Nathan dibebaskan dan sekarang tinggal di rumah William." Pagi itu di meja makan Arini mengawali pembicaraan, hanya ada dirinya bersama Budi yang bersiap ke sawah setelah sarapan. Sementara Adam sedang bermain di halaman bersama teman sebayanya. Budi terdiam. Ia tahu ketakutan putrinya. Budi meraih tangan Arini, dan mengusapnya berusaha menenangkan. "William pasti punya tujuan yang baik. Ayah tahu ini sulit untukmu, tapi jangan khawatir! Selama ayah ada di sini, semua akan baik-baik saja," tutur Budi menenangkan putrinya. Tak terasa ia kembali menangis, tak tahan dengan prasangka buruk yang kerap beterbangan mengambil tempat. "Arini takut mereka akan kembali mengusik hidup Arini, puluhan tahun Arini hanya hidup dalam tekanan. Andai kak Monica di sini, tentu saja ia juga akan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi ku, Ayah." Budi mendekat, kemudian mendekap putrinya dalam pelukan. Ia paham Arini trauma, bahkan untuk menyembuhkan saja terasa sulit, luka itu terlalu dalam dan me
Ponsel Monica berdering lagi, panggilan dari William. Wanita keras kepala itu memilih tak acuh, persetan dengan penjelasan yang tak masuk akal, ia benci karena William mengambil keputusan secara sepihak.Setelah beberapa panggilan ia lewatkan, satu pesan masuk dari William. Dengan enggan ia pun membacanya.[Aku tahu kau marah. Tapi aku sama sekali tak membebaskan Nathan, ia murni dibebaskan karena sikap baik dan juga sering disakiti di dalam sel sampai hampir mati, itu yang aku dengar dari penjelasan polisi. Awalnya aku juga tak mau menampung Nathan, tapi dia tak punya rumah dan sepeser pun harta, aku bertemu dengannya di tengah jalan dalam keadaan pingsan.]"Pembohong besar," sungut Monica. Satu pesan susulan masuk lagi.[Kau boleh memaki, atau bahkan menghancurkan wajahku. Tapi, Monica. Aku hanya bersikap sebagai seorang kakak, hanya dia yang dibebaskan, bukan ibu atau pun Ambar. Untuk keamanan dua keponakanku, aku juga tak berniat memberitahukannya pada Nathan, keputusan ada di tan
"Sayang?"William menyembul di balik pintu dengan senyum sumringah, berbeda dengan reaksi Arini yang kini menatap nanar ke arah William. Ada hubungan apa antara dia dan Monica, apa ada sesuatu yang tidak ia tahu. Suara anak kecil yang baru ia dengar, apa itu buah hati mereka yang William sembunyikan."Kau mau menjelaskan apa sekarang?"William mengernyitkan keningnya bingung. Bukankah ia baru saja menyelesaikan satu masalah dengan istrinya, Arini tadi baik-baik saja bahkan tersipu malu kala digoda, tapi sekarang mengapa ekspresinya berubah dengan cepat.Wanita itu terkesan menatapnya dengan tatapan penuh intimidasi. William mendekat, dan mencoba mendekap, ia bingung apa salahnya sekarang. Tapi di luar dugaan, Arini malah menepis dengan cepat tak ingin disentuh."Sayang, ada apa? Katakan di mana kesalahanku!"Arini masih terdiam, rasanya terlalu sulit untuk mengeluarkan sepatah kata lagi, hatinya teramat sakit, yang ada dalam pikirannya hanya prasangka buruk yang sulit ia buang ke mana
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"Monica tersenyum menatap layar ponsel. Ia sedang berada di rumah saat ini selama masa pemulihan, lagi pula ia rasa kemarin hanya sakit biasa, tak ada yang perlu dikhawatirkan.William terlihat cemas."Aku baik. Memangnya kapan aku sakit?" "Abraham temanku, jadi kau tak perlu berbohong. Maaf kemarin mengabaikan teleponmu, aku sedang bersama Adam saat itu," balasnya panjang lebar. Kening Monica bertaut, seingatnya ia tak menelepon siapa-siapa termasuk William.Ia langsung mengecek panggilan masuk dan keluar, yang ternyata dua panggilan di dua nomor yang berbeda. Abraham dan William."Aku tak menghubungimu," lirihnya sedikit berbisik."Iya, keponakanku yang menghubungi, tapi aku tak sempat mengobrol karena sedang bersama Adam, ponselku di kamar.""Jadi, ...?"Monica terlihat panik saat ini. Bahkan ia baru sadar jika William sedang berada di rumah, bukan di kota atau di dalam mobil seperti biasanya. Jika bukan William, apa Arini yang menjawab teleponnya.
“Sayang, hari ini tak ada kesibukan di kantor?”William menggeleng dan memeluk Arini dari belakang, tangan kekarnya melingkar di perut ramping wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta berulang kali. Seperti biasa ia akan mengusik Arini ketika sibuk, bukan apa-apa, ia hanya suka melihat rona merah muda di wajah mulus Arini. Terlihat sangat menggemaskan dan sekarang ia benar-benar melihatnya lagi.“Pipimu memerah. Kau sakit?” bisik William. Dengan nakal ia malah mengecup tengkuk Arini, membuat sekujur tubuhnya meremang geli. Arini yang tak tahan hanya mencubit pelan tangan suaminya, berharap usaha itu bisa membuat William enyah. “Ini masih terlalu pagi, Sayang. Bagaimana jika, ...”“Bigimini jiki iyih milihitnyi?” cibir William terdengar geli. Ia seperti hafal dengan penolakan halus dengan seribu satu macam alasan dari Arini. Wanita itu tersenyum sembari menahan tawa. Beruntung sudah hampir selesai, tinggal menunggu sup ayam matang, sementara lauk lainnya tentu saja sudah beres sebel
"Sayang, apa tak sebaiknya kau mengunjungi Ambar di sana?"William terdiam.Ia masih sibuk mengajak Allea bermain, membuat bayi itu menunjukkan giginya yang masih tumbuh dua. Ketika tertawa, matanya ikut menyipit, padahal mata bayi cantik itu bundar."Papap, papap."Allea berceloteh sembari memegang mulut William. "A -yah."William berulang kali menyebut ayah, tapi Allea tetap menyebut papa, membuat pria itu tertawa dan mencium pipi gembulnya dengan gemas. "Sayang, kau harus kembali dan menjenguk Ambar. Mau sampai kapan berjaga jarak begini? Aku tahu mereka melakukan kesalahan besar, tapi jika sikapmu begini, kau juga tak ada bedanya dengan mereka."Arini tampak mendesak, seperti tak peduli dengan kesibukan William yang terlihat menghibur sang putri. William menatap Arloji di tangan, kemudian menyerahkan Allea pada Arini."Sebentar lagi Adam pulang, aku akan menjemputnya tepat waktu."William langsung berlalu dengan menggunakan sepeda, lagi pula sekolah anaknya tak terlalu jauh. Ia
“Kamu siapa?” cicit suaranya lirih. Ia terus menatap pria tegap yang kini berlutut di depannya, sembari menyodorkan cokelat, dan juga boneka beruang merah muda. Itu kesukaannya sejak kecil. Meski tadi sempat semringah dan hendak menerima barang yang ia sukai, tangannya ditarik kembali lalu menatap heran ke arah pria yang juga menatapnya penuh harap. William mengambil tempat duduk di sisi Ambar, meski bingung ia tetap memperbolehkan William duduk, dengan pikiran kalau ini adalah tempat umum, siapa saja boleh duduk. Ambar memang pasien di rumah sakit jiwa, tapi ia tak separah yang lain sekarang, sudah bisa mengontrol emosi, mengontrol diri, bahkan tak lagi tertawa atau menjerit, hanya melamun dan kemudian berbicara sendiri. “Ambar suka banget sama beruang ini waktu kecil,” ucap William mengenang masa kecil sang adik. “Ambar siapa? Oh namamu Ambar, ya? Lucu banget.” Ambar bertepuk tangan kegirangan, ia terlihat menertawakan William. Tidak tersinggung, ia justru merasa sedih. “Ambar
"Terus berdiri dengan satu kaki. Jangan ada yang istirahat sampai Mommy bilang berhenti!" Dua kembar itu terpaksa menjalani hukuman dari Monica. Ponsel sudah ada di genggaman Monica, dan telepon dari William ia matikan secara sepihak. Ia hanya tidak ingin siapa pun membela kesalahan anak-anaknya, tidak ada salahnya mendidik anak lelaki dengan tegas, agar tak semena-mena dan tahu aturan, tidak seperti Nathan. Monica terus mengawasi. Bukan tak sayang, ia hanya tidak ingin membiasakan anak-anaknya berbuat kesalahan. Beruntung mereka bukan tipikal anak yang mudah menangis dan meronta, jika tahu salah, mereka hanya diam dan bersiap menerima hukuman. Lima belas menit berlalu, Monica menatap ponselnya kemudian beralih pada dua putranya. "Waktunya tidur! Minum dulu susunya baru tidur." "Iya, Mommy." Monica berlalu keluar kamar, dua anaknya langsung menenggak habis susu yang dibuat Monica, sebelum akhirnya berlalu mendekati ranjang masing-masing. Lampu kamar dimatikan, disusul denga
"Di mana Adam?" William baru saja masuk rumah, padahal ia sudah sengaja pulang saat malam semakin larut, tapi ternyata Arini belum juga tertidur. Matanya sembao seperti baru habis menangis. "Dia pasti sibuk dengan urusannya, Sayang." William mencoba berkelit seperti tak tahu apa pun. "Katakan di mana Adam! Apa dia masih berani menunjukkan muka setelah apa yang ia lakukan?" William terdiam. Ia yakin cepat atau lambat kabar ini akan tersebar. Arini terduduk di sofa dengan tatapan kosong. Ibu mana yang tak sakit hati ketika tahu, bahwa putranya melakukan kejahatan. "Aku sudah membesarkan pembunuh," lirihnya sedih. Air mata yang sejak tadi kering perlahan turun dan membasahi pipi. "Monica begitu menjaga dan melindungi aku dari bahaya, tapi aku malah melahirkan pembunuh untuk mencelakai putranya. Ibu macam apa aku ini?" William mendekat dan mendekap Arini penuh sayang. "Padahal sebentar lagi Allea akan menikah, tapi ketika mendengar kabar Adam menjadi pembunuh yang hampir membuat
William yang saat itu berada di laboratorium, mengecek sidik jari yang mereka temukan, tidak menyangka jika ternyata sidik jari itu milik Adam. Akhirnya tanpa membuang waktu, ia segera menghubungi Nathan dan Edgard, menceritakan semuanya tanpa mengabari Arini, istrinya pasti akan sangat khawatir dan ia tentu saja tak ingin hal itu terjadi. "Ayah kecewa padamu," lirih William yang seperti kehilangan semangatnya. Adam menatap William yang menunjukkan raut kecewanya yang jelas. "Ayah dan Ibu tak pernah mengajarimu menjadi pemberontak dan pembunuh, kau ditempatkan di posisi paling aman karena ibumu sangat menyayangimu. Sejak kecil, kau dan Allea adalah hidupnya." "Ayah, aku melakukan ini karena iri pada Edward, mengapa ia bisa dipilih menjadi orang paling berpengaruh sementara aku tidak?" William membuang napas berat. "Itu hak kakekmu, dia yang pebih tahu siapa yang paling kuat dan tangguh, tapi bukan berarti dirimu tidak mampu. Aku, ayahmu pernah mengajukan dirimu sebagai cucu pal
"Apa maksud semua ini, hah? Jujur, paman pasti kecewa ketika tahu siapa dalang di balik semua ini." Pria yang ternyata adalah Adam itu tertawa jahat, ia bersusah payah berdiri, menatap Edward yang sepertinya syok, tapi Adam tak peduli. Ia jujur sangat membenci Edward. "Bibi dan paman adalah orang baik, mereka tak pernah gagal dalam mendidik dirimu. Kenapa harus berjalan menjadi musuh? Jika kau memang tertarik dengan dunia misi, harusnya mengajukan diri menjadi satu kelompok yang utuh, bukan malah menjadi musuh. Aku