“Tidur lah, Nak. Ayah tidak akan memukulmu. Ayah ingin istirahat.” Setelah berkata, aku langsung mengembalikan hanger ke tempatnya. Aku luluh, tidak tega memukul tangan mungil itu. Sudah tidak terhitung, berapa banyak pukulan yang Caca terima dariku. Sudah tidak terhitung, berapa kali dia menangis histeris karena kesakitan. Mungkin Caca sudah lelah menangis dan dia inginkan hanya bertemu dengan ibunya. Tetapi, jangan pernah bermimpi. Aku tidak akan mengabulkan mimpi itu. Aku langsung duduk ke pinggiran kasur. Aku melihat Caca yang perlahan menurunkan tangannya. “Ayah sebenarnya sayang pada kamu, Caca. Tetapi kamu susah di atur. Suka membantah orang tua. Bagaimana cara ayah untuk mendidik kamu jadi patuh pada ayah. Kenapa ayah merasa sangat sulit? Kalau kamu ingin ayah tidak lagi memukul dan menyiksa kamu, ya kamu jangan melawan. Semua perintah ayah kamu turuti. Jadi anak yang baik. Ayah tidak ingin kamu menjadi perempuan seperti ibu kamu. Perempuan jahat. Sangat jahat.” Caca menu
*** “Benar, Bu. Menantu ibu selama ini berniat buruk pada ibu. Coba periksa kamarnya setelah pulang dari sini. Pasti ada benda-benda aneh yang diletakkan di kamar.” Aku sangat terkejut mendengar pernyataan Pak Udin. Ternyata benar yang ibu pikirkan. Sudah tiga ustad dan dua dukun yang aku dan ibu datangi, tetapi semuanya mengatakan jika Elena perempuan baik dan tulus. Kami tidak percaya, sehingga kembali mencari orang yang memiliki ilmu lebih pintar. Mungkin dua dukun dan tiga ustad yang kemarin kami datangi tidak bisa melihat dengan benar, atau mungkin mereka tidak memiliki kemampuan seperti yang dimiliki oleh Pak Udin. “Terus bagaimana caranya untuk menemukan benda itu. Perempuan itu sudah kami usir dari rumah. Sekarang dia tidak berani kembali lagi. Apakah kami bisa mengembalikan semua ke orangnya? Kami tidak rela diperlakukan seperti ini oleh perempuan itu,” ujar ibu yang masih duduk di depan Pak Udin. Hingga beberapa menit, Pak Udin tak kunjung menjawab. Dia masih saja terfo
Setelah ibu masuk kamar, aku langsung berdiri dan melangkah keluar rumah. Sekarang sudah jam sepuluh, waktunya untuk menjemput Caca. Kasian anak itu jika menunggu lama. Sedangkan ayah, beliau masih saja duduk di sofa ruang tamu. Aku yakin jika pikirannya saat ini juga sangat kacau. Ayah hanya termenung. Aku kasihan melihat ayah dan ibu yang merasa terpuruk. Tadi selama ibu histeris, ayah hanya diam saja. Mungkin ayah tidak tahu harus melakukan apa dan mungkin saja ayah ingin membantah saat ibu mengatakan jika akan mengusir Caca dari rumah, tetapi ayah tidak punya nyali. Selama ini aku tidak pernah melihat ayah membantah ibu. “Kemana anak itu?” lirihku sambil melihat sekeliling sekolah TK. Sekolah sudah sepi. Biasanya Caca menungguku dekat gerbang sekolah. Tetapi, saat ini tidak ada. Aku terus saja menengokkan kepala ke kanan dan kiri. Tetapi tanda tanda keberadaan Caca tak kunjung terlihat. Aku mulai sedikit panik. “Bu, anak saya kemana ya?” tanyaku pada seorang guru yang ba
*** “Ini rumah siapa, Ibu.” Aku berhenti melangkah ketika mendengar suara malaikat kecilku. Suara yang sungguh sangat dirindu. Suara yang menjadi penyemangat, aku masih berjuang untuk hidup hingga saat ini. Aku mendekat ke arah Caca yang terlihat enggan untuk melangkah. Aku terduduk, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Garis bibir tertarik untuk membentuk senyum. “Ini rumah kamu, sayang. Ini rumah Caca. Sini masuk! Kenapa hanya berdiri di pintu,” ujarku lembut sambil merapikan Caca yang berantakan. Caca tidak menjawab. Dia sepertinya masih terheran aku membawanya ke rumah. Tidak salah jika dia bertanya-tanya. Mata Caca tak menatapku. Dia terus melihat ke langit langit yang terdapat lampu yang sangat indah. Rumah ini bercat putih, dengan interior yang mewah. Aku memang sengaja menjemput Caca ketika rumah ini sudah layak untuk menjamu anak istimewaku. Aku pun berdiri sambil menggenggam tangan mungil yang masih saja terlihat kaget sekaligus kagum dengan apa yang di hadapannya. Bi
"Elena, kamu di mana? Kenapa piring yang ada di atas meja masih kurang?" Baru saja duduk untuk menyendok opor ayam, suara ibu mertua kembali terdengar. Aku menarik napas. Bibir pun berkata "iya, Bu!" Aku sedikit berteriak agar Ibu Mertua dapat mendengar. Tanpa menunggu lama, aku langsung berdiri dan berjalan tergesa-gesa sambil mengangkat piring yang sudah tersusun rapi. Sebelum mengangkat, aku menghitung terlebih dahulu, piring ini berjumlah dua belas. Sangat berat, tetapi tidak mungkin aku mengangkat dalam jumlah yang sedikit. Ibu mertua pasti akan mengomel jika melihatku mengangkat piring hanya sedikit.Aku pikir sudah cukup, ternyata belum. Ibu mertua kembali menyuruh untuk menambah piring yang ada di atas meja hidangan. "Elena, kenapa kue yang ada di kamar belum dikeluarkan? Kamu kerja jangan lelet. Tidak lama lagi keluarga besar Mas Raim datang." Kali ini Mbak Intan yang berteriak. Dia adalah kakak kesayangan Mas Daris. "Iya, Mbak." Aku menjawab ucapan Mbak Intan dengan suara
"Tidak apa-apa. Aku tidak boleh sedih. Aku harus bersyukur. Meskipun ibu tidak menjahitkan baju untuk aku, setidaknya Caca dijahitkan. Caca bisa pakai baju yang sama dengan Mas Daris, Mbak Intan, ibu dan juga ayah."Saat baru saja keluar dari kamar, namaku kembali dipanggil. Aku pikir di panggil oleh Ibu mertua, ternyata Mbak Intan yang memanggil. Suara mereka memang mirip. Terkadang aku sulit membedakan jika mendengar teriakan memanggil tanpa melihat wajah. "Kamu dari mana, Lena? Di dapur ada banyak piring kotor. Kenapa belum dicuci?" ujar Mbak Intan dengan pelan sambil berdiri di depanku."Aku baru selesai mandi dan ganti baju yang tadi aku pakai Mbak. Tidak enak pada keluarga besar tunangan Lona kalau aku belum mandi dan memakai pakaian beraroma masakan." Aku berkata sambil membentuk garis senyum canggung di bibir. "Ngapain kamu mandi? Tugas kamu 'kan di dapur. Memangnya siapa yang katakan kamu akan ikut menjamu keluarga besar Mas Raim? Tugas kamu itu di dapur, Elena. Tidak perlu
Apa Mas Daris merasa malu dengan baju yang aku pakai? Apa karena aku juga tidak berdandan seperti yang lain? Jika keadaan memungkinkan, aku juga sebenarnya ingin pakai baju dan bermake-up seperti yang lain. Aku bisa membeli sendiri baju dan alat make up. Bila perlu aku menyewa MUA termahal di sini. Hanya saja jika melakukan itu, semua orang di Rumah ini akan tahu kalau sebenarnya aku diam-diam bekerja. Mereka mungkin akan tahu jika aku punya tabungan tanpa sepengetahuan Mas Daris. Selama ini yang mereka tahu, aku seorang istri yang hanya bisa meminta uang ke suami. Mereka juga hanya tahu kalau aku perempuan lemah yang tidak bisa melakukan apapun selain mengurus rumah."Ibu, aku lapar." Terdengar suara Caca. Tutur manja khas anak kecil. Aku tersadar dan langsung melihat jam di dinding dapur. Ya Allah, aku bahkan tidak menyadari jika Caca sudah ada di sampingku. Sejak kapan dia di sini? Apa dia melihatku yang sedang diam melamun? Semoga saja tidak. Dia anak yang cerdas, selalu saja ada
Aku menatap Caca yang terlihat lahap. Merasa beruntung memiliki anak yang sejak kecil sangat mengerti keadaan ibunya. Tidak pernah merengek meminta sesuatu saat ibunya tidak mampu memberikan.Aku masih menemani Caca yang makan dengan lahap. Nanti saja lanjut mencuci piring. Aku juga butuh mengistirahatkan kaki yang rasanya sudah sangat lelah. "Boleh tambah?" Caca berkata dengan gaya gemas dan malu-malu. Aku langsung mencium pipi anak semata wayangku, lalu berkata, "boleh, Sayang. Tunggu ya, ibu tambahkan nasinya." "Jangan lupa dengan kuahnya … Enak, Bu." Caca berkata saat aku berdiri. "Iya, Nak," ucapku lalu melangkah dengan hati yang teriris. Hanya dengan kuah opor ayam, Caca sudah makan dengan lahap. Ayam di dalam panci masih banyak. Tetapi aku tidak berani mengambilkan untuk Caca."Elena, kamu ngapain?" Aku terkejut ketika mendengar suara memanggil namaku. Tangan yang sedang mengambil kuah opor ayam di panci, terhenti. Kepala menoleh melihat lelaki yang berdiri di pintu dapur.