Mata mulai berkaca. Bibir ingin berteriak, mengatakan jika semua yang baru saja Pak Firman katakan tidak benar. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pak Firman sudah memberitahu Aura. Anak itu telah mengira jika minggu depan, aku dan ayahnya akan menikah. Pak Firman hanya menatapku, tanpa melakukan apapun. Dia memang dosen gila! Bisa-bisanya melakukan ini padaku. Sebelumnya kami tidak pernah ada masalah. Aku tidak punya urusan sama sekali dengannya. Tiba-tiba memintaku untuk menjadi guru les anaknya. Ternyata itu bohong! Dan sekarang dia menginginkan aku untuk menjadi istrinya. Pak Firman memang dosen yang sudah tidak waras! Aku tidak ingin melihat lagi, interaksi antara anak dan ayah itu. Kaki langsung melangkah pergi. Aku harus pulang kampung hari ini juga! Cukup! Aku sudah tidak kuat. Aku melangkah dengan tergesa-gesa. Tangan mengetik nama Pak Candra di layar. Ingin meminta izin kalau hari ini akan pulang ke kampung. Bus terakhir yang akan menuju ke desa jam lima s
Satu jam lebih perjalanan, akhirnya tiba di Desa Toura. Desa yang menjadi tempat aku pulang mencari kenyamanan. Aku tidak perlu lagi ke terminal pemberhentian, karena bus lewat di depan rumah. Terlihat ibu dan ayah sedang duduk bersantai di depan rumah. Mereka belum menyadarari kedatanganku. Saat turun dari bus, ayah dan ibu menatapku tanpa kata. Beberapa detik berlalu, mereka pun berteriak, “Nak, kenapa pulang tidak beritahu ibu!” Ibu sudah berdiri dari duduknya. Begitupun dengan ayah. Aku berjalan mendekati rumah, yang berarti juga mendekati ibu dan ayah. Terlihat senyum haru di wajah mereka. Ya Allah, aku sudah sangat rindu dengan senyuman mereka. Harusnya meskipun sudah menikah, aku bisa meluangkan waktu untuk pulang menjenguk ibu dan ayah. Sebenarnya aku memang ingin, hanya saja ada perasaan tidak enak untuk meminta izin pada Pak Candra. Kalau soal Aksa, aku tak peduli. Dia tidak mungkin menanyakan keberadaanku. “Assalamualaikum!” ujarku dengan kedua tangan langsung menyalim
“Jangan dulu cerita, makan dulu. Delisia baru saja pulang. Dia masih lapar. Biarkan dia makan dulu. Setelah itu ibu bisa tanya-tanya.” Ayah menyeka perkataan ibu yang masih saja bertanya. Aku sudah menyatakan pada ibu seperti yang diucapkan ayah. Hanya saja, mungkin ibu terlalu penasaran. Sehingga hanya dua menit tidak bicara. Bibirnya kembali berkata. “Iya, Ayah,” jawab ibu. Kini kami makan dalam hening. Ibu tidak secerewet tadi lagi. Hingga makan malam usai, ibu pun kembali mengeluarkan pertanyaan yang sama. Untung saja azan berkumandang. Ayah langsung menyuruh untuk meninggalkan meja makan dan melaksanakan salat. Aku berdiri dari kursi sebelum ibu mencegahku. Tergambar jelas, raut wajah ibu nampak penasaran. Aku belum mempersiapkan jawaban untuk segala pertanyaan yang keluar dari bibir ibu. Bagaimana jika nanti ada pertanyaan yang tidak bisa aku jawab? Hal itu hanya akan menimbulkan berbagai macam tanya dalam benak ibu. Baru saja selesai sholat, pintu kamarku terbuka. Ibu suda
“Terus gimana kondisimu, Nak. Apa sudah ada hasil?” Aku mengerutkan alis mendengar pertanyaan ibu. Berpura-pura tidak mengerti dengan maksudnya. “Masa kamu tidak mengerti maksud ibu. Itu loh, Nak, cucu untuk kami.” ujar ibu memperjelas ucapannya. “Belum, Bu. Aku masih dapat haid.” Aku berkata sambil menggelengkan kepala. Semoga saja ibu tidak lanjut bertanya. Sejujurnya, aku tidak suka di tanya tentang hal ini. Kenapa yaa pertanyaan ini menjadi topik yang selalu ditanyakan pada orang-orang yang sudah menikah tetapi belum punya keturunan? Pertanyaan yang selalu membuat risih dan kehilangan kata-kata untuk menjawab. Sebenarnya tidak perlu di tanya terus menerus. Kalau memang Allah sudah berkehendak dan sudah ada, pasti akan di tahu juga. Tidak seorang pun di dunia ini yang hamil dengan pernikahan sah, tetapi orangtuanya tidak tahu. Jangankan punya anak, menyentuh saja tidak pernah. Aku tidak mungkin bisa hamil kalau Aksa belum juga mencintaiku. Oh, tidak! Berarti pernikahan ini hany
Aku di temani oleh kesunyian malam. Biasanya jam delapan malam, di desa ini sudah jarang orang masih keluyuran. Rumah yang berjarak tidak dekat antara satu dengan yang lain membuat kondisi malam terlihat sedikit horor. Lampu yang terpasang di jalan untuk menerangi desa, tidak banyak. Untung saja banyak rumah-rumah yang memasang lampu di teras. Aku berdiri untuk mengambil handphone yang ada di atas meja. Di perjalanan pulang tadi, Utami kembali membalas pesanku. Hanya saja aku tidak ingin membuka. Sesungguhnya saat ini aku sangat malas untuk balas berbalas pesan dengan Utami. Apalagi membahas tentang pertunangannya dengan Aksa. Aksa adalah suamiku. Dia menjadi lelaki asing pertama yang aku cintai. Bagaimana mungkin aku mencarikan baju untuk pertunangannya? Dunia ini sungguh sangat aneh. Sebelum melihat notofikasi lain, aku membaca terlebih dahulu pesan dari Utami. Pesan ini masuk saat aku di dalam bus tadi. Ini juga pesan terakhir yang dikirimkan Utami untukku hari ini. [Kamu mau ng
*** Aku sudah dua hari berada di kampung. Aku sengaja menonaktifkan handphone. Tidak ingin jika nanti Utami menghubungi melalui panggilan biasa. Dia pasti heran, kenapa aku tiba-tiba hilang kabar. Terserah, saat ini aku sedang tidak peduli. Sekarang perasaanku lebih penting untuk dijaga. Jangan sampai hanya karena ingin membuat Utami bahagia, aku rela menyakiti diri. Aku sedang duduk di rumahan kecil yang digunakan oleh ayah saat ingin beristrahat. Di sini, aku bisa melihat jelas pemandangan desa karena lokasi yang berada di ketinggian. Tadi, selesai sholat shubuh, ayah mengajaku untuk ke kebun. Aku langsung menyetujui, karena ingin jalan-jalan, meskipun harus berjalan kaki sangat jauh. Aku ingin menghirup udara segar dan sejenak menjauh dari hiruk pikuk kota. Satu jam lebih perjalanan, kami akhirnya tiba. Jika memakai kendaraan motor pasti akan lebih cepat. Hanya saja, jalan menuju kebun yang bebatuan besar, tidak bisa di lewati oleh motor dan sepeda. Aku ke sini hanya berdua denga
Satu jam lebih perjalanan. Aku dan ayah akhirnya tiba di Rumah. Aku salut dengan ayah yang sepertinya tidak merasakan capek. Padahal perjalanan kami pulang pergi ke kebun sangat jauh dan harus di tempuh dengan kaki. Aku yang usianya masih kepala dua saja, sudah merasakan sangat lelah. Usia ayah sudah lima puluh tahun lebih. Jika melihat umur, harusnya yang capek itu ayah, bukan aku. Mungkin karena ayah sudah terbiasa jalan kaki sejauh ini, jadi tidak merasakan capek. “Kalian sudah datang. Yuk, masuk. Ibu sudah buatkan sarapan.” Sambil berdiri di pintu, ibu berkata saat melihat kami. “Ayah pulang pasar dulu baru makan. Takutnya kesiangan bawa hasil kebun di Pasar,” ujar Ayah setelah minum. Beliau langsung mengangkat kembali karung yang berisi banyak tomat. “Ayah tidak makan dulu? Sedikit saja, untuk pengganjal perut,” tutur ibu mencegah ayah yang sudah ingin berjalan. “Nanti saja, Bu. Kalau ayah ke pasar kesiangan. Takutnya tidak ada penjual yang mau membeli hasil kebun ayah.” Sete
“Iya, Bu. kemarin aku tidak sempat izin ke Utami,” ujarku. Tangan kembali memasukan bubur ayam ke dalam mulut. “Loh kenapa? Pantas saja Utami tidak tahu kalau kamu sudah di sini. Tidak boleh begitu, Nak. Dia kan teman kamu.” Ibu berkata dengan pelan sambil melihatku. “Iya, Bu!” Aku tidak ingin menjawab panjang dan melebar. Ibu bisa saja akan menduga jika kami sedang ada masalah. Meskipun dugaannya benar. Emm, lebih tepatnya aku yang punya masalah bukan Utami. Kalau Utami, dia sekarang justru sedang merasa senang. Karena tidak lama lagi akan bertunangan dengan Aksa. Siapa yang tidak bahagia, jika lelaki yang dicintai mengatakan ingin menjalin hubungan lebih serius? Kini tidak ada lagi percakapan antara aku dan ibu. Aku memilih diam dan ibu hanya melihatku yang sedang makan. Hingga makanan yang ada di piring habis, aku pun minum untuk melepas dahaga. Sekaligus ingin membersihkan sisa makanan yang masih ada di mulut. “Bu, aku keluar dulu ya!” pamitku pada ibu yang masih berada di
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau