Satu jam lebih perjalanan. Aku dan ayah akhirnya tiba di Rumah. Aku salut dengan ayah yang sepertinya tidak merasakan capek. Padahal perjalanan kami pulang pergi ke kebun sangat jauh dan harus di tempuh dengan kaki. Aku yang usianya masih kepala dua saja, sudah merasakan sangat lelah. Usia ayah sudah lima puluh tahun lebih. Jika melihat umur, harusnya yang capek itu ayah, bukan aku. Mungkin karena ayah sudah terbiasa jalan kaki sejauh ini, jadi tidak merasakan capek. “Kalian sudah datang. Yuk, masuk. Ibu sudah buatkan sarapan.” Sambil berdiri di pintu, ibu berkata saat melihat kami. “Ayah pulang pasar dulu baru makan. Takutnya kesiangan bawa hasil kebun di Pasar,” ujar Ayah setelah minum. Beliau langsung mengangkat kembali karung yang berisi banyak tomat. “Ayah tidak makan dulu? Sedikit saja, untuk pengganjal perut,” tutur ibu mencegah ayah yang sudah ingin berjalan. “Nanti saja, Bu. Kalau ayah ke pasar kesiangan. Takutnya tidak ada penjual yang mau membeli hasil kebun ayah.” Sete
“Iya, Bu. kemarin aku tidak sempat izin ke Utami,” ujarku. Tangan kembali memasukan bubur ayam ke dalam mulut. “Loh kenapa? Pantas saja Utami tidak tahu kalau kamu sudah di sini. Tidak boleh begitu, Nak. Dia kan teman kamu.” Ibu berkata dengan pelan sambil melihatku. “Iya, Bu!” Aku tidak ingin menjawab panjang dan melebar. Ibu bisa saja akan menduga jika kami sedang ada masalah. Meskipun dugaannya benar. Emm, lebih tepatnya aku yang punya masalah bukan Utami. Kalau Utami, dia sekarang justru sedang merasa senang. Karena tidak lama lagi akan bertunangan dengan Aksa. Siapa yang tidak bahagia, jika lelaki yang dicintai mengatakan ingin menjalin hubungan lebih serius? Kini tidak ada lagi percakapan antara aku dan ibu. Aku memilih diam dan ibu hanya melihatku yang sedang makan. Hingga makanan yang ada di piring habis, aku pun minum untuk melepas dahaga. Sekaligus ingin membersihkan sisa makanan yang masih ada di mulut. “Bu, aku keluar dulu ya!” pamitku pada ibu yang masih berada di
Aku duduk di sini kurang lebih satu jam. Aku akhirnya berdiri untuk pulang, tidak ingin membuat ibu panik dan mencariku. Biasanya ketika aku keluar rumah lebih dari satu jam, ibu pasti mencari. Beginilah jika menjadi anak tunggal. Kasih sayang ayah dan ibu hanya berfokus padaku. Kaki kini melangkah. Aku kembali terpesona dengan udara segar yang ada di desa. Jika berjalan di kampus jam begini, wajah sudah akan gosong. Memang sih, aku tak perlu takut dengan kulit yang gosong, karena tidak akan nampak. Kulitku yang gelap akan tetap berwarna sama. Saat membuka pintu rumah, ternyata ibu dan ayah sedang duduk di ruang tamu. Aku juga selalu mengagumi kebersamaan ayah dan ibu. Saat ibu sedang duduk sendiri, biasanya ayah akan menghampiri. Begitu pun sebaliknya. Tetap terlihat mesra meskipun usia pernikahan mereka sudah terbilang lama. “Nak, duduk di sini. Ibu dan ayah ingin bicara.” Ibu berkata lembut sambil melambaikan tangannya. Lalu tangan itu menyentuh tempat duduk. Lewat gerakan tang
Beberapa detik terdiam, bibir pun tergerak untuk berkata. “Oh iya, Ayah. Aksa pernah cerita ke aku. Katanya ayah dan ibu menelponnya. Dia tidak angkat karena hendphonennya sedang dalam mode diam. Jadi Aksa nggak tahu kalau ayah dan ibu menelpon.” Aku berkata dengan tenang sambil tersenyum pada ayah. “Kenapa tidak menelepon balik saat tahu kami menghubunginya? Kami ini orangtuamu, Nak. Sebenarnya sikap Nak Aksa kurang sopan.” Aku diam tak berkutik. Memang benar yang di katakan ayah. Alasanku hanya membuat ayah dan ibu semakin curiga dengan pernikahan kami. Tetapi tidak mungkin aku tidak menanggapi. Hal itu juga akan membuat tanya dalam benak mereka. “Benar yang dikatakan ayahmu, Nak. Kami memang tidak mengharapkan untuk di hormati. Kami memahami, mungkin Nak Aksa tipe anak yang agak pendiam dan sulit beradaptasi dengan orang baru. Kami memberitahu kamu tentang ini agar kamu bisa cerita ke Nak Aksa. Jangan sampai dia melakukan ini juga ke orang lain. Kalau panggilan sudah lebih dari t
*** Kini langkah kaki memasuki ruangan yang dipakai sebagai tempat pesta pertunangan Aksa dan Utami. Tempat ini di hias dengan sangat indah. Hampir di setiap sudut ruangan terdapat bunga yang beraneka warna. Ruangan ini diterangi banyak lampu indah yang membuat nuansa terlihat megah. Sedari tadi aku mencari kursi. Namun, tidak menemukan. Mungkin pesta pertunangan ini di desain seperti ini, tidak ada kursi yang digunakan untuk duduk. Semua tamu undangan tetap berdiri. Aku heran dengan pesta yang di buat oleh para orang kaya. Kenapa kebanyakan tidak menggunakan kursi? Padahal tidak semua orang bisa tahan untuk lama berdiri. Tak semua orang juga bisa makan dengan nyaman sambil berdiri. Tetapi, ya sudahlah. Mungkin memang desain acara seperti ini yang dikatakan elegan. Semua tamu undangan yang hadir nampak berkelas, terlihat dari pakaian yang mereka gunakan. Mungkin hanya aku yang datang dengan pakaian sederhana tanpa make up di wajah. Aku hanya memakai gamis polos berwarna maron denga
Pandangan Utami tertuju padaku. Sedangkan Aksa, dia diam dan matanya melihat ke arah lain. Aku tidak bisa menebak raut wajah Aksa saat ini. Mungkin dia ingin marah, tetapi tidak bisa. Karena sekarang adalah acara yang sangat sakral untuknya. “Yang bernama Mentari Delisia mohon segera ke atas panggung.” Pembawa acara kembali mengulang kalimat yang sama. Aku menarik napas pelan, lalu menghembuskan. Aku juga memejamkan mata sejenak. Lalu dengan langkah pelan mulai berjalan. Tak ingin membuat orang menduga-duga apa yang sedang terjadi. Aku melangkah sambil menundukan kepala. Jika bisa, saat ini aku ingin menyembunyikan wajah! Aku terus berjalan. Hingga langkah sudah dekat dengan panggung, aku langsung mengangkat wajah dan tersenyum lembut pada Utami. Dia juga ikut mengukir garis indah di bibir. Aku sengaja tidak ingin melihat wajah Aksa. Aku kini sudah berdiri di dekat Utami. Acara telah di mulai. Orangtua Utami memberi sepatah kata, hingga dua orang asing yang tidak pernah aku lihat j
Kini aku telah berada di Rumah. Aku pulang menggunakan taksi. Setelah pesta pertunganan selesai, aku langsung meminta izin pada Utami dan orangtuanya untuk pulang. Aku ingin tidur cepat karena mulai besok akan memata matai Aksa. Rencanaku sudah bulat. Aku harus tahu dimana Apartemen Aksa. Karena hanya di sana, aku bisa bicara dengan puas pada Aksa. Jika di rumah, aku takut suara kami di dengar oleh Pak Candra atau para asisten. Tidak mungkin kami bisa bicara baik-baik. Firasatku mengatakan jika Aksa akan meluapkan segala kesal karena aku hadir di pesta pertunangannya. Detik jam terus berputar. Hari telah berganti. Perkuliahan baru saja selesai. Aku juga sudah selesai sholat ashar. Tanpa menunggu lama, aku langsung memesan kendaraan online yang bisa ditumpangi. Aku rasa uang lima ratus ribu di dompet, sudah cukup untuk membayar biaya kendaraan yang mau mengantarku mengikuti Aksa. Rencananya aku akan mengikuti Aksa dari belakang. Sedikit grogi karena ini pertama kali aku memata-matai s
Aku masih diam tak berkutik, hanya memandang mata Aksa yang melihatku tajam. Ya Allah, kuat kan aku untuk berbicara dengan laki-laki ini! Gerakan bibir ini, agar fasih berucap! Aku sudah berada di hadapannya. Tidak mungkin pulang sebelum mengeluarkan semua gundah dihati. “Dari mana kamu tahu apartemenku? … Dan kenapa kamu datang ke sini?” Aksa kembali berkata. Nada suara yang pelan namun penuh ketegasan. Tatapannya masih sama, penuh amarah. Aku harus bisa. Jangan sampai Aksa menutup pintu dan aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbicara dengannya. Apalagi dia sudah tahu kalau aku mengetahui tempat tinggalnya yang lain. “Aku ingin bicara serius dengan kamu, Aksa. Ini penting dan semua harus kita bicarakan,” tuturku sambil menatap Aksa. Aku tidak boleh lemah di hadapan lelaki ini. Jika itu terjadi, aku yakin dia akan puas menertawaiku dalam hatinya. “Kita? Aku tidak ingin berbicara denganmu. Lebih baik sekarang kamu pulang! Aku tidak punya waktu berbicara dengan perempuan seperti
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau