Haris tertawa terbahak-bahak setelah Alma menceritakan tentang kecemasannya. Alma tidak memberitahu Haris bahwa pikirannya itu berasal dari ucapan Rara.“Apa kamu ingat golongan darah orang tuamu?” tanya Haris.“O dan B,” balas Alma.“Lalu golongan darahmu sendiri?”“B.” Alma menjawab singkat seperti orang yang takut membuat kesalahan.“Jadi coba kamu pikir, golongan darahku A, berapa persen kemungkinan aku ini sedarah denganmu? Ada-ada saja,” kata Haris.Pria itu lantas menutup laptopnya dan berdiri.“Sudah jangan berpikiran macam-macam, aku senang kamu bisa sampai di sini,” ujar Haris. “Tidak ada staf yang menggunjingmu lagi ‘kan?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma yang sedikit berantakan.Alma merasa berdebar lagi seperti pagi tadi, pipinya bersemu merah.“Kita bisa pergi sekarang ‘kan?” Alma mundur satu langkah, dia tersenyum canggung lalu membalikkan badan.Alma buru-buru berjalan menjauhi Haris sambil memegang erat tali tas yang melingkar di depan dada.Haris buru-buru menyu
[Suamimu berselingkuh, Sha. Aku melihatnya mengunjungi rumah seorang wanita dan memeluknya!] Mengingat isi pesan singkat yang dia terima beberapa waktu lalu membuat hati Risha sakit. Setelah lama menjalin pernikahan tanpa cinta, akhirnya sekarang dia mendapatkan jawaban atas sikap dingin suaminya, Adhitama. “Kenapa kamu menangis?" Pertanyaan itu membuat Risha menoleh, menatap sosok sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Pria itu baru saja pulang setelah sekian lama mengurus perusahaannya di luar kota. Akan tetapi, bukan ucapan cinta dan kasih sayang yang dia ucapkan guna melepas rindu, melainkan menyeret Risha ke dalam kamar dan memaksa wanita itu melakukan kewajibannya. Dengan wajah dingin, Adhitama berkata, "Jangan bersikap seperti kamu tidak menginginkannya. Ini tujuan utamamu menghubungiku, bukan?" Pria itu menanggalkan pakaiannya tanpa sedikit pun peduli dengan ekspresi Risha yang terluka. Sesak, sungguh sesak dada Risha mendenga
Adhitama Mahesa, pengusaha muda bertangan dingin. Keluarga Mahesa adalah keluarga terpandang yang begitu dihormati dan disegani di ibu kota, dan Adhitama adalah calon pewaris utama. Adhitama memiliki reputasi yang sangat baik sehingga tidak ada orang yang berani menentang ataupun menolaknya. Selama tiga puluh tiga tahun hidup, ia terbiasa dengan hal itu. Namun, kini, ada seseorang yang ingin menolak untuk hidup bersama dirinya. Dan, itu adalah istrinya. “Mas Adhitama, mari berpisah.” Permintaan tersebut, melukai harga dirinya. Adhitama meletakkan cangkir teh di tangannya dan berbalik, menatap Risha dalam diam. “Berpisah?” Darimana pemikiran wanita itu untuk meminta cerai darinya? Adhitama selalu memperlakukan wanita itu dengan baik selama dua tahun pernikahan mereka. Adhitama juga telah bertanggung jawab baik secara lahir maupun batin. Namun, wanita itu tiba-tiba mengatakan ingin berpisah darinya? “Ya. Mas Tama tenang saja. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, jadi
“Kamu masih bisa tersenyum setelah mendapati suamimu selingkuh, ha?” Amarah Niki naik, tidak habis pikir bagaimana Risha masih bertahan dalam pernikahannya. Niki adalah sahabat satu-satunya yang dimiliki Risha, Niki tahu semuanya. Jadi, ketika Niki tanpa sengaja melihat Adhitama bersama wanita lain, ia langsung memberitahukan Risha. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat pertama kali, Niki secara sukarela menyelidiki Adhitama hingga akhirnya tahu jika suami dari sahabatnya itu memiliki wanita lain di kota lain. “Sudahlah jangan membahas itu,” ucap Risha. Hari itu Niki yang kebetulan memiliki urusan di kota tempat Risha tinggal memutuskan menemani sang sahabat pergi ke rumah sakit. Setelah perdebatan Risha dengan Adhitama malam itu, Risha akhirnya tetap menuruti permintaan Adhitama untuk memeriksa kandungannya. Risha tidak bisa melawan, setelah perdebatan itu, Adhitama menghukumnya dengan menghujamnya berkali-kali di ranjang, hingga Risha kelelahan. Itu adalah kali pertama
Sesak di dada Risha semakin menjadi-jadi. Apakah wanita itu begitu penting hingga suaminya bahkan tidak ingin menjawab pertanyaannya dan tetap memilih untuk pergi? “Kalau Mas Tama memikirkan permintaanku, kita tak perlu berdebat. Bukankah akan lebih mudah bagi Mas Tama kalau kita berpisah?” Risha bertekad tidak akan berhenti sampai Adhitama setuju dengan permintaannya. “Sampai kapanpun jangan harap mendapat keinginanmu yang satu itu,” ucap Adhitama dingin. Ia tidak memiliki waktu, jadi harus segera siap-siap. Adhitama mengambil acak beberapa baju dan memasukkanya ke dalam koper karena sadar Risha tak mau membantunya. Risha masih diam di tempatnya melihat Adhitama menutup dan menyeret koper itu. Adhitama tak mengucapkan satu patah katapun berjalan melewati Risha. Namun, langkahnya terhenti, ketika Risha dengan seluruh kekuatannya berkata, “Kalau begitu, tolong berhenti menemui kekasihmu itu, Mas.” “Apa maksudmu?” tanya Adhitama saat melihat kilatan emosi dari tatapan mata Rish
Risha tak bisa mengabaikan pesan itu begitu saja. Itu yang membuatnya kini berada di sebuah restoran, duduk berhadapan dengan wanita yang selama ini hanya dia dengar ceritanya dari Niki.Akan tetapi, Risha tak memandang Sevia, melainkan pada koper yang berada di samping tempat duduk wanita itu. Mana mungkin Sevia berada di Jakarta tanpa tujuan?Meski mencoba tenang, tetapi senyum getir tergambar jelas di paras ayu Risha.Mungkinkah Adhitama berbohong? Keluar kota hanya alasan bagi suaminya itu?“Maaf kalau aku sudah bersikap lancang meminta bertemu dengan Kakak,” ucap Sevia.Bicaranya lemah lembut, bahkan memanggil Risha dengan sebutan ‘kak’ padahal Risha tahu kalau mereka seumuran.Risha hanya menatap tanpa memberi respon, melihat Sevia tampak ingin berbicara lagi.“Aku mengajak Kakak bertemu karena merasa butuh bicara soal Mas Adhitama.”Senyum sumbang tergaris di bibir mungil Risha mendengar ucapan Sevia. Bukankah seharusnya dia sudah bisa menebak maksud wanita itu ingin menemuinya
Sudah dua hari sejak Adhitama pergi, Risha memilih tinggal di apartemennya untuk menenangkan diri. Pagi itu dia berada di dapur untuk menyiapkan sarapan sambil melamun. Sejak suaminya pergi hari itu sampai saat ini, ia tidak memberikan kabar apa pun pada Risha. Apakah suaminya itu begitu senang bertemu dengan Sevia hingga ia melupakan istrinya sendiri? “Kenapa aku harus pusing memikirkan mereka?” Risha menggeleng pelan, mencoba menepis rasa penasaran dan kekesalan yang mulai timbul di hati. Risha menarik napas pelan dan memejamkan mata untuk menenangkan diri, tetapi terganggu dengan suara bel pintu apartemennya yang berbunyi. “Siapa yang tahu aku ada di sini?” tanya Risha lantas buru-buru ke depan. Di depan pintu Risha terpaku. Di sana Adhitama berdiri diam menatap padanya. Risha melihat kembali sang suami. Wajahnya yang tampan, rambutnya yang hitam legam, dan mata gelap nan tajam itu pernah membuat Risha begitu mencintai Adhitama. Hingga saat ini. Namun, Risha telah be
Adhitama tidak pernah menyangka bahwa Risha benar-benar ingin bercerai darinya tanpa ragu-ragu. Terlebih, sejak tadi Risha selalu berkata ‘wanita lain’ padanya.Adhitama merasa marah.Dia menatap lekat istri kecilnya di bawahnya.Istri kecilnya ini memang cantik. Adhitama tidak merasa rugi ketika dijodohkan dan harus menikah dengan Risha. Risha juga berasal dari keluarga dengan reputasi yang baik, tetapi Adhitama tidak pernah mencintainya.Cengkeraman Adhitama di lengan Risha cukup keras, membuat Risha meringis. “Lepaskan aku, Mas.”Akan tetapi, alih-alih dilepas, Adhitama justru menggendong Risha dan melemparkan Risha ke sofa duduk ruang tamunya.Adhitama menekan Risha di sofa yang sempit. Adhitama menyatukan keningnya, lalu berpindah ke hidung. Kemudian, Adhitama menggerakkan bibirnya ke belakang Risha dan berbisik, “Kamu tidak mengenalku dengan baik, Risha.”Tubuh Risha bergetar. Sofa yang sempit ini membuat Risha kesulitan bergerak, hingga menyentuh bagian bawah Adhitama yang menge
Haris tertawa terbahak-bahak setelah Alma menceritakan tentang kecemasannya. Alma tidak memberitahu Haris bahwa pikirannya itu berasal dari ucapan Rara.“Apa kamu ingat golongan darah orang tuamu?” tanya Haris.“O dan B,” balas Alma.“Lalu golongan darahmu sendiri?”“B.” Alma menjawab singkat seperti orang yang takut membuat kesalahan.“Jadi coba kamu pikir, golongan darahku A, berapa persen kemungkinan aku ini sedarah denganmu? Ada-ada saja,” kata Haris.Pria itu lantas menutup laptopnya dan berdiri.“Sudah jangan berpikiran macam-macam, aku senang kamu bisa sampai di sini,” ujar Haris. “Tidak ada staf yang menggunjingmu lagi ‘kan?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma yang sedikit berantakan.Alma merasa berdebar lagi seperti pagi tadi, pipinya bersemu merah.“Kita bisa pergi sekarang ‘kan?” Alma mundur satu langkah, dia tersenyum canggung lalu membalikkan badan.Alma buru-buru berjalan menjauhi Haris sambil memegang erat tali tas yang melingkar di depan dada.Haris buru-buru menyu
Pagi itu untuk pertama kali Haris merasa senang duduk di meja makan.Pembantu terus saja menggoda dengan berkata masakan Alma memang sangat luar biasa.Alma sendiri tersenyum malu mendengar pujian itu, dia duduk tepat di seberang Haris. Alma sesekali memandang pada Haris, pria mapan, tampan dan baik hati itu masih tidak dia percayai memiliki perasaan padanya.“Sepertinya makananmu itu tidak akan berkurang kalau kamu hanya melihatku, dan tidak menyuapkannya ke dalam mulut,” ucap Haris tanpa memandang ke Alma.Mendengar itu pembantu rumah tidak bisa menyembunyikan senyum, sedangkan Alma menunduk menahan malu.“Ini sudah berkurang banyak,” jawab Alma seraya menyembunyikan rasa malu.**Setelah sarapan Haris berangkat ke kantor dan Alma mengantarnya sampai ke depan.Meskipun ragu, tapi Alma memberanikan diri meminta izin ke Haris untuk pulang ke rumahnya hari itu.“Aku harus membereskan rumah, aku juga meninggalkan cucian piring kotor, jika tidak diurus bisa-bisa berjamur,” kata Alma.Ala