tak ingin ada pertumpahan darah di keluarga kita, Adam." "Diam kau munafik! Apa kau tak sadar jika semua ini bermula dari dirimu?" Edward semakin kebingungan, ia heran mengapa bisa Adam berpikir seperti itu, padahal selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Adam si sibuk kerja menjadi arsitek muda, sampai jarang memiliki waktu bersama keluarganya. Tiba-tiba jadi seperti ini. "Kau yang berhasil menjadi pusat perhatian, keamananmu sangat dijaga, bahkan ayahku sangat meli
"Sial! Edward sok pintar itu selalu bisa menemukan celah. Tidak! Dia pikir akan mudah menangkapku?" Pria dengan topeng perak itu duduk di kursi, sebuah ruangan temaram dengan banyak layar monitor di sekitar menjadi tempat paling nyaman, tempat di mana tak satu pun orang yang berhasil mendeteksi keberadaannya. Tapi telepon milik salah satu anak buahnya tidak sengaja menunjukkan poisis terakhirnya saat ini. Pria yang dikenal sebagai Max itu sudah mempersiapkan ini sejak awal, ia memiliki banyak tempat pelarian, dan ia yakin sepintar apa pun Edward, tidak akan bisa menemukan dirinya dengan mudah. Pundi-pundi rupiah dan emas batangan menumpuk di mana-mana, hampir semua titik menjadi tempat persembunyian uang hasil penjualan organ manusia, dan itu ia lakukan dengan rapi sekali. Sayangnya beberapa kacungnya ceroboh, hingga mampu terendus oleh hidung tajam Edward. "Aku memang memiliki banyak kesempatan untuk membunuhmu, tapi aku tidak melakukan itu sekarang." Kedua tangannya mengepal k
"Ngga bisa dibiarkan! Ali just my mine, not her. Argh, shit!" Bianca sibuk memaki. Napasnya sesak, sedari dulu ia memang menginginkan Ali, melakukan seribu satu cara untuk mendekatkan diri dengan Aliando, tapi nyatanya sejak masuk di bangku kuliah, Allea dengan lancang masuk ke hati Ali, gadis sialan itu bahkan mencuri perhatian orang tua Ali, jalannya begitu mulus, sekali pun ia menghasut agar Allea dibenci, tapi dokter cantik itu seperti tak memiliki celah untuk membuktikan keburukan Allea. Bianca pulang dengan rasa kesal, di kamar ia meminum banyak pil dengan asal, atanya berkunang-kunang, bayangan masa kecil dengan puing-puing kenangan bersama Ali berputar di benaknya. Mata hingga pipinya basah. Ia memang bisa mendapatkan segalanya. Harta, kecantikan, perhatian kedua orang tuanya, tapi ia ditakdirkan memiliki penyakit kronis yang membuatnya harus bergantung sepenuhnya pada obat-obatan, bahkan menjadikan Ali semangatnya untuk sembuh. Selama ini berusaha kuat dan sehat, karena
"Konsep pernikahannya bagus, ya." Allea dan dokter muda bernama Aliando duduk di sebuah meja yang tak jauh dari tempat Evelyn dan Leo berada, mereka juga melihat langsung keributan yang baru saja tercipta, tapi tak satu pun dari keluarga Evelyn yang turun tangan untuk mengatasinya, mereka memilih berpura-pura buta dan tuli. Lagi pula ini acara sakral Edgard, jika mereka ikut turun tangan membela Evelyn, masalah akan semakin panjang, toh semua masalah sudah selesai dengan cepat karena Evelyn memang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. "Iya, bagus. Jadi, kapan kau siap menikah? Aku akan siapkan konsep pernikahan yang lebih meriah dari ini," balas Ali semringah. Allea membatu sesaat, kemudian menatap ke arah pelaminan lagi, di mana sepasang raja dan ratu sehari itu berada. Ia memang sudah dilamar, cincin terpasang sempurna, tapi untuk menentukan kapan hari pernikahannya sendiri pun ia tak tahu. Allea menyimpan masalahnya sendiri. Padahal ia terlahir dari keluarga cemara, tak ada
