"Maafkan aku!"Monica masih terdiam dengan air mata yang juga menggenang di pipi, ia memalingkan wajah, sedikit marah karena sikap Arini yang kerap menuduhnya yang bukan-bukan."Tidak perlu minta maaf! Kau tidak akan mempercayaiku sampai kapan pun," ketus Monica melipat tangan di dada. "Kakak, maafkan aku!" Kedua tangan ia letakkan di telinga, menatap penuh harap pada Monica yang masih terlihat marah. Perlahan ia berusaha turun dari brankar. Monica langsung bangun dan memukul tangannya."Dasar bodoh! Kau sedang apa? Bagaimana jika kau jatuh? Kau bahkan belum bisa berdiri dengan sempurna.""Apa kakak masih marah?""Tidak!""Benarkah?""Hem."Arini memeluk Monica cukup erat, membuat wanita itu terbatuk."Sekarang, kau hanya perlu beristirahat di sini! Ingat, ya! Jangan lakukan apa pun sebelum mereka semua menerima balasannya. Kau hanya perlu menonton dari jauh siaran menarik ini!" peringat Monica disahut anggukan mantap Arini."Beri mereka pelajaran yang setimpal! Mereka harus bertangg
"Masuk!"Ia masuk dengan takut-takut, sementara keringat sudah membanjiri kening Nathan dan itu sedikit menggoda. Nathan langsung menyuruhnya untuk menjelaskan apa saja yang ada dalam laporan barusan.Saat sedang menjelaskan, Nathan buru-buru ke depan pintu, menguncinya, kemudian dengan kasar memaksanya untuk menaklukan pusakanya."Pak, apa yang bapak lakukan? Sa- saya, ...""Kau ingin saya pecat?"Sebenarnya jauh dalam lubuk hati wanita itu, ia juga menginginkan ini. Tidak menyangka jika angannya menjadi nyata. Hari ini akan menjadi hal yang menyenangkan baginya.Nathan berdiri di hadapannya, dan menunjukkan pusakanya yang sedari tadi sudah berdiri tegak. Wanita itu tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan lihai seperti sudah biasa, ia melayani Nathan dengan baik, membuat pria itu melayang sembari menjambak rambutnya pelan. "Uh, Arini. Teruskan!"Nathan semakin tidak terkendali. Ia akhirnya membaringkan karyawannya ke kursi panjang, tanpa dipaksa, wanita itu langsung membuka lebar ked
"Bisa ambilkan selai kacang saja?! Aku tidak suka stroberi." Monica menikmati sarapan pagi di rumah suaminya, hanya roti selai kacang, juga segelas susu seperti biasa. Rutinitas makan di pagi hari memang tak terlalu berat, ia juga lebih suka mengunyah buah kapan saja bahkan setelah sarapan. Monica memang orang yang kurang suka meja makan terlalu penuh dengan makanan beraneka ragam, tapi jika ada Nathan di rumah, meja memang harus terisi penuh. Semalam ia juga mendapat kabar jika Arini sudah membaik dan tinggal di rumahnya, tentu saja ia memberikan penjagaan yang ketat di sekeliling rumah tanpa dicurigai siapa pun, itu demi keamanan Arini juga. BRAK!!! "Nathan! Nathan!" Monica terlihat santai. Ia ingat posisi ini, rekaman terakhir Arini sebelum kejadian juga sama persis, di mana Arini disiksa saat pagi hari, ketika Nathan tak ada di rumah. Yuan dan Ambar seperti tak memiliki adab. Karena kesal, Monica tak mengizinkan satu pun pelayan untuk membungkuk dan menyambut dua ben
"Sayang, kau baik-baik saja?"Monica membuka matanya perlahan, rasa pusing sudah menguar entah ke mana. Tangannya mengusap pelipis, ternyata sudah ada perban di sana, dan seperti biasa, ia akan melihat wajah Nathan di setiap membuka mata."Hati-hati!" tegur Nathan ketika Monica ingin duduk. Monica menatap waspada, kemudian memeluk Nathan dengan erat."Aku takut! Aku takut mereka kembali menyakitiku," rintih Monica berakting. Jelas saja, untuk apa ia takut pada dua siluman itu.Pelukan Nathan mengerat, ia tak menyangka jika Arini akan ketakutan begini. Keputusannya untuk membawa Arini ke negeri Sakura sudah semakin bulat, setelah ia berhasil mengurus dan mengamankan perusahaan, ia janji akan membawa Arini menjauh dari keluarganya, ini demi keselamatan Arini sendiri."Mereka kembali, mereka ingin membunuhku. Apa kau akan menuruti kata ibu lagi dan melenyapkanku? Lalu, aku akan berlari ke mana?"Monica mengeluarkan tangisan palsu, berusaha mengambil perhatian Nathan sepenuhnya. Sebelum
Tak ada rasa kasihan bahkan saat melihat Nathan menangis. Ia hanya membayangkan bagaimana tersiksanya Arini selama berada di lingkungan Yuan, sejak kecil pasti air mata dan kesedihan Nathan tak ada apa-apanya, tak sebanding dengan kesakitan yang dirasakan Arini.Monica menghampiri dan mengusap air mata Nathan."Tenangkan dirimu! Bukankah setiap masalah ada jalan keluarnya?""Tapi, Arini. Bagaimana jika masalah itu diciptakan oleh wanita yang melahirkan ku? Aku bahkan tak sanggup membayangkan jika itu benar terjadi lagi."Nathan beralih ke pelukan Monica. Ia benar-benar berada di titik terendah."Karena masalah ini, perusahaan terancam bangkrut, cabang yang lain juga tak bisa diselamatkan, dan impianku untuk membawamu jauh dari sini juga terhambat. Aku lelah, Arini. Aku lelah karena tak mudah membangun bisnis ini," ujarnya lemah. Matanya yang sembap jelas berkata jujur, tapi hati Monica yang sudah mati akan sulit untuk percaya lagi. Yang ia lihat, Nathan hanya iblis berwujud pria. "T
"Sayang?"Nathan terbangun dengan kondisi tempat di sebelahnya kosong. Monica sudah tak ada di pembaringan, ia terbangun, memakai celana dan bermaksud ke kamar mandi. Tapi sepucuk surat sudah tergeletak di atas meja.[Aku pergi berbelanja dan perawatan hari ini. Tidak perlu mencari!]Nathan mendesah kecewa, padahal ia sudah membayangkan ciuman di pagi hari setelah kejadian semalam. Tapi, tampaknya istrinya belum sepenuhnya menerima dia."Baiklah. Tanpa ciuman di pagi hari, tanpa pelukan hangat, atau teman sarapan. Tapi, mengapa harus berangkat sepagi ini? Tidak biasanya," gumam Nathan.Ia menatap ponsel, tak ada notifikasi apa pun dari Arini. Mengapa ia memilih untuk menulis surat, seperti pasangan kekasih jaman dulu, tapi sepertinya romantis.Tanpa berpikir panjang lagi, pria itu segera bersiap. Saat mandi, ia sedikit bingung dengan gaya permainan Arini yang dianggapnya tidak biasa. Wanita itu berubah menjadi lebih profesional sekarang. Tingkahnya juga mengingatkan dirinya pada Moni
Ambar benar-benar menunjukkan sisi nakalnya, ia terus meminta lagi dan lagi, rasanya melayang terlebih saat merasakan barang di bawahnya dipermainkan oleh lidah nakal pria asing, yang ia pikir Anderson."Anderson, mengapa baru sekarang?" lirihnya dan kembali melenguh panjang. Tepat setelah mencapai pelepasan, Ambar terbaring lemas tanpa busana, ditutupi selimut dan ditinggal pergi begitu saja. Entah sudah berapa jam ia tertidur, karena saat bangun, suasana di luar sudah begitu gelap. Ternyata sudah pukul 07:00, ia sudah tertidur berapa lama setelah permainan panas. Ambar tersenyum, sekali pun Anderson memintanya ke sini hanya untuk berbagi peluh, tidak masalah. Setidaknya ia sudah bisa merasakan barang besar memabukkan milik Anderson. Baru saja selesai berpakaian, ponselnya sudah berdering. Notifikasi masuk dari Yuan terlihat di sana.[Pulang sekarang! Dasar memalukan.]Kening Ambar mengernyit heran. Ia tak habis pikir dengan isi pesan Yuan, juga panggilan telepon berulang pun tampa
"Arini, mengapa hanya berdiam diri di sana sedari tadi?"Nathan yang sejak tadi sibuk di depan laptop menghampiri Arini, wanitanya duduk di kursi panjang tempat di mana Nathan menyalurkan hasratnya bersama perempuan lain. Arini menatap jijik ke arah Nathan, bahkan saat pria itu menggenggam punggung tangannya."Aku ingin bercerai," putusnya sepihak. Ucapan Arini tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Nathan. Baru saja semalam menghabiskan malam yang panjang, sekarang Arini malah meminta cerai tanpa alasan yang jelas."Sayang, ada apa denganmu? Katakan apa kesalahanku!""Kau benar-benar ingin tahu?"Nathan mengangguk."Kau berselingkuh dengan karyawanmu. Mungkin itu juga penyebab perusahaanmu di ambang kehancuran. Jika saja kau bisa menjaga diri hanya untukku, pasti hidupmu tidak akan sesulit ini," ujar Arini membuat Nathan terkejut.Dari mana istrinya tahu, sementara waktu itu ia sudah benar-benar memastikan jika tak ada satu pun orang yang melihat, di ruangannya juga tak memiliki kame
"Mommy mau ke mana?"Suara Edward menghentikan aksinya yang sedang mengemasi pakaian ke dalam koper, setelah pulang kerja ia mengemasi beberapa barang pentingnya yang akan ia bawa ke Indonesia esok pagi.Edward masih berdiri di depan pintu kamar menunggu jawaban, sepertinya Monica akan pergi ke suatu tempat yang entah. Monica terdiam sebentar kemudian lanjut menutup kopernya, tidak banyak barang yang ia bawa, lagi pula ia tidak menginap, jika bisa ia akan segera pulang, atau jika memang harus menginap setidaknya hanya satu hari, ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan Edward dan Edgard meski sudah menyuruh orang untuk memasak dan mengurus keperluan keduanya."Mommy akan berangkat ke Indonesia, ada meeting penting dari pemilik brand yang menjadi investor di perusahaan Mommy. Oh iya, besok akan ada orang yang datang untuk mengurus kalian sementara waktu. Jangan bertengkar dengan adikmu sampai Mommy kembali!"Tangan Edwar mengepal kuat, ia seperti merasa diabaikan dan tidak didengar,
"Edgard, panggil kakakmu untuk makan malam!" Monica yang baru saja pulang kerja, telah selesai memasak makan malam untuk mereka. Ia memang tidak membiasakan diri untuk membeli makanan di luar demi kesehatan putranya. Edward sebenarnya belum tertidur, ia masih sibuk dengan isi pikiran yang tak ada habisnya. "Mommy sudah menunggu di bawah."Edward bergeming, kakinya terasa berat untuk mendekati Edgard, akhirnya mau tak mau Edgard yang menghampiri Edward dan menarik kakinya."Berhenti berpura-pura tidur! Memangnya ada masalah yang lebih rumit dari rumus kimiamu yang membuat pusing itu? Ayo turun sebelum Mommy marah!"Edward masih pada posisinya, membuat Edgard semakin kesal pada saudara kembarnya."Kau sedang memikirkan Daddy?"Pertanyaan Edgard membuat Edward bangkit merubah posisi menjadi duduk."Ternyata benar, pria dewasa yang kemarin itu adalah Daddy, ucap Edward menatap Edgard. Adiknya tidak terkejut, ia sudah menduganya dari awal kalau itu memang ayah kandung mereka.Lihat saja
Monica menjadi semakin sibuk, ia terlihat sangat fokus dengan bisnisnya yang sudah mulai dikenal banyak orang, karena keberadaan produk skin care milik Felicia.Kesibukannya yang padat, membuat kedua putranya yang memang masih membutuhkan perhatian lebih darinya malah lebih sering ditinggal sendiri, dalam waktu yang cukup lama.Mereka hanya akan bertemu di pagi hari di meja makan, lalu Monica akan pulang ketika malam hari dan tetap menyiapkan makan malam seperti biasa, mengobrol secara intens pun sudah tidak pernah dilakukan, hal itu tentu saja membuat hati kedua putranya sedih, mereka seperti kehilangan sosok ibunya.Malam menampakkan rembulan penuh, Edward duduk di balkon rumah seorang diri, tak lagi memegang komputer, atau mencari rumus-rumus kimia baru tersulit yang akan dipecahkan, pikirannya tertuju pada wajah Nathan saat mereka pertama kali bertemu.Bibirnya bungkam, membiarkan binatang malam mengambil alih lebih dulu untuk saling berbisik satu sama lain.Ia bisa melihat cinta
"Pak saya membawa kabar bahagia, akhirnya perusahaan kita diterima untuk bekerja sama dengan perusahaan milik Nyonya Monica."Nathan tentu saja tidak bisa tidak senang, akhirnya satu langkah lagi, tujuannya akan tercapai. Nathan bergegas menyuruh sekretarisnya untuk memproses pengiriman produk di perusahaan kecil Monica. Itu akan menguntungkan bagi keduanya, apalagi dengan sistem bagi hasil yang lebih menguntungkan perusahaan Monica, tentu saja i mempermudah Monica untuk memperluas perusahaan kecilnya, agar menjadi lebih dikenal, ia tak akan rugi mengeluarkan berapapun biayanya, toh ia tahu Monica bekerja untuk dua anaknya. Beberapa bulan kemudian ia mendapat kabar yang lebih membahagiakan, angka penjualan produk miliknya di sana juga tak kalah memuaskan. Tiba-tiba saja sang sekretaris masuk."Ada laporan?" selidik Nathan. Tuan William menunggu di bawah."Nathan sadar, tingkahnya ini sudah tercium oleh William. Ia tahu betul kedatangan William kali ini pasti untuk mencegahnya. J
"Periksa rambut ini!" Nathan menyerahkan dua helai rambut yang berbeda di kantong plastik kecil, sekretarisnya yang baru saja masuk pun mengambil sampel rambut tersebut. "Tunggu dan laporkan hasil labnya padaku segera!""Baik, Pak."Sang sekretaris langsung berlalu keluar dari ruangan Nathan. Ia sebenarnya memang sengaja membiarkan Monica pergi bersama dua putra kembar, yang dicurigai adalah anak-anaknya, tapi nanti setelah hasil yes itu keluar, dan ia tahu jika itu adalah anaknya, maka mau tidak mau ia harus menjemput Monica dan meminta penjelasan dari wanita itu, mengapa Monica memilih menghindar dan merahasiakan ini semua darinya.Ia kembali mengingat kejadian kemarin, dari reaksi William dan Arini, sudah pasti mereka mengetahui segalanya. "William, mengapa ia menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Jika memang itu putraku apakah salah jika aku tahu." Nathan langsung saja memainkan jemarinya pada keyboard, mencari-cari informasi tertentu terkait Monica dan kedua putranya, tap
"Kak, apa yang kau lakukan?" protes Nathan ketika dipukul beberapa kali oleh William. Ia tak peduli dan mendorong Nathan hingga menabrak mobilnya sendiri. "Cepat pergi dari sini!" titahnya tegas. Nathan mengusap darah yang menodai sudut bibirnya, kemudian menatap kesal ke arah William. Ia meludah, membuang darah yang tadi terasa asin di mulutnya. "Apa salahku? Aku hanya ingin tahu anak siapa mereka? Mengapa begitu mirip denganku?""Seseorang bisa mirip dengan siapa saja. Pergi, ini bukan urusanmu, Nathan! Kau hanya membuat Monica ketakutan."Nathan terdiam sesaat, ia memberi tatapan layaknya musuh ke arah William, berpikir jika William selalu bersikap seolah paling benar. William yang merasa tertantang bersiap untuk memukul lagi."Aku tahu, itu pasti anakku.""Tutup mulutmu, bangsat!"BUGH!Pukulan tersebut langsung dicegah Arini, ia menjerit agar Nathan dan William berhenti bertengkar. Terlebih saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian, warga desa pasti lebih mudah penasaran
"Kak, kau mau ke mana?"Sudah tujuh hari sejak pemakaman Budi, Monica dan anaknya memang menginap di desa Bunga, William sendiri yang mengambil semua barang bawaan Monica di hotel dekat rumah sakit kala itu, atas permintaan Monica sendiri.Wanita itu sedang sibuk berkemas, ia menatap Arini sekilas, kemudian lanjut mengemasi beberapa barang yang menurutnya penting."Aku akan kembali ke Amerika hari ini, pekerjaanku tak bisa ditinggal begitu saja," sahut Monica dengan tangannya yang masih sangat sibuk.Ia memasukkan beberapa produk kecantikan, tapi urung. Ia memilih untuk meninggalkan beberapa produk miliknya di meja rias Arini. Menginap beberapa hari, Monica memang menempati kamar Arini, sementara adiknya dan William menempati kamar tamu."Memangnya tak bisa bertahan sampai empat puluh hari?" tanya Arini terdengar menawarkan.Monica tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Ia mendekati Arini yang kini berpindah ke kasur."Tidak bisa, Arini. Toko kosmetik yang aku kelola cukup ramai, dan s
"Aku pikir kau tidak akan datang, tapi akhirnya kakak sudah berada di sini. Meskipun aku sedikit kesal, kenapa tidak memberitahu kami? William pasti akan menjemput kalian di bandara," cerocos Arini, ketika keduanya duduk di kursi tunggu.Monica tersenyum tipis."Tidak perlu. Memangnya aku kedutaan Indonesia yang harus dijemput?" sahut Monica berkelakar. Arini memajukan bibir bawahnya kesal."Oh iya, Kak. Apa mereka tahu?" Monica menatap penasaran."Tahu apa?" "Tentang siapa ayahnya."Monica terdiam sebentar, kemudian menggeleng cepat."Untuk apa memberitahu mereka? Lagi pula setelah mereka tahu, apa yang akan mereka dapatkan? Kau tahu kan seperti apa Nathan? Sudah, jangan bahas namanya di sini! Anak-anak akan mendengarnya nanti. Mereka kembali juga untuk bertemu ayah, bukan pria brengsek itu!" William dari tadi sibuk dengan ponselnya, di sisi kiri kanan ada Edward dan Edgard yang sedari tadi tak melunturkan senyum mereka, di layar pipih mereka berbicara bebas dengan Adam dan Allea
"Mommy, are you okay?" Kedua putranya menatap panik ke arah Monica, wanita itu memijat pelipis, rasa pusing masih terasa di kepala, tapi Monica masih berusaha tersenyum agar tak membuat anak-anaknya semakin khawatir. "Mommy tidak apa-apa, Sayang. Oh iya mengapa sepagi ini sudah pulang?" tanya Monica. "Kami tidak bisa fokus jika Mommy kenapa-kenapa." Putranya begitu peduli dengannya, padahal ia ingat sejak kecil mereka berdua tidak terlalu dimanjakan dengan kasih sayang dari Monica. "Mommy, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" selidik Edgard. "Tidak ada, Mommy hanya kelelahan," dustanya untuk ke sekian kali. "Berhentilah berbohong, Mommy! Kakek sedang sakit di Indonesia. Keputusan juga ada di tangan Mommy, akan kembali ke sana seorang diri, atau tetap berada di sini bersama kami," ujar Edward mantap. Mendengar itu Monica mengernyit heran. "Apa yang kau katakan? Bagaimana bisa Mommy meninggalkan kalian sendirian?" Edward tahu tahu Monica tidak akan pernah memb