Alma tak menyangka Haris akan menahannya di rumah pria itu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima dan mengikuti apa keinginan Haris. Bahkan seperti apa yang pria itu katakan, sudah ada banyak baju untuknya di sana.Meskipun agak canggung kepada pembantu rumah, tapi Alma mencoba untuk bersikap baik.Seperti pagi itu, dia bangun pagi lantas pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan.Awalnya pembantu rumah Haris kaget bahkan memohon Alma untuk tidak melakukan itu. Namun, Alma bersikeras, dia berkata tidak mau menumpang dan makan secara cuma-cuma di sana.“Sudah sewajarnya, karena Mba Alma calon istri Tuan Haris.”Ucapan pembantu membuat Alma menghentikan gerakan tangannya memotong wortel, dia menoleh karena kaget.Bagaimana bisa pembantu rumah tahu kalau dia calon istri Haris?“Apa Pak Haris bilang aku ini calon istrinya?” tanya Alma setengah tak percaya.“Iya, dia bahkan meminta kami menjaga Mba Alma seperti menjaga keluarga sendiri,” kata pembantu itu. “Syukurlah kare
Keesokan harinya. Andre sudah bersiap pergi bersama Adhitama untuk mengurus masalah di anak cabang perusahaan Mahesa yang terdapat di Jogja.Mereka sarapan lebih dulu di restoran hotel, ada Risha dan Lily juga di sana.“Semalam Anda pergi ke mana, Pak?” tanya Andre. Dia tampak menekuk bibir saat melihat Adhitama hanya diam seolah tak mendengar pertanyaannya.“Kita jalan-jalan, Om Andre mau, tapi pas diketuk-ketuk pintunya, Om Andre tidak keluar,” jawab Lily.“Hampir saja aku pikir kamu mati di kamar,” ledek Adhitama, “tapi mendengar suara dengkuranmu yang seperti babi, aku yakin kamu hanya tidur,” imbuh Adhitama.Andre memasang wajah masam. Dia malu lalu melihat Risha yang tertawa.“Mana mungkin kamar di hotel bintang lima tidak kedap suara,” balas Andre.Adhitama dan Risha sama-sama menahan tawa.Andre memilih menyantap makanannya, saat itu dia melihat Mahira masuk restoran bersama kedua orang tuanya.Lily melihat Mahira, dia menatap benci karena sudah dibuat menangis oleh gadis itu
Ternyata, saat Andre tidur, Adhitama mengajak Risha dan Lily pergi keluar. Mereka pergi ke alun-alun kidul Jogja dan duduk-duduk di sana.Lily sangat senang. Anak itu sibuk bermain gelembung sabun sampai tertawa begitu bahagia. Dia berlari-lari sambil tertawa senang mengejar gelembung yang berterbangan tertiup angin.“Padahal sudah malam, tapi anak-anak masih betah main begituan,” kata Risha mengamati beberapa anak kecil yang juga bermain gelembung seperti Lily.“Namanya juga anak-anak,” balas Adhitama.Mereka duduk memakai tikar plastik yang tadi dibeli dari penjual seharga sepuluh ribu. Risha hanya tersenyum menanggapi balasan Adhitama dan terus memperhatikan Lily yang sedang bermain.Sudah lama tidak melihat Lily sesenang itu saat berlarian. Risha lega putrinya bisa kembali ceria. Risha masih memandang ke arah Lily, lalu melihat anak itu berbicara dengan anak kecil seusianya.Adhitama juga memperhatikan sang putri, sebelum memalingkan pandangan lalu menyandarkan kepala di pundak Ri
Sesampainya di Jogja, Adhitama meminta sopir yang menjemput untuk mengantar mereka ke hotel yang sudah Adhitama pesan. “Kenapa tidak ke rumah?” tanya Risha terkejut. Andre tampak biasa. Dia hanya melirik sekilas ke Adhitama yang duduk di belakang bersama Risha dan Lily. “Kemarin kamu bilang pembantumu sedang ke luar kota, jadi tidak ada yang membersihkan rumah. Aku takut rumahnya berdebu dan kalian bisa alergi,” ujar Adhitama menjelaskan. “Aku sudah bilang kalau Si mbok udah balik ke rumah,” kata Risha mengingatkan. “Aku sudah terlanjur booking kamar, sudah menginap saja di hotel, lagi pula hanya beberapa hari,” balas Adhitama tetap kukuh menginap di hotel. Risha menghela napas kasar. Akhirnya dia pasrah saja. Mereka sampai di hotel dan langsung pergi ke kamar yang dipesan. Saat Andre hendak masuk kamar, Adhitama mencegah asistennya itu. “Aku mau bicara sebentar,” kata Adhitama. “Apa, Pak?” tanya Andre. “Aku nitip Lily,” kata Adhitama lalu berlalu pergi. Andre terkejut kar
