"Hentikan kebohonganmu atau kau akan mati di sini!" Maira terkejut dengan reaksi yang diberikan Nathan, pria yang biasanya dengan mudah ia rayu kini mendorongnya dengan kuat. Arini yang melihat itu tertawa mengejek, kemudian menggamit lengan suaminya dengan mesra. "Kita akan terlambat jika terus meladeni dia," ujar Arini. Nathan menatap dengan kemarahan oada Maira, jelas sekali wanita itu berbohong, ia ingat saat itu dirinya bahkan tak mengeluarkan apa pun ke miliknya. "Bawa dia dan pastikan dia tak lagi mengusik keluargaku!" titah Nathan tegas. "Nathan, dengarkan aku! Kau akan menyesal karena sudah bersikap sekejam ini padaku. Nathan, Nathan!" Arini dan Nathan menghilang bersama mobilnya. Sepanjang jalan Nathan terus berusaha menjaga kestabilan emosi istrinya. Wanita itu baru saja sembuh, ia sama sekali tak ingin membuat kesalahan yang akan memperparah kondisi istrinya lagi. Sudah cukup, karena untuk mencari pengganti Arini pun sulit, saat sebelumnya Monica memutuskan p
"Jadi, saudari kembar ku ada bersama Yuan?"Budi melebarkan pupil, bagaimana bisa putrinya mengenal Yuan, sementara ia belum menceritakan semuanya."Dia wanita yang baik, saat ayah punya pemikiran untuk membuang kalian, dia datang sebagai sahabat ibumu untuk mengurus saudarimu sampai saat ini," terang Budi membuat putrinya mengerti."Baik apanya? Dia hampir membuat Arini mati. Aku yakin perempuan itu pasti punya dendam pribadi sampai mengadopsi Arini." "Berhenti menyebutnya baik! Dia wanita jahat yang selalu membuat Arini menderita. Asal ayah tahu, Saudariku koma bertahun-tahun karena ulahnya, dia dan anak-anaknya itu penjahat yang tak bisa diampuni. Jika tahu begini, sudah lama aku patahkan saja kaki Yuan."Budi semakin tak mengerti maksud putrinya. Ia menatap Monica yang sedang dikuasai amarah. Pantas saja Monica seperti merasa tidak asing ketika bersama Arini, juga bisa merasakan kesakitan yang dirasakan Arini, ternyata semua sudah terjawab."Sebentar! Ayah tidak memahami apa maks
"Selamat datang, Nyonya besar. Selamat datang nona muda."Para pelayan di kediaman Nathan berbaris memberi hormat, dua perempuan jahat itu masuk dengan wajah angkuh, niat balas dendam sudah tak bisa dibendung lagi.Mengambil kesempatan ketika Nathan tak berada di rumah adalah pilihan satu-satunya, karena saat ini menaklukkan anak lelakinya saja ia sudah tak mampu. Arini yang sedang menikmati sarapan paginya sendiri berusaha abai, meski sebenarnya ia. sudah merasa sedikit takut. Tetap saja keberaniannya tak seperti Monica, ia tetap Arini yang lemah dan berusaha kuat. Kali ini ia harus melawan mereka.Bayangan kekejaman dua manusia itu terus berputar silih berganti, sebaik mungkin ia memasang wajah setenang air. Melihat Arini tak menyambutnya, membuat Yuan murka."Kau mulai bersikap angkuh ya, Arini. Bahkan kedatanganku dan putriku saja tak kau sambut layaknya melihat semut."Arini berpura-pura tuli, ia hanya tak ingin fokus makan nya terganggu. Para pelayan yang tahu bagaimana Arini h
"Nyonya Monica?"Semua terkejut melihat siapa yang datang. Perempuan yang kemarin menghilang secara misterius kini kembali. Pelayan itu hanya berdiam diri dengan wajah takut. Sementara Monica yang panik kini berlari menghampiri Arini, wanita itu perlahan berusaha membuka mata, satu tangan ia gunakan untuk menggenggam jemari Monica, yang kini berada di pipinya."Kau kembali?"Monica tak kuasa menahan tangisnya. Lebam, darah, dan kini ada darah yang merembes di kakinya. "Apa yang sudah terjadi padamu, Arini? Katakan siapa yang melakukan ini?"Arini terbatuk, lagi dan lagi darah keluar dari mulutnya. Wajah cantiknya mendadak pucat, sepertinya ia memang kehilangan banyak darah."Mereka, datang lagi.""Siapa?"Tiba-tiba kesadaran Arini menghilang. Monica menyesali keterlambatannya, andai datang lebih awal, pasti ia bisa mencegah hal ini terjadi. Matanya menyisir sekeliling, ia temukan kamera pengawas yang mengarah ke ruangan ini, kemudian menatap berang ke arah semua pelayan."Aku bahkan
Jujur saja jauh di dalam lubuk hati Monica, sebenarnya ia mulai sedikit merasa nyaman dengan perhatian kecil dari Nathan. Tapi jika mengingat bagaimana dulu dia memperlakukan Arini, membuat Monica membuang jauh pikiran nyamannya.Monica berdiam diri di depan meja rias, sebenarnya tidak masalah jika ia memang harus melayani Nathan, tapi rasanya sedikit janggal dengan niatnya kembali ke rumah serupa neraka ini.Piyama tidur berwarna merah hati sudah melekat di badan, rambut yang dibiarkan tergerai, juga aroma tubuh yang khas membuat Monica nyaman. Ia mematut dirinya di depan kaca, setelah memakai serangkaian perawatan malam, Monica bergegas tidur di pembaringan. Tak terasa satu tangan mengusap bahunya dari belakang, disusul deru napas yang menyentuh leher, membuatnya sedikit merinding. Monica terperanjat dan bangun."Sayang, ada apa?" tanya Nathan heran."Aku, sedang tidak enak badan." Monica jelas berdusta, raut kekecewaan terlihat jelas di mata Nathan, tapi ia juga tak bisa memaksa i
"Kau salah karena mencari masalah denganku, Maira. Kau mau memulai permainan dari mana, Hem?" Maira terus meronta, berusaha menepis tangan Monica yang mencekik dirinya semakin kuat. Wajah Arini terus terbayang, raungannya, tawa puas Yuan, Ambar, dan Maira, penderitaan Arini, semua membuat kepalanya pusing, hatinya memanas, hasrat membunuhnya sudah semakin kuat. Akhirnya dengan kuat ia mendorong Maira, membuat wanita itu terbentur ke dinding. Sebenarnya bayi Maira tidak bersalah, tapi karena nyawa harus dibayar nyawa, Monica akan melakukan apa yang sudah Maira lakukan pada Arini. "Kau ingin bermain denganku, Maira?" Maira menggeleng, ia berusaha menghindar dan meraih gagang pintu. Berulang kali membuka tapi gagal, ia masih saja terkunci. Melihat itu Monica lantas bahagia, ia tertawa serupa tawa licik Maira. "Kau siapa? Kau pasti bukan Arini!" teriaknya membuat tawa Monica terhenti. Ia menatap lekat wajah Maira yang ketakutan, satu tangannya menampar keras Maira hingga wanita itu k
Kondisi Arini sedikit membaik, hanya saja ia belum sepenuhnya pulih, membutuhkan cukup waktu sampai ia benar-benar kembali mendapatkan kesehatannya. Rumah sakit dengan perawatan ekstra tentunya akan membuat Arini nyaman. Sepasang kaki itu melewati koridor rumah sakit, langkahnya menuju ruangan Arini untuk melihat kondisi kembarannya yang sudah mulai membaik. Kacamata hitam menutupi matanya, dengan langkah anggun juga berani ia berhasil menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung pasien di sana. Monica tak ambil pusing dan segera masuk ke ruangan Arini. "Kau masih betah tidur, ya? Sudah terbiasa koma selama bertahun-tahun, membuatmu kerasan untuk berbaring di ranjang pesakitan yang membosankan itu," celetuk Monica sembari menggigit buah apel. Perlahan jemari Arini bergerak, netranya juga mulai terbuka. Monica tahu Arini sadar, tapi ia bersikap seperti tidak peduli, sampai tatapan Arini kini beralih padanya. "Monica, sejak kapan kau di sini?" Wajah pucatnya mendadak panik,
"Maafkan aku!"Monica masih terdiam dengan air mata yang juga menggenang di pipi, ia memalingkan wajah, sedikit marah karena sikap Arini yang kerap menuduhnya yang bukan-bukan."Tidak perlu minta maaf! Kau tidak akan mempercayaiku sampai kapan pun," ketus Monica melipat tangan di dada. "Kakak, maafkan aku!" Kedua tangan ia letakkan di telinga, menatap penuh harap pada Monica yang masih terlihat marah. Perlahan ia berusaha turun dari brankar. Monica langsung bangun dan memukul tangannya."Dasar bodoh! Kau sedang apa? Bagaimana jika kau jatuh? Kau bahkan belum bisa berdiri dengan sempurna.""Apa kakak masih marah?""Tidak!""Benarkah?""Hem."Arini memeluk Monica cukup erat, membuat wanita itu terbatuk."Sekarang, kau hanya perlu beristirahat di sini! Ingat, ya! Jangan lakukan apa pun sebelum mereka semua menerima balasannya. Kau hanya perlu menonton dari jauh siaran menarik ini!" peringat Monica disahut anggukan mantap Arini."Beri mereka pelajaran yang setimpal! Mereka harus bertangg
"Mommy mau ke mana?"Suara Edward menghentikan aksinya yang sedang mengemasi pakaian ke dalam koper, setelah pulang kerja ia mengemasi beberapa barang pentingnya yang akan ia bawa ke Indonesia esok pagi.Edward masih berdiri di depan pintu kamar menunggu jawaban, sepertinya Monica akan pergi ke suatu tempat yang entah. Monica terdiam sebentar kemudian lanjut menutup kopernya, tidak banyak barang yang ia bawa, lagi pula ia tidak menginap, jika bisa ia akan segera pulang, atau jika memang harus menginap setidaknya hanya satu hari, ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan Edward dan Edgard meski sudah menyuruh orang untuk memasak dan mengurus keperluan keduanya."Mommy akan berangkat ke Indonesia, ada meeting penting dari pemilik brand yang menjadi investor di perusahaan Mommy. Oh iya, besok akan ada orang yang datang untuk mengurus kalian sementara waktu. Jangan bertengkar dengan adikmu sampai Mommy kembali!"Tangan Edwar mengepal kuat, ia seperti merasa diabaikan dan tidak didengar,
"Edgard, panggil kakakmu untuk makan malam!" Monica yang baru saja pulang kerja, telah selesai memasak makan malam untuk mereka. Ia memang tidak membiasakan diri untuk membeli makanan di luar demi kesehatan putranya. Edward sebenarnya belum tertidur, ia masih sibuk dengan isi pikiran yang tak ada habisnya. "Mommy sudah menunggu di bawah."Edward bergeming, kakinya terasa berat untuk mendekati Edgard, akhirnya mau tak mau Edgard yang menghampiri Edward dan menarik kakinya."Berhenti berpura-pura tidur! Memangnya ada masalah yang lebih rumit dari rumus kimiamu yang membuat pusing itu? Ayo turun sebelum Mommy marah!"Edward masih pada posisinya, membuat Edgard semakin kesal pada saudara kembarnya."Kau sedang memikirkan Daddy?"Pertanyaan Edgard membuat Edward bangkit merubah posisi menjadi duduk."Ternyata benar, pria dewasa yang kemarin itu adalah Daddy, ucap Edward menatap Edgard. Adiknya tidak terkejut, ia sudah menduganya dari awal kalau itu memang ayah kandung mereka.Lihat saja
Monica menjadi semakin sibuk, ia terlihat sangat fokus dengan bisnisnya yang sudah mulai dikenal banyak orang, karena keberadaan produk skin care milik Felicia.Kesibukannya yang padat, membuat kedua putranya yang memang masih membutuhkan perhatian lebih darinya malah lebih sering ditinggal sendiri, dalam waktu yang cukup lama.Mereka hanya akan bertemu di pagi hari di meja makan, lalu Monica akan pulang ketika malam hari dan tetap menyiapkan makan malam seperti biasa, mengobrol secara intens pun sudah tidak pernah dilakukan, hal itu tentu saja membuat hati kedua putranya sedih, mereka seperti kehilangan sosok ibunya.Malam menampakkan rembulan penuh, Edward duduk di balkon rumah seorang diri, tak lagi memegang komputer, atau mencari rumus-rumus kimia baru tersulit yang akan dipecahkan, pikirannya tertuju pada wajah Nathan saat mereka pertama kali bertemu.Bibirnya bungkam, membiarkan binatang malam mengambil alih lebih dulu untuk saling berbisik satu sama lain.Ia bisa melihat cinta
"Pak saya membawa kabar bahagia, akhirnya perusahaan kita diterima untuk bekerja sama dengan perusahaan milik Nyonya Monica."Nathan tentu saja tidak bisa tidak senang, akhirnya satu langkah lagi, tujuannya akan tercapai. Nathan bergegas menyuruh sekretarisnya untuk memproses pengiriman produk di perusahaan kecil Monica. Itu akan menguntungkan bagi keduanya, apalagi dengan sistem bagi hasil yang lebih menguntungkan perusahaan Monica, tentu saja i mempermudah Monica untuk memperluas perusahaan kecilnya, agar menjadi lebih dikenal, ia tak akan rugi mengeluarkan berapapun biayanya, toh ia tahu Monica bekerja untuk dua anaknya. Beberapa bulan kemudian ia mendapat kabar yang lebih membahagiakan, angka penjualan produk miliknya di sana juga tak kalah memuaskan. Tiba-tiba saja sang sekretaris masuk."Ada laporan?" selidik Nathan. Tuan William menunggu di bawah."Nathan sadar, tingkahnya ini sudah tercium oleh William. Ia tahu betul kedatangan William kali ini pasti untuk mencegahnya. J
"Periksa rambut ini!" Nathan menyerahkan dua helai rambut yang berbeda di kantong plastik kecil, sekretarisnya yang baru saja masuk pun mengambil sampel rambut tersebut. "Tunggu dan laporkan hasil labnya padaku segera!""Baik, Pak."Sang sekretaris langsung berlalu keluar dari ruangan Nathan. Ia sebenarnya memang sengaja membiarkan Monica pergi bersama dua putra kembar, yang dicurigai adalah anak-anaknya, tapi nanti setelah hasil yes itu keluar, dan ia tahu jika itu adalah anaknya, maka mau tidak mau ia harus menjemput Monica dan meminta penjelasan dari wanita itu, mengapa Monica memilih menghindar dan merahasiakan ini semua darinya.Ia kembali mengingat kejadian kemarin, dari reaksi William dan Arini, sudah pasti mereka mengetahui segalanya. "William, mengapa ia menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Jika memang itu putraku apakah salah jika aku tahu." Nathan langsung saja memainkan jemarinya pada keyboard, mencari-cari informasi tertentu terkait Monica dan kedua putranya, tap
"Kak, apa yang kau lakukan?" protes Nathan ketika dipukul beberapa kali oleh William. Ia tak peduli dan mendorong Nathan hingga menabrak mobilnya sendiri. "Cepat pergi dari sini!" titahnya tegas. Nathan mengusap darah yang menodai sudut bibirnya, kemudian menatap kesal ke arah William. Ia meludah, membuang darah yang tadi terasa asin di mulutnya. "Apa salahku? Aku hanya ingin tahu anak siapa mereka? Mengapa begitu mirip denganku?""Seseorang bisa mirip dengan siapa saja. Pergi, ini bukan urusanmu, Nathan! Kau hanya membuat Monica ketakutan."Nathan terdiam sesaat, ia memberi tatapan layaknya musuh ke arah William, berpikir jika William selalu bersikap seolah paling benar. William yang merasa tertantang bersiap untuk memukul lagi."Aku tahu, itu pasti anakku.""Tutup mulutmu, bangsat!"BUGH!Pukulan tersebut langsung dicegah Arini, ia menjerit agar Nathan dan William berhenti bertengkar. Terlebih saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian, warga desa pasti lebih mudah penasaran
"Kak, kau mau ke mana?"Sudah tujuh hari sejak pemakaman Budi, Monica dan anaknya memang menginap di desa Bunga, William sendiri yang mengambil semua barang bawaan Monica di hotel dekat rumah sakit kala itu, atas permintaan Monica sendiri.Wanita itu sedang sibuk berkemas, ia menatap Arini sekilas, kemudian lanjut mengemasi beberapa barang yang menurutnya penting."Aku akan kembali ke Amerika hari ini, pekerjaanku tak bisa ditinggal begitu saja," sahut Monica dengan tangannya yang masih sangat sibuk.Ia memasukkan beberapa produk kecantikan, tapi urung. Ia memilih untuk meninggalkan beberapa produk miliknya di meja rias Arini. Menginap beberapa hari, Monica memang menempati kamar Arini, sementara adiknya dan William menempati kamar tamu."Memangnya tak bisa bertahan sampai empat puluh hari?" tanya Arini terdengar menawarkan.Monica tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Ia mendekati Arini yang kini berpindah ke kasur."Tidak bisa, Arini. Toko kosmetik yang aku kelola cukup ramai, dan s
"Aku pikir kau tidak akan datang, tapi akhirnya kakak sudah berada di sini. Meskipun aku sedikit kesal, kenapa tidak memberitahu kami? William pasti akan menjemput kalian di bandara," cerocos Arini, ketika keduanya duduk di kursi tunggu.Monica tersenyum tipis."Tidak perlu. Memangnya aku kedutaan Indonesia yang harus dijemput?" sahut Monica berkelakar. Arini memajukan bibir bawahnya kesal."Oh iya, Kak. Apa mereka tahu?" Monica menatap penasaran."Tahu apa?" "Tentang siapa ayahnya."Monica terdiam sebentar, kemudian menggeleng cepat."Untuk apa memberitahu mereka? Lagi pula setelah mereka tahu, apa yang akan mereka dapatkan? Kau tahu kan seperti apa Nathan? Sudah, jangan bahas namanya di sini! Anak-anak akan mendengarnya nanti. Mereka kembali juga untuk bertemu ayah, bukan pria brengsek itu!" William dari tadi sibuk dengan ponselnya, di sisi kiri kanan ada Edward dan Edgard yang sedari tadi tak melunturkan senyum mereka, di layar pipih mereka berbicara bebas dengan Adam dan Allea
"Mommy, are you okay?" Kedua putranya menatap panik ke arah Monica, wanita itu memijat pelipis, rasa pusing masih terasa di kepala, tapi Monica masih berusaha tersenyum agar tak membuat anak-anaknya semakin khawatir. "Mommy tidak apa-apa, Sayang. Oh iya mengapa sepagi ini sudah pulang?" tanya Monica. "Kami tidak bisa fokus jika Mommy kenapa-kenapa." Putranya begitu peduli dengannya, padahal ia ingat sejak kecil mereka berdua tidak terlalu dimanjakan dengan kasih sayang dari Monica. "Mommy, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" selidik Edgard. "Tidak ada, Mommy hanya kelelahan," dustanya untuk ke sekian kali. "Berhentilah berbohong, Mommy! Kakek sedang sakit di Indonesia. Keputusan juga ada di tangan Mommy, akan kembali ke sana seorang diri, atau tetap berada di sini bersama kami," ujar Edward mantap. Mendengar itu Monica mengernyit heran. "Apa yang kau katakan? Bagaimana bisa Mommy meninggalkan kalian sendirian?" Edward tahu tahu Monica tidak akan pernah memb