"Selamat datang, Nyonya besar. Selamat datang nona muda."Para pelayan di kediaman Nathan berbaris memberi hormat, dua perempuan jahat itu masuk dengan wajah angkuh, niat balas dendam sudah tak bisa dibendung lagi.Mengambil kesempatan ketika Nathan tak berada di rumah adalah pilihan satu-satunya, karena saat ini menaklukkan anak lelakinya saja ia sudah tak mampu. Arini yang sedang menikmati sarapan paginya sendiri berusaha abai, meski sebenarnya ia. sudah merasa sedikit takut. Tetap saja keberaniannya tak seperti Monica, ia tetap Arini yang lemah dan berusaha kuat. Kali ini ia harus melawan mereka.Bayangan kekejaman dua manusia itu terus berputar silih berganti, sebaik mungkin ia memasang wajah setenang air. Melihat Arini tak menyambutnya, membuat Yuan murka."Kau mulai bersikap angkuh ya, Arini. Bahkan kedatanganku dan putriku saja tak kau sambut layaknya melihat semut."Arini berpura-pura tuli, ia hanya tak ingin fokus makan nya terganggu. Para pelayan yang tahu bagaimana Arini h
"Nyonya Monica?"Semua terkejut melihat siapa yang datang. Perempuan yang kemarin menghilang secara misterius kini kembali. Pelayan itu hanya berdiam diri dengan wajah takut. Sementara Monica yang panik kini berlari menghampiri Arini, wanita itu perlahan berusaha membuka mata, satu tangan ia gunakan untuk menggenggam jemari Monica, yang kini berada di pipinya."Kau kembali?"Monica tak kuasa menahan tangisnya. Lebam, darah, dan kini ada darah yang merembes di kakinya. "Apa yang sudah terjadi padamu, Arini? Katakan siapa yang melakukan ini?"Arini terbatuk, lagi dan lagi darah keluar dari mulutnya. Wajah cantiknya mendadak pucat, sepertinya ia memang kehilangan banyak darah."Mereka, datang lagi.""Siapa?"Tiba-tiba kesadaran Arini menghilang. Monica menyesali keterlambatannya, andai datang lebih awal, pasti ia bisa mencegah hal ini terjadi. Matanya menyisir sekeliling, ia temukan kamera pengawas yang mengarah ke ruangan ini, kemudian menatap berang ke arah semua pelayan."Aku bahkan
Jujur saja jauh di dalam lubuk hati Monica, sebenarnya ia mulai sedikit merasa nyaman dengan perhatian kecil dari Nathan. Tapi jika mengingat bagaimana dulu dia memperlakukan Arini, membuat Monica membuang jauh pikiran nyamannya.Monica berdiam diri di depan meja rias, sebenarnya tidak masalah jika ia memang harus melayani Nathan, tapi rasanya sedikit janggal dengan niatnya kembali ke rumah serupa neraka ini.Piyama tidur berwarna merah hati sudah melekat di badan, rambut yang dibiarkan tergerai, juga aroma tubuh yang khas membuat Monica nyaman. Ia mematut dirinya di depan kaca, setelah memakai serangkaian perawatan malam, Monica bergegas tidur di pembaringan. Tak terasa satu tangan mengusap bahunya dari belakang, disusul deru napas yang menyentuh leher, membuatnya sedikit merinding. Monica terperanjat dan bangun."Sayang, ada apa?" tanya Nathan heran."Aku, sedang tidak enak badan." Monica jelas berdusta, raut kekecewaan terlihat jelas di mata Nathan, tapi ia juga tak bisa memaksa i
"Kau salah karena mencari masalah denganku, Maira. Kau mau memulai permainan dari mana, Hem?" Maira terus meronta, berusaha menepis tangan Monica yang mencekik dirinya semakin kuat. Wajah Arini terus terbayang, raungannya, tawa puas Yuan, Ambar, dan Maira, penderitaan Arini, semua membuat kepalanya pusing, hatinya memanas, hasrat membunuhnya sudah semakin kuat. Akhirnya dengan kuat ia mendorong Maira, membuat wanita itu terbentur ke dinding. Sebenarnya bayi Maira tidak bersalah, tapi karena nyawa harus dibayar nyawa, Monica akan melakukan apa yang sudah Maira lakukan pada Arini. "Kau ingin bermain denganku, Maira?" Maira menggeleng, ia berusaha menghindar dan meraih gagang pintu. Berulang kali membuka tapi gagal, ia masih saja terkunci. Melihat itu Monica lantas bahagia, ia tertawa serupa tawa licik Maira. "Kau siapa? Kau pasti bukan Arini!" teriaknya membuat tawa Monica terhenti. Ia menatap lekat wajah Maira yang ketakutan, satu tangannya menampar keras Maira hingga wanita itu k
Kondisi Arini sedikit membaik, hanya saja ia belum sepenuhnya pulih, membutuhkan cukup waktu sampai ia benar-benar kembali mendapatkan kesehatannya. Rumah sakit dengan perawatan ekstra tentunya akan membuat Arini nyaman. Sepasang kaki itu melewati koridor rumah sakit, langkahnya menuju ruangan Arini untuk melihat kondisi kembarannya yang sudah mulai membaik. Kacamata hitam menutupi matanya, dengan langkah anggun juga berani ia berhasil menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung pasien di sana. Monica tak ambil pusing dan segera masuk ke ruangan Arini. "Kau masih betah tidur, ya? Sudah terbiasa koma selama bertahun-tahun, membuatmu kerasan untuk berbaring di ranjang pesakitan yang membosankan itu," celetuk Monica sembari menggigit buah apel. Perlahan jemari Arini bergerak, netranya juga mulai terbuka. Monica tahu Arini sadar, tapi ia bersikap seperti tidak peduli, sampai tatapan Arini kini beralih padanya. "Monica, sejak kapan kau di sini?" Wajah pucatnya mendadak panik,
"Maafkan aku!"Monica masih terdiam dengan air mata yang juga menggenang di pipi, ia memalingkan wajah, sedikit marah karena sikap Arini yang kerap menuduhnya yang bukan-bukan."Tidak perlu minta maaf! Kau tidak akan mempercayaiku sampai kapan pun," ketus Monica melipat tangan di dada. "Kakak, maafkan aku!" Kedua tangan ia letakkan di telinga, menatap penuh harap pada Monica yang masih terlihat marah. Perlahan ia berusaha turun dari brankar. Monica langsung bangun dan memukul tangannya."Dasar bodoh! Kau sedang apa? Bagaimana jika kau jatuh? Kau bahkan belum bisa berdiri dengan sempurna.""Apa kakak masih marah?""Tidak!""Benarkah?""Hem."Arini memeluk Monica cukup erat, membuat wanita itu terbatuk."Sekarang, kau hanya perlu beristirahat di sini! Ingat, ya! Jangan lakukan apa pun sebelum mereka semua menerima balasannya. Kau hanya perlu menonton dari jauh siaran menarik ini!" peringat Monica disahut anggukan mantap Arini."Beri mereka pelajaran yang setimpal! Mereka harus bertangg
"Masuk!"Ia masuk dengan takut-takut, sementara keringat sudah membanjiri kening Nathan dan itu sedikit menggoda. Nathan langsung menyuruhnya untuk menjelaskan apa saja yang ada dalam laporan barusan.Saat sedang menjelaskan, Nathan buru-buru ke depan pintu, menguncinya, kemudian dengan kasar memaksanya untuk menaklukan pusakanya."Pak, apa yang bapak lakukan? Sa- saya, ...""Kau ingin saya pecat?"Sebenarnya jauh dalam lubuk hati wanita itu, ia juga menginginkan ini. Tidak menyangka jika angannya menjadi nyata. Hari ini akan menjadi hal yang menyenangkan baginya.Nathan berdiri di hadapannya, dan menunjukkan pusakanya yang sedari tadi sudah berdiri tegak. Wanita itu tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan lihai seperti sudah biasa, ia melayani Nathan dengan baik, membuat pria itu melayang sembari menjambak rambutnya pelan. "Uh, Arini. Teruskan!"Nathan semakin tidak terkendali. Ia akhirnya membaringkan karyawannya ke kursi panjang, tanpa dipaksa, wanita itu langsung membuka lebar ked
"Bisa ambilkan selai kacang saja?! Aku tidak suka stroberi." Monica menikmati sarapan pagi di rumah suaminya, hanya roti selai kacang, juga segelas susu seperti biasa. Rutinitas makan di pagi hari memang tak terlalu berat, ia juga lebih suka mengunyah buah kapan saja bahkan setelah sarapan. Monica memang orang yang kurang suka meja makan terlalu penuh dengan makanan beraneka ragam, tapi jika ada Nathan di rumah, meja memang harus terisi penuh. Semalam ia juga mendapat kabar jika Arini sudah membaik dan tinggal di rumahnya, tentu saja ia memberikan penjagaan yang ketat di sekeliling rumah tanpa dicurigai siapa pun, itu demi keamanan Arini juga. BRAK!!! "Nathan! Nathan!" Monica terlihat santai. Ia ingat posisi ini, rekaman terakhir Arini sebelum kejadian juga sama persis, di mana Arini disiksa saat pagi hari, ketika Nathan tak ada di rumah. Yuan dan Ambar seperti tak memiliki adab. Karena kesal, Monica tak mengizinkan satu pun pelayan untuk membungkuk dan menyambut dua ben
"Aku tahu harus apa sekarang," ujarnya dengan seringai licik. Jonathan sudah berangkat ke kantor sejak pagi, sekali pun ia menuntut istri dan anaknya berhemat, ia tetap memiliki pekerjaan tetap, usahanya bukan hanya di kampus tempat anaknya berkuliah. Ia juga seorang pemilik perusahaan kecil, yang bergerak di bidang makanan ringan. Maria buru-buru ke bawah, tanpa sarapan atau sapaan selamat pagi sudah biasa, hubungannya dengan Maira memang sedingin itu sejak dulu, padahal mereka adalah ibu dan anak. Maria meraih kunci mobil hadiah ulang tahun dari Jonathan tahun lalu, ia harus buru-buru ke kampus sekarang. "Jajanmu berapa?" tanya Maira menghentikan langkah Maria. "Setengah dari biasanya," jawab Maria lanjut menuju garasi. Ternyata Jonathan tidak main-main, ia benar-benar memaksa mereka berdua untuk berhemat, bahkan Maria yang selama ini ia manja pun terkena dampaknya. Tapi baru saja Maria akan masuk ke mobil, ia kembali mencegat anak perempuannya dan berdiri di balik pintu
"Aku ngga terima kalau Jonathan bangkrut. Sialan! Jika suamiku bangkrut, lalu bagaimana nasib kami berdua?"Maira mondar-mandir di kamar, berpikir keras mencari solusi tapi seperti menemukan jalan buntu. Maira memijat pelipisnya.Jonathan memang memiliki usaha lain, tapi penghasilannya tak sebanyak yang ia dapatkan dari universitas tersebut. Jika penanam saham terbanyak mencabut kerja samanya, bagaimana kampus itu akan bertahan lama. Mengandalkan biaya kampus tiap semester per orang pun tidak cukup."Ah, sialan! Lagi pula siapa bocah ingusan itu? Sok berkuasa. Lihat saja, akan aku balas mereka."Maira turun ke lantai bawah, langkahnya seketika terhenti di tengah tangga, ia melihat Jonathan sedikit kusut, pria itu bersandar pada kursi, dengan tatapan kosong ke langit-langit rumah. Seperti ada beban besar yang dipikul saat ini. Jonathan masih bungkam, tak mengeluarkan maki dan sumpah serapah. Maira memang bernasib baik, dalam hidupnya selalu menikahi lelaki yang penyayang, ia juga tak
"Sayang, terima kasih karena telah sabar mendampingiku." Nathan membelai lembut pipi Monica.Semilir angin di pesisir pantai membuat keduanya tenang, suasana romantis terasa, seolah mereka berdua adalah pasangan pengantin baru yang tengah di mabuk asmara.Setelah berhasil menitipkan Evelyn pada kedua anak lelakinya, Nathan yang memang sudah mempersiapkan tiket keberangkatan mereka jauh-jauh hari juga tak ingin membuang waktu.Sebenarnya sebelum Monica meminta, ia sudah ingin menyampaikan niatnya tersebut. Tapi, rupanya suami istri itu memiliki ikatan batin yang teramat sangat. Monica tersipu malu, tempat romantis yang dirancang oleh Nathan, tentu saja adalah yang terbaik. Tak terasa sudut matanya malah menitikkan air mata."Sayang, ada apa?" tangan kekar itu mengusap air mata Monica dengan lembut. Sebelah tangan Monica langsung menyambut punggung tangan Nathan yang masih ada di wajahnya. Netra beningnya menatap lelaki yang telah memberinya tiga buah hati. Andai saat itu ia tak menye
"Sayang, sepagi ini kau sudah rapi. Mau ke mana?" tanya Nathan saat putrinya duduk di meja makan. "Kuliah, Dad. Ini juga sepuluh menit lagi gerbangnya tutup," balas Evelyn mengunyah roti isinya. "Kakakmu belum memberitahumu, ya. Kau baru saja dipindahkan ke kampus lain. Fasilitasnya juga tak kalah lengkap, dan pastinya tak ada orang toxic di sana." Evelyn merengut. Mengapa mendadak sekali? Ia bahkan tidak tahu apa pun tentang ini. Apa pendapatnya tidak lagi dibutuhkan, pikir Evelyn galau. "Jadi, hari ini kau hanya perlu beristirahat di rumah. Setelah perpindahanmu selesai nanti, besok kau sudah mulai berkuliah di kampus baru." "Dad, tapi aku berhak memilih kampus mana yang ku suka, 'kan?" Nathan diam saja dan memilih untuk membiarkan Monica yang berbicara. "Sayang, Momy tahu keputusan ada di tanganmu, tapi untuk saat ini, kedua kakakmu lah yang lebih berhak menentukan mana yang terbaik untuk adiknya. Buktinya kampus yang kau pilih kemarin, justru tidak menyenangkan dan sangat
"Dasar anak bodoh! Memalukan! Bisa-bisanya kau mencari masalah hanya karena lelaki. Ngga tahu diri banget, ya! Udah disekolahin tinggi-tinggi, malah mikirin laki-laki. Bahkan lebih memalukan lagi, kau bisa kalah telak sama bocah baru kemarin. Ingat umurmu berapa? Kau tiga tahun di atasnya, Maria!" Maria menunduk takut. "Kamu mikir ngga sih, harusnya bisa memanfaatkan kebaikan ayahmu yang sudah mau menerima dirimu si anak haram. Bukan malah seperti wanita murahan, bukannya belajar dengan baik." Maira, ibu kandung Maria. Jika membaca cerita dari awal, pasti tahu siapa Maira dan apa keterkaitannya dengan keluarga Nathan. Maira ingin rasanya menghukum Maria, membuatnya malu sejak masih dalam kandungan. Ia terkatung-katung dengan perut besar di jalanan, sempat menjadi gembel setelah ditendang dari keluarga William, mendekati Nathan mustahil, sampai akhirnya ia bertemu salah satu pria kaya yang sebenarnya sudah memiliki istri. Maira dibawa dan dinikahi oleh pria kaya itu, bahkan
"Mengapa kau bolos di mata kuliah kedua?" Evelyn si manja itu kini terdiam. Duduk berhadapan dengan Edward dan membicarakan hal yang serius tidak pernah terpikirkan, sungguh Evelyn juga takut dengan mode serius sang kakak. Pemuda itu melipat tangan di dada, tatapan intimidasi mengarah pada adik perempuannya. Monica hanya berpura-pura tidak melihat apa pun. Itulah peraturan di rumah, jika ada yang berbuat salah, maka ia harus bertanggung jawab dengan kesalahan yang sudah ia perbuat, seperti Evelyn saat ini. "Evelyn, kakak bicara denganmu," tekannya masih membuat Evelyn menunduk takut. "A-aku, baru saja membuat masalah di kampus, jadi, ..." "Jadi kau berpikir untuk melarikan diri?" potong Edward cepat. "Mommy dan Daddy juga tidak pernah mengajarkan kita untuk lari dari masalah," lanjutnya kemudian. Ia menatap arloji di tangan, kemudian merogoh ponsel di kantong celana. Edward masih diam di tempat sembari menunggu teleponnya diangkat. [Halo, Pak. Kami baru saja ingin menghubungi
Evelyn membereskan buku-bukunya dan bergegas keluar ruangan, di depan pintu Yura sudah menunggu dengan kedua tangan yang terbuka lebar, tentu saja hal itu membuat Evelyn bergidik geli. "Yura, jangan bertingkah seolah kita tak bertemu sepekan!" ketusnya sembari berjalan keluar, Yura menyusul dan turut mengambil langkah di sisinya. "Kau jelas tak merindukanku ya, Evelyn? Jahat deh." "Jangan lebay, Yura!" Keduanya berjalan menuju kantin, Evelyn tidak membeli apa pun, ia hanya menemani Yura makan, sementara dirinya akan menghabiskan bekal miliknya sendiri. Monica selalu memastikan setiap anaknya mendapatkan gizi yang baik. Beruntung dari ketiga anak, tak ada yang membantah, Monica lebih tahu segalanya dibandingkan mereka. "Oh iya, nomor itu gimana?" selidik Yura. Evelyn menepuk jidatnya pelan. "Oh astaga! Aku lupa. Sebentar!" Evelyn mengambil ponsel dari kantong celana, dan menghidupkannya. "Orang itu sangat mengganggu, jadi aku mematikan ponselku sebentar." Yura memesa
"Yura! Ngangetin aja ih." Evelyn berlalu ke meja rias dengan wajah kesal, sementara Yura memasang wajah tanpa dosa dan duduk di bibir ranjang Evelyn. Dari dulu ia memang sering ke rumah sahabatnya, bahkan saking seringnya, Monica sudah menganggap Yura seperti putrinya sendiri. "Ye, kesel ya? Maaf, deh." "Tahu ah." Yura mendekati laptop dan melihat tontonan Evelyn yang belum selesai. Selera mereka berdua beda, jika Evelyn suka drama Korea romantis, lain halnya dengan Yura yang lebih tertarik dengan film yang bercerita tentang detektif, dan suka memecahkan misteri. Padahal kehidupannya berjalan normal, tidak serumit keluarga Evelyn yang menyimpan banyak rahasia dan catatan hitam di dalamnya. "Ngapain ke sini?" "Gabut sendirian di rumah, makannya aku ke sini. Soalnya kalau ke tempat lain, ngga dibolehin sama papa, di rumah juga ngga ada orang, cuma bibi." Berbeda dengan Evelyn yang mempunyai banyak saudara, Yura adalah anak tunggal dan pewaris satu-satunya di keluarga, tapi ia
"Yura, di mana Evelyn?"Pemuda tampan itu bertanya pada Yura, yang baru saja akan masuk ke dalam mobil jemputannya. "Evelyn baru saja pulang dengan taksi," sahutnya jelas.Pemuda itu terlihat khawatir, tidak biasanya Evelyn bersikap begini, apa lagi pulang tanpa merengek minta dijemput. Edgard langsung saja bergegas pergi untuk menyusul taksi yang dimaksud Yura, tapi rupanya taksi itu sudah cukup jauh.Yura tahu, Evelyn pasti sedang menjalankan aksi mogok bicara dan menolak untuk bertemu dua kakaknya, karena potret yang dikirim Allea, terlihat sepele, tapi Evelyn adalah tipe pencemburu, ia tak mau kakak-kakaknya fokus pada perempuan lain selain dirinya.Itu juga yang membuat Yura membuang perasaannya pada Edgard, ia takut kedekatannya dengan Edgard, malah membuat Evelyn cemburu, lalu cintanya akan bertepuk sebelah tangan seperti salah satu lagu musisi band lama."Ayo jalan, Pak!" titah Yura pada sopir pribadinya.Yura juga bukan dari kalangan biasa, ayahnya adalah salah satu mitra