"Aku pikir kau sudah berubah dan membiarkan putramu bahagia bersama istrinya. Rupanya kau semakin menjadi."Suara bariton Sean terdengar tak suka. Setelah mendengar pengakuan dari Yuan, ia bertambah muak melihat istrinya. Dulu saat kecil, beruntung ia dan William bisa menjadi tameng untuk melindungi Arini, tapi sifat egois dan pendendam Yuan rupanya tak bisa diredam.Bahkan mempunyai ide konyol untuk menikahkan Arini dan Nathan, agar wanita itu tetap ada dalam pengawasannya."Kau sudah keterlaluan. Melampiaskan dendam yang tidak ada habisnya," lanjutnya lagi memantik amarah Yuan. Ia sedari dulu tak terima jika Sean berpaling membela Arini. Ternyata selain Sean dan William, sekarang Nathan juga menjadi pelindung wanita itu."Bahkan penyiksaan yang dia alami, sangat tidak sebanding dengan luka yang ditorehkan orang tuanya," geram Yuan.Sean berbalik menatapnya."Jika kekasih lamamu itu masih hidup, mengapa tak menikah dan hidup bahagia saja dengannya? Dengan begitu kau bisa melepas den
"Aku sudah lama curiga jika kau bukan Arini. Katakan di mana Arini!"Monica masih bungkam. Tubuhnya sudah tak dibaluti apa pun selain selimut tebal sekarang. Bibir bungkam tapi otaknya kian berputar mencari alasan yang tepat. Tidak mungkin penyamarannya akan dibongkar secepat ini."Monica, katakan di mana kau sembunyikan Arini!" Bentakan Nathan membuat netra Monica mengembun. Ia memasang wajah sedih meminta iba pada suaminya. "Nama siapa yang baru kau sebut, Mas?"Nathan sekarang yang bungkam. Bisa berbahaya jika yang berada di hadapannya adalah Arini."Katakan siapa Monica! Dan apa hubunganmu dan dia? Bagaimana bisa kau melihat aku adalah dirinya?"Nathan mati kutu. Akting yang ditunjukkan Monica sepertinya meyakinkan. Wanita itu semakin meringkuk di sudut kasur."Apa ada wanita yang mirip denganku? Katakan di mana wanita itu dan sejak kapan kau berkhianat? Atau saat aku koma selama bertahun-tahun kau sudah membagi cintamu dengan wanita bernama Monica?" tuding Monica dengan tangisa
"Kau begitu menyukai Arini sampai rela melakukan ini. Harusnya dia tidak menikah dengan Nathan." Monica duduk di sebelah William. Pria itu tersenyum tipis tapi tak terlalu memperhatikan Monica. Setelah ia memberikan bukti kekerasan Yuan, ia hanya berharap ibunya segera diadili, dengan begitu Arini akan tetap hidup bahagia bersama Nathan. Pria tinggi tegap itu hanya bisa terus memandang laut lepas. "Harusnya begitu, tapi Arini hanya menginginkan adikku, jadi tidak ada gunanya memaksa hati seseorang harus persis dengan kita. Oh iya, saranku, jangan buru-buru membawa barang bukti ke pihak yang berwajib, karena sekarang, kekuatan netizen jauh lebih berarti dari pada para aparat itu, sebagian besar dari mereka sudah disuap ibu," terangnya panjang lebar. Monica mengangguk paham. Ia tak habis pikir pria sebaik William mendapatkan Maira, dan wanita selembut Arini harus memiliki suami yang jahat seperti Nathan. Sepertinya jodoh mereka berdua tertukar. Orang jatuh cinta memang sulit u
