*** “Benar, Bu. Menantu ibu selama ini berniat buruk pada ibu. Coba periksa kamarnya setelah pulang dari sini. Pasti ada benda-benda aneh yang diletakkan di kamar.” Aku sangat terkejut mendengar pernyataan Pak Udin. Ternyata benar yang ibu pikirkan. Sudah tiga ustad dan dua dukun yang aku dan ibu datangi, tetapi semuanya mengatakan jika Elena perempuan baik dan tulus. Kami tidak percaya, sehingga kembali mencari orang yang memiliki ilmu lebih pintar. Mungkin dua dukun dan tiga ustad yang kemarin kami datangi tidak bisa melihat dengan benar, atau mungkin mereka tidak memiliki kemampuan seperti yang dimiliki oleh Pak Udin. “Terus bagaimana caranya untuk menemukan benda itu. Perempuan itu sudah kami usir dari rumah. Sekarang dia tidak berani kembali lagi. Apakah kami bisa mengembalikan semua ke orangnya? Kami tidak rela diperlakukan seperti ini oleh perempuan itu,” ujar ibu yang masih duduk di depan Pak Udin. Hingga beberapa menit, Pak Udin tak kunjung menjawab. Dia masih saja terfo
Setelah ibu masuk kamar, aku langsung berdiri dan melangkah keluar rumah. Sekarang sudah jam sepuluh, waktunya untuk menjemput Caca. Kasian anak itu jika menunggu lama. Sedangkan ayah, beliau masih saja duduk di sofa ruang tamu. Aku yakin jika pikirannya saat ini juga sangat kacau. Ayah hanya termenung. Aku kasihan melihat ayah dan ibu yang merasa terpuruk. Tadi selama ibu histeris, ayah hanya diam saja. Mungkin ayah tidak tahu harus melakukan apa dan mungkin saja ayah ingin membantah saat ibu mengatakan jika akan mengusir Caca dari rumah, tetapi ayah tidak punya nyali. Selama ini aku tidak pernah melihat ayah membantah ibu. “Kemana anak itu?” lirihku sambil melihat sekeliling sekolah TK. Sekolah sudah sepi. Biasanya Caca menungguku dekat gerbang sekolah. Tetapi, saat ini tidak ada. Aku terus saja menengokkan kepala ke kanan dan kiri. Tetapi tanda tanda keberadaan Caca tak kunjung terlihat. Aku mulai sedikit panik. “Bu, anak saya kemana ya?” tanyaku pada seorang guru yang ba
*** “Ini rumah siapa, Ibu.” Aku berhenti melangkah ketika mendengar suara malaikat kecilku. Suara yang sungguh sangat dirindu. Suara yang menjadi penyemangat, aku masih berjuang untuk hidup hingga saat ini. Aku mendekat ke arah Caca yang terlihat enggan untuk melangkah. Aku terduduk, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Garis bibir tertarik untuk membentuk senyum. “Ini rumah kamu, sayang. Ini rumah Caca. Sini masuk! Kenapa hanya berdiri di pintu,” ujarku lembut sambil merapikan Caca yang berantakan. Caca tidak menjawab. Dia sepertinya masih terheran aku membawanya ke rumah. Tidak salah jika dia bertanya-tanya. Mata Caca tak menatapku. Dia terus melihat ke langit langit yang terdapat lampu yang sangat indah. Rumah ini bercat putih, dengan interior yang mewah. Aku memang sengaja menjemput Caca ketika rumah ini sudah layak untuk menjamu anak istimewaku. Aku pun berdiri sambil menggenggam tangan mungil yang masih saja terlihat kaget sekaligus kagum dengan apa yang di hadapannya. Bi
“Yuk kita makan! Caca mau makan apa? Pakai baju ini saja, nggak usah diganti. Ibu senang lihat Caca pakai baju ini.” aku berkata dengan kedua tangan dipinggang mungil Caca. “Makan bakso boleh nggak, Bu,” ujar Caca dengan pelan. Dia seperti ragu mengatakan keinginannya. “Boleh, Sayang. Caca boleh makan apapun hari ini. Pokoknya hari ini tuh hari spesial untuk anak ibu yang cantik.” Tanganku dengan lembut mengusap puncak kepala Caca. Kami bergegas meninggalkan Rumah. Aku langsung mengendarai mobil ketika Caca sudah masuk dan duduk. Sepanjang jalan dia terus saja bernyanyi. Tampak aura bahagia di wajahnya. “Bu, kok ibu bisa membeli rumah bagus? Bahkan lebih bagus dari pada rumah nenek. Ibu ‘kan tidak bekerja. Aku sudah cerita ke ayah kalau kita sering pergi jalan jalan ke mall. Terus ayah kelihatannya bingung ketika aku ucapkan makasih padanya … Kok aku curiga ya, kalau sebenarnya semua uang yang dipakai saat jalan-jalan bukan uang dari ayah.” Selama berucap, Caca terlihat me
Lelaki ini, setelah kembali bertemu dia terlihat sangat aneh. Selalu saja tersenyum manis saat bertemu denganku. Bukan seperti saat di sekolah dulu. Lelaki yang sangat aku benci karena selalu mengejek dan membully. Padahal aku tak pernah mengusik hidupnya. Setelah membayar di kasir, aku langsung melangkah. Tetapi lagi dan lagi di usik oleh seorang Roni. Aku menatapnya tajam, sedangkan dia membalas dengan senyuman indah di wajahnya. “Awas aku mau lewat!” ujarku sambil menampilkan wajah tak bersahabat. Roni terus saja menghalangi langkahku. “Bagaimana kabarmu? Kenapa tidak jadi mengambil rumah yang pernah kita lihat?” tanya Roni dengan wajah yang terus saja tersenyum. Tanpa menjawab, aku langsung melangkah. Kebetulan Roni tidak menghalangi karena ada pelanggan lain yang ingin ke kasir. Aku membenci keadaan ini. Bertemu lagi dengan Roni adalah mimpi buruk. Kenapa aku tidak bisa hidup tenang? Apa dosaku terlalu besar, sehingga Tuhan tidak ingin mengampuni, sehingga selalu saja mengirim
“Om kenapa membela ibu?” tanya Caca dengan wajah cemberut. Aku kembali melirik Roni. Dia tersenyum lembut pada Caca. “Anak manis, makan lah! Dan jangan banyak bicara lagi. Okey, Cantik.” Caca hanya cemberut, tanpa membalas ucapan Roni. Sedangkan Roni, dia hanya tersenyum manis melihat respon Caca atas perkataannya. Aku kembali fokus dengan bakso yang ada dihadapan. Kini aku merasa canggung. Caca mengikuti perintah untuk diam dan hanya makan. Sedangkan Roni, dia juga tidak mengucap sepatah kata lagi. Aku sedikit menyesal telah menyuruh Caca diam. Jika saja dia tetap cerewet, situasi tidak akan secanggung ini. Setelah makan, rasanya aku ingin langsung pulang saja. Besok saja aku membeli handphone, setelah mengantar Caca ke sekolah barunya. Jangan sampai Roni mengikuti kami seperti yang dulu dia lakukan padaku. Roni sudah selesai makan, tetapi dia masih saja duduk. Belum mengangkat kaki dari warung ini. Kalau saja tidak ada Caca dihadapanku, sudah pasti mulutku akan berkata kasar p
Seluruh makanan yang baru saja memenuhi perut rasanya ingin aku muntahkan saat ini juga. Perkataan yang sungguh membuat mual. Aku ingin berucap, tetapi takut jika kalimat kasar yang keluar dari bibirku. Hati pasrah, membiarkan Roni yang berucap dan aku menjadi pendengar. “Apa kabar, Elena?” Kenapa rasanya merinding ditatap seperti ini oleh Roni. Suaranya yang lembut, membuat bibir pun tak kuasa untuk berucap. Ada apa ini? “Aku tahu kalau kamu dan suamimu hanya menikah siri. Aku juga tahu kalau dia sudah menjatuhkan talak pada kamu. Makanya sekarang aku berani untuk datang lagi … menikahlah denganku!” Mataku terbelalak. Bibir pun bersuara, “maksud kamu apa, Roni? Jangan buat lelucon. Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan. Ada apa? Dulu sewaktu SMA belum cukup menghina dan membully ku, sehingga sekarang ingin menikahi ku dan kembali menyiksaku. Sebenarnya niat kamu apa, Roni? Dulu, aku tidak pernah mau berurusan dengan kamu. Tetapi kamu selalu saja berbuat ulah padaku. Sekar
“Jadi selama ini ulah kamu, Vani? Dasar wanita iblis! Jangan bermimpi untuk aku menikahi kamu! Kita tidak akan pernah menikah sampai kapan pun!” ujarku dengan sangat marah. Bagaimana tidak, selama ini dia lah yang membuat masalah dalam keluargaku. Dia yang membuat semua pelanggan ibu di Pasar lari ke orang lain. Dia yang membuat orang tuaku bangkrut. Aku sungguh tidak bisa memaafkan perbuatannya. Gara-gara ulah nya, aku bahkan sudah menuduh Elena, seperti yang dikatakan oleh Pak Udin. Ternyata dukun sialan itu hanya asal bicara. Selama ini, bukan Elena pelakunya. “Kenapa, kamu mau marah? Ya silahkan marah saja! Kamu dan keluargamu pantas mendapatkan itu. Kamu terlalu sombong. Kalian layak untuk jatuh miskin!” Vani berkata sambil tersenyum. Bahkan di akhir ucapannya, dia tertawa. Seolah menghinaku. “Kurang ajar kamu, Vina! Aku akan membalas semua perbuatan kamu. Aku tidak akan membiarkanmu hidup. Aku akan membunuhmu!” Aku mencengkram kedua tanganku dengan kuat. Sebenarnya ingin me