"Del, sebenarnya kamu ada masalah apa sih dengan Utami. Kok kalian sudah tidak pernah terlihat bareng lagi. Terus sekarang Utami sudah akrab dengan Tari," ujar Eka. Mungkin dia bertanya karena melihatku diam dari tadi dengan mata yang sedang menatap Aksa dan Utami dari jauh. "Nggak kok. Nggak ada apa-apa." Aku berkata sambil mengukir senyum di wajah. "Cerita ke aku, Del. Aku akan pastikan semua rahasiamu terjaga." Eka menggenggam tanganku yang ada di atas meja. Aku menoleh dan tersenyum padanya. Mataku kini berkaca. "Are you okey?" tanya Eka lembut. "Yes, I'm okey!" Aku menengadahkan wajah ke atas, menatap langit-langit. Berusaha menahan agar air mata yang telah berkumpul di kelopak tidak tumpah. "Jangan di pendam sendiri, Del. Aku tahu, kamu butuh seseorang untuk mendengar ceritamu. Ceritakanlah ke aku. Rahasiamu aku jamin akan terjaga." Aku menatap Eka, dia terlihat tulus dengan perkataannya. Bukan tak ingin bercerita, hanya saja aku bukan orang yang mudah percaya dengan ses
"Bagaimana cara agar bisa melupakan Aksa, kalau sekarang saja kami tinggal bersama? Aku sadar, aku tak pantas untuknya. Perbedaan kami sangat jauh, Aksa pantasnya dengan perempuan seperti Utami. Tetapi aku juga tidak bisa mengatur, siapa lelaki yang bisa aku cintai dan tidak. Aku tidak pernah meminta untuk mencintai Aksa. Yang aku tahu, perasan ini menetap tanpa izin. Datang dengan sendiri tanpa aku sadari. Aku juga yakin, akhir dari kisah ini, aku yang akan tersakiti." Eka hanya menjadi pendengar terbaik. Dia sesekali mengusap punggung belakangku, berusaha menenangkan. Mungkin aku terlalu terseduh karena baru pertama kali bercerita. Mengeluarkan segala keluh di hati. Aku terus saja bercerita. Ada rasa nyaman bercerita pada Eka. Dia tidak pernah memotong perkataanku. Sesekali Eka akan berbicara saat aku sudah terdiam beberapa detik. Lama menjadi pendengar terbaik, Eka pun berkata, "Tidak usah bersedih, Del! Kamu tidak salah … Jadi begini ya ceritanya sebenarnha, kenapa sekarang ka
Setelah lama terdiam, aku pun menjawab. "Tidak masalah jika aku di benci oleh Utami, Eka. Itu sudah resiko dari kecerobohanku. Andaisaja dulu aku bertanya terlebih dahulu ke orangtuaku, siapa lelaki yang akan di nikahkan denganku, semua ini tidak akan terjadi. Karena aku pasti menolak jika tahu lelaki itu adalah Aksa ... Aku akan terus meminta maaf pada Utami. Setidaknya sampai wisuda nanti. Karena setelahnya, mungkin aku akan meninggalkan kota ini.""Makasih ya, sudah mengingatkan aku tentang cara menegur orang. Mungkin aku memang salah tempat saat menegur. Tetapi niatku sama sekali bukan ingin mempermalukan Utami. Aku juga akan terus menegur kesalahannya. Karena dia sahabatku. Andaikan Utami itu orang lain, aku tak mungkin sibuk mengurus kesalahannya. Beda antara kesalahan dan kelemahan, Eka. Kalau kesalahan, ya, harus di perbaiki. Kalau kelemahan, wajib untuk dimaklumi."Aku rasa Eka paham maksud perkataan ku. Setelah lama bercerita-cerita dengan Eka, tiba-tiba handphoneku bergetar
Aku langsung mengangkat. Tidak ingin membuat Pak Candra menunggu lama. "Assalamualaikum, Ayah!" ujarku lembut. "Delisia sekarang dimana, Nak?" tutur Ayah yang terdengar dari speaker handphone. "Aku masih di kampus, Ayah. Bagaimana?" "Kalau sudah pulang, kamu singgah di rumah dulu ya. Ada yang ingin ayah bicarakan dengan kamu. Harus hari ini." "Iya, Ayah." Setelah aku menyetujui permintaan Pak Candra, panggilan langsung berakhir. Terbesit tanya dalam benak. Pak Candra tidak pernah menyuruhku ke Rumahnya secara mendadak. Ah, mungkin saja Pak Candra ingin meminta tolong sesuatu padaku. Tak perlu aku takut dan berpikir negatif. Lebih baik aku ke sana saja sekarang saja, dari pada penasaran terlalu lama. Lagi pula aku sudah tidak punya urusan lagi di kampus. "Eka, aku balik duluan ya. Ada agenda mendadak. Oh iya, kalau ada apa apa, kamu bisa menelponku." ujarku setelah menaruh handphone ke dalam tas. "Iya, Del. Makasih ya." Aku pun berlalu dari samping Eka. Aku sengaja mengat
Aku mengambil foto itu. Bibir masih terkunci, belum menjawab pertanyaan Pak Candra. Kini ditanganku ada foto sepasang kekasih yang sedang berpelukan mesra. Dia suamiku dan sahabatku. Jadi ini penyebab Pak Candra menyuruhku datang ke sini. Aku juga mengambil dua foto yang lain. Satu foto, Aksa menatap Utami penuh cinta. Sedangkan satu foto yang lain, Aksa dan Utami nampak sedang tertawa bersama. Aku tidak tahu, dalam foto ini mereka sedang berada di mana. Mungkin foto ini di ambil saat mereka sedang berlibur. Pemandangan sekitarnya sangat asing buatku. "Jelaskan ke ayah, apa yang sudah terjadi dalam pernikahan kalian?" Pak Candra kembali berbicara. Mungkin karena aku masih diam saja. "Apa yang sudah kalian sembunyikan dari ayah?" Aku pun menatap wajah Pak Candra yang nampak marah. "Maafkan aku, Ayah." tuturku sambil menunduk. Ya hanya kalimat maaf yang mampu aku ucapkan. Ada perasaan bingung untuk berucap. "Sejak kapan Aksa punya pacar?" Aku kembali terdiam. Tak ingin terkesa
"Kamu pasti sedang bercanda, Nak. Mana mungkin orang sebaik kamu bisa selingkuh. Pasti kamu hanya ingin membela Aksa. Anak ini memang bandel. Dia sudah sering membuat ayah marah. Dulu saja waktu ayah menjodohkan kalian, dia sampai membuat ayah masuk rumah sakit." Pak Candra sesekali melihatku. Namun, tatapannya lebih banyak mengarah pada Aksa. Ayah memang sudah sering menceritakan karakter menjengkelkan tentang Aksa. Aku selalu merespon hanya dengan tersenyum. Tak perlu menambah perkataan, jika Pak Candra menceritakan kejelekan Aksa. "Selama ini Aksa sangat baik memperlakukan aku sebagai istrinya. Dia tidak pernah marah-marah. Dia tidak pernah berkata-kata kasar padaku, Ayah. Aku sangat merasa bersalah karena telah selingkuh. Padahal selama ini Aksa sangat baik padaku. Mungkin kenapa sekarang Aksa akhirnya ikut selingkuh, karena dia ingin membalas perbuatanku padanya." Aku masih saja berkata dengan wajah sendu. Berharap Pak Candra percaya dengan semua perkataanku. Aku memperbaik
"Kamu tidak usah takut, Delisia. Kalian tidak boleh merahasiakan masalah dari orangtua. Kalau orang tuamu mendengar dari orang lain, lebih berbahaya. Mereka pasti akan semakin kecewa." "Tidak usah, Ayah. Aku akan selesaikan semuanya dengan Delisia tanpa di tahu oleh orang tuanya di kampung." Aksa berkata dengan tegas sambil melihat Pak Candra. "Dari tadi ayah sudah memberimu kesempatan untuk bicara. Kenapa baru bicara sekarang? Apapun yang terjadi nanti, itu tergantung keputusan ayah. Kamu jangan membantah! Orang tua Delisia sudah di perjalanan. Tidak lama lagi mereka akan tiba." "Ayah, ini rumah tanggaku! Ayah tidak boleh membuat keputusan sesuai keinginan ayah! Aku yang berhak membuat keputusan untuk rumah tanggaku!" Suara Aksa meninggi. Aku menatapnya. Tidak menyangka dia berani berkata begitu di depan Pak Candra. Aksa yang biasanya selalu bersikap sopan di hadapan ayahnya, kini berubah. Ada apa dengan Aksa? Mungkin kah dia tidak setuju dengan skenario yang aku buat? Padahal
Tidak terasa, kami berada di ruang tamu sudah lebih dari dua jam. Aku belum bisa beranjak karena Pak Candra pun masih duduk di sampingku. Aksa menatap kosong ke depan. Sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan? Jika saja dia bicara, melanjutkan skenario yang sudah aku buat, masalah pasti akan selesai. Aksa cukup katakan jika aku yang salah. Dia hanya membuat pembelaan agar tidak terpojokan. Tetapi kenapa Aksa justru menjadikan masalah ini semakin rumit? Aku tidak mengerti jalan pikiran lelaki ini. Harusnya dia sudah senang dan berterima kasih padaku, karena aku telah menolongnya. Tetapi tindakan yang dia lakukan justru tak jelas. Kalau akhirnya akan seperti ini, lebih baik tadi aku diam saja. "Assalamualaikum." Suara lembut seorang perempuan dari pintu, membuat aku, Aksa dan Pak Candra menoleh. Aku langsung berdiri. Tangan terurai untuk memeluk. "Ibu!" ujarku saat sudah berada dalam pelukan. Aku sudah merindukan sosok ini. "Oh kamu dan Aksa juga di sini. Ini ibu dan ayah bawa
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau