"Ibu tidak menyangka, Nak, kamu bisa melakukan hal sekeji itu. Selama ini kami selalu mengajarkan kamu untuk menjadi anak yang patuh dan taat pada suamimu. Ternyata semua yang kami ajarkan tidak kamu lakukan. Justru kamu melakukan sesuatu yang sangat memalukan … Apa kamu lupa, salah satu nasehat yang pernah ibu katakan setelah kamu menikah? Kelak di akhirat nanti, kamu akan ditanya tentang hak suamimu. Telah dipenuhi atau tidak? Apa yang akan kamu jawab nanti, kalau yang kamu lakukan adalah berselingkuh di belakangnya," ucap ibu dengan terseduh. Beberapa detik, hanya suara tangis yang terdengar. Ibu nampak sangat murka mendengar aku selingkuh. Aku harus bagaimana sekarang? Aku tidak bisa menghentikan kebohongan ini. Tetapi, aku juga tidak bisa membiarkan ibu dan ayah terluka seperti ini. "Kamu pulang saja, Delisia. Ikut kami! Jangan buat malu lagi," ujar Ayahku yang sedari tadi hanya diam saja. Aku mengangkat wajah untuk melihat ayah. Bahkan ayah tidak ingin menatapku. Aku pun ke
Aku tersadar, ternyata Aksa masih di sini. Tadi dia tidak ikut berdiri bersama Pak Candra. Aksa tidak bersuara. Sama sepertiku, dia hanya menjadi pendengar saat ayah dan ibu mengeluarkan kalimat keluh dan nasehat. Berarti Aksa telah mendengar semuanya. Jika aku selalu memujinya di hadapan ayah dan ibu. Ahh, sebenarnya aku malu. Tetapi tak apa-apa. Toh juga sudah terlanjur. Tidak lama kemudian Aksa berdiri. Dia berlalu dari ruang tamu. Mungkin saja dia jenuh mendengar kalimat maaf dari ibu dan ayahku. Apalagi orang tuaku selalu mengatakan kalimat pujian untuknya. Sesuai dengan semua perkataan saat aku menceritakan dirinya pada kedua orang tuaku. Aku telah berdiri dan duduk di samping ibu sambil memeluknya. Sungguh, aku sangat merasa bersalah karena telah membuat ibu menangis. Ini pertama kalinya aku membuat airmata jatuh dari kelopaknya. "Ayah, ibu, kalau mau istirahat, langsung saja ke kamar. Ini asisten rumah yang akan mengantar ibu dan ayah ke kamar." Aksa muncul dengan memba
Tepat di jam delapan malam, aku sudah mengetuk pintu kamar Aksa. Katanya dia mau makan, kenapa belum keluar kamar? Padahal aku sudah menyiapkan makanan di atas meja. Makanan ala kadarnya sesuai dengan bahan yang masih tersedia di kulkas. Tok! Tok! Aku kembali mengetuk pintu karena Aksa tak kunjung menjawab. Lelaki ini sangat membuatku pusing. Ya Allah, ternyata kesabaranku hanya setipis tisu jika menghadapi tingkah menyebalkan seorang Aksa. "Aksaaa! Kamu mau makan tidak? Makanannya nanti dingin, kalau kamu tidak makan sekarang!" Aku setengah berteriak, agar Aksa bisa mendengar suaraku. Aksa pun keluar dengan memakai celana pendek dan kaos putih. Beberapa detik, mataku tak berkedip. Aku terpesona melihat kegantengannya. Tidak berdosa 'kan jika aku menatapnya? Dia sudah halal bagiku. Aksa lalu berjalan melewatiku. Aku berpura-pura batuk untuk menghilangkan kegugupan. Aksa lalu berdiri di dekat meja makan yang sudah tersedia hidangan di atasnya. "Kenapa tidak duduk?" tanyaku d
*** Aku sedang berjalan menuju toilet. Baru saja bertemu dengan Pak Firman setelah beberapa hari tidak bisa menemuinya. Alhamdulillah revisi proposal ku sudah disetujui. Oh iya, proposal Eka juga sudah ditandatangani. Sebenarnya aku heran, kok bisa ya. Padahal Eka mengaku jika dia belum memperbaiki hasil masukan seminar proposal dari Pak Firman. Apa iya, Pak Firman langsung menandatangani tanpa membaca. Ahh sudahlah! Mungkin semua berkat kekuatan doa Eka. Saat keluar dari bilik toilet, ternyata Utami, Tari, bersama para pengikutnya, baru saja masuk. Aku dan Utami sejenak saling bertatap mata. Aku pun langsung melangkah. Ingin secepatnya keluar dari toilet. Jika Utami hanya sendiri, mungkin aku akan mengajaknya bicara. "Kamu mau kemana, Delisia? Kami sudah lama tidak bermain-main dengan kamu!" ujar Tari sambil mencegat langkahku. Alma berjalan lalu mengunci pintu toilet dari dalam. Meka megang tangan kananku. Sedangkan tangan kiri ku dipegang oleh Ratna. "Apa yang mau kali
Aku menatap pantulan wajahku di