"Dari mana saja?" Monica baru saja masuk ke rumah, langkahnya terhenti ketika suara bariton Nathan terdengar mengintimidasi dirinya. Pria itu bangun dan mendekati Monica yang masih tidak bergeming. "Hanya karena aku memberimu kebebasan, kau juga semakin bebas untuk bepergian," lanjutnya tak suka. Tanpa basa-basi, ia langsung melempar beberapa potret ke arah Monica. "Awalnya aku tidak ingin menuduh lebih jauh. Tapi kau sudah keterlaluan. Kau memanfaatkan kebebasanmu untuk kembali bertemu dengan William. Ada apa, Arini? Apa kau ingin terlihat seperti diperebutkan oleh kami?" Monica mencoba berperan seperti Arini yang penyabar. Jika ia sarkas, Nathan pasti akan mencium gelagat Monica di dalam dirinya. Wanita itu tersenyum tipis, kemudian mengambil salah satu potret yang berserakan di lantai. "Seperti yang kau tahu. Aku ingin menenangkan diri, kebetulan bertemu William tanpa direncanakan." Monica tidak bohong, 'kan? Ia memang bertemu William tanpa sengaja. "Benarkah tidak s
"Maaf, Nyonya. Tapi William tidak bisa ditemukan. Tidak ada yang tahu keberadaannya sejak beberapa hari kemarin." Keterangan yang ia dapat dari orang suruhannya tak membuat dirinya puas, kedua tangan terkepal kuat. Setelah dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Ambar, sekarang jawaban dari beberapa pria di hadapannya membuatnya kesal tentu saja. Rupanya William sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari, bukti sudah tersebar luas, dan dirinya menghilang baga ditelan bumi. "Kalian memang tidak berguna! Pergi sana!" teriaknya murka. Yuan melempar beberapa barang yang ada d hadapannya untuk melampiaskan amarah. William sudah keterlaluan. Ia yakin, bahkan kerabatnya saja tak akan mampu melindungi dirinya seperti dulu. Tak lama, beberapa orang berseragam sudah berada di depan pintu rumah, terlihat asing dan itu membuat Yuan sedikit kesulitan. Dengan mengumpulkan sedikit keberanian Yuan memberanikan diri untuk menyambut orang-orang itu. "Maaf, ada perlu apa, ya?" "Kami mendapa
Pintu tiba-tiba terbuka, beberapa orang berseragam datang menerobos masuk secara paksa ke ruangan Nathan. "Apa-apaan ini? Kalian bersikap tidak sopan di tempatku," bentak Nathan garang. "Angkat tangan dan jangan bergerak! Anda ditangkap atas kasus penganiayaan yang dilakukan terhadap saudari Arini." Nathan langsung menoleh cepat ke arah Monica. Wanita itu memasang wajah sedih dan juga air mata palsunya. "Pak, ini pasti hanya salah paham. Tolong jangan tangkap suami saya!" "Maaf, Bu. Barang bukti sudah ada di kantor polisi. Jika ingin menjelaskan lebih lanjut, silahkan ke kantor polisi. "Sayang, apa ini rencanamu?" Monica yang tadinya nangis malah tersenyum miring. Buru-buru ia mengganti ekspresi dan berbicara mengiba pada beberapa anggota itu. "Bolehkah saya memeluknya dulu?" Mereka saling adu tatap seperti meminta persetujuan, atau mungkin keheranan. Karena sebagai korban, Monica dianggap terlalu baik pada suaminya. "Baiklah. Satu menit!" Monica tersenyum antus
"Selamat, ya! Usia kehamilan Anda sudah memasuki tiga bulan." Bagaimana tersambar petir, ini kabar yang tidak ingin ia dengar. Monica semakin panik, tapi berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan emosinya sendiri. Ingin marah pada siapa? Nathan? Pria itu sudah mendekam di penjara. "Dokter yakin ini hasil akhirnya?" Dokter tersebut tersenyum. Ia malah menawarkan tes USG, akhirnya Monica menyetujui. Dan hasilnya, ia bisa melihat dengan jelas wujud makhluk kecil di dalam perutnya. Refleks ia menangis, membuat dokter berpikir jika Monica hanya terharu. Ia pergi, dengan perasaan yang entah. Karena tak percaya, ia memutuskan untuk mengecek kandungannya di beberapa rumah sakit kota dan hasilnya tetap sama. Di dalam mobil pikirannya entah ke mana. Monica meremas kuat perutnya, berharap makhluk tak berdosa itu segera pergi dan hancur di dalam sana. Ia memukul beberapa kali tapi berakhir dengan suara tangis yang menggema di seisi mobil. Malam semakin larut, sementara dirinya ma
Kedatangan Sean dan William tentu saja disambut baik oleh Budi, pria itu turut senang ketika mengetahui kedatangan keduanya yang bermaksud untuk melamar Arini. Dari yang ia dengar dari anak-anaknya, Sean dan William adalah orang baik yang mengasingkan diri dan juga kerap melindungi Arini.Budi beruntung hal-hal baik masih menimpa dirinya, andai saja Arumi masih hidup, pasti istrinya akan sangat bahagia. Arini pun tak keberatan dan menerima lamaran William, meski mereka berdua juga heran ke mana perginya Monica, William hanya memberitahu jika Monica sedang ada urusan bisnis di luar negeri selama beberapa tahun ke depan, dan tidak bisa diganggu untuk sementara waktu.Satu bulan setelah kedatangan William, mereka benar-benar menikah, dan memutuskan untuk tetap menetap di desa, lagi pula William juga menyukai suasana di sana, meski sesekali mengurus pekerjaan di kota, ia tetap tak lupa pada tanggung jawabnya."Sayang, masak apa hari ini?"Tangan kekar William melingkar di pinggang ramping
Salah satu anak buah Ambar masuk dengan tergesa, pria itu ngos-ngosan dan ingin menjelaskan semuanya pada Ambar, bahwa Sean berhasil menerobos masuk dan sudah melumpuhkan anak buahnya yang lain. Tapi sebelum itu terjadi, suara pistol mengejutkan mereka,pria itu tertembak sebelum bicara."Sialan!"Ambar langsung menunduk mencari tempat aman, ia tak peduli jika nanti Jenni yang akan tertembak, tak peduli jika wanita yang diikat menggantung itu mati, yang penting ia selamat, berteriak memanggil bawahannya pun sulit, karena memang semua sudah dibereskan oleh Sean.Sean masuk dengan gagah, berjalan pelan dan menodongkan senjata ke arah Ambar yang kini menatap sang ayah."Ayah?"Sean tersenyum miring."Jika tidak ingat kau adalah darah dagingku, mungkin satu peluru ini sudah menembus kepalamu. Bangun!"Dengan takut-takut Ambar berdiri, ia mengangkat kedua tangan seolah menyerahkan diri. Sean mendorong tubuhnya dengan senjata, memerintahkannya untuk duduk di kursi, setelahnya ia mengarahkan
Kedua pria berbeda usia itu duduk saling berhadapan sat sama lain. Jika Edward menatapnya dengan kilat amarah, Sean malah menatapnya dengan bangga. Dari sekian banyak usahanya bersama William, ternyata yang bisa memecahkan masalah besar ini adalah Edward, cucunya yang paling cerdas dalam hal teknologi. "William, tinggalkan kami sebentar!" "Baik, Ayah." William bergegas pergi, termasuk Edgard sendiri. Kali ini Sean benar-benar ingin berbicara empat mata bersama Edward. "Mengapa mereka harus pergi? Agar tak tahu kebusukan mu, 'kan?" Sean tak ambil pusing. Ia menatap lurus ke depan, tatapan tajam Edward tak membuatnya gentar, ia seperti melihat dirinya sendiri dari sorot mata ini. "Aku akan memberitahumu kebenarannya, tapi berjanjilah untuk tidak menyalahkan siapa pun setelah mendengar penjelasanku. Siapa pun yang ada di dalam jawaban atas pertanyaanmu, kau tidak berhak menyalahkan atau mengorek informasi selanjutnya, karena ini masa lalu yang sudah ditutup selama puluha
"Apa yang terjadi dengan mereka tadi?" William kini menginterogasi sopirnya dengan ekspresi marah, semula ia berpikir jika dua anak itu berlari entah ke mana karena tak tahan dikekang. Tapi kondisi keduanya yang lemas, membuat William berpikir ulang tentang prasangka buruknya. "Maaf, Pak. Saya juga tidak mengerti. Tadi saya tak sadarkan diri, dan setelah bangun malah melihat dua tuan muda sudah terikat." "Kembali ke tempatmu sana!" William menatap dua keponakannya yang tak sadarkan diri, lantas menyuruh dua orang pria untuk membawa mereka ke dalam. Tapi, sebelum itu terjadi, Edward lebih dulu terbangun dan terbatuk-batuk. "Edward, kau tidak apa-apa?" tanya William panik. Habis sudah ia di tangan Monica, jika Monica tahu anaknya dalam bahaya, padahal ada dalam pengawasan William. "Hanya sedikit pusing, Paman." Edward memijat pelipisnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Aku, tidak ingat. Semua terjadi begitu cepat!" William langsung menyuruh orang untuk membopong Edward. Pr
"Kenapa anting ini rasanya familiar?"Sean dan William tengah berada di markas rahasia, keduanya ingin mengungkap sendiri pelaku yang hampir membuat nyawa Monica tiada. Anting itu terus saja Sean perhatikan, ia merasa tidak asing dengan barang milik wanita ini, seperti pernah melihatnya di telinga seseorang tapi siapa.William juga ikut memperhatikan, tapi ia sama sekali tidak tahu anting milik siapa itu. "Ayah, apa pernah melihat anting ini sebelumnya?"Sean mengangguk mantap, dan kini ia tengah memaksa otaknya untuk berpikir keras mencari jawaban. Sean memang jarang berbicara, ia lebih banyak bertindak dan menjadi salah satu orang paling teliti, hanya saja nasib buruk membawanya menjadi suami Yuan.Wanita itu benar-benar membuatnya tak habis pikir, bagaimana bisa mendiang ayahnya dulu percaya jika Yuan adalah jodohnya. Lupakan sejenak tentang Yuan, ia kemudian memilih untuk mengambil sebotol wine dari lemari pendingin, menuangkannya pada gelas kecil, dan menenggaknya perlahan. Bi
Sudah tiga hari Monica tak sadarkan diri, ia sepertinya lebih nyaman memejamkan mata dan sukses membuat Nathan gelisah. Pria itu bahkan beranjak dari tempatnya dalam waktu yang lama saja enggan. Beruntung peluru berhasil dikeluarkan, pendarahan juga terhenti tepat waktu, juga suatu kebetulan ada banyak stok darah yang sesuai dengan Monica di rumah sakit itu, sekarang Monica masih dalam masa pemulihan. Tapi ini sudah tiga hari, itu yang membuat Nathan khawatir jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Pria itu tak lepas dari sang istri, ia mengusap punggung tangan istrinya penuh cinta. Ketika ingin beranjak pun ia tetap memasang kamera pengawas, bahkan tak ada satu pun perawat yang ia percaya, ia terlalu merasa takut Monica terancam. "Sayang, bangun! Aku dan anak-anak merindukan dirimu. Bangun dan pukul saja aku! Aku adalah suami yang tidak berguna, aku tidak mampu melindungi mu dari bahaya. Jangan diam saja, Monica! Bangun dan pukul aku!" Netra tajamnya mengembun. Rasa cin
"Paman, mengapa bukan Daddy yang menjemput kami?" William masih fokus menyetir, ia tersenyum tipis mendengarkan pertanyaan salah satu keponakannya. "Daddy pasti sedang sibuk. Benarkan, Paman?" "Tentu saja." Suasana hening sebentar, tapi Edward merasa ada yang tidak beres, perasaannya selalu gelisah dan terus memikirkan keadaan Monica, apa wanita itu dalam bahaya, dan ketidakberadaan Nathan menjadi alasan terkuat di balik kondisi Monica, tapi pertanyaan itu hanya mengambang di pikirannya tanpa ia ungkapkan. Netranya memicing. Baru sadar jika ini bukan jalan pulang. "Paman, sepertinya kita salah jalan," tegur Edward. "Tidak. Ini jalan menuju rumah paman. Untuk sementara, kalian akan tinggal di rumah paman," cetus William. "Kenapa? Apa yang sudah terjadi di rumah?" Dua anak ini memang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dengan sedikit bualan mungkin bisa menenangkan, ia hanya tak ingin konsentrasi belajar mereka terganggu karena masalah orang dewasa, mereka hanya harus belaj
"Tidak ada apa-apa. Menyebalkan!" Monica baru saja ingin beranjak, tapi tiba-tiba suara letusan senjata api terdengar di dekatnya. Boneka yang ia letakkan terjatuh begitu saja dengan kepala yang sudah koyak. Monica melebarkan netranya. Ia tak menyangka jika bahayanya akan lebih dari yang ia bayangkan. Bukan hanya lemparan batu, Ambar mulai memakai senapan untuk membunuh dirinya. Ia langsung mengambil kamera dan berlari ke lantai dasar. Monica mondar-mandir kebingungannya, suara tembakan terdengar lagi, kali ini berhasil menembus pintu rumah. Monica menjerit dan menutup telinga, ia bersembunyi di balik sofa agar tidak tertembak. Tangannya gemetar menghubungi Nathan, William, dan Sean secara bersamaan. Panggilan belum mendapatkan satu pun balasan. "Sial! Mereka pasti sedang sibuk." Monica buru-buru mengirim pesan suara dan mengirimnya pada tiga orang tersebut secara bersamaan. Ia dalam bahaya sekarang, mau tak mau harus bersembunyi atau berlari melalui pintu belakang. Suara
"Ada yang tidak beres sekarang. Ambar, kau masih ingin bermain denganku, 'kan? Aku akan menunjukkan permainan yang sesungguhnya," lirih Monica dengan tatapan tajam ke depan. Pecahan kaca itu tidak seberapa, masih bisa diganti, tapi teror yang akan dilakukan Ambar ke depannya tidak bisa diprediksi.Beruntung jika hanya dia yang diusik, tapi bagaimana jika putranya yang jadi sasaran dendam tak beralasan Ambar. Sekali pun ia tak melihat langsung pelakunya, ia sudah yakin jika ini adalah ulah Ambar. Wanita itu bisa keluar masuk rumah sakit sesuka hatinya.Deru mobil berhenti di depan, suami dan anak-anaknya sudah pulang. Nathan langsung masuk bersama dua putranya, seperti biasa orang pertama yang mereka cari adalah Monica. Wanita itu tak ingin membuat Nathan cemas, ia bersikap seperti biasa dan menghampiri suaminya."Tolong ganti jendela dapur! Sepertinya ada orang iseng yang tidak sengaja memecahkan kaca barusan," pinta Monica tersenyum tipis. Ia membantu Nathan melepas dasi, dan membawa
"K-kau?" Perempuan itu tersenyum. Ia memegang tangan Monica dengan tatapan lembutnya. Monica melihat ketulusan dalam diri perempuan yang tadi ia pikir gila. "Aku dulu adalah perawat di sini. Dan dia salah satu pasienku," ucapnya memulai pembicaraan sembari menunjuk ke arah Ambar. Ambar tak sadar jika diawasi dari jauh, ia terlalu sibuk bersandiwara di depan Nathan. "Lalu, mengapa kau berpenampilan seperti orang gila?" "Semua karena dia. Dia wanita licik dan jahat, dia tidak pernah gila, hasil pemeriksaan normal, ia hanya menderita halusinasi tapi tak parah. Awal kedatangannya, aku pikir dia menyedihkan. Ternyata dia wanita jahat, sering menyiksa dan menyuntik perawat dengan obat bius, tapi saat diperiksa ia akan bersikap seperti orang gila yang memberontak dan seperti pasien yang mengalami trauma berlebih. Dia melakukan itu karena tak ingin dipenjara, ia juga selalu memukulku tanpa sebab sembari menyebut nama Arini dan Monica. Apa kau Arini, atau Monica?" "Monica." "Di