“Kok kamu jadi gini sih, sayang? Dulu kalau aku mau jalan dengan Delis, kamu selalu izinkan. Kok sekarang kayaknya kamu banyak berubah? … Kamu kan tahu, sebelum kita pacaran, aku dan Delis sudah bersahabat.” Aksa hanya diam. Ini sangat berbahaya. Lebih baik Aksa bicara dari pada diam begini. Kalau dia hanya diam, aku tidak bisa menebak isi pikiran Aksa. Aku takut dengan kejutan amarah yang akan dilampiaskan Aksa padaku. “Aku nggak suka kamu kayak gini, Aksa!” ujar Utami. Dia langsung berdiri lalu meninggalkan aku dan Aksa. Untung saja ruang kelas sudah sepi. Sekarang hanya ada aku, Utami dan Aksa. Jika tidak perdebatan antara Aksa dan Utami akan menjadi pandangan banyak mata. Mereka berdua adalah bintang di kampus ini. Orang-orang selalu penasaran dengan berita tentang hubungan mereka. Kalau sudah begini, pastinya Utami tidak akan mengantarku, karena dia akan menyelesaikan masalahnya dengan Aksa terlebih dahulu. Aksa masih berdiri di hadapanku. Dia menatap tajam. Aku memberanikan d
*** Sudah satu minggu aku menjadi guru les Aura. Banyak hal yang telah terlewati. Tak tahu, apakah semua yang terlewati itu bisa kujadikan pengalaman indah, atau justru akan terkenang sebagai kenangan buruk selama hidup. Seminggu lalu, untuk pertama kali aku tidur di rumah Pak Firman. Meskipun sangat terpaksa, aku tetap berusaha tersenyum di depan Aura. Aku kasihan pada anak kecil itu. Melihat wajah polosnya saat tertidur, membuat perasaan sayangku muncul. Banyak yang berubah dari hidup. Aku harus terbiasa dengan kalimat kasar Aksa yang menuduhku sebagai perempuan munafik. Sedangkan Pak Firman, dia masih saja memaksa agar aku mengikuti perintah anehnya. “Kamu melamun, Del?” tanya Utami. Tangannya menyentuh lenganku. “Eh eh, gimana? ... Nggak kokk, aku nggak melamun,” tuturku gelagapan. “Kamu pilih baju yang mana? Dari tadi kita keliling. Belum ada ya baju yang kamu suka?” tanya Utami yang masih melihat-lihat baju. Saat ini kami sedang berada di sebuah butik yang menjual banyak g
Utami diam beberapa detik, saat melihat aku keluar tanpa memakai baju yang dia beri. "Iya, Del. Kita ke pasar saja … Kamu nggak suka ya bajunya?" ujar Utami lembut. Aku pun mengangguk sebagai jawaban. Utami langsung mengambil baju yang ada di tanganku. Dia lalu menarik lengan untuk melangkah bersama. “Kak, maaf kami nggak jadi ambil baju ini. Soalnya kepanjangan, hehe,” ujar Utami pada seorang karyawan dengan raut merasa bersalah. “Maaf ya.” “Oh iya, Kak. Nggak apa-apa.” Karyawan butik menjawab perkataan Utami sambil tersenyum. Mungkin Utami beralasan bajunya kepanjangan karena tidak enak dengan karyawan butik. Kami berada di sini dari tadi. Kalau keluar tanpa membeli rasanya agak malu. Aku pun tersenyum pada karyawan butik. Utami langsung mengandeng tanganku untuk keluar. Kami menuju mobil yang ada di parkiran. “Maaf ya, Tam. Aku jadi tidak enak padamu,” ujarku sebelum Utami melajukan mobil keluar dari halaman parkir mobil. “Harusnya aku yang minta maaf. Aku terus memaksa kamu
“Jangan berpikir seperti itu, Tam. Kamu harus yakin kalau kalian ditakdirkan untuk bersama selamanya. Aksa sangat mencintaimu. Mana bisa dia hidup tanpa kamu? … Tidak usah berpikir macam-macam. Fokus saja dengan pertemuan sebentar malam,” ujarku sambil mengusap lembut lengan Utami. Sambil tersenyum, aku lanjut berkata, “kamu harus yakin kalau kalian berdua akan berjodoh. Aksa hanya pantas untuk kamu dan kamu sangat pantas bersanding dengan Aksa.” Aku menghapus airmata dari wajah Utami. Namun, berusaha tidak mengganggu penglihatannya. Utami masih mengendara. Kalau tanganku menghalangi pandangannya, bisa bahaya. Utami nampak datar saja. Ya aku tahu, dia pasti masih memikirkan tentang mimpinya. Semangat dariku belum tentu bisa menanangkan. Entah mengapa ada yang aneh denganku setelah mengucap kalimat itu. Bibir tersenyum namun hati terasa sakit saat mengucap kata “kalian berdua akan berjodoh” untuk Utami dan Aksa. Tidak boleh terjadi! ini pasti hanya perasaan aneh biasa. Aku tidak mung
Utami tidak membalas perkataanku. Sepertinya dia tak ingin berdebat. Aku pun kini memilih untuk diam. Tanpa berkata, Utami mengeluarkan mobil dari parkiran. Aku tidak bisa menebak raut wajahnya. Dia tidak terlihat marah. Namun, tak juga nampak kecewa. Kini laju mobil sudah menjauh dari area Pasar Kota. Aku melirik Utami yang masih saja diam. Bibirku pun bersuara, “Tam, kamu marah ya sama aku?” Utami melihatku sejenak, lalu kembali fokus melihat jalan. “Aku lapar, Del. Nggak semangat untuk bicara. Kamu mau kita makan di mana? Ini sudah jam tiga lewat dan kita belum makan.” “Aku pikir kamu marah. Terserah kamu, kita makan di mana. Aku mengikut,” ujarku dengan senyum di wajah. Kini perasaan telah lega. “Tetapi sebentar aku traktir kamu ya. Awas saja kalau nanti kamu bayar sendiri lagi … Kalau kamu berani melakukan itu, aku akan menurunkan kamu di jalan.” Utami berkata dengan raut tanpa senyum. “Haha … baik, Bos. Kalau begitu aku ingin makan yang enak. Mumpung di traktir.” Sepertinya
“Kamu harus mau, Del. Aku tidak ingin mendengar penolakan. Malam ini adalah malam yang istimewa untuk aku dan Aksa, jadi kamu juga harus tampil cantik.” Sepertinya Utami sengaja membuat aku kesal. Ahh … masa iya aku harus memakai make up. Padahal selama ini aku selalu menghindar dari urusan berhias. Di hari pernikahan saja, aku sengaja tampil tanpa polosen bedak. Apalagi ini untuk hari bahagia Utami dan Aksa. Ya Allah, bagaimana cara aku menolak keinginan Utami? Aku sangat tidak ingin terlihat cantik. Selama ini, aku sudah puas dengan penampilan memakai kaca mata besar dan hijab yang menutupi rambut. Hampir empat puluh menit, aku masih saja terdiam. Lewat raut wajah, aku ingin mengatakan pada Utami jika tidak suka dengan rencananya. Tetapi, sepertinya dia tetap ingin melakukan rencana itu. Buktinya kini kami sedang melangkah memasuki sebuah salon. Utami tidak berkata apapun, dia hanya menarik tanganku. Menuntun untuk masuk. Ingin menolak, tetapi takut Utami akan kecewa. “Kamu duduk
“Kak, maaf … ini …” ujarku dengan mata membola melihat pantulan wajah yang telah selesai di make up. “Gimana, Kak? Ada yang masih kurang?” tanya karyawan salon sambil tersenyum. “Kenapa jadinya begini, kak? Ini terlalu tebal.” Aku sudah tidak peduli, karyawan ini akan tersinggung atau tidak dengan ucapan. Bibir tak mampu lagi berkata melihat keadaan wajah lewat pantulan cermin. Apa ini perintah Utami? Tadi aku belum mengatakan apapun ingin di make up bagaimana. Ya, ini pasti perintah Utami. Tetapi, tidak mungkin dia menyuruh karyawan salon untuk merias wajahku setebal ini. “Aduh gitu ya, Kak. Tetapi tadi aku di-,” “Udah, Kak. Nggak apa-apa kok. kalau sudah selesai, bolehkah aku mengganti baju sekarang?” tuturku yang memotong perkataan karyawan. Aku tidak ingin dia melanjutkan ucapannya. Rasanya tidak sanggup jika karyawan ini mengatakan Utami yang menyuruhnya. Utami tahu kalau aku tidak suka memakai make up. Kenapa dia justru menyuruh karyawan untuk merias wajahku seperti ini? Mem
Utami menggenggam erat tanganku. Aku meliriknya, lalu kembali melihat Aksa. Lelaki itu kini menunduk. “Del, kamu nanti duduk di sampingku ya,” ujar Utami yang masih menunduk. “Iya, Tam.” Aku menjawab dengan suara pelan karena kini aku dan Utami sudah sangat dekat dengan Aksa dan orangtua Utami. Aksa berdiri lalu menggeser kursi agar Utami bisa duduk. Aku tidak ingin peduli dengan perlakuan Aksa pada Utami. Aku menggeser sendiri kursi agar bisa duduk. Aku duduk di peratara Utami dan Tante Ani. Utami sepertinya sengaja memilih restoran yang menyediakan meja bundar. Kalau duduknya saling berhadap-hadapan, aku akan merasa sangat canggung. Di atas meja sudah tersedia berbagai macam hidangan. Mungkin Utami yang sudah memesan semua ini. Rencana Utami dan Aksa memang sangat matang. Mereka menyusun pertemuan ini dengan rapi sehingga terkesan mewah. Kami semua mulai menyantap hidangan. Utami mencairkan suasana dengan bercerita tentang hubungannya dan Aksa. Sedangkan Om Farhan hanya menyima
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau