istrinya ke ibu kota untuk melakukan persalinan karena istrinya sedang hamil. Jihan bisa menyerahkan masalah di sana pada pengurus toko setelah masalah di Jinbaran diselesaikan, selain itu Jihan juga berencana untuk melakukan bisnis yang lain dalam perjalanannya kembali ke ibu kota.Jihan sudah lama menjadi seorang ayah, karena dia menikah saat masih berusia 20 tahun dan sudah memiliki dua putra pada saat ini. Jadi dia berharap istrinya bisa melahirkan seorang anak perempuan untuknya.Tidak terlalu banyak orang yang memiliki selir di keluarga mereka dan Jihan juga tidak memiliki satu pun selir. Jihan memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan istrinya dan selalu membaw
Pangeran Rafael bersedia bekerja sama demi hal ini, karena anak ini akan memiliki nama belakang Gunawan dan pasti akan berada di pihak Keluarga Bangsawan Gunawan."Aku akan memberi tahu mereka saat kembali," ujar Pangeran Rafael.Putri Agung bertanya, "Sebentar lagi upacara pemberkatan orang meninggal sudah tiba, apakah kamu sudah mengundang Guru Boni?""Sudah aku undang, ada 8 biksu yang datang bersama Guru boni. Aku akan jemput mereka secara pribadi pada hari pertama."Putri Agung mengangguk kecil dan berkata, "Panggil ibumu datang, tapi kamu harus bilang kalau ibumu harus bergadang dan tidak perlu datang kalau tidak bisa melakukannya.""Tentu saja ibuku bisa melakukannya, ibuku telah menjadi penganut Buddha selama bertahun-tahun dan selalu ingin mengikuti upacara ini," ujar Pangeran Rafael dengan cepat. Terdapat Nyonya Clara, Nyonya Thalia, Nyonya Besar Arni, Nyonya Besar Mila dan lain-lain yang mendatangi upacara pemberkatan orang meninggal. Mereka semua adalah nyonya atau nyonya b
Keluarga Salim masih tidak memberi jawaban apa pun, tapi desakan berulang kali dari Putri Agung membuat Nyonya Mirna mau tidak mau harus mendatangi Kediaman Keluarga Salim secara pribadi.Nyonya Mirna baru mengetahui jika Vincent sedang pergi ke Cunang dan berada di Perkemahan Pengintai Tujuvan karena terjadi sesuatu pada Waldy, jadi Vincent pergi ke sana untuk mengunjunginya bersama dengan Charles, yang merupakan anak angkat Keluarga Akbar.Viona berkata dengan nada meminta maaf, "Seharusnya masalah ini sudah diputuskan sejak awal, tapi Vincent bersikeras mau pergi menemui teman seperjuangannya dan baru memutuskan hal ini. Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan, tapi aku sangat menyukai Nona Reni. Kamu sendiri juga tahu kalau aku sangat menyukainya pada pertemuan pertama kami dan sangat ingin segera menjadikannya sebagai menantuku."Viona berkata dengan tulus dan Nyonya Mirna percaya karena Viona memang menunjukkan kesukaannya pada Reni pada hari itu, kemudian berkata
Merpati milik Paviliun Prumania terus beterbangan untuk bertukar pesan dan tiba di ibu kota pada dua malam sebelum upacara pemberkatan orang meninggal setelah beterbangan selama beberapa hari. Surat-surat itu baru dibawa ke Kediaman Aldiso setelah Metta dan yang lain menyusunnya menjadi sebuah surat yang lengkap di malam hari.Metta memberi surat ini pada Marsila, tapi Marsila tidak membukanya, melainkan memanggil semua orang ke ruang kerja dan menyerahkan surat itu pada Tuan Axel, karena hal ini berhubungan dengan Jenny dan sebaiknya membiarkan Tuan Axel membukanya terlebih dahulu.Terdapat urat yang menonjol di dahi Tuan Axel setelah membaca ini, "Sungguh tidak masuk akal. Ini benar-benar merupakan sebuah konspirasi, apa itu utang budi karena telah menyelamatkannya, ini semua adalah rencana yang dibuat dengan teliti."Alfred mengambil surat itu dan berkata secara garis besar setelah membacanya, "Pembuat onar itu adalah preman lokal yang buat masalah setelah terima uang dari orang lai
Tentu saja Edi tidak mengetahui jika Nona Nesa datang ke sini deminya. Edi tidak hanya akan menjadi menteri Departemen Konstruksi jika dia adalah orang yang pintar.Semua orang masih belum makan dan sedang menunggu Edi, Edi menyerahkan pangsit pada pelayan dan meminta mereka untuk merebusnya sesegera mungkin, agar mereka semua bisa makan selagi masih panas.Yanti berkata dengan nada bercanda, "Ternyata kamu pulang terlambat karena beli pangsit? Edi, sekarang perhatianmu hanya terpusat pada istrimu dan tidak ada ibumu lagi, kamu bahkan tega membiarkan ibumu kelaparan menunggumu kembali."Edi segera meminta maaf dan tidak bisa menahan diri untuk mengeluh, "Sebenarnya aku bisa pulang lebih awal, tapi Joko menyiapkan pangsitnya dengan lambat dan Nona Nesa juga menyela antrean. Nona Nesa Warda bilang dia sangat lapar dan menyuruhku untuk mengalah pada mereka berdua, jadi aku pulang terlambat hari ini.""Nona Nesa Warda?" tanya Yanti. Yanti sangat mengenal adik iparnya yang jarang berhubunga
Pangsit kuah yang panas disajikan, wangi sekali. Nona Nesa mengucap terima kasih pada Edi, "Terima kasih atas kebaikan Tuan Edi. Kalau Tuan Edi beli daun teh di tokoku lagi, aku akan beri sedikit diskon."Edi menatap Nona Nesa. "Diskon berapa?"Nona Nesa mengedipkan mata, tampak sangat lincah. "Tuan Edi mau diskon berapa?"Nona Nesa memiliki tampang yang manis dan lugu. Terutama saat mengedipkan mata, senyuman yang tersungging di bibir seperti bunga anggrek yang mekar di malam hari. Pria pasti akan terpukau padanya.Akan tetapi, Edi seakan-akan tidak melihat kecantikan dan kecentilan Nona Nesa. Dia hanya peduli berapa banyak diskon dari daun teh. "Samakan saja dengan diskon yang Nona Nesa berikan pada Tuan Warso."Nona Nesa tertawa. Matanya sangat indah. "Bagaimana bisa? Aku harus membalas kebaikan Tuan atas pemberian pangsit ini. Kalau Tuan Edi datang sendiri, aku beri seperempat kilo untuk pembelian setengah kilo. Bagaimana?"Edi berseru dengan girang, "Sepakat.""Sepakat!" Nona Nesa
Pada petang hari, Edi keluar dari kantor Departemen Konstruksi. Sudah ada kereta kuda yang menunggu di luar. Sebelum naik, Edi berpesan, "Pergi ke ujung Jalan Sejahtera. Dua hari lalu, Nyonya bilang mau makan Pangsit Joko. Beli yang mentah untuk masak di rumah nanti.""Sekarang sepertinya belum buka," jawab pak kusir.Pangsit Joko mulai berjualan pada malam hari. Ibu Kota Negara Runa makmur. Jalan Sejahtera dan Jalan Taraman sangat ramai di malam hari."Itu sebentar lagi, tunggu saja di sana," kata Edi.Pak kusir tersenyum seraya berkata, "Tuan Edi benar-benar sayang Nyonya Sanira."Edi mengetuk kepala pak kusir dengan kipas yang dia pegang. Dia tersenyum dan berujar, "Sanira menikah denganku dan sudah melahirkan anak untukku. Tentu saja aku sayang dia. Kamu juga, harus perlakukan Elmi dengan baik."Pak kusir tersenyum seraya berkata, "Aku tahu."Pak kusir adalah keturunan pelayan Keluarga Widyasono, sedangkan Elmi sudah dibeli oleh Keluarga Widyasono ketika masih kecil. Dua tahun lalu