Pagi itu. Adhitama bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Dia sedang mengikat dasi, lalu menoleh pada Risha yang sedang mengambilkan jas miliknya. “Oh ya sayang, aku akan pergi ke Jogja untuk mengurus pekerjaan,” kata Adhitama. Risha mengambil jas yang tergantung di lemari, lalu menoleh pada Adhitama sambil bertanya, “Kapan Mas Tama pergi? Aku mau ikut, sekalian melihat kantor di sana.” “Tapi bukan weekend, lusa aku berangkat,” jawab Adhitama. “Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti aku ikut sama Lily juga, sekali-kali Lily libur juga tidak apa-apa. Sepertinya dia juga butuh liburan,” ucap Risha. “Oke kalau begitu. Nanti akan aku minta Andre untuk memesankan tiket untuk kalian juga,” ujar Adhitama sambil mengembangkan senyum. “Iya, tapi jangan beritahu Lily dulu ya Mas, takutnya dia nanti heboh." Risha tahu bagaimana sifat Lily, bisa-bisa anak itu akan menanyakan setiap detik kapan mereka pergi. Adhitama tersenyum penuh arti kemudian mengangguk paham. Adhitama akhirnya berangkat ke
Setelah makan malam yang sedikit menegangkan itu, Haris dan Alma beranjak pulang. Risha dan Adhitama juga memilih mengantar keduanya sampai ke halaman. “Hati-hati di jalan,” ucap Risha bersamaan dengan Haris dan Alma yang berjalan menuju mobil.Alma mengangguk lalu masuk mobil, begitu juga dengan Haris.Haris melajukan mobil meninggalkan rumah Risha. Sepanjang perjalanan, Haris melihat Alma terus saja diam. Sikap Alma membuatnya berpikir, apakah gadis itu marah karena tindakan tegasnya ke staf HRD.“Apa kamu marah?” tanya Haris untuk memastikan.“Tidak,” jawab Alma dengan suara agak lirih.Haris diam sejenak, berpikir jika Alma sudah menjawab seperti itu artinya dia tidak perlu memperpanjang masalah.“Bagaimana tadi, apa kamu sudah dapat baju untuk pernikahan kita?” tanya Haris. Untuk memecah rasa canggung dia memilih membahas hal lainnya.“Belum karena tadi Kak Risha harus menjemput Lily yang sakit,” jawab Alma dengan suara datar.Haris merasa Alma bersikap sedikit aneh. Dia kembal
Tanpa memberitahu, Malam harinya Haris menjemput Alma di rumah Risha. Saat sampai di sana, dia pergi ke kamar Lily dan bocah itu langsung meminta gendong karena masih sakit. “Kenapa badannya hangat?” tanya Haris saat menggendong Lily. “Dia demam, makanya tadi dijemput dari sekolah,” jawab Risha. Haris kaget, lalu menoleh Lily yang menyandarkan kepala di pundak. “Lily sakit? Sudah minum obat belum?” tanya Haris. “Sudah,” jawab Lily. "Lily bobok aja ya." Haris membujuk. Lily menggeleng lalu berkata," Lily maunya digendong Paman Haris.” Haris memeluk Lily, membiarkan anak itu bersikap manja, lalu kembali membujuk dan mengajak Lily berbaring di kasur. Haris mengambil buku cerita di nakas kemudian membacakan cerita untuk Lily. Alma juga ada di sana, ikut mendengarkan Haris bercerita. “Aku tinggal sebentar,” kata Risha pamit dan Alma membalasnya dengan anggukan kepala. Risha berjalan keluar dari kamar Lily. Saat menuruni anak tangga, dia melihat Adhitama yang baru