Semua persiapan pernikahan sudah siap, sesuai dengan pilihan Tasya, bahkan rumah impian Tasya juga sudah ditentukan. Akhirnya hari yang ditunggu Edgard pun datang, ia sudah rapi dengan pakaian formalnya, menunggu dengan gagah, meski sejatinya ia tampak gelisah, sejak melamar Tasya, ia tak melihat bahkan berbicara dengan Edward. Pria itu sedang sibuk dengan misi berbahaya tanpa melibatkan dirinya. Mungkin Edward memang kuat, karena ia adalah orang yang ditunjuk langsung oleh Sean, hanya saja sekuat apa pun Edward, ia tetap was-was dan memiliki firasat bahwa Edward dalam bahaya, mungkin karena mereka adalah kembar, jadi bisa merasakan kesakitan satu sama lain meski dari jarak jauh sekali pun. "Ayo, Tuan!" Sopir pribadi membuka pintu mobil. Tapi kaki Edgard rasanya berat, ia kembali menghubungi Edward meski nihil. Lokasi kejadiannya pun ada di sebuah pulau, bagaimana bisa William dan Edward berjuang sendirian mencari dalang dari sindikat perdagangan manusia tersebut. "Sepuluh meni
"Jadi, kamu ngerasa jadi Mommy itu melelahkan?"Evelyn mengangguk mantap."Ok, Mommy bahas satu persatu. Jadi ibu itu menyenangkan, bisa mengurus rumah, anak, suami, itu hal yang menyenangkan. Daddy juga ngga pernah maksa Mommy buat ngerjain semuanya, lihat kan Daddy sesekali bantuin. Pernah juga bahkan sering Daddy nyuruh Mommy nyari ART, biar mommy cuman fokus ngurus Daddy sama kalian, tapi Mommy ngga mau. Intinya menikah dan menjadi istri itu menyenangkan. Dulu, Mommy juga ngga bisa apa-apa, yang pintar masak itu Tante Arini, tapi lambat Laun Mommy belajar tapi Daddy ngga pernah maksa."Evelyn masih terdiam menyimak."Intinya yang paling penting adalah, menikahlah dengan lelaki yang tepat, agar rumah tangga tidak menjadi beban untukmu. Dan menurut Mommy Leo baik, Leo pilihan yang tepat, dia juga anak tunggal, dia sayang banget sama kamu. Waktu kamu masih bayi aja, dia pernah nyium pipi kamu, terus ngomong nanti mau kalau udah gede mau jadi suami kamu.""Hah? Masa gitu sih, Mom?""I
"Ya Tuhan, Tasya mengirim pesan ini?"Edgard hampir saja terjungkal dari kasur, geraknya terlalu over sampai ia tak sadar diri sudah bergerak seabsurd ini. Edgard memang sengaja pulang lebih awal dan mampir di rumah Edward, saat Tasya pulang. Ia menunggu Edward dengan tidak sabaran. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan tentunya, dan meminta pendapat bagaimana dengan keputusan besar yang akan ia ambil, apa sudah benar. Kamar Edward menjadi markas ternyaman. Ia membaca pesan berulang kali dan tersenyum senang. Akhirnya kembali membuka file gambar yang hanya berisi foto Tasya. Gadis yang memikat hatinya sejak lama.Suara gemuruh mobil berhenti di depan rumah membuatnya semakin bersemangat, itu Edward, kakaknya yang kehilangan jodoh entah ke mana.Ia sedikit terkejut melihat mobil Edgard terparkir di sana. Akhirnya, pria itu masuk ke kamar, dan sedikit terkejut melihat adik kembarnya tersenyum sendiri sembari menatap kaca."Heh, apa yang terjadi denganmu?"Edgard tak menjawab dan lang