Satu jam lebih telah berlalu. Aku dan Utami sekarang menuju apartemen. Banyak hal yang membuatku kaget dengan kejutan yang akan di buat oleh Utami. Wajar sih, ini baru pertama kali aku menemani Utami untuk menyiapkan ulangtahun Aksa. Ternyata jam tangan yang di pesan Utami harganya seratus juta lebih. Ya Allah, jam tangan itu terbuat dari apa? Kok ada jam tangan semahal itu.“Del, maaf ya. Dulu aku tidak pernah mengajakmu untuk merayakan ulangtahun Aksa. Kalau pun di ajak aku yakin kamu tidak akan mau. Iya ‘kan? … Tetapi sekarang, tidak apa-apa ‘kan, ya?”“Hehe, iya,” ujarku. Hanya sesingkat itu jawaban yang bisa aku katakan.Sebenarnya aku juga tidak ikhlas ikut merayakan ulangtahun Aksa ini. Karena memang Utami dan Aksa ‘kan belum halal. Hanya saja, untuk menebus rasa bersalah, aku ingin membuat hati Utami senang dengan mengikuti keinginannya. Meskipun harus menyakiti diri sendiri.Aku memilih diam dan mendengar lagu yang di putar oleh Utami di mobil. Aku tidak tau siapa pencipta la
Kalimatku itu ternyata bisa mengubah suasana. Utami langsung berubah ceria. Dia kini mengeluarkan belanjaan dari plastik dengan semangat. Melihat Utami yang semangat, aku pun ikut tersenyum dan semangat membantu.Pintu apartemen terbuka. Aku kaget melihat Rian yang melangkah masuk. Apa teman-teman Aksa mengetahui password pintu apartemen? Iya bisa jadi. Tadi saja, Utami masuk hanya dengan mengetik password.“Eh, ada Delisia!” ujar Rian. Kini dia berdiri di hadapan Utami yang sedang duduk.Kenapa dia hanya menyapaku? Padahal di sini ada Utami juga. Mungkin aku terlalu aneh menemani Utami menyiapkan keperluan kejutan ulangtahun Aksa.“Tumben!” ucap Rian lagi. Kini dia sudah duduk, tepat di berhadapan Utami.“Apaan sih, Rian. Kerja itu tangan saja yang gerak. Mulutnya nggak usah,” tutur Utami dengan nada yang jengkel. Dia berkata sambil tangannya bekerja.Aku hanya tersenyum. Tidak ingin terlalu menanggapi percakapan mereka. Memang sih, Rian ini agak aneh gimana gitu. Dia itu seperti ti
Memikirkan ucapan Rian, aku pun teringat dengan kejadian pada hari itu, saat aku mendapat pesan dari Pak Firman. Setelah menghilang tanpa kabar, dosen itu akhirnya mengirimkan aku pesan. Ternyata Aura sakit, makanya dia sengaja tidak ke kampus. Pantas aku tidak melihatnya beberapa hari.Seperti perintah Pak Firman dalam pesannya, aku di suruh untuk menemuinya di ruangan. Aku ingin segera mengakhiri masalahku dengannya. Sehingga, langsung saja aku penuhi perintah itu.Dua kali ketukan tanganku mengetuk pintu. Terdengar suara dari dalam ruangan, menyuruh untuk masuk. Sambil menunduk, kaki aku biarkan melangkah memasuki ruangan.“Kenapa kamu tidak mengaktifkan handphone di hari minggu itu, Delisia! Kamu ingin aku membuat perhitungan denganmu? … Aku tahu kamu orang miskin yang butuh uang. Jangan sok jual mahal, menolak permintaanku. Aku tahu kamu juga sebenarnya ingin menjadi istriku ‘kan?”Baru saja berdiri tepat di depan Pak Firman, aku sudah di serbu dengan kalimat kasar. Aku memberani
“Del, maaf ‘kan Rian ya. Dia memang orangnya kayak gitu.” Utami berkata saat Rian tidak ada di dekat kami. Rian sedang ke toilet. Suara Utami menyadarkan aku dari memikirkan Pak Firman dan Aura. Aku tersenyum, bibir pun berkata, “iya, Tam. Rian juga pasti nggak serius. Dia hanya ingin berbasa-basi denganku … eemm … kamu ya, yang ngomong ke Rian tentang Pak Firman?” “Maaf, Del. Waktu itu aku cerita ke mereka saat kamu tidak masuk kuliah. Gimana ya, aku hanya cerita lepas aja gitu. Maaf ya, kamu jangan marah ke aku. Sungguh, aku tidak bermaksud menceritakan ke orang lain apa yang kamu percayakan ke aku.” ujar Utami dengan wajah memelas. “Iya, nggak apa-apa kok, Tam. Aku hanya tanya saja.” Aku berkata dengan senyum yang tak hilang dari wajah. Aku sungguh tidak marah. Berkoar-koar untuk marah bukan hal yang baik untuk di lakukan. Apalagi semuanya sudah terlanjut Utami katakan. Untuk apa juga harus marah. Kalau pun aku marah ke Utami, semua perkataan Rian belum tentu menjadi baik. Apala
Setelah semua persiapan selesai, aku pun duduk di sofa yang ada di depan televisi. Baru saja duduk satu menit, Utami telah memanggilku.“Iya, Tam,” ujarku. Berdiri menghampiri Utami. Terlihat Rian sedang melangkah. Aku tidak tahu apa yang ingin dia lakukan.“Cepat sembunyi. Aksa dan Juna sudah tiba. Mereka sedang menuju ke sini.” Utami berkata dengan cepat. Seolah di buru waktu. Dia lalu berdiri di belakang pintu. Aku pun mengikuti Utami.“Saklar lampu ruangan santai di mana, aku tidak tahu,” teriak Rian. Ternyata dia sedang mencari keberadaan saklar lampu.Aku langsung meninggalkan Utami untuk mematikan lampu. Aku baru tahu, meskipun Utami dan teman-teman Aksa sering ke sini, mereka belum terlalu mengerti lika liku apartemen. Setelah mematikan lampu, aku kembali ke tempat tadi aku berdiri.“Ternyata feeling seorang Delisia, tidak bisa di ragukan. Tadi kamu tahu tempat pisau dan piring. Sekarang kamu tahu letak saklar lampu. Untung saja aku bawa kamu di sini. Kalau tidak, aku dan Rian
Tibalah saatnya pemotongan kue. Aku tidak ingin berharap menjadi yang pertama, karena sudah jelas bukan aku yang berada di posisi itu. Benar saja, untuk kue potongan pertama, Aksa langsung memberikan pada Utami.Kue kedua bersama Aksa memberikan untuk Juna dan Rian. Dari cara memberikan kue, aku bisa menebak jika posisi Juna dan Rian untuk Aksa, sama. Aksa tidak bisa melebihkan posisi antara satu orang di hatinya.“Pinjam pisaunya,” ucap Juna. Dia lalu memotong kue lagi. Mungkin rasa kuenya terlalu enak, makanya dia ingin tambah.Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat pergerakan mereka Utami dan Aksa. Bahkan kini Utami tidak menawarkan aku untuk berdiri di antara mereka – berdiri tepat di sekeliling kue tar. Mungkin dia lupa karena sedang asyik menikmati kue? Atau dia tidak sadar jika ada aku di sini, berdiri di belakang Rian. Ahh, aku harus bisa berpikir positif agar tidak terlalu merasa sakit hati.“Del, ini!” ujar Juna sambil menghampiriku. Di tangannya ada piring kecil berisi po
Aku dan Utami sudah berada di dalam mobil. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Perlahan-mobil mulai keluar dari tempat parkiran. Hanya keajaiban dari Allah yang bisa menolongku dari sini. Aku sudah pasrah.Baru saja keluar dari gerbang apartemen, handphone Utami berdering. Dia lalu menghentikan mobil untuk mengambil handphone yang ada dalam tasnya. Kenapa dia tidak meminta tolong padaku? Padahal aku duduk di kursi mobil yang ada di sampingnya.“Hallo, sayang! Ada apa?” Suara lembut Utami menyadarkan aku kalau yang menelepon adalah Aksa.“Aku nggak mau. Masa Delisia aku suruh pulang sendiri. Tadi dia ke sini denganku. Sejak pulang kampus kami sudah sama-sama. Jadi aku juga yang harus mengantarnya pulang”Dari perkataan Utami, aku bisa menebak jika Aksa mencegahnya untuk mengantarku. Mungkin Aksa khawatir jika Utami mengendara sendiri di malam hari. Tidak mungkin dia mengkhawatirkan aku.“Ya sudah kalau gitu, aku tanya Delisia dulu ya.”Mendengar namaku di sebut, aku langsung menoleh, Uta
“Aku masih ingin di sini. Kenapa kamu masih berada di sini? Kamu kembali saja,” ujarku dengan suara pelan. Aku tidak ingin menanggapi Aksa yang kelihatannya sedang marah. Saat ini aku tidak ingin marah-marah. “Oh iya, selamat ulangtahun ya. Aku rasa, aku tidak perlu memberimu kado seperti teman-temanmu. Karena aku tahu, kado dariku hanya akan di taruh ke tong sampah.”“Ternyata kamu sudah berani melawanku, ya. Sudahlah, malam ini kamu tidur di luar saja! Aku juga tidak butuh ucapan selamat ulangtahun dari kamu. Asal kamu tahu, acara ulangtahun tadi adalah acara yang paling aku benci dalam hidupku. Karena tadi ulangtahun pertamaku, setelah menjadi suami dari perempuan paling jelek di dunia.” Aksa kembali berkata. Bukannya pergi, dia justru melangkahkan kaki untuk mendekat.Dasar laki-laki aneh. Kenapa dia malah mendekatiku. Terserah apa yang akan dia katakana. Aku sungguh sedang malas berdebat. Aku tidak menggubris ucapannya. Aku juga tidak menghiraukan keberadaan Aksa di sini. Mata k
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau