Tak ada rasa kasihan bahkan saat melihat Nathan menangis. Ia hanya membayangkan bagaimana tersiksanya Arini selama berada di lingkungan Yuan, sejak kecil pasti air mata dan kesedihan Nathan tak ada apa-apanya, tak sebanding dengan kesakitan yang dirasakan Arini.Monica menghampiri dan mengusap air mata Nathan."Tenangkan dirimu! Bukankah setiap masalah ada jalan keluarnya?""Tapi, Arini. Bagaimana jika masalah itu diciptakan oleh wanita yang melahirkan ku? Aku bahkan tak sanggup membayangkan jika itu benar terjadi lagi."Nathan beralih ke pelukan Monica. Ia benar-benar berada di titik terendah."Karena masalah ini, perusahaan terancam bangkrut, cabang yang lain juga tak bisa diselamatkan, dan impianku untuk membawamu jauh dari sini juga terhambat. Aku lelah, Arini. Aku lelah karena tak mudah membangun bisnis ini," ujarnya lemah. Matanya yang sembap jelas berkata jujur, tapi hati Monica yang sudah mati akan sulit untuk percaya lagi. Yang ia lihat, Nathan hanya iblis berwujud pria. "T
"Sayang?"Nathan terbangun dengan kondisi tempat di sebelahnya kosong. Monica sudah tak ada di pembaringan, ia terbangun, memakai celana dan bermaksud ke kamar mandi. Tapi sepucuk surat sudah tergeletak di atas meja.[Aku pergi berbelanja dan perawatan hari ini. Tidak perlu mencari!]Nathan mendesah kecewa, padahal ia sudah membayangkan ciuman di pagi hari setelah kejadian semalam. Tapi, tampaknya istrinya belum sepenuhnya menerima dia."Baiklah. Tanpa ciuman di pagi hari, tanpa pelukan hangat, atau teman sarapan. Tapi, mengapa harus berangkat sepagi ini? Tidak biasanya," gumam Nathan.Ia menatap ponsel, tak ada notifikasi apa pun dari Arini. Mengapa ia memilih untuk menulis surat, seperti pasangan kekasih jaman dulu, tapi sepertinya romantis.Tanpa berpikir panjang lagi, pria itu segera bersiap. Saat mandi, ia sedikit bingung dengan gaya permainan Arini yang dianggapnya tidak biasa. Wanita itu berubah menjadi lebih profesional sekarang. Tingkahnya juga mengingatkan dirinya pada Moni
Ambar benar-benar menunjukkan sisi nakalnya, ia terus meminta lagi dan lagi, rasanya melayang terlebih saat merasakan barang di bawahnya dipermainkan oleh lidah nakal pria asing, yang ia pikir Anderson."Anderson, mengapa baru sekarang?" lirihnya dan kembali melenguh panjang. Tepat setelah mencapai pelepasan, Ambar terbaring lemas tanpa busana, ditutupi selimut dan ditinggal pergi begitu saja. Entah sudah berapa jam ia tertidur, karena saat bangun, suasana di luar sudah begitu gelap. Ternyata sudah pukul 07:00, ia sudah tertidur berapa lama setelah permainan panas. Ambar tersenyum, sekali pun Anderson memintanya ke sini hanya untuk berbagi peluh, tidak masalah. Setidaknya ia sudah bisa merasakan barang besar memabukkan milik Anderson. Baru saja selesai berpakaian, ponselnya sudah berdering. Notifikasi masuk dari Yuan terlihat di sana.[Pulang sekarang! Dasar memalukan.]Kening Ambar mengernyit heran. Ia tak habis pikir dengan isi pesan Yuan, juga panggilan telepon berulang pun tampa
"Arini, mengapa hanya berdiam diri di sana sedari tadi?"Nathan yang sejak tadi sibuk di depan laptop menghampiri Arini, wanitanya duduk di kursi panjang tempat di mana Nathan menyalurkan hasratnya bersama perempuan lain. Arini menatap jijik ke arah Nathan, bahkan saat pria itu menggenggam punggung tangannya."Aku ingin bercerai," putusnya sepihak. Ucapan Arini tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Nathan. Baru saja semalam menghabiskan malam yang panjang, sekarang Arini malah meminta cerai tanpa alasan yang jelas."Sayang, ada apa denganmu? Katakan apa kesalahanku!""Kau benar-benar ingin tahu?"Nathan mengangguk."Kau berselingkuh dengan karyawanmu. Mungkin itu juga penyebab perusahaanmu di ambang kehancuran. Jika saja kau bisa menjaga diri hanya untukku, pasti hidupmu tidak akan sesulit ini," ujar Arini membuat Nathan terkejut.Dari mana istrinya tahu, sementara waktu itu ia sudah benar-benar memastikan jika tak ada satu pun orang yang melihat, di ruangannya juga tak memiliki kame
"Katakan di mana Nathan! Aku akan menghancurkan perusahaan ini. Kau! Pasti kau yang sudah meretas dan menuruti permintaan Nathan." Yuan tak terkendali. Beberapa unit komputer rusak di tangannya, bahkan pihak keamanan saja kalah dengan dua pria kekar yang Yuan bawa. Wanita itu berjalan cepat menuju ruangan Nathan, tapi selalu ada saja yang menghalanginya. "Menyingkir! Aku akan buat perhitungan dengan kalian semua. Kurang ajar!" Pria suruhan itu sudah memukul orang-orang Nathan ayas perintah Yuan, sampai akhirnya ia memergoki seorang pria yang baru saja selesai mengabari Nathan. Pria itu gemetar ketakutan, pasti gilirannya sekarang. "Nyonya, maafkan aku!" "Kau menghubungi Nathan, ya?" Pria itu mengangguk ketakutan. "Bagus." Yuan terus saja mendekati ruangan Nathan sampai akhirnya suara yang sangat ia kenali itu terdengar dari belakang. "Hentikan omong kosong ini, Ibu! Kau baru saja merusak properti perusahaan. Aku bisa menuntut mu karena tindakan ini." Yuan terseny
"Argh!!! Dia benar-benar racun yang membahayakan!"Yuan menghancurkan seisi kamar, bahkan kaca rias yang entah sudah diganti berapa kali itu tak luput dari amarahnya. Dadanya naik turun, sejak pulang dari rumah Nathan ia semakin frustrasi."Sejak kapan ia jadi licik seperti itu?"Yuan meremas rambutnya kesal. Hari-harinya benar-benar hancur. Sudah setengah mati membangun kembali namanya yah sempat tercoreng karena Arini, sekarang malah karirnya diusik entah oleh siapa. Yuan berpikir keras, berusaha mencari bukti jika memang Arini pelakunya. Tapi Nathan sangat sulit untuk diajak berpikir, putranya sudah hilang kepercayaan pada Yuan, itu yang semakin membuatnya tak bisa mengendalikan amarah.Satu tangan meraih ponsel dari dalam tas, ia menghubungi seseorang untuk mencari tahu masalah ini. Jika terus dibiarkan, orang itu pasti akan semakin menjadi dan menghancurkan keluarganya.Setelah selesai, ia hanya duduk di sudut ranjang yang penuh dengan kehampaan.Dulu sebelum bertemu Sean, ia ti
"Aku pikir kau sudah berubah dan membiarkan putramu bahagia bersama istrinya. Rupanya kau semakin menjadi."Suara bariton Sean terdengar tak suka. Setelah mendengar pengakuan dari Yuan, ia bertambah muak melihat istrinya. Dulu saat kecil, beruntung ia dan William bisa menjadi tameng untuk melindungi Arini, tapi sifat egois dan pendendam Yuan rupanya tak bisa diredam.Bahkan mempunyai ide konyol untuk menikahkan Arini dan Nathan, agar wanita itu tetap ada dalam pengawasannya."Kau sudah keterlaluan. Melampiaskan dendam yang tidak ada habisnya," lanjutnya lagi memantik amarah Yuan. Ia sedari dulu tak terima jika Sean berpaling membela Arini. Ternyata selain Sean dan William, sekarang Nathan juga menjadi pelindung wanita itu."Bahkan penyiksaan yang dia alami, sangat tidak sebanding dengan luka yang ditorehkan orang tuanya," geram Yuan.Sean berbalik menatapnya."Jika kekasih lamamu itu masih hidup, mengapa tak menikah dan hidup bahagia saja dengannya? Dengan begitu kau bisa melepas den
"Aku sudah lama curiga jika kau bukan Arini. Katakan di mana Arini!"Monica masih bungkam. Tubuhnya sudah tak dibaluti apa pun selain selimut tebal sekarang. Bibir bungkam tapi otaknya kian berputar mencari alasan yang tepat. Tidak mungkin penyamarannya akan dibongkar secepat ini."Monica, katakan di mana kau sembunyikan Arini!" Bentakan Nathan membuat netra Monica mengembun. Ia memasang wajah sedih meminta iba pada suaminya. "Nama siapa yang baru kau sebut, Mas?"Nathan sekarang yang bungkam. Bisa berbahaya jika yang berada di hadapannya adalah Arini."Katakan siapa Monica! Dan apa hubunganmu dan dia? Bagaimana bisa kau melihat aku adalah dirinya?"Nathan mati kutu. Akting yang ditunjukkan Monica sepertinya meyakinkan. Wanita itu semakin meringkuk di sudut kasur."Apa ada wanita yang mirip denganku? Katakan di mana wanita itu dan sejak kapan kau berkhianat? Atau saat aku koma selama bertahun-tahun kau sudah membagi cintamu dengan wanita bernama Monica?" tuding Monica dengan tangisa
"Mommy mau ke mana?"Suara Edward menghentikan aksinya yang sedang mengemasi pakaian ke dalam koper, setelah pulang kerja ia mengemasi beberapa barang pentingnya yang akan ia bawa ke Indonesia esok pagi.Edward masih berdiri di depan pintu kamar menunggu jawaban, sepertinya Monica akan pergi ke suatu tempat yang entah. Monica terdiam sebentar kemudian lanjut menutup kopernya, tidak banyak barang yang ia bawa, lagi pula ia tidak menginap, jika bisa ia akan segera pulang, atau jika memang harus menginap setidaknya hanya satu hari, ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan Edward dan Edgard meski sudah menyuruh orang untuk memasak dan mengurus keperluan keduanya."Mommy akan berangkat ke Indonesia, ada meeting penting dari pemilik brand yang menjadi investor di perusahaan Mommy. Oh iya, besok akan ada orang yang datang untuk mengurus kalian sementara waktu. Jangan bertengkar dengan adikmu sampai Mommy kembali!"Tangan Edwar mengepal kuat, ia seperti merasa diabaikan dan tidak didengar,
"Edgard, panggil kakakmu untuk makan malam!" Monica yang baru saja pulang kerja, telah selesai memasak makan malam untuk mereka. Ia memang tidak membiasakan diri untuk membeli makanan di luar demi kesehatan putranya. Edward sebenarnya belum tertidur, ia masih sibuk dengan isi pikiran yang tak ada habisnya. "Mommy sudah menunggu di bawah."Edward bergeming, kakinya terasa berat untuk mendekati Edgard, akhirnya mau tak mau Edgard yang menghampiri Edward dan menarik kakinya."Berhenti berpura-pura tidur! Memangnya ada masalah yang lebih rumit dari rumus kimiamu yang membuat pusing itu? Ayo turun sebelum Mommy marah!"Edward masih pada posisinya, membuat Edgard semakin kesal pada saudara kembarnya."Kau sedang memikirkan Daddy?"Pertanyaan Edgard membuat Edward bangkit merubah posisi menjadi duduk."Ternyata benar, pria dewasa yang kemarin itu adalah Daddy, ucap Edward menatap Edgard. Adiknya tidak terkejut, ia sudah menduganya dari awal kalau itu memang ayah kandung mereka.Lihat saja
Monica menjadi semakin sibuk, ia terlihat sangat fokus dengan bisnisnya yang sudah mulai dikenal banyak orang, karena keberadaan produk skin care milik Felicia.Kesibukannya yang padat, membuat kedua putranya yang memang masih membutuhkan perhatian lebih darinya malah lebih sering ditinggal sendiri, dalam waktu yang cukup lama.Mereka hanya akan bertemu di pagi hari di meja makan, lalu Monica akan pulang ketika malam hari dan tetap menyiapkan makan malam seperti biasa, mengobrol secara intens pun sudah tidak pernah dilakukan, hal itu tentu saja membuat hati kedua putranya sedih, mereka seperti kehilangan sosok ibunya.Malam menampakkan rembulan penuh, Edward duduk di balkon rumah seorang diri, tak lagi memegang komputer, atau mencari rumus-rumus kimia baru tersulit yang akan dipecahkan, pikirannya tertuju pada wajah Nathan saat mereka pertama kali bertemu.Bibirnya bungkam, membiarkan binatang malam mengambil alih lebih dulu untuk saling berbisik satu sama lain.Ia bisa melihat cinta
"Pak saya membawa kabar bahagia, akhirnya perusahaan kita diterima untuk bekerja sama dengan perusahaan milik Nyonya Monica."Nathan tentu saja tidak bisa tidak senang, akhirnya satu langkah lagi, tujuannya akan tercapai. Nathan bergegas menyuruh sekretarisnya untuk memproses pengiriman produk di perusahaan kecil Monica. Itu akan menguntungkan bagi keduanya, apalagi dengan sistem bagi hasil yang lebih menguntungkan perusahaan Monica, tentu saja i mempermudah Monica untuk memperluas perusahaan kecilnya, agar menjadi lebih dikenal, ia tak akan rugi mengeluarkan berapapun biayanya, toh ia tahu Monica bekerja untuk dua anaknya. Beberapa bulan kemudian ia mendapat kabar yang lebih membahagiakan, angka penjualan produk miliknya di sana juga tak kalah memuaskan. Tiba-tiba saja sang sekretaris masuk."Ada laporan?" selidik Nathan. Tuan William menunggu di bawah."Nathan sadar, tingkahnya ini sudah tercium oleh William. Ia tahu betul kedatangan William kali ini pasti untuk mencegahnya. J
"Periksa rambut ini!" Nathan menyerahkan dua helai rambut yang berbeda di kantong plastik kecil, sekretarisnya yang baru saja masuk pun mengambil sampel rambut tersebut. "Tunggu dan laporkan hasil labnya padaku segera!""Baik, Pak."Sang sekretaris langsung berlalu keluar dari ruangan Nathan. Ia sebenarnya memang sengaja membiarkan Monica pergi bersama dua putra kembar, yang dicurigai adalah anak-anaknya, tapi nanti setelah hasil yes itu keluar, dan ia tahu jika itu adalah anaknya, maka mau tidak mau ia harus menjemput Monica dan meminta penjelasan dari wanita itu, mengapa Monica memilih menghindar dan merahasiakan ini semua darinya.Ia kembali mengingat kejadian kemarin, dari reaksi William dan Arini, sudah pasti mereka mengetahui segalanya. "William, mengapa ia menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Jika memang itu putraku apakah salah jika aku tahu." Nathan langsung saja memainkan jemarinya pada keyboard, mencari-cari informasi tertentu terkait Monica dan kedua putranya, tap
"Kak, apa yang kau lakukan?" protes Nathan ketika dipukul beberapa kali oleh William. Ia tak peduli dan mendorong Nathan hingga menabrak mobilnya sendiri. "Cepat pergi dari sini!" titahnya tegas. Nathan mengusap darah yang menodai sudut bibirnya, kemudian menatap kesal ke arah William. Ia meludah, membuang darah yang tadi terasa asin di mulutnya. "Apa salahku? Aku hanya ingin tahu anak siapa mereka? Mengapa begitu mirip denganku?""Seseorang bisa mirip dengan siapa saja. Pergi, ini bukan urusanmu, Nathan! Kau hanya membuat Monica ketakutan."Nathan terdiam sesaat, ia memberi tatapan layaknya musuh ke arah William, berpikir jika William selalu bersikap seolah paling benar. William yang merasa tertantang bersiap untuk memukul lagi."Aku tahu, itu pasti anakku.""Tutup mulutmu, bangsat!"BUGH!Pukulan tersebut langsung dicegah Arini, ia menjerit agar Nathan dan William berhenti bertengkar. Terlebih saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian, warga desa pasti lebih mudah penasaran
"Kak, kau mau ke mana?"Sudah tujuh hari sejak pemakaman Budi, Monica dan anaknya memang menginap di desa Bunga, William sendiri yang mengambil semua barang bawaan Monica di hotel dekat rumah sakit kala itu, atas permintaan Monica sendiri.Wanita itu sedang sibuk berkemas, ia menatap Arini sekilas, kemudian lanjut mengemasi beberapa barang yang menurutnya penting."Aku akan kembali ke Amerika hari ini, pekerjaanku tak bisa ditinggal begitu saja," sahut Monica dengan tangannya yang masih sangat sibuk.Ia memasukkan beberapa produk kecantikan, tapi urung. Ia memilih untuk meninggalkan beberapa produk miliknya di meja rias Arini. Menginap beberapa hari, Monica memang menempati kamar Arini, sementara adiknya dan William menempati kamar tamu."Memangnya tak bisa bertahan sampai empat puluh hari?" tanya Arini terdengar menawarkan.Monica tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Ia mendekati Arini yang kini berpindah ke kasur."Tidak bisa, Arini. Toko kosmetik yang aku kelola cukup ramai, dan s
"Aku pikir kau tidak akan datang, tapi akhirnya kakak sudah berada di sini. Meskipun aku sedikit kesal, kenapa tidak memberitahu kami? William pasti akan menjemput kalian di bandara," cerocos Arini, ketika keduanya duduk di kursi tunggu.Monica tersenyum tipis."Tidak perlu. Memangnya aku kedutaan Indonesia yang harus dijemput?" sahut Monica berkelakar. Arini memajukan bibir bawahnya kesal."Oh iya, Kak. Apa mereka tahu?" Monica menatap penasaran."Tahu apa?" "Tentang siapa ayahnya."Monica terdiam sebentar, kemudian menggeleng cepat."Untuk apa memberitahu mereka? Lagi pula setelah mereka tahu, apa yang akan mereka dapatkan? Kau tahu kan seperti apa Nathan? Sudah, jangan bahas namanya di sini! Anak-anak akan mendengarnya nanti. Mereka kembali juga untuk bertemu ayah, bukan pria brengsek itu!" William dari tadi sibuk dengan ponselnya, di sisi kiri kanan ada Edward dan Edgard yang sedari tadi tak melunturkan senyum mereka, di layar pipih mereka berbicara bebas dengan Adam dan Allea
"Mommy, are you okay?" Kedua putranya menatap panik ke arah Monica, wanita itu memijat pelipis, rasa pusing masih terasa di kepala, tapi Monica masih berusaha tersenyum agar tak membuat anak-anaknya semakin khawatir. "Mommy tidak apa-apa, Sayang. Oh iya mengapa sepagi ini sudah pulang?" tanya Monica. "Kami tidak bisa fokus jika Mommy kenapa-kenapa." Putranya begitu peduli dengannya, padahal ia ingat sejak kecil mereka berdua tidak terlalu dimanjakan dengan kasih sayang dari Monica. "Mommy, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" selidik Edgard. "Tidak ada, Mommy hanya kelelahan," dustanya untuk ke sekian kali. "Berhentilah berbohong, Mommy! Kakek sedang sakit di Indonesia. Keputusan juga ada di tangan Mommy, akan kembali ke sana seorang diri, atau tetap berada di sini bersama kami," ujar Edward mantap. Mendengar itu Monica mengernyit heran. "Apa yang kau katakan? Bagaimana bisa Mommy meninggalkan kalian sendirian?" Edward tahu tahu Monica tidak akan pernah memb