cermin. Rasanya ingin marah. Tetapi berusaha aku tahan. Tak ingin membuang-buang tenaga untuk meladeni mereka. Aku pun menoleh pada Utami. Dia masih saja memancarkan aura kebencian padaku. Ya, harusnya aku sadar. Aura wajah Utami tak mungkin berubah. Sekarang dia sangat membenciku. Mungkin akan sulit bagiku untuk mengubah rasa itu. Aku sangat merindukan Utami. Rindu dengan keakraban yang dulu. Kini di Kampus, aku merasa hari-hariku sepi. Aku tidak punya teman dekat seperti Utami. "Kamu sudah pernah tanya ke Aksa, kenapa hingga kini aku masih tinggal di Apartemennya?" ujarku pelan pada Utami. "Kenapa aku harus bertanya padanya? Sudah jelas, kamu itu perempuan ganjen. Perempuan yang suka menggoda laki-laki. Tak perlu aku bertanya ke Aksa alasanya, karena semua sudah cukup jelas. Apalagi kalau bukan kamu ingin menggodanya." Aku memejamkan mata sejenak. Lalu kembali menatap Utami. Percuma aku berbicara dengan orang yang sedang diliputi amarah dan kebe
Aku terus berjalan. Menaruh tas di depan dada, agar baju yang masih sedikit basah bisa tertutupi. Hari ini aku memakai gamis yang tebal. Jadi, tidak dapat kering meskipun sudah aku kipas. Aku menuju halte. Untung saja tak perlu menunggu lama. Baru saja duduk di kursi, bus yang aku tunggu sudah datang. Aku langsung berdiri di pintu halte. Biasanya bus hanya berhenti beberapa detik saja. Bus pun melaju dengan kecepatan sedang. Aku memasang earphone ke telinga dan asyik membaca buku. Tas ransel aku taruh dipangkuan agar bisa menutup bagian depan dada. Sesekali melihat keluar jendela. Ingin memastikan, sekarang sudah berada dimana. Bus lalu berhenti sejenak di halte. Ada penumpang yang akan naik dan turun. Aku kembali membaca buku ketika bus telah melaju. Saat sedang asyik membaca, aku menyadari ada yang duduk di sampingku. Tak ingin menoleh, buku yang sedang aku baca lebih menarik perhatian. Aku kembali melihat keluar jendela. Mata pun menangkap sosok yang duduk di sampingku. "Ak
"Oh iya." Cukup dua kata untuk merespon ucapan Aksa. Lelaki ini, padahal dia bisa saja makan di luar tanpa harus meminta izin padaku. Caranya yang begini hanya akan membuat perasaanku semakin terpupuk. Seolah aku adalah perempuan simpanannya."Aksa, mungkin lusa aku mau pulang ke kampung. Aku sudah mendapatkan semua tanda tangan dosen. Jadi, rencananya akan pulang ke kampung untuk penelitian.""Iya, nanti aku antar ya," tutur Aksa lembut."Nggak usah. Nanti aku balik naik bus saja. Jangan sampai Utami nyariin kamu. Bisa bahaya kalau dia tahu kamu mengantarku ke kampung." Aku menggeleng pelan sebelum berkata.Setelah percakapan itu, aku memilih diam. Begitupun dengan Aksa. Dia juga tak bersuara. Aksa sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Dia menatap ke depan. namun yang aku lihat, tatapannya kosong.Detik jam terus berputar. Kini sudah jam sembilan malam. Aksa belum juga pulang. Padahal tadi dia mengatakan tidak akan pulang larut malam.Aku belum makan, masih menunggu Aksa. Seperti ja
Saat menjelang pagi, aku bersiap-siap untuk pulang kampung. Aksa belum juga pulang. Baguslah! Aku bisa pulang tanpa bertemu dengannya terlebih dahulu. Saat sudah berdiri di depan pintu, aku memejamkan mata sejenak. Rasanya aku tidak bisa pergi tanpa meminta izin pada Aksa. Walau bagaimanapun, aku harus tetap mengatakan pada Aksa jika akan pulang ke kampung sekarang. Aku mengambil benda pipih yang ada di dalam tas. Beberapa detik menatap. Aku lalu mengembalikan ke tempat asalnya. Aku tidak mungkin mengirim pesan pada Aksa sekarang. Bagaimana kalau Aksa merasa terganggu dengan pesan dariku? Dia sedang bersama Utami, pasti sedang tidak ingin di ganggu. "Ahh, aku punya ide." Tanpa menunggu lama, aku pun mengambil buku dan pulpen dari dalam tas. Aku merobek selembar kertas lalu tangan mulai menari bersama pulpen di atasnya. 'aku pamit ke kampung. Maaf tidak menunggu kamu pulang dulu. Assalamualaikum!' Aku menaruh kertas itu di bawah vas bunga yang ada di atas meja. Tempatnya strate
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau